ESENSI
AJARAN YOGA DALAM BHAGAVAD GITA
I. PENDAHULUAN
Kata Yoga secara harfiah berarti pasangan atau gabungan
(kedua kata itu: yaitu yoga dan yoke berasal dari akar yang sama) seperti kata
agma (re berarti kembali dan ligo berarti: mengikat) memiliki asal mula yang
sama. (Prabhavananda, 1996:65). Secara etimologi kata, yoga berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu dari urat kata yuj yang berarti penyatuan,
menghubungkan, menjembatani, memperlancar hubungan, dan manunggal. Jadi Yoga
merupakan suatu cara untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Apa yang dihubungkan atau
disatukan? Secara horizontal berarti
menyatukan tubuh dengan pikiran
jiwa kita dalam keselarasan yang alami.
Secara
vertikal berarti menghubungkan/ menyatukan kesadaran diri
kita dengan Tuhan (spirit individu/jiwatman dengan spirit universal/paratma atman).
Rsi
Patanjali dalam Yoga Sutra menyatakan bahwa Yoga adalah memperbedakan antara
subyek dan obyek, purusa (jiwa atau roh) dan prakerti (alam semesta) dengan
maksud dan tujuan agar jiwa atau roh dapat bereksistensi secara murni pada
dirinya sendiri. Lebih jauh Rsi Patanjali juga mengungkapkan bahwa yoga
dimaksud adalah suatu upaya secara methadikal untuk mencapai kesempurnaan jiwa,
dengan jalan mengontrol berbagai unsur alamiah manusia, baik fisik (badan
jasmani) maupun kejiwaan. Seseorang yang mencari penyatuan ini disebut dengan
yoga atau yogi. “yogascitta vrtti nirodhah”(yoga sutra I.2) yoga adalah membatasi/
penghentian gerak/gelombang pikiran. Pikiran, karena fluktuasinya dapat mengaburkan pikiran itu sendiri yang sebenarnya:tenang, seimbang & terfokus. Ajaran Yoga merupakan bagian dari 6
filsafat diantaranya yaitu Nyaya, Waisesika, Samkhya, Yoga, Mimamsa dan
Wedanta. Dimana ajaran Samkhya dan Yoga sering dibicarakan secara berurutan
karena memiliki kesamaan). Dalam melaksanakan Yoga, Rsi Patanjali mengajarkan
Astangga Yoga yaitu delapan macam disiplin untuk
memungkinkan seseorang dapat mencapai tingkat kesucian batin dan kesempurnaa
citta. Delapan disiplin itu adalah: Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara,
Dharana, Dhyana dan Samadhi
Yama dan Niyama membentuk disiplin etika yang memurnikan
hati. Yama terdiri atas Ahimsa (tanpa kekerasan), Satya (kejujuran), Brahmacarya (membujang; pengendalian hawa nafsu), Asteya (tidak mencuri) dan Aparigraha (tidak menerima pemberian
kemewahan, semua kebajikan berakar pada Ahimsa.
Niyama adalah kepatuhan, dan tersusun
atas Sauca (pemurnian dalam dan
luar), Santosa (kepuasan), Tapas (kesederhanaan), Swadhyaya (belajar kitab suci dan
penguncaran mantra) dan Iswara-pranidhana
(berserah diri kepada Tuhan). Mereka yang mantap dalam Yama dan Niyama akan
cepat maju dalam melaksanakan Yoga. Asana,
pranayama dan pratyahara
merupakan perlengkapan pendahuluan dari Yoga. Asana adalah sikap badan yang
mantap. Pranayama adalah pengaturan nafas yang menghasilkan ketenangan dan
kemantapan pikiran serta kesehatan yang baik. Pratyahara adalah penarikan indriya-indriya dari obyek-obyeknya. Dharana adalah konsentrasi pikiran pada
sesuatu obyek, atau cakra dalam atau Ista Dewata. Lalu menyusul Dhyana, atau meditasi, yaitu pengaliran
yang tak henti-hentinya dari pemikiran sehubungan satu obyek, yang nantinya
membawa pada keadaan samadhi. Saat
seperti ini yang bermeditasi dan yang dimeditasikan menjadi satu. Semua wrtti atau gejolak pikiran mengendap dan
pikiran kehilangan fungsinya. Segala samskara,
kesan-kesan dan wasana (kecenderungan
dan keinginan halus) terbakar sepenuhnya dan yoga terbebas dari kelahiran dan
kematian. Ia mencapai kaiwalya atau pembebasan akhir. (Sivananda, 2003:136-137)
II. PEMBAHASAN
2.1 Bhagavad Gita
Bhagavad Gita merupakan hakekat segala pengetahuan Veda dan salah satu diantara
Upanisad-upanisad yang paling penting dalam kesusastraan Veda. Bhagavad Gita juga menyatakan bahwa yoga merupakan suatu keadaan yang bebas dari penderitaan dan
kesedihan. Dalam bhagawad gita & kitab upanisad; jiva dalam kondisi dosa &
keduniawian adalah disebabkan karena hidup terpisah dan terasing dari roh
tertinggi untuk menaklukan sifat jahat
dalam diri kita dianjurkan untuk melaksanakan yoga. Agar lepas dari penderitaan dan dosa kita harus mencapai persatuan spiritual persatuan jivatman dengan paratma atman identik dengan kebahagian eternal. Kebahagiaan merupakan cita-cita manusia hidup di dunia, tidak seorangpun bercita-cita
menderita. Ada kebahagiaan ragawi/duniawi. Ada kebahagiaan spiritual/rohani.
Ada
ingin keduanya (lahir & bathin)
Berikut ini beberapa pengertian tentang Bhagavadgita yaitu:
1.
Bhagavadgita adalah sebagai Pancamo Veda
yang bersifat suplemen. Penggunaan istilah Upanisad pada beberapa bab di dalam
Bhagavadgita menunjukkan bahwa Bhagavadgita adalah sebuah Upanisad dan upanisad
itu sendiri adalah Veda yang tergolong Sruti. Dengan penunjukan itu tidaklah
keliru penyimpulan beberapa pemikir Hindu yang mengatakan Bhagavadgita adalah
Veda ke 5
2.
Bhagavadgita adalah ajaran mistik. Ilmu
mistik di dalam agama Hindu dikenal dengan Raja Yoga, bertujuan untuk menguak
tabir Rahasia Ketuhanan sehingga dengan demikian mudahlah bagi umatnya
melaksanakan jalan lintas itu menuju kekekalan Brahman atau Nirvana Brahman
atau Moksa. Ini pula yang menyebabkan Bhagavadgita dikenal sebagai kitab Gita
Rahasia.
3.
Bhagavadgita adalah kitab Yoga karena
semua bab disebut ajaran Yoga. Yoga adalah satu sistim dan juga satu metode
menghubungkan diri atau bersembah kepada Tuhan agar mendapat rakhmat dari
padanya.
4. Bhagavadgita
adalah kitab Tattva Darsana yang membahas konsepsi filsafat Samkhya dan Yoga,
dan karena itu cara pandangnya penyajian materinya mendekati sistim filsafat
Samkhya dan Yoga. Istilah inipun disebutkan di dalam Bhagavadgita itu.
Bhagavad Gita terdiri
dari dua kata yaitu Bhagavad dan Gita yang berarti “Lagu dari Tuhan”.
