I. PENDAHULUAN
Sesungguhnya, setiap agama yang ada dan berkembang dimuka
bumi ini, bertitik tolak kepada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Banyak hal yang mendorong kita harus percaya terhadap adanya Tuhan itu dan
berlaku secara alami. Adanya gejala atau kejadian dan keajaiban di dunia ini,
menyebabkan kepercayaan itu semakin mantap. Semuanya itu pasti ada sebab-
musababnya, dan muara yang terakhir adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhanlah yang
mengatur semuanya ini, Tuhan pula sebagai penyebab pertama segala yang ada.
Kendati kita tidak boleh cepat-cepat percaya kepada
sesuatu, namun percaya itu penting dalam kehidupan ini. Banyak sekali kegiatan
yang kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari hanyalah berdasarkan
kepercayaan saja. Setiap hari kita mneyaksikan matahari terbit dan tenggelam.
Demikian pula adanya bulan dan bintang yang hadir di langit dengan teratur.
Belum lagi oleh adanya berbagai mahluk hidup dan hal-hal lain yang dapat
menjadikan kita semakin tertegun menyaksikannya. Adanya pergantian siang
menjadi malam, adanya kelahiran, usia tua, dan kematian, semuanya ini
mengantarkan kita harus percaya kepada Tuhan, bahwa Tuhanlah yang merupakan
sumber dari segala yang terjadi di alam semesta ini.
Karena agama itu adalah kepercayaan, maka dengan agama
pula kita akan merasa mempunyai suatu pegangan iman yang menambatkan kita pada
satu pegangan yang kokoh. Pegangan itu tiada lain adalah Tuhan, yang merupakan
sumber dari semua yang ada dan yang terjadi. Kepada-Nya-lah kita memasrahkan
diri, karena tidak ada tempat lain dari pada-Nya tempat kita kembali. Keimanan
kepada Tuhan ini merupakan dasar kepercayaan agama Hindu. Inilah yang menjadi
pokok-pokok keimanan agama Hindu.
Adapun pokok-pokok keimanan dalam agama Hindu dapat
dibagi menjadi lima bagian yang disebut dengan Panca Sraddha, yaitu percaya
adanya Tuhan (Brahman/Hyang Widhi), percaya adalanya Atman, percaya adanya
Hukum Karma Phala, percaya adanya Punarbhawa (Reinkarnasi/Samsara) dan percaya
adanya Moksa. Di dalam Siwa Tattwa dijelaskan pula bahwa ajaran-ajaran seperti
tersebut di atas sering disebut ajaran Saivasiddhanta.
Siva siddhanta merupakan kesimpulan dari
masing-masing ajaran dari sekte-sekte yang ada mengalami kristalisasi kedalam
sekte siva siddhanta. Siva siddhanta artinya suatu ajaran yang guna mencapai
pribadi dan kebenaran yang tertinggi atau yang utama.
Di
Bali sumber ajaran siva siddhanta terdaapt 4 kelompok yaitu kelompok weda,
tattwa, ethika, dan upacara. Yang termasuk kelompok tattwa yaitu: Bhuwana kosa,
wrhaspati tattwa, siwa gama, siwa tattwa, purana, gong besi, ganapati tattwa,
tattwa jnana dan jnana siddhanta.
Bhuwana
kosa merupakan salah satu sumber ajaran dari siva siddhanta, dan lontar ini
dipandang sebagai lontar tertua yang terdiri dari 11 bab yang disebut dengan
jumblah sloka 487 sloka. Secara gari besar Bhuwana kosa dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu:
Brahmarahsyam yang berisi tentang percakapan antara Srimuni Bargawa dengan
Bhatara Siwa. Dan bagian kedua tentang Jnana-rahasyam yang berisi percakapan
antara Bhatara Siwa dengan Bhatari Uma dan Sang Kumara tentang pengetahuan
untuk memahami Siwa yang bersifat sangat rahasia.
Adapun
ajaran yang dijelaskan dalam Bhuwana kosa menyangkut tentang Tuhan dalam
Bhuwana kosa yang disebut Bhatara Siwa, yang tak terpikirkan, tak tercampur,
tak bergerak, tak terbatas. Dan bersifat imanen dan transenden. Serta terdapat
proses penciptaan alam semesta (bhuwana agung) dengan segala isinya, dan
manusia (bhuana alit), yang semua ciptaannya bersifat maya yang tidak kekal,
karena mengalami kehancuran. Pada saat mngalami kehancuran semua ciptaaanya
akan kembali kepadanya. Karena ia merupakan asal dari semuanya.
Dalam artikel ini kelompok kami akan membahas
tentang esensi ajaran Bhuwaana kosa, yang merupakan sumber ajaran dari siva
siddhanta yang dapat dijadikan media dalam memudahkan pemahaman tentang ajaran
siva siddhanta.
II. PEMBAHASAN
2.1 Konsep Brahma Vidya Dalam Bhuwana Kosa
Pudja (1999:3) mengatakan brahmavidya atau brahma jnana
tattva adalah ilmu tentang Tuhan. Jadi, dalam kitab suci Hindu ilmu yang
mempelajari tentang Tuhan dinamakan brahma vidya atau brahma tattva jnana.
