BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Upacara Yadnya
merupakan koraban suci yang tulus iklas serta langkah yang diyakini sebagai
kegiatan beragama Hindu yang amat penting. Karena Yadnya merupakan salah satu
penyangga bumi, karena alam semesta ini diciptakan dengan Yadnya. Dan Yadnya
juga merupakan perputaran kehidupan yang dalam Bhagawad-Gita disebutkan Cakra
Yadnya. Apabila cakra Yadnya ini tidak berputar
maka kehidupan ini akan mengalami kehancuran.
Adapun bagian-bagian
dari Yadnya yaitu: Dewa Yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada para Dewa /
Ide Sang Hyang Widi, Bhuta Yadnya yaitu upacara yang ditujuka kepada mahluk
bawahan nyata dan mahluk bawah yang tidak
dengan memeberikan penyupatan, Rsi Yadnya upacara seperti mediksa yang
berkaitan dengan orang suci, Pitra Yadnya yaitu upacara untuk para leluhur atau
yang umum dilakukan di Bali yaitu ngaben, dan Manusa Yadnya yaitu upacara pada
manusi dari masih kandungan sampai dewasa. Dimasing-masing Yadnya yang
diselenggarakan sudah barang tentu upakara atau bantennya berbeda-beda sesui
dengan Yadnya yang diseleggarakan.
Bhuta Yadnya merupakan
salah satu bagian dari Panca Yadnya, Bhuta Yadnya adalah koraban suci yang
bertujuan untuk membersihkan tempat/alam beserta isinya/dan memelihara serta
memberikan penyupatan kepada para Bhuta-kala agar menjadi Bhuta hita, serta
mahluk-mahluk lainnya yang dianggap lebih rendah dari manusia.
Dalam
upacara Bhuta Yadnya terdapat Pembersihan terhadap tempat (alam), Pembersihan
terhadap bhuta-kala. Dan upakara-upakara yang berfungsi sebagai pembersihan. Yaitu “byakala”, “prayascita”,
“durmenggala”, “Upakara-upakara ini dapadipergunakan sebagai pendahuluan dari
suatu yadnya, pembersihan terhadap suatu tempat, diri sendiri dan lain-lainnya.
Dan upakara yang befungsi sebagai pemeliharaan dan penyupatan yaitu terhadap
para bhuta kala dan makhluk-makhluk tersebut, misalnya ‘segehan kepel’, segehan
cacahan’, ‘segehan agung’, ‘gelar sanga’, dan beberapa jenis caru.
Dalam makalah kami akan memebahas tentang tujuan
upacara yadnya, alat perlengkapan dan beberapa upakara untuk Bhuta Yadnya.
Yaitu beberapa jenis segehan, Gelar Sanga, Byakaonan, Prayascita-Sakti,
Tetebasan Durmenggala, dan caru Ayam Brumbun.
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1
Bagaimaan tujuan
upacara Bhuta Yadnya?
1.2.2
Apa saja jenis-jenis “segehan”?
1.2.3
Bagainama banten Gelar
Sanga?
1.2.4
Bagainama banten
Byakaonan?
1.2.5
Bagainama banten
Prayascita-Sakti?
1.2.6
Bagainama banten
Tetebasan Durmangala?
1.2.7
Bagainama banten caru
Ayam Brumbun?
1.3
Tujuan
Penulisan
1.3.1
Ingin mengetahui
tentang tujuan upacara Bhuta Yadnya
1.3.2
Ingin mengetahui
tentang jenis-jenis “segehan
1.3.3
Ingin mengetahui
tentang banten Gelar Sanga
1.3.4
Ingin mengetahui
tentang banten Byakaonan
1.3.5
Ingin mengetahui
tentang banten Prayascita-Sakti
1.3.6
Ingin mengetahui
tentang banten Tetebasan Durmangala
1.3.7
Ingin mengetahui
tentang banten caru Ayam Brumbun
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Tujuan Upacara Bhuta Yadnya
Bhuta
Yadnya adalah suatu korban suci yang bertujuan untuk membersihkan tempat (alam
beserta isinya), dan memelihara serta memberi
“penyupatan” kepada para bhutakala dan makhluk-makhluk yang dianggap lebih
rendah dari manusia. Pembersihan itu memepunyai dua sasaran yaitu:
2.1.1 Pembersihan terhadap tempat (alam).
Yaitu
pembersihan dari gangguan dan pengaruh-pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh
para bhuta-kala dan makhluk yang dianggap lebih rendah dari manusia.