Bagaimanapun juga bukan lirik tetapi puisi filsafat, yang ditulis oleh Rsi
Vyasa, pengumpul dari cerita Mahabharata. Gita
merupakan panduan manual: “Siapakah kita? Mengapa kita terlahir? Apa tujuan
dari hidup kita? Apa yang harus kita lakukan jika tugas kita menimbulkan
konflik dengan orang lain” Pertanyaan ini dan pertanyaan yang lain yang muncul
dan dijawab dalam Bhagavad Gita. Para cendekiawan mengatakan bahwa ada tiga
rahasia yang terdapat dalam Gita yaitu yang pertama,
seseorang harus melakukan semua tugasnya di dunia, meninggalkan semua ikatan
untuk mendapatkan hasil dari tindakan kita. Yang kedua, seseorang harus membedakan antara dirinya dan yang bukan
dirinya. Yang ketiga, seseorang harus
menyadari bahwa semuanya yang ada, bergerak atau tidak bergerak, terlihat
ataupun tidak terlihat, tiada bukan adalah Brahman. Bhagavad Gita menganjurkan
empat jalan untuk mencapai kebebasan (moksa)
terdiri dari: tindakan (Karma Yoga),
meditasi (Raja Yoga), pengabdian (Bhakti Yoga), dan pengetahuan (Jnana Yoga). Jalan ini bukanlah jalan
utama tetapi berhubungan dan mengarahkan seseorang pada tujuan yang sama. Semua
jalan membutuhkan kehidupan yang bermoral dan disiplin diri. Seorang individu
dapat menemukan keberadaan dari Kenyataan Tuhan (sebagai intisari dari dirinya)
dengan mengikuti satu atau lebih jalan dibawah bimbingan dari seorang guru yang
bermutu. Seorang pemuja dapat mengikuti satu atau jalan yang lain bergantung
dari sifat dan keinginannya. (Pandit, 2006:88-93)
2.1.1 Pokok-Pokok
Ajaran Bhagavad Gita
Untuk
dapat memahami pokok-pokok ajaran yang terdapat di dalam Bhagavadgita, kiranya
perlu diadakan penataan struktural keseluruhan isi Bhagavadgita. Keseluruhan
isi Bhagavadgita terbagi atas 18 bab dimana tiap-tiap bab membahas secara
khusus. Keseluruhan isi bab Bhagavadgita dapat disimpulkan pokok-pokok pikiran
sebagai berikut:
Bab I,
memulai pandangan ajaran bersandar pada dialektika teori konflik mengenai
hakekat yang dialami oleh manusia. Arjuna Visada Yoga atau ajaran keragu-raguan
yang timbul pada diri Arjuna setelah menyadari akibat peperangan yang dapat
terjadi dinilai bertentangan dengan ajaran agama.
Termasuk
di dalam bab I adalah gambaran situasi di padang Kuru, tempat terjadinya perang
saudara. Masalah yang dihadapi oleh Arjuna adalah pertentangan “Nilai Religi”
dimana dasar-dasar agama mengajarkan:
1. Ajaran
ahimsa
2. Larangan
membunuh guru sebagai dosa besar (maha pataka)
3. Ajaran
Vairagya sebagai sistim pencapaian tujuan moksa
4. Timbulnya
kemerosotan moral dan musnahnya tradisi leluhur sebagai ekses terjadinya
peperangan.
5. Timbulnya
kekacauan dalam sistim Varnasrama-dharma termasuk persepsi timbulnya kekacauan
dalam jatidharma dan dharma.
Semua analisa pemikiran
Arjuna yang dilihat secara empiris pada hakekatnya banyak terjadi pertentangan
di dalam penerapan ajaran moral agama sehingga bila tujuan hidup agama itu
harus direalisir, apapun dalihnya peperangan itu bertentangan dengan agama.
Namun Arjuna menyadari pula bahwa ia tidak mengingkari kemungkinan berbagai alternatif
namun untuk memantapkannya arjuna mengharapkan bimbingan dari Krsna untuk
keluar dari kebingungan itu.
Bab
II,
Krsna yang menanggapi pandangan dan perasaan yang dialami oleh Arjuna,
menjelaskan dasar pemikiran sebagai berikut:
Konflik pribadi yang terjadi pada setiap
diri manusia pada hakekatnya bersumber pada beberapa sebab:
1.
Sifat lemah yang ada pada setiap diri
manusia yang mudah menyerah pada keadaan. Sifat lemah ini disebut “anarya”.
Sifat putus asa seperti ini pada hakekatnya bertentangan dengan ajaran agama
Hindu yang mewajibkan agar tidak berputus asa dalam segala hal.
2.
Kebodohan atau Avidya pada hakekatnya
menimbulkan kesalah pengertian tentang ajaran serta kenyataan. Demikian pula
masalah pencapaian tujuan yang disebut Svarga dan moksa bersumber pada kesalah
pahaman yang mencakup masalah kirti dan yasa.
Oleh karena Krsna
melihat masalah yang dihadapi oleh Arjuna bersumber pada hakekat diatas maka
usaha pertama yang diambil oleh Krsna adalah mencoba menjelaskan hakekat hidup
dan tujuan hidup yang sebenarnya sebagaimana diajarkan di dalam agama Hindu
dengan ajaran Samkhya-Yoga, sebagai judul yang diberikan dalam Bab II.
Pada hakekat apa yang
disebut Samkhya-Yoga adalah ajaran kefilsafatan (tattva darsana).
a. Samkhya
merupakan ajaran rasionalisme atau jnana-yoga.
b. Yoga
merupakan ajaran disiplin moral sebagai upaya untuk mencapai tujuan hidup
beragama (moksa).
Kedua dasar ajaran itu
didasarkan pada konsep Upanisad yang mengutarakan bahwa tujuan hidup manusia
pada hakekatnya dapat dicapai melalui:
1. Pravrtti
marga
2. Nivrtti
marga
Kedua dasar ajaran itu
hendaknya dipahami dengan tepat agar tujuan hidup beragama dapat dicapai dengan
baik, yaitu dharma-artha-kama moksa.
Bab
III. Membahas dasar-dasar pengertian Karma Yoga yang
dibedakan dari ajaran Samnyasa Yoga. Kedua ajaran ini dibahas dari aspek ajaran
Samkhya dan Yoga. Dengan memahami kesalah pengertian Karma Yoga sebagai satu
sistim yang dianggap bertentangan dengan sistim Samnyasa, Krsna mencoba
menegaskan makna ajaran Karma Yoga secara lebih mendetail, yang keseluruhan
pada hakekatnya dibahas dalam Bab III, Bab IX
Pada Bab II telah
dikemukakan pentingnya ratio atau keilmuan sebagai pangkal tindak kegiatan.
Jnana dengan ajaran Jnana Yoga merupakan anti ajaran Samkhya, sebaliknya karma
atau tindakan tidak harus berarti sama dengan jnana. Tentang karma ini
dibedakan dalam Bhagavadgita ke dalam dua bentuk, yaitu:
1. Subha
karma perbuatan yang baik
2. Asubha
karma perbuatan yang tidak baik
Adapun perbuatan yang tidak baik
dibedakan pula antara dua macam, yaitu:
a. Akarma
b. Vikarma
Dengan demikian terdapat tiga macam
bentuk sikap tindak kegiatan,yaitu:
1. Karma
yaitu perbuatan baik.
2. Akarma
yaitu perbuatan tidak berbuat.
3. Vikarma
yaitu perbuatan yang keliru.
Apa yang diharapkan dari ajaran Karma
Yoga ini adalah tercapainya tujuan, yang merupakan kebebasan, yaitu moksa atau
siddhi (kesempurnaan).