Brahma diartikan Tuhan, yaitu gelar yang diberikan kepada Tuhan sebagai unsur
yang memberikan kehidupan pada semua ciptaanNya, Yang Maha Kuasa. Vidya atau
Jnana kedua-duanya artinya sama yaitu ilmu. Tattva berarti hakikat tentang Tat
atau “Itu”, yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguna Brahman. Tattva Jnana artinya sama
dengan ilmu tentang hakikat, yaitu ilmu tentang Tuhan.
Berdasarkan uraian tersebut yang dimaksud dengan brahmavidya dalam agama Hindu adalah
brahma tattwa jnana, yaitu ilmu tentang Tuhan. Ajaran Hindu adalah bersifat
monoteistis, yaitu menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Dikatakan demikian karena di
dalam Chandogya-Upanisad, IV.2.1 ditegaskan “Ekam Eva Advityam Brahman”, (“Hanya ada satu Tuhan (Brahman) tidak
ada yang kedua”). Pada mantram Trisandhya dikatakan “Eko Narayanaa na dwityo’sti kaccit”. (‘Tuhan hanya satu, sama
sekali tidak ada duanya (yang kedua)’). Di dalam Rg. Weda I.164.46. disebutkan
“Ekam Sat Viprah bahudha vadanti”,
(“Hanya terdapat satu Kebenaran Yang Mutlak, orang bijaksana (resi) menyebut
dengan banyak nama”). Dalam Kakawin Arjuna Wiwaha disebutkan, “Wahyadhyatmika sembahing hulun i jong ta tan
hana waneh”. (‘Lahir batin sembah hamba ke hadapan Tuhan tak ada yang
lainnya’). Demikian pula dalam mantra, Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi
Wasa) diwujudkan sebagai pranawa dengan suku kata suci OM.
Dalam Siwa Tattwa (1999:25) disebutkan bahwa Tuhan dalam
agama Hindu Indonesia adalah Sang Hyang Widhi Wasa. Nama ini berarti Yang
Menakdirkan, Yang Maha Kuasa, yang dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan Sang
Hyang Tuduh atau Sang Hyang Titah. Dalam sastra-sastra, baik lontar maupun
dalam puja astawa saat upacara keagamaan Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa
disebut dengan Bhatara Siwa. Artinya, umat Hindu di Indonesia termasuk di Bali
yang telah memeluk agama Hindu secara turun temurun adalah memuja Tuhan atau
Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Bhatara Siwa.
Brahman memiliki dua aspek, yaitu Saguna Brahman dan
Nirguna Brahman. Nirguna Brahman disebut Para Brahman, yaitu Brahman Tertinggi
adalah Brahman yang bebas dari guna, Brahman yang tak terbatas, tak
terkondisikan dan tanpa sifat. Ia tidak dapat dipahami. Dalam Bhagawadgita.
VIII. 3 Sri Bhagavan bersabda, “Yang
kekal abadi, maha Agung, adalah Brahman; persemayaman-Nya dalam badan individu
dinamakan adhyatman; karma adalah nama yang diberikan kepada persembahan yang
melahirkan makhluk hidup di dunia”. Ia tanpa ruang, tanpa waktu, tanpa
sebab, tidak berpribadi. Ia tak berawal, tiada pertengahan, tiada berakhir,
berada di mana-mana. Dalam Bhagawadgita. IX. 18 dijelaskan bahwa “Aku adalah tujuan, pengemban, penguasa, Aku
adalah saksi, tempat kediaman, tempat perlindungan; Aku adalah kawan, asal
mula, akhir kesudahan; Aku adalah dasar, tempat penyimpanan, benih abadi”.
Bhagawadgita. IX. 19 “Aku adalah
pemberani, kehangatan, menahan dan menurunkan hujan, Aku adalah keabadian dan
kematian, sat dan asat, wahai Arjuna.
Saguna Brahman yang juga disebut Apara Brahman adalah Ia
yang Kuasa yang terbatas, yang tersangkut dengan dunia pengalaman dan jiwa
perseorangan. Ia adalah Isvara. Hal ini dijelaskan dalam Bhagawadgita, IV.6
bahwa “Walaupun Aku tak terlahirkan,
kekal, Aku adalah Isvara dari semua makhluk, Aku menjadikan diriKu sendiri dan
menjadi ada dengan kekuatan Maya-Ku”. Ia yang menciptakan, memelihara, dan
melebur dunia ini. Hal ini diuraikan dalam Bhagwadgita, XIV. 3 dan 4, yaitu “Kandungan Ku adalah Maha Brahma (prakrti)
dimana aku meletakkan benih (kehidupan) di dalamnya dan dari sanalah adanya
semua kelahiran makhluk ini, wahai Arjuna”. “Apapun wujud yang lahir itu, wahai Arjuna, pada kandungan siapapun,
Maha Brahma adalah kandungannya dan Aku adalah bapak pemberi benih”. Manawa
Dharmasastra, I. 8, juga menjelaskan bahwa “Tuhan menciptakan dari dirinya
sendiri semua makhluk hidup yang beraneka ragam”. Ia yang hadir di mana-mana,
maha tahu, maha kuasa, pengendali jiwa perseorangan, dan pengendali alam
semesta. Hal ini dijelaskan dalam Bhagawadgita, IX. 4 bahwa “Alam semesta ini
diliputi oleh-Ku dengan wujudKu yang tak nyata”. Ia adalah penguasa hukum karma
dan moral. Hal ini dijelaskan dalam Bhagawadgita. IX. 17 bahwa “Aku adalah
Bapa, Ibu, Pelindung, dan Datuk alam semesta ini, Aku adalah objek ilmu
pengetahuan, pensuci, Aku adalah Omkara, dan juga Rg, Sama, dan Yayuh”.