2.1.2 Pembersihan terhadap bhuta-kala
Yaitu,
pembersihan dengan maksud menghilangkan sifat-sifat buruk yang ada padanya,
sehingga sifat baik dan kekuatan dapat berguna bagi kesejahteraan umat manusia
dan alam.
Pemeliharaan
yang dimaksudkan disisni adalah untuk menjaga agar mereka tetap bersifat baik
serta berada atau bergerak menurut jalan masing-masing, sehingga tidak
menimbulkan gangguan kepada alam dan isinya. Misalnya pemeliharan terhadap para
“binatang”, yaitu yang lebih bersifat “penyupatan”, kepadanya dengan
menjelmanya dia sebagai manusia kelak, agar dapat berbuat kebajikan, sehingga
dia dapat mencapai
kesempurnaan hidupnya (memperbaiki karmanya).
Yang
dimaksud dengan “penyupatan” adalah untuk mengembalikan mereka ke tempat/kepada
asalnya dan memberi penigkatan yang lebih sempurna kepadanya. Dalam beberapa
lontar seperti Widi-sastra,
Yama-tatwa, Lebur gangsa, disebutkan
bahwa salah satu yang menjadi bhuta-kala, peri, jin, setan dan yang lainnya,
yang sejenis dengan itu adalah dewa-dewa atau roh-roh yang terkutuk karena
dosa-dosanya, serrta ditrurunkan kedunia untuk mencari “penyupatan”
2.2.
Golongan Upacara Yadnya
2.2.1 Upakara-upakara yang berfungsi sebagai pembersihan.
Misalnya:
“byakala”, “prayascita”, “durmenggala”, “caru rsi gana”, “panca-kelud”. Upakara-upakara
ini dapat dipergunakan sebagai pendahuluan dari suatu yadnya, pembersihan
terhadap suatu tempat, diri sendiri dan lain-lainnya.
2.2.2 Upakara yang befungsi sebagai pemeliharaan
dan penyupatan
Yaitu terhadap para bhuta kala dan makhluk-makhluk
tersebut, misalnya ‘segehan kepel’, segehan cacahan’, ‘segehan agung’, ‘gelar
sanga’, dan beberapa jenis caru. Upakara ini dapat dipergunakan sebagai persembahan
biasa dan menyertai setiap yadnya. Pelaksanaannya dapat dilakukan bersamaan
dengan yadnya yang bersangkutan atau setelah yadnya itu selesai. Dalam keadaan
yang biasa upacara ini dilakukan pada: tiga tempat yaitu: Di halaman merajan,
ditujukan ke hadapan sang bhuta bucari. Di halaman rumah, ditujukan kehadapan
sang kala bucari. Di halaman luar ditujukan kepada sang durga bucari.
Upacara-upacara
‘Bhuta Yadnya’ yang tersebut di atas adalah dalam arti yang umum, karena masih
banyak jenis upacara dan upakara ‘Bhuta Yadnya’ yang dipergunakan pada
waktu-waktu tempat-tempat yang tertentu misalnya: dibawah tempat tidur, di
sawah, di dapur, dan sebagainya. Dan
Bhuta Yadnya itu berfaedah bagi yang dijadikan korban, karena ‘rohnya’
ditingkatkan, yang menerina koban, yaitu dapat berguna bagi kesejahtraan alam,
atau kembali kepada asalnya dan bagi yang melakukan yadnnya itu sendirinya,
karena dapat melakukan kewajiban sebagaimana yang ditunjukkan oleh ajaran
agama. Yaitu berbuat demi kesejahtraan alam beserta isinya.
Di dalam Bhagad-Gita disebutkan:
Niyatam kuru karma twam
Karmajyayo hy akarmanah
Sarirayatra pi ca te
Na prasidhad akarmanah
Terjemahan:
Lakukan
pekerjaan yang diberikan kepadamu karena
Melakukan
perbuatan itu lebih baik sifatnya. Dari pada
Tidak
melakyukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara
Dirimu
tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja.
Artinya:
Hanya
dengan perbuatan Prabu Jantaka dan lain-lainya
mendapatkan kesempurnaan.