Ada dua hakekat
pengertian kata “karma” yang berkembang di dalam Bhagavadgita, yaitu:
a. Karma
dalam arti ritual atau yajna
b. Karma
dalam arti tingkah laku perbuatan.
Ini tampak jelas uraian
III.10 yang menghubungkan arti karma dengan penciptaan alam semesta yang
dilakukan pada permulaan penciptaan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Bila Tuhan dalam
permulaan penciptaan itu menciptakannya bukan untuk kepentingan dirinya maka
demikian pula dalam hukum kerja itu agar didasarkan pada azas ketidak terikatan
untuk kepentingan pribadi seseorang yang berbuat, melainkan agar didasarkan
atas dharma yang menjelma dari bentuk hukum hak dan kewajiban.
Dengan demikian maka
azas “vairagya” sebagai satu ajaran, mendorong pelakunya berbuat sekedar karena
kewajiban untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Ini harus dilakukan baik
rutin maupun insidentil sehingga kekarya-annya itu akan mempunyai nilai guna.
Soal pahala atau akibat yang timbul adalah hak yang pasti dan tak usah
dicari-cari, yang tentunya akan diperoleh.
Bab
IV,
menguraikan tentang Jnana Yoga, yang telah berkali-kali disampaikan Sri Krsna
kepada umat manusia untuk menjadikannya manusia-manusia bijak dalam tujuan
pengembaraan hidupnya. Bahkan manakala dharma terancam dan adharma merajalela,
beliau sendiri turun ke dunia dengan mengenakan badan jasmani untuk melindungi
ajaran dharma dari kehancuran, serta untuk melindungi orang-orang bajik.
Disamping itu ajaran tentang varnasrama dharma, serta berbagai jalan yang
ditempuh manusia dalam rangka pencapauannya yang tertinggi juga diuraikan dalam
Bab ini. Jnana Yoga sebagai satu-satunya cara mencapai kelepasan (moksa),
sebagai thema utama dalam sebagian besar kitab Upanisad, juga kembali
ditekankan disini, disamping kegiatan kerja tanpa pamrih yang tidak
membelenggu, demikian pula kurban kebijaksanaan sebagai kurban tertinggi,
karena kebijaksanaan itu sendiri akan membakar habis segala dosa dan akibat
dari perbuatan. Selanjutnya secara panjang lebar Krsna juga menjelaskan kepada
Arjuna kaitan Jnana Yoga ini dengan Yoga lain, yang memberikan kemantapan
kepada Arjuna dalam mengemban tugas sebagai seorang ksatriya dalam menghadapi
pertempuran ini.
Bab
V,
Bhagavadgita dengan judul Karma Samnyasa Yoga, pada intinya mencoba
memperbandingkan antara dua sistem jalan menuju kesempurnaan, yaitu karma
samnyasa disatu pihak dan Yoga dibagian kedua. Penjelasan bab V merupakan
pengembangan pengertian jaran yang telah dijelaskan dalam bab IV tentang arti
Jnana Yoga. Apa yang Arjuna sebagai calon siswa ingin ketahui dari Gurunya
adalah penjelasan yang terang mengenai jawaban atas pertanyaan, yaitu mana yang
lebih baik membebaskan diri dari kerja (karma samnyasa) atau kerja tanpa
kepentingan pribadi atau tanpa motif untuk mencapai keuntungan pribadi. Sistem
kerja yang kedua di dalam bab V ini disebut Yoga dan dijelaskan bahwa sistem
kedua adalah lebih baik. Penampilan kedua macam pertanyaan ini tentunya
dilakukan pada satu pengertian dengan mengingat sistem catur asrama (brahmacari,
grhastha, vanaprastha, samnyasa)
Dalam yoga, karma itu
tetap ada tetapi bukan dimotivasi untuk kepentingan pribadi melainkan pelepasan
keakuan terhadap benda-benda duniawi dengan memusatkan perhatian pada kebaktian
kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan bersamadhi. Yoga artinya menghubungkan (yuj)
pikiran kepada Tuhan sehingga segala sifat hakiki Tuhan dapat direflesikan ke
dalam jiwa dan dengandemikian maka berbuat itu tidak terikat oleh diri pribadi
tetapi adalah karena kehendak Ilahi.
Bab
VI,
adalah uraian tentang makna Dhyana Yoga
sebagai satu sistem dalam Yoga. Bab VI adalah dialog lanjutan dari bab V
tentang Yoga. Yoga mengajarkan delapan macam disiplin untuk memungkinkan
seseorang dapat mencapai tingkat kesucian batin dan kesempurnaa citta. Delapan
disiplin itu adalah: Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana,
Dhyana dan Samadhi. Ajaran Dhyana Yoga atau Dhyana dalam sistem Yoga inilah
yang dijelaskan oleh Krsna kepada Arjuna.
Agar seseorang dapat
melakukan Yoga dan bermeditasi yang baik semua syarat harus dipenuhi. Apa yang
diajarkan dengan sikap duduk yang baik seperti badan, leher, dan kepala supaya
tegak dan duduk diam tidak bergerak, merupakan sikap Asana. Sikap Asana yang
baik menyebabkan orang dapat mudah melakukan konsentrasi pikiran atau Dhyana.
Walaupun demikian Arjuna yakin bahwa pikiran itu bersifat seperti binatang liar
yang sukar untuk dijinakkan sehingga sangat sulit untuk dapat meninggalkan
pikiran dalam mencapai tujuan. Kesemuanya ini dijelskan secara singkat, yang
pada intinya adalah bagaimana membiasakan putusan uang baik melalui Yama dan
Niyama brata. Walaupun demikian Krsna juga mengakui kesulitan dan karena itu
alternatifnya adalah mengarah pada perbuatan kebajikan. Manusia akan lahir
kembali ke dunia sesudah sampai surga bila sudah selesai masanya penikmatan
hasil kebajikan itu, dan ini akan berulang sampai mereka berhasil melepaskan
diri mereka dari sarang laba-laba karma, yaitu kelak kalau mereka telah
mencapai nirvana atau moksa atau Brahma Nirvana. Seorang Yogi menurut Krsna
adalah lebih besar dari pertapa maupun sarjana dan lebih besar pula artinya
dari pendeta yang melakukan upacara yajna.
Bab
VII,
ininya adalah membahas Jnana dan Vijnana. Jnana artinya ilmu pengtahuan dan
Vijnana adalah serba tahu dalam pengetahuan itu. Karena bab ini merupakan
lanjutan bab VI tentang Dhyana untuk sampai pada tingkat Samadhi, maka
perhatian pembahasan adalah terletak pada tujuan obyek Dhyana yaitu Tuhan Yang
Maha Esa, yang di dalam agama disebut Para Brahman-Para Atman-Para Isvara dan lain-lainnya
oleh karena itu Krsna mulaimenjelaskan makna pengertian atman dan hubungannya
denganPara Atman atau Brahman yang absolute. Alam semesta dengan segala bentuk
ciptaan itu disebut bhuta, yang mempunyai lima komponen dasar yang disebut
panca mahabhuta, terdiri dari Prthivi (tanah), Apah (air), Teja atau Agni (api,
panas), Vayu (angin), Akasa (eter).