Masyarakat Hindu di Bali lebih mengenal Brahma Vidya atau
Brahma Jnana Tattwa dengan sebutan Tattwa yang berarti hakikat tentang Tat atau
“Itu”, yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguna Brahman. Hal ini diterima sebagai salah
aspek dari agama Hindu di Indonesia (Bali), di samping Susila dan Acara
(Upacara). Ketiganya itu, yaitu tattwa, susila, dan acara dikenal sebagai
kerangka dasar agama Hindu di Bali. Ajaran tattwa lebih dikenal dengan sebutan
Siwatattwa yang merupakan kelompok lontar tattwa yang bersifat siwaistik.
Termasuk ke dalam golongan ini, antara lain Buana Kosa, Wrspatitattwa, Tattwajnana,
Sang Hyang Mahajanana, Ganapatitattwa, Buana Sangksepa, dan Jnanasiddhanta.
Lontar yang disebutkan pertama sajalah yang akan dijadikan pusat bahasan pada
kajian ini seperti dijelaskan berikut di bawah ini.
Bhuwana
Kosa adalah sebuah lontar yang tergolong jenis tattwa atau tutur yang bercorak
Siwaistik. Lontar ini merupakan yang tertua hal ini tampak dari adanya teks
Sansekertanya yang jumlahnya banyak, bahkan lebih banyak dari uraiannya dalam
bahasa Jawa Kuna dan keadaan teksnya cukup baik. Lontar ini
terdiri atas sebelas bab yang disebut dengan patalah dan 487 sloka. Pokok-pokok
isi secara keseluruhan Bhuwana Kosa (Brahma Rahasyam) alih aksara dan alih
bahasa, 1994, diterjemahkan oleh tim penerjemah yang terdiri atas Rai Mirsha,
Sura, Maka, Djapa, Sujana dan Sunu diterbitkan oleh Upada Sastra di Denpasar
dapat distrukturisasi sebagai berikut.
(1) Patalah I berjudul Brahma Rahasyam,
Pretamah Patalah terdiri atas 33 sloka.
(2) Patalah II berjudul Brahma Rahasyam,
Dwitiyah Patalah terdiri atas 20 sloka.
(3) Patalah III berjudul Brahma
Rahasyam, Tritiyah Patalah terdiri atas 80 sloka.
(4) Patalah IV berjudul Buana Kosa,
Catur Patalah terdiri atas 76 sloka.
(5) Patalah V berjudul Brahma Rahasyam,
Panca Patalah terdiri atas 52 sloka.
(6) Patalah VI berjudul Jnana Siddhanta,
Pretamah Patalah terdiri atas 4 sloka.
(7) Patalah VII berjudul Basma Mantra
terdiri atas 30 sloka.
(8) Patalah VIII berjudul Jnana
Sangksepa terdiri atas 40 sloka.
(9) Patalah IX berjudul Buana Kosa, Nawa
Patalah terdiri atas 44 sloka.
(10) Patalah X berjudul Siddhanta
Sastra, Dasa Patalah terdiri atas 35 sloka.
(11) Patalah XI
berjudul Buana Kosa, Siwopadesa Samaptam terdiri atas 75 sloka.
Adapun kesebelas topik pembahasan dalam 11 patala
diantaranya: (1) Brahma Rahasyam, Prathama Patala (Rahasia Brahma Yang Pertama)
yang menjelaskan rahasya Tuhan Yang Maha Esa yang disebut sebagai Siva yang
bersemayam dalam hati yang dapat dilihat oleh seorang Yogisvara. (2) Brahma
Rahasyam, Dvitiya Patala (Rahasia Brahma yang Kedua) yang menjelaskan rahasya
Tuhan YangMaha Esa menciptakan alam semesta, sapta loka dan makhluk hidup
lainnya serta sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa yang Nirguna. (3) Brahma
Rahasyam, Tritiya Patala (Rahasia Brahma yang Ketiga) yang menjelaskan rahasya
Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sang Hyang Rudra yang bersatu dengan Sang Hyang
Siva. (4) Bhuwanakosa Caturta patala (Bhuvanakosa yang menjelaskan unsur-unsur
jagat raya dari yang halus (Panca Tan Mantra) dan yang lebih kasar (Panca maha
Bhuta), Buddhi, Manas, ahamkara dan Triguna. (5) Brahma Rahasyam, Pancama
Patala (Rahasia Brahma yang Kelima) yang menjelaskan rahasya Tuhan Yang Maha
Esa tentang alam Kaivalya, Jagrapada, Supta, dan Svapana serta perjalanan roh
meninggalkan badan menuju alam yang murni yang menjadi tujuan para pandita. (6)
Jnana Siddhanta Sastram Prathama Patala (Pengetahuan Jnana Siddhanta yang
Pertama) yang menyatakan seorang Pandita hendaknya memahami Siddhanta. (7)
Bhasma Mantra sakala vidhi sastram Dvitiya Patala (Pengetahuan tentang mantra
abu suci yang Kedua) menjelaskan tentang manifestasi-Nya yang utama, yakni
Brahma, Visnu, dan Siva, aksara yang berkaitan dengan Dewa-Dewa tersebut serta
posisinya dalam tubuh manusia. (8) Jnana Samksepa (Simpulan Ajaran) menjelaskan
tentang pahala penyucian diri. (9) Bhuvana Kosa Nava Patala (Bhuvana Kosa yang
Kesembilan) menjelaskan tentang mudra (sikap tangan) dan arcana (tata cara
pemujaan). (10) Siddhanta Sastra, Dasama Patala (Pengetahuan Siddhanta yang
Kesepuluh) menjelaskan bagaimana seorang pandita menghadapi kematian sehingga
menuju Sang Hyang Siva. Dijelaskan pula tentang Yoga Sandhi. Lepasnya atma
melalui ubun-ubun (Sivadvara). (11) Bhuvana Kosa, Sivopadesa Sampta (Bhuwana
Kosa, Ajaran Siva yang tertakhir). Merupakan bagian akhir dari Bhuvana Kosa
ajaran Siva menjelaskan aksara suci perwujudan Tuhan Yang Maha Esa (Pranava)
dan prosesnya menjadi berbagai aksara dalam alam semesta serta tubuh manusia,
kemudian dari berbagai aksara itu kembali kepada asalnya (Gunawan, 2012:53-54).