Jadi kami harus juga melakukan pekerjaan
dengan pandangan memelihara dunia.
2.3 Alat Perlengkapan dan Beberapa Upakara Untuk
Bhuta Yadnya.
Dalam bhuta yadnya”sedapat mungkin ,mempergunakan
api takep dan tetabohan. Api takep, adalah api yang di taruh pada dua kupak
serabut yang letaknya sedemikian rupa
(bersilani) Disamping itu kalau diperhatikan bentuk api takep” itu akan
mendekati bentuk tampak dara”(suastika yang netral). Sedangkan yang di
maksud dengan “tetabuhan” adalah 5 jenis zat cair yaitu tuak,arak,berem dan
air penggunaan darah dalam hal ini
sering juga disebut “sabuh-rah. Di dalam
pelaksanaannya masing-masing zat cair
itu akan dituangkan tiga kali, demikian pula halnya dengan “tabur rah”, disebabkan agar darah itu
terdapat tiga kali cipratan. Ini biasanya darahini
biasanya diperoleh dengan jalan memotong ayam kecil atau itik atau babi kecil yang
belum dikeberi.
Secara sederhana “tetabuhan”, ini adalah merupakan
minuman bagi para “buthakala”.peri, jin, setan,dan lain-lain yang sejenis.
Menurut kepercayaan lauk-pauk, yang disukainyaoleh para “Bhuthakala" tersebut adalah
yang berbau amis, seperti berambang jae,”jejeroan”yang mentah dan lain-lainnya.
2.3.1 Jenis-jenis “segehan”
1. “Segehan
kepal”
Sebagai alasnya dipakai sebuah “taledan”(tangkih)
daun pisang. Diatasnya diisi dua kepal “nasi putih, ikannya bawang, jae, dan
garam. Diatasnya dilengkapi dengan sebuah “canang genten”/”canang biasa”.
Mengenai jumlah nasinya dapat dirubah-rubah, demikian pula warnannya sesuai
dengan kepentingan atau kehendak seseorang, misalnya berewarna putih dan
kuning, berwarna merah, hitam dan putih dan sebagainnya.
2. “Segehan
Cacahan”
Sebagai alasnyadipakai sebuah “taledan” (daun)
“tangkih”. Di atasnya diisi 6/7 buah
“tangkih” yaitu lima buah dari padanya diisi nasi putih yang satunya diisi
“bija ratus”(5 jenis biji-bijian seperti jagung, jagung nasi, jawa, godem dan
jali”), sedangkan “tangkih yang sebuah lagi diisi beras sedikit, base tampel”,
benang putih dan uang. Bila mengambil 6 buah “tangkih” maka “bija ratus” dan
lain-lainnya itu dijadikan satu”tangkih” sebagai lauk pauknya adalah bawang
,jae dan garam, kemudian dilengkapi dengan sebuah “canang gentan “?biasa.
Seperti pada “Segehan kepel” maka nasi dari “segehan” ini dapat pula diwarnai
sesuai dengan kepentingannya.
Penggunaannya
Kedua jenis “segehan” ini penggunaannya dapat
dipilih oleh yang bersangkutan, untuk melaksanakan upakara”Bhuta-yadnya’ yang
kecil /sederhana, seperti wakta “keliwon”,purnama, tilem,” piodalan betara
Saraswati”,Pagerwesi”, Rahinan alit”,(ngebulan) di “sanggah? Di pura” sehabis
otonan dan lainnya.
3. Segehan
agung
Sebagai alasnya dipakai sebuah tempat yang agak
besar ( di bali biasanya di pakai sebuah “nyiru”lempeh”) Diatasnya diisi 11atau
33 buah “tangkih”, masing-masing diisi nasi, lauk pauk dengan bawang, jae, dan
garam, kemudian dilengkapi dengan sebuah “daksina” atau alat perlengkapan
daksina itu ditaruh begitu saja pada tempat tersebut, tidak dialasi dengan
bakul, dan kelapanya di kupas dengan bersih.”sesegehan” ini dilengkapi dengan
sebuah “canang payasan”dan 11/33 buah canang ganten/biasa ditambah dengan
“jinah sandangan” sedangkan untuk menghaturkan “segehan’ ini disertai dengan
“penyambleh” ayam kecil, itik, babi, yang belum dikebiri (kucit butuan ) yang
masih hidup. Pengunaan penyembleh itu disesuaikan dengan kepeentingan dan
tenpatnya.