Kelima unsur dasar itu
timbul dari prakrti dan sebagai akibat evolusi dari prakrti. Disamping unsur
materi terdapat unsur rohani yang disebut atman atau jiwa yang menyebabkan
timbulnya ciptaan (srsti)
Jiwa atau atman
adalahbagian dari Brahman dan perlu disadari adalah hubungan pengertian antara
atman dengan Brahman. Di dalam melakukan samadhi, hakekat inilah yang harus
dicapai dalam pengertian dan makna aksara mantra AUM atau Omkara sebagai
manifestasi wujud abadi. Disamping itu Krsna juga mulai menyinggung pengertian
triguna sebagai hakekat sifat dasar dari prakrtin sehingga timbulnya proses
evolusin sebagai akibat ketidakseimbangan triguna. Ketidak sadaran dan
kekeliruan pandngan pada Manusia adalah karena kekuatan maya sehingga salah
identifikasi manusia dan menyamakan atma dengan prakrti. Pemahaman keliru
ibarat orang melihat cermin itu berbeda. Inilah yang disebut kekuatan maya.
Bila orang menyadari hal ini maka orang akan mulai dapat mengarahkan pikirannya
secara benar dan dari sini akan melihat mengapa “aham” (aku) itu adalah Brahman
(yang absolut Transendental), dan ada pula pada setiap mahluk.
Bab
VIII,
adalah Aksara Brahma Yoga, yaitu tentang hakekat sifat kekekalan Tuhan yang
Maha Esa. Aksara berarti kekal. Inti bab VIII adalah bertujuan menjawab
pertanyaan Arjuna tentang Brahman-Adhyatma dan karma. Demikian pula tentang
adhibhuta, adhidiva, adhiyajna dan hakekat kematian. Yang sangat menarik dalam bab
VIII adalah cara pendekatan pengertian yang dapat memberi uraian yang jelas
tentang Brahman dengan adhatman yang pada hakekatnya adalah sama dengan Parama
Atman.
Sebagaimana atman
mempunyai basis adhatman (Brahman) demikian pula tentunya hakekat bhuta, yaitu
panca mahabhuta dengan adhibhuta itu, yang dalam sistem samkya disebut prakrti
dan pradhana dalam sistem Vedanta.
Dari pertanyaan Arjuna
yang masih mendapt penyorotan khusus adalah pertanyaan dan pengertian tentang
adhiyajna dan adhidaivata (adhidaibata). Di dalam Veda kita dapat penjelsan
tentang penciptaan alam semesta di mulai dari proses mahayajna dimana
mahapurusa menciptakan segala ciptaan melalui yajna. Yajna ini merupakan awal
dan karena itu cukup beralasan kalau arjuna mempergunakan istilah adhiyajna.
Bab
IX,
membahas hakekat dasar-dasar ajaran Raja Yoga dengan judul Raja Vidya RajaGuhya
Yoga.
Hakekat raja hanya
sebagai istilah untuk menunjukkan raja dari semua ilmu (vidya) yaitu ajaran
Ketuhanan. Hal ini adalah kerana segala apa yang ada bersal dari Tuhan dan
karena itu mempelajari Ketuhanan Yang Maha Esa dianggap sangat mulia dan
ilmunya adalah tertinggi dari semua ilmu. Artinya ilmu-ilmu lainnya bersifat
suplemen. Dalam hubungan ini Krsna tidak saja menjelskan arti dan kedudukan Tuhan
sebagai Brahman, sebagai Bapak atau sebagai Pelindung dan Pencipta tetapi juga
bagaimana alam semesta ini diciptakan. Bila hendak melakukan bhakti atau
sembahyang maka tujuan sembahyang adalah kepada Yang Maha Esa itu, apapun nama
atau gelar yang diberikan kepadaNya. Semua harus mencari perlindungan kepadaNya
dan dengan demikian Krsna mengajarkan Tuhan sebagai poros dari semua ciptaan
dan kebaktian.
Bab
X,
Vibhuti Yoga mencoba memberi penjelasan tentang sifat hakekat Tuhan yang
absolut secara empiris dimana disimpulkan hakekat absolut transendental sebagai
akibat hakekat tanpa permulaan-pertengahan-akhir.
Demikian pula
manifestasi Brahman dalam alam semesta, sebagai kitab suci, sebagai Devata,
sebagai manusia dan sebagai huruf yang kesemuanya memerlukan pengertian dan
dasar-dasar keimanan yang kuat.
Bab
XI,
Visvarupa Darsana Yoga sebagai uraian penjelsan lebih lanjt dari ajaran Vibhuti
Yoga mencoba menjelaskan bentuk manifestasinya secara nyata dengna menyadari
persamaan itu maka terjadwalah misteri yang ada pada Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai hakekat Yang Maha Ada.
Bab
XII,
Bhakti Yoga. Di dalam bhakti yoga dimana mansuia bersembah sujud kepada Tuhan
Yang Maha Esa ada dua hal yang ingin dipertanyakan oleh Arjuna, yaitu:
1. Menyembah
Tuhan dalam wujudnya ynag abstrak
2. Menyembah
Tuhan dalam wujud nyata, misalnya mempergunakan nyasa atau pratima berupa arca
atau mantra.
Terhadap kedua
penyataan ini Krsna menegaskan bahwa kedua-duanya itu baik. Penyembahan Tuhan
dalam wujud abstrak, yaitu dengan menanggalkan pikiran kepada yang disembah
adalah amat baik namun hambatan dan kesulitan itu tetap banyak karena Tuhan
yang tanpa wujud, kekal abadi, tak berubah dan sebagainya, sangat sulit untuk
dicapai oleh akal pikiran dan karena itu praktis sangat sukar. Sebaliknya dengan
Yoga biasa dimana diperlukan sarana pratima atau arca akan lebih mudah untuk
mewujudkan rasa bhaktinya. Tetapi itu belum nyata.
Bab
XIII,
yaitu Ksetra_Ksetrajna vibhaga Yoga merupakan bab yang membahas hakekat
Ketuhanan Yang Maha Esa yang dihubungkan dengan hakekat purusa dan prakrti
(pradhana) sebagai nama rupa. Kebutuhan nama rupa yang digelari dengan purusa
dan prakrti adalah untuk memberi landasan dalam menjelskan bagaimana kita dapat
mengenal Tuhan Yang Maha Esa sebagai hakekat yang Maha mengetahui dan bagaimana
pula proses kejadian ini dari Purusa dan prakrti sampai pada segala untuk
ciptaan alam semesta melalui proses kejadian dari 24 macam elemen. Disamping
itu bab XIII ini pula bertujuan untuk menjelskan sifat yang dimiliki oleh orang
yang dapat dikategorikan sebagai arif bijaksana. Untuk itu Krsna memberi uraian
tentang kebaikan dari sifat rendah hati, tidak cepat marah, sabar, tawakal,
adil, jujur, beriman, suci lahir bathin dengan selalu mengendalikan pikiran,
tutur kata dan tingkah laku sehingga terkendalinya Ego, dan makin bertambah
baiknya budi pekerti manusia.
Bab
XIV,
membahas triguna, sesuai dengan judulnya yaitu Guna Traya (tiga macam guna).
Ketiga macam guna yang dimaksud yaitu sattvam-rajas-tamas. Manifestasi guna
pada diri seseorang dapat dilihat dari bentuk tingkah laku mereka sebagai
refleksi dari triguna. Sebaliknya yang menjadi tujuan dari pembahasan guna
traya ini adalah bagaimana seseorang dapat mengatasi ketiga guna itu sehingga
dapat mengatasi segala-galanya. Khusus untuk sifat-sifat seseorang yang telah
dapat mengatasi pengaruh triguna digambarkan sebagai seseorang yang memiliki
watak tidak benci, selalu hidup dalam keadaan tenang tidak memiliki
pertentangan bathin sebagai akibat pengaruh sifat-sifat yang bertentangan dalam
diri pribadinya, tidak mudah goyah atau berubah-ubah pendirian melainkan selalu
mengabdi dab berbakti tanpa pamrih.