2.2 Pokok-Pokok Ajaran Siva Siddhanta Yang
Terkandung Dalam Bhuwana Kosa
Secara garis besarnya isi Buana Kosa dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu pertama Brahmarahasyam
dan kedua Jnanarahasyam. Brahmarahasyam berisi percakapan antara
Srimuni Bhargawan dan Bhatara Siwa tentang Siwa yang bersifat sangat rahasia.
Percakapan ini diuraikan dalam patalah I sampai dengan patalah V. Selanjutnya, Jnanarahasyam berisi percakapan antara
Bhatara Siwa dengan Bhatari Uma dan Sang Kumara, yaitu tentang pengetahuan
untuk memahami Siwa yang bersifat rahasia. Percakapan ini diuraikan dari
patalah VI sampai dengan patalah XI.
Tuhan dalam Buana Kosa disebut dengan Bhatara Siwa, Yang
Maha Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak
bergerak, tak terbatas, tak termusnahkan, dan sebagainya. Hal ini diuraikan
dalam Buana Kosa, I. 19, yaitu “Tan
kareketan mala, tan palwir, tan pagatra, wypaka, yonggwan Sang Hyang Astasiwa,
tar pacala, wisesa ya”, (Tanpa dosa, tanpa wujud, tanpa rupa, tetapi
menguasai atau memenuhi alam. Itu tempat bersemayam Sang Hyang Astasiwa, sangat
utama tanpa cela). Hal ini diuraikan pula dalam Buana Kosa, IV.44 disebutkan
bahwa “Gunottamah niralambhah, nirgotra
nissaraninah, ati parama sunyantam, nirbhanan niskalam prabhuh. Uttama ta sira
dening asta guna, nirrassraya tar pagotra, tan pawak, atisaya ta sira ring
wisesa, sunya malilang tejanira”, (Beliau sangat utama, karena memiliki
delapan keakhlian, tanpa bantuan, tanpa rupa dan tanpa wujud, sangat sakti,
sinar beliau sangat halus dan cemerlang).
Bhatara Siwa sebagai Tuhan Yang Maha Esa dalam alam Brahma
dijelaskan dalam Buana Kosa. II. 14, yaitu “Na
rupam (ia yang tanpa rupa), na
warnnam (tanpa warna), na rasam
(tanpa rasa), na gandham (tanpa bau),
na sabdam (tanpa suara), asparam (tak teraba), anamayam (tak terkena sakit), acintyam (tak terpikirkan), anadi madhyantam (tanpa awal, tanpa
pertengahan, tanpa akhir, tanpa batas), asangkirnnan
(tak tercampur), agatham (tanpa
wujud), aracanam (tanpa rupa dan
warna), adwityam (tak ada yang
melebihi dalam hal keunggulan), na
calitam (tak goyah), alinggakam
(tanpa lingga), acyutam (tak susut), aksayam (tidak berkurang), anirgatam
(tanpa perbuatan), aspreham (tanpa keinginan), agarbbha janma maranam (tidak
lahir dari kandungan dan tanpa kematian), arogam (tanpa sakit), asokam (tanpa
susah), awedhanam (tanpa penderitaan), asangsaram (tanpa sangsara), nirmalam
(tanpa noda), na kalam (tanpa waktu), na kasam (tanpa angkasa), na samwatsara
(tanpa tahun, tanpa musim, tanpa bulan, tanpa siang dan malam), asandhyangsam
(tanpa senja kala), na muhurta (tanpa kurun waktu), na welakastam (tanpa
matahari berjalan kearah utara, tanpa matahari berjalan di tengah-tengah), na
daksinayanam (tanpa matahari berjalan di garis Khatulistiwa), animepyam (tanpa
kerdip, tenang), sunyam (sepi), dhyawan (selalu ingat), waran (utama), satyam
(setia), witam (sangat sepi dan hampa), swaccam (bersih), kewalyam (hampa),
nirasrayam (tanpa bantuan atau perlidungan), Siwam (ia juga disebut Siwa),
moksam (ia itu kebebasan yang sejati), nirasradham (tanpa iri hati), nirbanam
(itu nirwana), Param Brahma (ia adalah Brahma tertinggi), nirakaram (tidak
dapat diumpamakan), na bhaya (tidak terkena bahaya), amretam (tanpa kematian),
etam brahmani (demikian wujud alam Brahma).