Penggunaannya
“Segehan”
ini di pergunakan dalam upacara-upacara
yang agak besaar, dan kadang-kadang mempunyai sifat yang kusus seperti”piodalan
di pura, menurunkan atau”memendak ida Betara”pengukuran tempat untuk suatu
bangunan lebih-lebih bangunan suci,pembongkaran? “peletakan”batu pertama, untuk
bangunan suci dan selalu menyertai upakara”Bhuta yadnya” yang lebih ini adalah
satu”puja”pengantar untuk “Segehan agung”
OM Sang
Hyang purusang kara,anugrah ring sang kala sakti,Sang Hyang Rudra anugrah ring
sang Kala Wisesa,Sang Hyang Durga Dewi, anugraha ring sang Dengan ameng-amengpadanira paduka Betara
sakti anunggu ri bumi, ring pura parhayangan, natarpaumahan, di Dalem pasuguhan
wates setra pabayangan, salwir lemah angker.manusa cweh tadah sajisira
watekKala Bhutha kabe, iti tadah sajinnira sege iwaksambleh, asing kirang asing
luput nyata pipis sambundel ,atukuna sira ring pasaragung, pilih
kebelanira-ajaken sangkala nira kabeh,nyah kita saking kene, apan sira sampun
sinaksenan, wehana manusa nira urip waras dirgayusa.
OM Kala
bhoktaya nama, Bhuta bhoktaya nama, hpisaca bhoktaya nama, Durga bhoktaya namah.
Ucapan waktu menuangkan “Tetabuhan”
OM ebek segara,bek danu ebek banyu
pramanahingngulan.
2.3.2 “Gelar Sanga”
“Gelar
Sanga” ada dua macam, yaitu Gelar Sanga Alit dan Gelar Snga Angung
1. Gelar
Sanga Alit”
Sesuai dengan namanya yaitu; nasi yang digelar
berjumblah 9 (Sembilan) diatas taledan kecil-kecil berjumblah 9 (Sembilan) yang
diletakkan lagi diatas satu taledan yang
jauh lebih besar. Masing-masing taledan yang kecil-kecil itu disis sekebis
raka-raka selengkapnya. Sampiyan plaus. Nasinya nasi putih sasahan/maurab yang
berisi kacang saur. Ditengah-tengah
tetandingan gelar sanga diletakan satu ituk-ituk yang berisi satu untek mecelek
bawang jahe beralaskan selembar daun dapdap. Satu ikat batang kecil daun kelor
dan daun jepun yang sudah dicelupkan air panas, satu kuali, adalah perlengkapan
glar sanga dengan seluruh tetandingan glar sanga ditretesi uyah areng: diatsnya
diisi 9 batang sate yang sudah diikat.
(Surayin.2003:17).
2. “Gelar Sanga Agung”
Alas dari banten ini lebih besar
dari bandingkan dengan gelar sanga alit. Alas ini diisi nsi, lauk pauk seperti
“urab-urab/obat-obatan”, sayur-sayuran bawang, jae, masing-masing 9 “tangkih”
dan sate 9 biji. Ditengah-tengahnya diisi sebuah daksina pengolan, lengkapi
dengan sebuah kuali yang berisi sayur, daun kelor yang mentah, nira sagici, dan
“tetabuhan”, “banten” ini dilengakapi dengan dengan 9 buah “canang
genten”/biasa, nasi dialasi dengan bakul, “balung”, dan “karngan”. “Banten” ini
dipujai seperlunya, lalu kelapa, telur dan perlengkapan-perlengkpan
lainnyaseperti nasi, lauk-pauk, dan sebagainya dituangkan kedalam “kuwali”
(telur dan kelapa dipechkan), kemudian diaduk dengan sate kemudin
diciprat-cipratkan. Sete dari “banten ini hanya sebelahnnya (“lebeng asibak”)
sedangkan yang sebelah lagi dibiarkan mentah.
Penggunaannya
Upakara
ini dipakai dalam upacara yang agak basar seperti “piodalan” di “pur/sanggah
(ditaruh didepan “sanggah pasaksi”).