Bab
XV,
membahas pengertian purusa sebagai asal dari semua ciptaan. Purusattama atau
purusa uttama adalah purusa yang Maha tinggi, yaitu hakekat Ketuhanan Yang Maha
Esa dan yang di dalam uraian ini tidak lain dari hakekat Aku yang
transendental. Ia adalah Brahman. Di dalam pembahasan ini untuk mengambarkan
dengan jelas agar diketahui hakekat hubungan antar Sang Pencipta dengan segala
ciptaannya. Krsna mengibaratkannya sebagai pohon asvattha atau ficus religiose
(semacam pohon beringin) dimana kalau pohon itu berakar, berbatang, berdaun dan
lain-lain maka akarnya (asalnya) adalah purusa itu sedangkan kejadian lainnya
adalah batang dahan dan daun-daunnya. Tetapi kita juga diajarkan bahwa Tuhan
itu ada diatas dan karena itu pohon asvattha itu dikatakan akarnya ada diatas
yang kemudian batangnya yang berjurai ke bawah dengan sifat-sifatnya adalah
semua ciptaannya. Purusottama adalah adhyatman yang berarti atma yang
menghidupi mahluk ciptaan itu bertebaran ke bawah.
Bab
XVI,
Daivasura Sampad vibhaga Yoga pada intinya membahas hakekat tingkah laku
manusia yang dikenal sebagai perbuatan baik dan perbuatan buruk. Kedua hal ini
merupakan inti pertanyaan Arjuna.
Di dalam menjawab
pertanyaan itu Krsna menggambarkan tentang sifat-sifat yang disebut sifat
Devata dan sifat-sifat jahat sebagai sifat-sifat raksasa atau asura.
Mulai dari syair 1
sampai 3 adalah gambaran tentang sifat-sifat mulia sedangkan sifat-sifat asura
adalah berlawanan dan diperinci dalam syair 4. Dikemukakan pula bahwa secara
impiris tidak ada manusia yang hidupnya sempurna dan karena itu Krsna mendesak
agar Arjuna atau siapa saja yang tidak berputus asa dan tidak pula merasa
takut.
Dalam uraiannya apa
yang disebut dalam syair 8 terdapat paham lokayatika atau carvaka sebagai
filsafat hedonis telah dikenal pula yang di dalam agama Hindu dtentang sebagai
filsafat amoral. Dari syair 24, yang berakhir pada bab XVI Krsna menegaskan
agar kitab sastra dan Veda supaya dipedomani. Kitab sastra adalah Kitab smrti
sebagai lawan dari Kitab Sruti.
Bab
XVII,
sesuai menurut judulnya yaitu sraddha Traya Vibhaga Yoga bertujuan untuk
meyakinkan agar berkeyakinan akan tiga hal yaitu triguna. Penekanan ini sebagai
penanggilangan adalah untuk menyakinkan pelayan sikap mental yang positif
terhadap pandangan pengaruh yang timbul karena triguna dengan tujuan untuk
mencapai kesempurnaan hidup. Bagian ini merupakan landasan etika atau dharma.
Keyakinan yang kedua adalah hakekat ucapan AUM (OM) Tat Sat sebagai pengakuan
adanya Tuhan Yang Maha Ada tiada lain kecuali Yang Maha abadi yang disebut pula
aksara Brahman. Yang ketiga adalah keyakinan akan tercapainya moksa yang juga
disebut brahman nirvana.
Bab XVIII,
yaitu bab terakhir adalah Samnyasa Yoga. Bab ini merupakan kesimpulan dari
semua ajaran yang menjadi inti tujuan pelaksana agama yang tertinggi yaitu
brahma nirvana sebagai Sumumbonum dengan kesimpulan ini maka jelas kepada kita
bahwa Bhagavadgita mencoba mendorong Arjuna untuk bertindak tanpa ragu dan
tidak mengikat diri pada apa kewajiban itu dan apa pula akibatnya, melainkan
bertindak dan pasrah kepada Tuhan sebagai Yang Maha mengatur sehingga dengan
demikian rasa berdosa itu dapat diatasi. Bab XVIII ini merupakan bab yang
terpanjang. (Pudja, 1999)
2.2 Esensi Yoga Dalam Bhagavad Gita
Kata yoga memberi definisi tentang cara bagaimana Tuhan itu
bisa bersatu dengan manusia. Banyak cara yang mungkin ditempuh oleh manusia
untuk mencapai tujuan itu. “Banyak ada agama, banyak juga ada jalan”. Filsafat
Hindu mengenal empat cara pokok (yoga) untuk mencapai tujuan itu. Cara itu
adalah Jnana yoga, Karma yoga, Bhakti yoga dan Raja yoga. Masing-masing yoga
merupakan cara tersendiri untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan ketika tujuan
akhir itu tercapai, agaknya keempat yoga itu berpadu menjadi satu. Cinta kasih
yang tertinggi, ilmu pengetahuan yang hebat, semadi yang sejati, tindakan yang
benar, dan paling mulia pada akhirnya sama dan tidak dapat dibedakan antara
satu dengan yang lainnya.
Gita
menuntut bahwa cara-cara itu harus diikuti dan dipadukan bukan saja saat tujuan
akhir itu tercapai, melainkan dipakai sebagai cara dalam menempuh cita-cita
itu. Manusia mempunyai kemampuan, alasan, keinginan, emosi yang kompleks, gerak
hati untuk bertindak, dan dia harus berusaha menyatu dengan Tuhan melalui cara-cara
yoga itu. Dia harus aktif dan juga rajin bersemedi, dia harus mengolah
kecerdasannya dan menemukan ilmu pengetahuan yang tertinggi juga mempererat
cinta kasih pada Yang Maha Kuasa. Seperti itulah cita-cita yoga yang
sebagaimana di ajarkan dalam Gita. (Prabhavananda, 1995 : 66-67)
2.2.1 Jnana
Yoga
Jnana
Yoga adalah jalan pengembangan kebijaksanaan spiritual. Ini merupakan jalan
bagi kaum inteletual. Intelek difokuskan untuk menjawab pertanyaan, “Siapakah
aku?”. Sang yogi menganalisa semua unsur dirinya satu persatu dan menghancurkan
kebodohan. Ia mencapai kesadaran atman, bersinar dengan cahaya kebijaksanaan.
Pencapaian ini diperoleh melalui belajar dan meditasi (Kamajaya, 1998:22). Jnana
Yoga, secara harfiah berarti cara untuk menyatukan diri dengan Tuhan melalui
ilmu pengetahuan. Ini telah mengandung arti suatu cara analisis yang
intelektual. Yang mengarah pada satu hal tentang Tuhan yang paling dekat.
Anubhuti yang bersifat paling super dan kekal abadi merupakan bagian yang
paling medalam pada diri manusia dan alam semesta. Pemikiran filosofi tidak
dinyatakan secara langsung, rasionalisasi pemikiran belaka, tetapi lebih dari
itu bahwa manusia yang tanpa pertolongan orang intelek tidak akan dekat dengan
Tuhan. Sebagai tambahan, bahwa perubahan kehidupan dan prilaku, perubahan jiwa
amat diperlukan sebelum penjelmaan Tuhan atau Diri itu dapat dicapai. Maka Gita
mengatakan “Ada yang menganggap diri itu bagus sekali” yang lainnya
mengatakannya sebagai sesuatu yang bagus sekali. Yang lain lagi mendengarkannya
sebagai suatu keajaiban. Dan masih ada yang lain walaupun mendengar, sama
sekali tidak mengerti dengan Diri itu (II, 29).