Bhatara Siwa berada di mana-mana, sangat halus, tak
terjangkau, dan tak terpikirkan oleh panca indriya dan pikiran manusia. Hal ini
diuraikan dalam Buana Kosa, II.17, yaitu “Bhatara Siwa wyapaka, sira suksma tar
keneng angen-angen, kadyangga ning akasa, tan kagrehita dening manah, mwang indriya”.
(Sang Hyang Siwa ada di mana-mana, tetapi sangat halus tidak dapat dibayangkan
atau dipikirkan. Beliau bagaikan angkasa tidak terjangkau oleh pikiran dan
panca indriya). Bhatara Siwa, juga dikatakan menguasai pengetahuan, tanpa awal,
tanpa pertengahan, dan tanpa akhir seperti diuraikan dalam Buana Kosa, IV:40,
yaitu “Tan padi tan pamaddhya tan panta, wihikan ta sireng sarwwijnana kabeh,
nitya ta sira haneng tapo loka, tan kena ring tuhapati”, (Tanpa awal, tanpa
pertengahan dan tanpa akhir, Beliau menguasai semua pengetahuan, selalu tinggal
di Tapa Loka, terhindar dari ketuaan dan kematian).
Ia tak terbatas digambarkan secara terbatas. Oleh karena
itu Ia sering disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti Brahma, Wisnu,
Iswara atau Rudra sesuai dengan tugas dan fungsinya. Bhawa, Pasupati, Sarwajna,
sesuai dengan tempat yang ditempatinya. Dalam Buana Kosa, III:9 ditegaskan
bahwa “Nihan wibhaga munggwirikang tattwa
kabeh, Sarwajnana ngaranya yang andel ing prethiwi, Bhawa ngaranira yang andel
ing toya, Pasupati ngaranira yan andel ing Sang Hyang Agni, Isana ngaranira yan
umandel ing bayu”, (Itulah perincian Bhatara yang berada pada semua tattwa,
Sarwajna namanya bila Ia berada pada tanah, Bhawa namanya bila Ia berada pada
air, Pasupati namanya bila Ia berada pada api, Isana namanya bila Ia berada
pada angin).
Sadyojata, Bhamadewa, Tatpurusa, Aghora, dan Isana dalam
Panca Brahma. Dalam Rg. Veda I. 164. 46 disebutkan bahwa “Indram mitram Varuna
agnim ahur atho dvyah sasuparno garutman, ekam sad vipra bahudha vadanty agnim
yaman matarisvanam ahuh”. (Mereka menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan
Dia yang bercahaya yaitu Garutman yang bersaayap elok, Satu itu (Tuhan) sang
bijaksana menyebut dengan banyak nama seperti Agni, Yama, Matarisvan).
Nama-nama Bhatara Siwa diuraikan secara lebih terperinci
dalam Buana Kosa. III:10, yaitu “Bhima
ngaranira yang haneng akasa, kinahanan ta sira de ning asta guna, Mahadewa
ngaranira yan haneng manah, tan pawak, Ugra ngaranira yan haneng panca
tanmatra, Rudra ngaranira yan haneng teja, makawak ahangkara”. (Bhima
namanya, bila Ia berada pada angka, Ia ditempati oleh asta guna,. Mahadewa
namanya bila Ia berada pada pikiran, Ia tanpa badan. Ugra namanya bila Ia
berada pada panca tanmatra. Rudra namanya bila Ia berada pada sinar, Ia
berbadankan ahangkara).
Dalam Lontar Bhuwana Kosa, Brahma Rahasya Tritiyah Patalah,
III.12 disebutkan: katinah sarwwato
bhumih, drawatwam sarwwato jalam, usnatwam sarwwato bahnih, calitwam sarwwato
nilah. ikang makas ring sarira, prettiwi ika, ikang drawa ring sarira, apah
ika, ikang molah ring sarira, bayu ika.
Terjemahannya:
Segala yang keras pada
tubuh (daging dan tulang) itulah Pretiwi, yang cair pada tubuh (darah, kecing
dan air kelenjar) itulah Apah, dan yang bergerak pada tubuh (udara dalam peparu
dan jantung) itulah Bayu.
Selanjutnya III.13:
Samiratwam
tatha kasam, sangkalpam sarwwato manah, etat bhutwa sarirakyam, bhotika nabhi
rusyate. lyang ning sarira kabeh pinaka hawa ning bayu, ya akasa bhuta, ngaran.
ikang manah sangkalpa ring sarira, manah ika, nahan tatwani sarira panca maha
bhuta inajaraken, aghora wijanya, ring nabhi sthana, ong ang, namah.
Terjemahannya:
Semua lubang pada tubuh
(telinga 2, mata 2, hidung 2, mulut, dubur, kelamin) merupakan jalan nafas/
udara itulah perwujudan Akasa. Pikiran yang selalu penuh dengan keinginan pada
diri kita itulah Manah. Demikianlah lima unsur kehidupan (Panca Maha Bhuta)
yang Aku jelaskan. Manifestasi Aghora bersemayam di pusar, Ong, Ang aksara
suci-Nya.