Untuk “ngelebar Ida Bhatara” dan selalu menyertai upacara-upacara “Bhuta
Yadnya” yang lebih besar.
“Mantra banten Gelar Sanga”
OM, indah ta
kita Sang Bhuta Dengen, iringan ingon-ingon paduka Bhatara-Bhatari, Sang Bhuta
Brahma turun, Sang Bhuta Putih, Sang Bhuta Janggitan, Sang Bhuta Langkir
aranira, Sang Bhuta Kuning, Sang Bhuta Lembukenia aranira, Sang Bhuta Ireng,
Sang Bhuta Taruna arunira, Sang Bhuta Amanca-warna, Angga-sakti aran sira, Sira
ngilangken Bhuta Dengen, iti tadah bhuktinira sege sewakul, iwak karangan lan
balung gegending, sinusunan antinganing sawung anyar, sajeng saguci, den pada
amukti sari, sira awing-aweng menawi wenten kirang punike pamuputnia, jinah
satak lima-likur lawe satukel, sampun tan anan sredah, sira ring sang adrewe
karya. OM, ksama swamam paphebyo manadi Hyang namo, swaha.
2.3.3 “Byakaonan”
Alas
yang dipakai untuk banten ini sebuah “asyakan” (“sidi” dari bambu), kemudian
diatasnya diisi “jejahitan” yang disebut “kulit sesayut”, “kulit peras”, dari
daun pandan yang berduri, dan selanjutnnya berturut-turut diisi nasi yang
dibungkus dengan daun pisang, ada yang berbentuk segi empat ada yang berbentuk
segi tiga “penek” yang disisipi bawang, jae dan tersi mentah(“penenk hamong”).
Di sekitar diisi lauk-pauk, “jaja”, buah-buahan, “sampian nagasari”, dari daun
andong, “ canang genten”/biasa dan beberapa perlengkapan lainnya seperti:
1. “Pebersihan/pengeresik”
: sebuah “ceper” yang berisi “sisig”, “kekesok” (dari tepung beras),
“tepung-tawar, (dari daun dadap, kunir dan beras yang ditumbuk), minyak dan
“wija/sesari”, serta sebuah “sampian payasan”.
2.
“Isuh-isuh”, sebuah “
ceper” yang berisi sebutir telur ayam yang mentah, (kadang-kadang diganti
dengan bawang yang dikupas sampai halus), sapu lidi, serabut ayam dijepit,
(sabet), “ngad”, “base tulak” (“porosan”) yang ujung sirih nya berlawanan, dan
sebuah “tangkih” yang berisis ramuan dari daun “kayu tulak”, “kayu sisih”,
“kemurugan”, “padang lepas”, daun alang-alang dan daun dadap.
3.
‘Amel-amel : sebuah
limas (tangkih) diisi daun dadap ujung dadap “padang lepaas” masing-masing 3
buah, lalu diikat dengan benang merah, putih dan hitam (benang “tri datu”).
Kemudian dilengkaapi dengan sebuat “seet mingmang”.
4.
“Sasak mentah”, sebuah
limas yang berisi tiga keel nasi yang disirami dengan darah mentah dilengkapi
dengan bambu-bambu yang “di Rajang” (“basa Rajang”).
5.
“Seroan alit”, terdiri
dari sebuah “peras”,” tulung”, dan “sesayut”.
6.
“Padma”, (sejenis
jejaitan dari janur, untuk menciptakan tirta)
7.
Sebuah” Lis”
“pabyakalaan”, “ Lis ageng” ini terdiri dari beberapa buah jejahitan atau
anyaman dari janur. Yang diikat sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti
“base tampel”, serta digantungkan sebuah “tipat kukur” dan dua kepeng uang”,.
Waktu upacara “lis” dipotong dengan tangan kiri dan ikatnya dibuka. Didalam
upacara-upacara yang biasa dapat
dipergunakan “lis” yang kecil (“lis alit”, “lis padma”).
8.
“penyeneng”: sebuah
“jejahitan”, yang berpetak tiga dan diisi “tepung tawar”, nasi “sagau”,
“wija/sesarik” dan “tetebu” darai benang, serta “porosan” dan “bunga”.