Untuk
mencapai kesadaran yang paling dekat ini dan memahami tentang Diri, Jnana yoga
mengajarkan ajaran-ajaran tertentu untuk dilatih setelah proses pemikiran. Pada
permulaan sekali, ahli fisafat harus belajar membedakan antara yang nyata dan
yang tidak nyata. Pada pembukaan pada bab Gita itu, dijelaskan tentang proses
perbedaan ini.
Na sato widyate bhawo
Na bhawo widyate satah
Ubhayor api dristo nats tw
Anayos tattwadarsibhih
Terjemahannya
: Apa yang tidak ada, tak akan pernah ada dan apa yang ada, tak akan berhenti
ada. Orang yang melihat kebenaran sudah menarik kesimpulan bahwa apa yang tidak
ada (badan jasmani) tidak tahan lama dan yang kekal (sang roh) tidak berubah.
Inilah kesimpulan mereka setelah mempelajari sifat kedua-duanya.(II, 16)
Manusia
memiliki pengetahuan tentang kebenaran dari kedua hal ini sepenuhnya antara
yang nyata dan tidak nyata. Hanya dengan kenyataan yang kekal ini, kenyataan
yang abadi, yang tak dapat dibatasi, tak dapat dihancurkan inilah dapat mengisi
keseluruhan alam semesta ini. Hal ini sama dengan Diri yang ada pada manusia
dan kenyataan yang ada di alam semesta ini.
“Orang
yang tenang itu, meraskan sakit hati itu sama dengan kesenangan, tidak akan
merasa terganggu olehnya, dan dia sendiri dapat mencapai keabadian” (II, 15).
Karena kita tahu diri kita diri sendiri nyata, kita harus menghilangkan rasa
kesenangan itu dan belajar untuk menyadari bahwa sumber utama kebahagiaan itu
ada di dalam diri sendiri. “Bila orang mencampakkan semua keinginan yang ada
dalam pikirannya dengan sepenuhnya, puas akan Diri sendiri, kemudian dia
dikatakan sebagai orang yang memiliki kebijaksaan yang mantap” (II, 5).
Jnana
yoga adalah proses yang sesungguhnya dari “Neti, Neti”. “tidak ini, tidak itu”.
Inilah Diri yang semestinya tidak diperkenalkan dengan sesuatu yang benar-benar
ada yang sifatnya sementara, seperti badan, pikiran dan perasaan dengan suatu
objek atau sarana dari pengalaman itu. Bila orang telah mahir dalam melepaskan
Dirinya yang sejati dari yang bukan Dirinya, dia akan dianugrahi penglihatan
yang sesuai dengan milik Tuhan itu sendiri, dan pada permulaan sekali yang ada
padanya adalah pengetahuan tentang Diri yang ada pada semua orang ada pada Diri
itu.
Akan
tetapi cara dengan ilmu pengetahuan dan cara perbedaan berikut ini tidaklah
menunjukkan kelambatan atau pemberhentian aktivitas-aktivitas kehidupan yang
normal. Apa yang perlu dilaksanakan oleh seseorang adalah menganggap badan itu
sebagai rumah dimana orang itu tinggal, dan pikiran serta perasaan adalah
sarana kehidupan dan terhadap semuanya itu Tuhanlah yang menjadi saksinya.
Orang seperti itu tidak akan bertindak, tetapi dia tidak memperkenalkan Diri dalam
tindakannya. Dia mengalami alam semesta secara objektif, bahkan telah
mempelajari untuk melepaskan Dirinya dari pengalamannya. (Prabhavananda, 1995
:168-169)
2.2.2 Karma Yoga
Seorang
individu yang telah mencapai pengetahuan dan perdamaian yang tertinggi,
walaupun dia tidak memperoleh sesuatu dari perbuatannya, jika tidak ada sesuatu
yang dihilangkan dari kemalasannya, bahkan pekerjaan, kendatipun dia sendiri
bukan sebagai pelaku tetapi melalui latihan pikiran, perasaan dan badannya
sebagai sarana mengenal Dirinya yang sejati dari alam semesta ini. Tidak pernah
lupa akan Diri yang sejati, dia menyatu dengan kesadaran Tuhan selamanya,
karena tahu bahwa hanya ada satu Tuhan yang ada pada semua orang, dia
mengikutsertakan Dirinya denganTuhan dalam melayani umatnya. Sangat tenang,
ditengah-tengah aktivitas yang bersemangat, itu adalah pengalaman dari orang
yang kebijaksaannya sudah mantap. “Dia yang melihat kelambanan dalam bertindak
dan bertindak dalam kelambanan, dia adalah orang pintar di antara orang-orang
itu, dia adalah orang yogi dan pelaku dari segala tindakan” (IV, 18).
Jadi orang yang sudah sempurna itu, walaupun
masih aktif dalam dunia yang sementara ini, dia menyatakan kesadarannya dengan
Tuhan, dan Gita mengatakan, orang yang keinginannya telah sempurna mungkin
dapat menyatu dengan Tuhan melalui aktivitas-aktivitas yang ada diluar dunia
ini. Aktivitas-aktivitas inilah yang disebut dengan Karma Yoga. Pada bagian
awal dari Gita, menceritakan betapa bingungnya Arjuna sebagai murid dalam
memilih jalan dan tingkah laku yang benar, sehingga dia kembali menuju Krishna
untuk meminta nasehat. Krishna, penjelmaan Tuhan, kemudian memberi tafsiran
yang benar tentang ajaran-ajaran Upanisad. Penolakan, sebagai yang dia
jelaskan, bukanlah penolakan dunia tetapi keduniawian, bukan perbuatan tetapi
keinginan. Karma akan menuntun pada perbudakan, bila karma itu cenderung untuk
menuruti keinginan dan membiarkan sifat aku (ego), karma itu akan menuntun pada
kebebasan jika itu membantu menolak Diri itu atau membebaskan seseorang dari
rasa kasih sayang terhadap perbuatannya. (Prabhavananda, 1995 :70-71)
Bila
perbuatan dilakukan tanpa pamrih dan tanpa rasa keakuan, maka perbuatan itu
dapat disebut Karma Yoga. Bila melakukan perbuatan dengan sikap itu, perbuatan
itu menjadi yajna. Kehidupan didunia ini akan menjadi aman sentosa apabila tiap
unsur yang menghuninya saling beryajna. Manusia beryajna pada alam dengan
memeliharanya. Manusia harus penuh kasih sayang dan ikhlas berkorban, karena
dengan demikian maka alam pun akan beryajna melimpahkan buah-buahan,
umbi-umbian, daun-daunan, bunga dan yang lainnya kepada manusia dan makhluk
hidup lainnya. Keikhlasan untuk berbuat secara sadar untuk berkorban demi
tujuan yang lebih baik dan mulia. Demi persatuan, demi perdamaian dalam masyarakat
dan negara, semua pihak harus menahan diri untuk tidak berbuat sekehendak
hatinya yang bertentangan dengan kepentingan bersama. Hidup saling beryajna
inilah akan dapat membuat dunia sebagai wadah kehidupan yang harmonis.