Jadi memelihara alam adalah pekerjaan yang sangat mulia,
karena dengan jalan itu manusia menunjukkan bhakti yang nyata kepada Ida
Sanghyang Widhi. Bila kita sayang kepada diri kita, maka sayangilah alam,
karena tubuh manusia diciptakan-Nya dari alam. Oleh karena itu di Bali dikenal
adanya Bhuwana Agung, yaitu alam semesta dan Bhuwana Alit, yaitu tubuh manusia,
kedua-duanya identik dan mempunyai unsur-unsur yang sama.
Ia bersifat immanent
dan transcedent, artinya Ia meresapi
segala, hadir pada segala termasuk pada pikiran dan indriya (sira wyapaka).
Transcedent, artinya Ia meliputi segala, tetapi Ia berada di luar batas pikiran
dan indriya. Immanent, artinya hadir di mana-mana. Dalam Buana Kosa, I:10
ditegaskan bahwa “Lwir Bhatara Siwa hane
ri ya, wyapaka nitya, menget sira tan cala, maweh sira kawruhana dening nina
jnana, sira tamar cala irikang jagat kabeh, sthawara janggamarawaknya”,
(Keberadaan Sang Hyang Siwa di sana, selalu menyusupi segala, selalu sadar dan
tak bergerak, sulit diketahui oleh orang yang tidak berilmu pengetahuan,
Beliaulah menggerakkan seluruh dunia, baik tumbuh-tumbuhan maupun binatang).
Dalam Buana Kosa. III. 8 dinyatakan bahwa “Ika
ta kapasangan ikan tattwa rudradi, ya ta pinaka sarira jagat kabeh, sira wypaka
ring rat, sira wisesa, sira mungguh ring tattwa akabeh”. (Itulah rangkaian
tattwa Rudra dan sebagainya. Itulah dijadikan badannya bumi seluruhnya. Adapun
Bhatara Siwa, Ia meresapi seluruh dunia. Ia amat utama, berada pada semua
tattwa (unsur).
Meskipun Ia ini immanent dan transcedent pada semua
makhluk, tetapi Ia tidak dapat dilihat dengan kasat mata karena Ia bersifat sangat
rahasia, abstrak. Oleh karena kerahasiaannya dalam kakawin Arjuna Wiwaha Ia
digambarkan bagaikan api dalam kayu, minyak dalam santan. Dalam Buana Kosa, II.
18 juga dinyatakan bahwa “Sang hyang Apuy
hanerikang kayu-kayu, andatan katon, makanimitra suksmanira, yatha,
kadyangganing akasa, mangkana ta Bhatara Mahadewa, an hana ring sarwa mawak,
ndatar kapangguh sira, makanimitta ng suksmanira”. (Api itu ada pada kayu,
namun tidak kelihatan, karena halusnya, ibarat angkasa. Demikianlah Sanghyang
Mahadewa, hadir pada semua yang berwujud, tetapi tidak tampak, karena
halusnya). Ia ada di mana-mana, pada semua yang ada ini. Ia tidak tampak,
tetapi Ia ada. Sungguh sangat rahasia adanya. Dalam Buana Kosa II. 16 diuraikan
bahwa “Bhatara Siwa sira wyapaka, sira
suksma tar kneng angen-angen, kadyangga ning akasa de ning manah mwang indriya”.
(Bhatara Siwa meresapi segala, Ia gaib tak dapat dipikirkan, Ia seperti
angkasa, tak terjangkau oleh pikiran dan indriya).
Ia adalah asal dari semua yang ada ini (sangkeng bhatara
Siwa sangkanya). Alam semesta (bhuwana agung) dengan segala isinya, dan juga
manusia (bhuwana alit) adalah ciptaan-Nya. Hal ini diuraikan dalam Buana Kosa,
III:67 bahwa “Matangnyan mangkana, apan
ikang satwa kabeh lingging tatwa, sangkeng Bhatara Siwa sangkanya, sira pinaka
sarira tatwaning satwa kabeh, apan sira karananing dadi kabeh, yata katuturana
de sang weruh ring tatwa”, (Apa sebab demikian, karena semua anazir-anasir
atau unsur pada hakikatnya bersumber dari Sang Hyang Siwa. Beliaulah menjadi
inti jasad anazir-anazir atau unsur, dan Beliau pula yang menyebabkan adanya
semua yang ada. Hal itulah yang patut dihayati noleh orrang yang tahu akan
hakikat hidup). Penampakan Bhatara Siwa dalam menciptakan dunia disebutkan
dalam Buana Kosa, III:76 bahwa “Lwir Bhatara Siwa magawe jagat, Brahma rupa
siran pangraksa jagat, Wisnu rupa siran pangraksa jagat, Rudra rupa sira
mralayaken rat, nahan tawak nira, bheda nama”, (Brahma wujud-Nya waktu
menciptakan dunia ini, Wisnu wujud-Nya waktu memelihara dunia ini, Rudra
wujud-Nya waktu mempralina dunia ini, Demikianlah tiga wujud-Nya (Trimurti)
hanya beda nama). Bhatara Siwa sebagai Brahma, Wisnu dan Rudra, dalam aksara
dilambangkan sebagai Am Um Mam, kesatuan ketiganya adalah Om.