Untuk melaksanakan
upacara “mebyakala” diperlukan perlengkapan seperti “kekeb” yang berisi “tapak
dara kapur”, dan “tetimpug”, yang dibuat dari 5/7/9 potong bambu yang masih
kedua ruasnya, sehingga kalau dibakar akan menimbulkan suara/meletus. Dan
upacara ini dipergunakan sebagai pendahuluan dari setiap “yadnya” “penampahan
galunagan”, menyertai “banten” “pedengen-dengen”, “caru” dan yang lainnya.
Terlebih dahulu
“tetimpugan” itu dibakar diatas sebuah tungku sehingga berbunyi/meletus tiga
kali, secara rohaniah hal ini adalah untuk memanggil para “Bhuta-kala”,
sedangkan secara lahiriah, hal itu merupakan suatu syrat/tanda bahwa upacara
akan segera dimulai. Kemudian dijalankan (diciptakan air biasa dengan bunga,
selanjutnya menyalakan alat perlengkapan yang ada pada “pembersihan” dan
“penyeneng” seperti “kekosok”(tepung), nasi “segau”, “tepung tawar”, lalu
mencipratkan air lagi sekali dengan “bebuu”, kemudian dilanjutkan dengan
menyapu (“mengayabkan”) dengan sapu, sabet, dan telur ayam yang mentah. Setelah
itu mencipratkan air dengan “lis pabyakalan”, kemudian “tirta pabyakalan dengan
padma”, dan pengelukatan/pebersihan” dengan bunga akhirnya “mengayabkan”
“banten” disertai dengan “metetabuh”. Apa bila upakara ini dipakai dalam
upacara “Manusa Yadnya”, maka setelah dihaturkan seperti diatas, orang yang
bersangkutan diupacarai seperti diatas dan waktu “natab” “banten” tangan di
arahkan ke belakang/ ke samping.
Upacara ini dilakukan di halaman rumah atau halaman
“merajan” menghadap pintu masuk (“pemesuan”). Dan beberapa buah-buah “mantra” .
1. “Kekosok”.
Om Trena taru
lata kebaretan kelinusan dening angin angampuhang mala wigna. Om siddhir astu
ya namah swaha.
2. “Puja segau” dan “tepung tawar”.
Om sajnana asta
sastra empu sarining wisesa, tepung tawar amunahaken, segau angeluaraken
sakwening sebel kandel lara-roga bhaktanmu.
3. Wija/sesarik”).
Di dahi : OM
Sri, Sri, Sri ya namo namah svaha. Di bahu kanan : anengen bhagia pulakerti
asasangon ; di bahu kiri : angiwakaken panca baya ; di punggung : anguduraken
satrumusuh ; dibawah kerongkongan : angarepaken phalabhoga ; di hati :
angati-ngati sabda rahayu ; pada kedua belah tangan, anangga pana sri sedana;
dikakki anandungana mas-pirak,
OM Hrang, Hring, Sah
Parama Siwa ditiaya namah svaha.
4.
“Puja tetebus”.
Om raga wetan,
anagapusaken balung pil-pilu, dan kadi langge ning Sanghyang Surya,
mangkana langgengning angapusaken kang
tinebas-tebas,
OM. Sampurna ya namah svaha.
5.
“mengahaturkan air (“yeh coblong”).
OM. Gangga pawitrani svaha.
6.
“Puja dari isuh-isuh”.
OM
Sanghyang Taya tan panetra, tan pa cangkem, tan pakarna, sanghyang Tayajati
suklanirmala, sira angisuh-isuhing sarwa dewata, angilangaken sarwa Bhuta,
Dengen, Kala ring sarwa ta kabeh, Undur Doh, kita sarwa Bhuta, kala Dengen,
ring pada Betara Kabeh, aja kira masenetan ring manusa kabeh, nyah ta kita
saking kulit, ring daging, ring walung, ring sumsum, mantuk ta kita ring Jamur
jipang Sabrang Melayu.
OM. AM. MAM, nama Sivaya svaha.
7.
“Telur pada Isuh-isuh”.
Om antiganing
sawung, pangawaking Sanghyang Gala Candu Sagilingan, kalisakna lara-rogha mala
petaka kabeh, OM SAH Osat namah. OM Bham Bhamadewaya, Betara angiberaken
lrrogha papa klesa mala namo namah svaha.
8.
“Mantra Lis”.