(Sunetra, 2004:35-36). Kemudian bekerja dengan semangat pengorbanan, ini
menjadi tapa atau penebusan dosa, dan menjadi yoga. Ketiga hal ini yajna, tapa
dan yoga mempunyai pengertian yang sama. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh
manusia harus disucikan seperti itu. Bernafas pun adalah suatu perbuatan, tanpa
melakukan karma manusia tidak dapat hidup sedetik pun didunia ini. Tetapi karma
yang didasari oleh ego selalu akan sempit dan merusak, karena itu lakukanlah
segala pekerjaan hanya dengan rasa pengorbanan dalam hatimu. Apakah hasilnya
baik atau buruk, bermanfaat atau merugikan, tergantung pada jenis perbuatan
yang dilakukan. Perbuatan itu sendiri tergantung pada perasaan. Selanjutnya
perasaan itu tergantung pada pikiran. Dan pikiran tergantung pada makanan yang
di makan. Karena itu urutannya adalah makanan menimbulkan pikiran, pikiran
menimbulkan perasaan kemudian menimbulkan perbuatan dan akhirnya menimbulkan
hasil. Hal ini Krishna berkata, “Curahkan seluruh perhatianmu untuk melakukan
perbuatan yang baik dan jangan kau perhatikan hasilnya. Hasil akan timbul
dengan sendirinya, tetapi engkau harus memusatkan pikiran pada perbuatannya”.
(Sri Satya Sai Baba, 1991 : 350-35) Sri Ramakrishna, dewasa ini telah
menjelaskan tafsiran Karma Yoga dan cita-cita penolakan dari kiasan yang terkenal
tentang kapal yang ada di atas air.
“Biarlah kapal itu berada diatas air” dia
berkata” tetapi janganlah diberikan air itu masuk ke kapal”. Jadi biarkan orang
itu hidup di dunia ini, tetapi jangan dibiarkan dunia itu menguasai Dirinya”.
Jadi yang ada di dunia, bukanlah karena dunia itu sendiri. Bekerja tetapi tidak
terikat pada hasil dari perbuatan itu. “Bekerja bagimu adalah benar, tetapi
tidak mengharapkan hasil daripadanya”.
Upanisad mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan sendiri dapat
memeberikan kebebasan dan bahwa ilmu pengetahuan yang tak terhingga itu
tersimpan dalam jiwa manusia. Alam dan Diri itu juga menunjukkan, bukan hanya
keabadian dan kebahagiaan yang sempurna tetapi juga Chita atau Kesadaran yang murni. Ilmu pengetahuan yang tak
terhingga itu, yang merupakan Diri itu sendiri, ditutupi oleh bayangan
kebodohan dan juga karena hayalan manusia. Gita menjelaskan persoalan ini
dengan mengajarkan rahasia dari pekerjaan itu. Bahwa kita harus bekerja dan
tindakan akan membantu untuk mengungkapkan ilmu penegtahuan tentang Diri dengan
menghilangkan kebodohan akan sifat aku itu. Salah satu maksud dan tujuan dari
Karma Yoga adalah penyatuan Diri seseorang dengan Tuhan lewat perbuatan. Bukan
melalui suatu perbuatan yang khusus yang benar-benar kita sempurnakan, tetapi
melalui swadharma kita, yaitu suatu
kewajiban khusus yang cocok dengan sifat-sifat kita dan nilai-nilai kemanusiaan
yang dilakukan oleh manusia dan sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir.
(Prabhavananda, 1995 : 70-72). Mengenai swadharma/kewajiban ini sudah jelas
dinyatakan dalam BG (III.8) sebagai berikut:
Niyatam kuru karma tvam
Karma jyayo hy akarmanah
Sarira-yatrapi ca te
Na prasiddhyed akarmanah
Terjemahan :
Lakukanlah tugas kewajibanmu
yang telah ditetapkan, sebab melakukan hal demikian lebih baik daripada tidak
bekerja. Seseorang bahkan tidak dapat memelihara badan jasmaninya tanpa
bekerja.
2.2.3 Raja
Yoga
Raja
Yoga adalah praktek yang secara langsung menuju kepada penguasaan pikiran dan
kesadaran. Sistem ini disebut juga royal yoga
karena secara langsung menuntun sang yogi
untuk mengontrol pikirannya (Kamajaya, 1998:24). Untuk mempelajari penggabungan
dengan Tuhan lewat aktivitas, kita juga harus memiliki kesentosaan dan
kedamaian yang diperoleh melalui meditasi. Sepanjang orang itu tak suka
bersemedi, kedamaian itu tidak aka nada padanya. Gita menekankan pada latiha
bersemedi yang secara teknis yang dikenal dengan Raja Yoga. Patanjali
menjelaskan Raja Yoga sebagai suatu jalan yang terdiri atas delapan tahap,
yaitu : Yama, Niyama, Asana, Pranayama,
Pratyahara, Dharana, Dhyana, dan Samadhi.
Gita tidak menjelaskan delapan langkah ini secara sistematis, akan tetapi
langkah-langkah ini, ditunjukkan dengan ajarannya saat bersemadi. Penekanan
ajarannyayang utama terletak pada penenangan pikiran yang resah dan meresapnya
kesadaran-kesadaran itu dalam kesadaran Diri yang bersifat Ketuhanan.
(Prabhavananda, 1995 : 73)
“Dengan cara bagaimana dia bisa menghilangkan
keresahan dan pikiran yang tidak mantap itu, menghindarinya, sehingga dia bisa
menaklukkan Diri sendiri itu. Bawasannya kesadaran yang tinggi itu terdapat
pada seorang Yogi yang berpikiran hening dan sempurna, yang tidak memiliki
gejolak nafsu, yang suci dan yang telah menyatu dengan Brahman” (X, 26, 27).
Seperti lampu, yang terletak pada suatu tempat yang terlindung oleh angin tidak
akan berkedip, dan itu telah menjadi kiasan ynag dipakai oleh seorang Yogi yang
pikirannya sudah dapat ditundukkan, dan konsentrasi tentang Dirinya sudah
terlatih. Bila pikiran itu, benar-benar terkendali dengan latihan konsentrasi
akan mencari ketenangan, dan dapat melihat Dirinya denga diri sendiri, orang
akan merasa puas akan dirinya sendiri, bila dia merasa kebahagiaan yang tak
terbatas itu, terutama bila dirasakan dengan pikiran yang telah disucikan dan
terasamelebihi perasaan yaitu terjadi saat dia merasa tak pernah berpisah dari
keadaan yang sebenarnya. Dan telah memperoleh suatu anggapan bahwa tidak ada
kebahagiaan yang lain yang lebih tinggi dari kebahagiaan yang diperolehnya, dan
saat kebahagiaan itu dirasakan dia bahkan tidak terpengaruh oleh kesedihan yang
dalam, keadaan yang seperti ini dikenal dengan nama yoga, yaitu suatu keadaan
yang terputus dari kontrak perasaan sakit. Yoga ini harus dilatih dengan
ketekunan dan tidak terganggu oleh kemurahan hati. (VI, 19-23). (Prabhavananda,
1995 :74)
2.2.4 Bhakti Yoga
Bhakti
Yoga adalah jalan kecintaan. Disini cinta difokuskan kepada Tuhan disepanjang
waktu. Bhakti tidak diukur berdasarkan jumlah persembahan. Bhakti adalah
masalah perwujudan cinta kasih di dalam hati. Tanda-tanda luar dari bhakti yang
sejati adalah: kepercayaan, kerendahan hati dan keprihatinan. Kepercayaan adalah
kemenangan akhir dari kebenaran dan cinta kasih. Rendah hati dihadapan orang
lain. Keprihatinan terhadap kejahatan. Bhakti tidak akan tumbuh dari luar diri
manusia. Bhakti harus tumbuh dari dalam dengan usaha membersihkan mental
(Kamajaya, 1998:21-22).