Aktivitas Bhatara Siwa pada waktu mencipta dunia disebut utpatti, pada waktu menjaga dan
memeliharanya disebut sthiti, dan
pada waktu mengembalikan kepada asalnya disebut pralina. Dalam Buana Kosa, VII:25 disebutkan bahwa “Bhatara Brahma sirotpatti, Bhatara Wisnu
sira sthiti, Bhatara Rudra sira pralina, nahan tang tiga pinaka sarana ring
loka”, (Bhatara Brahma adalah pencipta, Bhatara Wisnu adalah yang
memelihara, Rudra adalah pamralina. Demikianlah Dewa yang tiga itu sebagai
pelindung). Hal ini diuraikan pula dalam Buana Kosa, VII:27, yaitu “Sang Hyang Brahma sira magawe jagat, Sang
Hyang Wisnu sira rumakseng praja, Bhatara Rudra sira mralayaken rat, ikang rat
mwang athawara janggama, yeka pinralinaken de sang Hyang Rudra”, (Sang
Brahma menciptakan dunia, Sang Hyang Wisnu melindungi dunia, Sang Hyang Rudra
melebur dunia dengan segala isinya, baik yang tidak bergerak maupun yang
bergerak. Itu semua diatur oleh Sang Hyang Rudra).
Semua ciptaan-Nya itu merupakan wujud mayanya yang bersifat
tidak kekal. Dikatakan demikian karena segala wujud ciptaan-Nya itu dapat
mengalami kehancuran. Pada saat mengalami kehancuran semua ciptaan-Nya itu akan
kembali kepada-Nya. Mengingat Ia adalah asal dan tujuan semua yang ada ini
(mijil sakeng sira, lina ri sira muwah). Dalam Buana Kosa, III:80 disebutkan
bahwa “Sakweh ning jagat kabeh, mijil
sangkeng Bhatara Siwa ika, lina ring Bhatara Siwa ya”, (Seluruh alam ini
muncul dari Bhatara Siwa, lenyap kembali kepada Bhatara Siwa juga). Hal ini,
dijelaskan pula dalam Buana Kosa, III:69 bahwa “Mangkana pwa Bhatara Siwa, irikang tattwa kabeh, ri wekasan lina ri
sira muwah, nihan dretopamanya, kadyanggining wereh makweh wijilnya, tunggal ya
sakeng wway”, (Demikianlah Sang Hyang Siwa pada semua unsur, pada akhirnya
semuanya itu akan lenyap kembali pada Beliau. Begini ibaratnya, seperti buih
banyak sekali muncul, tetapi sumbernya satu yaitu air). Mengenai peleburan
dunia ini diuraikan pula dalam Buana Kosa. III. 71, yaitu “Sira Bhatara Rudra, nga, sira ta rumaksa ikang rat kabeh, yawat ri kalaniran
pangraksa, tawat irika ta ya hananya nitya, anglinaken pwa sira wekasan,
umantuk ta ya kabeh ri sira juga”, (Beliau Sang Hyang Rudra, Beliau menjaga
seluruh dunia. Pada saat Beliau menjaga, pada saat itulah keadaannya kekal.
Akhirnya, juga melebur dan akhirnya semua itu akan kembali juga pada Beliau).
2.3 Hakekat Brahman Dalam Bhuwana Kosa
Terciptanya bhwana agung dan bhwana alit terjamah oleh panca maha bhuta (pertiwi, apah, bayu,
teja, akasa). Unsur–unsur ini adalah unsur maya dari Brahman. Hal itu
disebabkan bathara Siwa meresap kedalam ciptaannya, sehingga badan yang selama
ini kita banggakan karena kegantengannya, kecantikannya menjadi seolah – olah
nyata (hidup). Semua itu disebabkan oleh karena belenggu ikatan atma terhadap
pengaruh indria atau unsur maya, yang menyebabkan keberadaan atma menjadi
awidya. Sesungguhnya apabila kita menyadari keberadaan Brahman (Siwa), maka
belenggu ikatan duniawi akan lepas dan menyadari bahwa “ yang hidup akan selalu hidup yang tak hidup takkan pernah hidup, karena
tak pernah ada kemataian”.
Proses penciptaannya terjadi secara bertahap dari
penciptaan purusa yang pertama oleh bathara Siwa sampai padap penciptaan yang
terkhir yaitu pertiwi, sebagai berikut:
Proses penciptaan
bhwana agung:
Zat kehidupan
|
Tahapan penciptaan benih alam
|
Sifat
|
|
Bathara Siwa
|
|
|
Purusa
|
Sinar matahari
|
|
Awyakta
|
Tamah
|
|
Budhi
|
Satwam
|
|
Ahamkara
|
Rajas
|
|
Panca tan matra
|
Tamas
|
|
Manah
|
Ingin, bimbang
|
Telinga, hati, dubur,
kemaluan, tulang
|
Akasa
|
Suara
|
Prana, apana, samana,
udana, byana
|
Bayu
|
Suara, senBrahman
|
Maha agni, grhaspatyagni,
daksinagni
|
Agni
|
Suara, rupa
|
Darah, najis, air kemih,
keringat, ludah, sumsum, otak
|
Apah
|
Suara, rupa, rasa
|
Daging, tulang, otot
rambut, bulu kaki, buah pinggang, paru – paru, jantung, hati, limpa
|
Pertiwi
|
Suara, senBrahman, rupa, rasa, bau.