Pengetahuan
bukanlah sejenis kepandaian yang mudah dimengerti dan bukan juga merupakan
semadi yang ditujukan kepada suatu prinsip abstrak yang mudah dipahami, bahkan
lebih dari itu, yaitu penunggalan tentang Dia (Tuhan) dan semadi yang ditujukan
padanya, yang memiliki rasa atau penuh dengan kebahagiaan dan kecintaan pada
Dirinya sendiri. Pengajaran cita-cita kerohanian sesungguhnya dapat dicapai
pada saat suasana kegembiraan itu tidak disertai dengan kesedihan. Keesedihan
itu sendiri yang mana bagi seorang calon, hanya dapat merupakan kesedihan yang
terpisah dari Tuhan yang tercinta, dan juga merupakan kesedihan ynag diisi
dengan kesenangan, karenanya selalu ada pengharapan akan penggabungan dengan
sumber kesenangan dan cinta itu. (Prabhavananda, 1995 : 75)
Bhakti
Yoga berarti selalu menyatu dengan Tuhan. Bhakti Yoga mengajarkan perlunya
pengendalian pikiran dalam segala keadaan. Ia memaparkan ketegasan, tekad yang
teguh untuk hanya mengamalkan ajaran spiritual dalam kehidupan sehari-hari, dan
juga mengajarkan santrupti yaitu
selalu merasa senang atau kegembiraan sejati. Bhakti Yoga juga menguraikan
panjang lebar tentang pemujaan kepada Tuhan, baik dengan sifat maupun tanpa
sifat, dengan wujud maupun tanpa wujud (Drucker, 1991:26). Gita membandingkan
kedua macam pemujaan ini dan menunjukkan mana yang lebih baik, lebih mudah dan
lebih aman bagi seorang bhakta pada tiap jenjang kemajuan spiritualnya. Gita
menyatakan, tidak mungkinlah manusia mencapai tingkat tanpa sifat dan bentuk,
sebelum ia melalui tahap memuja Tuhan dengan sifat dan wujud-Nya. Selama engkau
masih memiliki keterikatan pada badan kasar dan masih tenggelam dalam kesadaran
fisik, engkau tidak akan mampu memahami serta mencapai Yang Maha Tinggi yang
tanpa sifat dan tanpa bentuk itu. Engkau akan dapat memuja yang tanpa wujud,
bila engkau telah mampu mengatasi keterikatanmu, dengan raga, keterikatanmu
dengan keduniawian, dan semua keterikatan lain. Karena itu, selama engkau
menyamakan dirimu dengan badan dan beranggapan bahwa engkau mempunyai wujud tertentu,
engkau tidak akan mencapai aspek Tuhan yang tanpa wujud (Drucker, 1991:27-28).
Dalam
pemisahan hubungan dengan Tuhan, calon dan juga jiwa yang telah sempurna itu
hidup dalam pemujaan terhadp Tuhan secara terus menerus. Bhakti yoga atau cara
untuk mendekatkan Diri pada Tuha dengan jalan mencintai-Nya adalah pemujaan
atau penyembahan secara terus menerus pada Tuhan, yang merupakan makhluk yang
terdalam, Diri yang ada pada manusia dan perwujudan cinta dan segala
sifat-sifat yang dianugrahkan. Ajaran Gita menekankan pada “kebaktian seluruh
makhluk” kepada Tuhan, sebagai penyembah wajib mengingat intisari dari segala
perlindungan dan kebahagiaan Tuhan seterusnya. Betapapun jahatnya penyembahan
itu pada Aku, tanpa adanya kesayangan pada siapa pun, dan dia harus dianggap
baik, karena dia benar-benar telah berubah. Dia segera akan menjadi orang
Budiman dan mencapai kedamaian yang abadi. Sebenarnya tujuan dari pada Bhakti
yoga atau semua yoga adalah penyerahan tanpa syarat dan menyeluruh dari sifat
aku atau Diri yang lebih rendah pada Tuhan atau Diri yang tertinggi. Bila
rintangan sifat ego itu bisa dihilangkan, apakah dengan mengikuti jalan dnegan
ilmu pengetahuan, perbuatan kasih saying atau meditasi, dengans atu cara atau
dengan semua cara ini, Tuhan dari alam semesta ini Yang Maha Tahu, ada di
mana-mana, dan yanga abadi itu, akan dinyatakan sebagai Tuhan yang ada dihati
atau Diri yang tertinggi. (Prabhavananda, 1995 : 76)
III. PENUTUP
3.1 Simpulan
Bhagavad Gita adalah
sebagai Pancamo Veda yang bersifat suplemen, ajarannya bersifat mistik dan
rahasia,sehingga dikenal dengan kitab Gita Rahasia. Tidak hanya itu Bhagavad
Gita juga merupakan kitab Yoga karena pokok-pokok ajaran di semua bab yang
terdapat dalam Bhagavad Gita adalah ajaran Yoga itu sendiri. Bhagavad Gita terdiri
dari kata Bhagavad dan Gita yang berarti “Lagu dari Tuhan”.
juga menyatakan bahwa yoga merupakan suatu keadaan yang bebas dari
penderitaan dan kesedihan.
Ada tiga rahasia yang terdapat dalam Gita yaitu yang pertama, seseorang harus melakukan semua tugasnya di dunia,
meninggalkan semua ikatan untuk mendapatkan hasil dari tindakan kita. Yang kedua, seseorang harus membedakan antara
dirinya dan yang bukan dirinya. Yang ketiga,
seseorang harus menyadari bahwa semuanya yang ada, bergerak atau tidak
bergerak, terlihat ataupun tidak terlihat, tiada bukan adalah Brahman. Bhagavad
Gita menganjurkan empat jalan untuk mencapai kebebasan (moksa) terdiri dari: tindakan/perbuatan (Karma Yoga), meditasi (Raja
Yoga), pengabdian dan cinta kasih (Bhakti
Yoga), dan melalui pengetahuan (Jnana
Yoga).
DAFTAR PUSTAKA
Drucker, A. 1991. Intisari Bhagavad Gita. Surabaya : Paramita
Kamajaya, Gede. 1998. Yoga Kundalini. Surabaya: Paramita.
Narayana, Bhagavan Sathya. 1999. Pancaran Bhagavatam (Bagavata Vahini Bagian
I). Surabaya: Paramita.
Pandit, Bansi. 2006. Pemikiran Hindu. Surabaya: Paramita.
Prabhavananda, Svami. 1996. Amanat Bhagavad Gita. Denpasar: Upada
Sastra.
Prabhupada, Sri.Srimad A.C.Bhaktivedanta Svami. Bhagavad Gita Menurut Aslinya. Hanuman
Sakti.
Prabhupada, Sri.Srimad A.C.Bhaktivedanta Svami. Srimad Bhagavatam. Hanuman Sakti.
Pudja, G. 1999. Bhagavad
Gita (Pancamo Veda). Surabaya : Paramita.
Sivananda, Sri Svami. 2003. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya:
Paramita.
Sunetra, I Made. 2004. Laya Yoga. Surabaya: Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...