|
Sumber: (proyek peningkatan sarana dan prasarana
kehidupan beragama, 1999/2000; 2 - 3)
Sedangkan
proses meleburnya semua ciptaan-Nya juga terjadi secara bertahap dan terbalik
yaitu dari unsure yang paling kasar, pertiwi, sampai kepada yang paling halus
menuju Bhatara Sangkara sebagai berikut:
Bathara Siwa
Purusa hakekat
wujud dewata
Awyakta
Budhi
Panca tan matra
Manah
|
Akasa
Bayu
Agni
Apah
Pertiwi
|
Sumber:
(proyek peningkatan sarana dan prasarana
kehidupan beragama, 1999/2000; 3)
Tingkatan-tingkatan alam bila dihubungkan dengan tubuh
manusia(bhwana alit) akan ditemukan pada bagian-bagian tubuh manusia dari alam
yang paling bawah sampai dengan yang tertinggi yaitu moksa. Pada setiap bagan
yang merupakan symbol alam dalam tubuh manusia berstana dewa – dewa, dimana
Sang Hyang Parama Nirbana Siwa adalah dewa yang tertinggi yang harus dijadikan
objek dalam kamoksan. Adapun tingkatan – tingkatan alam bhwana agung dan bhwana
alit adalah sebagai berikut:
Alam dalam bhwana agung
|
Letaknya dalam bhwana alit
|
Dewanya
|
_
|
ubun – ubun
|
|
_
|
lobang kepala
|
Sang Hyang Parama Nirbana Siwa
|
_
|
Rongga Kepala
|
Sang Hyang Nirbana Siwa
|
Paramakewalya
|
Kepala
|
Sang Hyang Antyatma Suksma
|
_
|
diantara kedua alis
|
Sang Hyang Parama Siwa dan Sang Hyang Sada Siwa
|
Kewalya
|
dahi
|
Sang Hyang Siwatma
|
_
|
langit – langit
|
Sang Hyang Siwatara
|
Telinga, hati, dubur, kemaluan, tulang
|
leher
|
Sang Hyang Siwa Purusa
|
Satyaloka
|
pangkal leher
|
Rudra/ Mahadewa
|
Tapaloka
|
dada
|
Sang Hyang Brahma
|
Janaloka
|
hati
|
Wisnu
|
Mahapana
|
perut
|
Sang Hyang Yaksa Prajapati
|
Indraloka
|
Pusat
|
Aghora
|
Sumber: (proyek peningkatan sarana dan prasarana
kehidupan beragama, 1999/2000; 5 - 6)
Dengan mengetahui keberadaan Brahman dalam semesta (bhwana
agung) dan dalam tubuh (bhwana alit) seperti yang menjadi perbandingan dalam
bagan diatas, maka sudah dapat dikatakan sebagai suatu sarana untuk mencapai
tujuan yang tertinggi. Untuk memiliki pengetahuan tersebut tidaklah mudah, ia
harus dicari dengan tekun dan teliti serta dengan beberapa persyaratan yang
berat seperti:
1. Memiliki kepribadian yang baik
2. Memiliki tata krama
3. Berpikir tenang
4. Tidak minum-minuman keras
5. Menjauhi perbuatan nista
6. Guru Susrusa
7. Tekun menjalankan Brata
8. Memiliki pengetahuan Weda dan Sastra
Lainnya
9. Memiliki keyakinan yang kuat akan ajaran
tersebut
10. Penguasaan
ajaran itu yang dapat dilaksanakan dengan mempelajari secara tekun dan teliti.
11. Selalu
melaksanakan yoga
Sumber:
(proyek peningkatan sarana dan prasarana
kehidupan beragama, 1999/2000:6-7)
III. PENUTUP
Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa dalam kitab suci Hindu, ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dinamakan
brahma vidya atau brahma tattva jnana. Brahma diartikan Tuhan, yaitu gelar yang
diberikan kepada Tuhan sebagai unsur yang memberikan kehidupan pada semua
ciptaan-Nya, Yang Maha Kuasa. Dalam Upanisad Tuhan disebut Brahman, yaitu
Nirguna Brahman dan Saguna Brahman. Buana Kosa merupakan salah satu lontar
tattwa yang bercorak siwaistik berisi percakapan antara Srimuni Bhargawa dengan
Bhatara Siwa tentang Brahmarahasyam, yaitu percakapan antara Bhatara Siwa
dengan Bhatari Uma dan Sang Kumara tentang Jnanarahasyam. Dalam Buana Kosa
Tuhan Yang Maha Esa disebut Bhatara Siwa. Beliau tanpa bentuk, tanpa warna, tak
terpikirkan, tak tercampur, tak bergerak, tak terbatas, tak termusnahkan, dan
sebagainya. Akan tetapi, dalam manifestasinya sebagai Trimurti Bhatara Siwa
adalah Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, dan Rudra/Iswara
sebagai pelebur. Brahman dalam Bhuwana Kosa juga dikatakan bersifat immanent
dan trancendent.
DAFTAR
PUSTAKA
Gautama, Budha Wayan. 2009. Tutur Bhuwana Kosa. Surabaya: Paramita.
Gunawan, Pasek I Ketut. 2012. Bahan Ajar Siva Siddhanta II. Denpasar:
IHDN.
Pemerintah Kabupaten Buleleng Dinas Kebudayaan Dan
Pariwisata. 2009. Bhuwana Kosa.
Buleleng : UPTD GEDONG KIRTYA.
Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan
Beragama.2000. Siva Tattwa. Milik
Pemerintah Provinsi Bali.
Pujda, Gde. 1999b. Theologi Hindu (Brahma Vidya). Surabaya: Paramita.
|
||||
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...