Pukulun
ngadeg sira Sang janur-Kuning, tumurun Bhatara Siwa, ulun angaturaken busung
reka, busung ringgit, ron sarwa laluwes, mas awarona kumala-wintwn, angilangana
sakwehing dasa-mala, sebel-kandel, awigna sudh, tutuga ring sapta wredah. OM
Sriyawenamu namah svaha.
9.
“MenciptakanTirtan Pabyakaonan”.
Pukulun
Hyang Bhatara Kali, Bhatara Hyang Sakti, Sang Kala Putih, Sang Kala Pita, Sang
Kala Ireng, Sang Kala Amanca Warna, Sang Kala Anggapati, Sang Kala
Karogan-rogan, Sang Kala Pepedan, Sang Kala Sri, Sang Kala Patti, Sang Kala
Sedahankala, aja sira anyangkalen manusanira ngastuti Hyang Dewa Bhatara ring
Parhyangan Sakti, reh ingsun anagaturaken tadah sajinira. Bhatara Kala punika
bhuktinen redanira kabeh. OM Kala-Kalibhoyo bhuktaya namah. OM. Ksama
sampurnaya namah, OM sarwa Kala laksana ksamam ya namah svaha.
2.3.4.
“Prayascita-sakti”.
Sebagai alasnya adalah sebuah “kulit sesayut” dan
kadang-kadang berbentuk “tamas” kemudian di atasnya berturut-turut diisi :
“Kulit peras” dari janur (“busung”) yanag bentuknya bulat daun “tabiabun”
(mungkin dapat diganti dengan daun “tabia/lombok biasa), 8 lembar yang dijahit
menjadi satu serta bentuknya bundar (seperti padma), lalu di atasnya diisi nasi
yang berbentuk juga bundar. Diatas nasi itu diisi lauk paukserta 5 iris telur
dadar, yang diletakkan sedemikian rupa sehigga menunjukkan kelima arah mata
angin. Di beberapa tempat ada kalanya di lengkapi dengan 8 biji bawang putih
(kesuna) yang dialasi dengan “kukun kambing”, (sejenis anyam-anyaman dari
busung). Selanjutnya “banten ini dilengkapi pula dengan buah-buahan, jajan,
lauk-pauk, “sampian-nagasari”, “canang genten”/”burat wangi”, “penyen eng”,
“pesucian/ pengeresikan”, “babuu”, “padma”, “lis senjata” (lis, yang melukiskan
5/9/11 jenis senjata “nawa-dewata”. Kelapa gading yang masih muda (“kelungah”)
“di Kasturi” ( dibuka dengan bukaan yang berbentuk segi tiga), dan sebuah
“banten” “peras kecil” (tumpengnya kecil”)
Penggunaannya:
Banten ini dapat dipergunakan sebagai pembersihan
terhadap bangunan yang baru selesai/diperbaiki, sehabis “kecuntakaan”
(“kesebelasan”) seperti sehabis melahirrkan melahirkan (setelah berumur 42
hari) sehabis kematian. Serta jenis-jenis caru. Bila menyertai “banteni
byakaonan atau “durmengala maka “banten:” dipakai setelah menghaturkan kedua
jenis “banten “ tersebut.
“mantra banten prayascita”
OM. Hrim, Srim,
Nam, Swam, Yam, sarwa rogha wighna satru winasaya Rang OM Phat.
OM,Hrim, Srim,
Am, Tam, Sam, Bam,Im, sarwa danda mala papa-klesa winasaya Rah Um, Phat.
OM. Hrim,Srim, Am, Um, Mam, sarwa wighna
winayasaRah Um Phat.
Om siddhi Guru Srom sah Osat, OM, sarwa
wighna winasaya.
Sarwa klesa
winasaya, sarwa rogha winasaya, sarwa satru winasaya, sarwa dusta winasaya,
sarwa papa winasaya, astu ya namah svaha.
2.3.5. “Tebasan
Durmengala”.
Sebagai
alasannya adalah “kulit sesayut”, kemudian diisi sebuah “tumpeng” yang
disisipi” “berambang”, jae dan terasi yang merah sertamentah. Mengenai
“tumpengnya” ini ada lontar yang menyebutkan berwarna hitam dan putih tetapi
ada pula yang menyebutkan putih.
Kemudian dilengkapi dengan lauk-pauk, ikannya “telur
bekasem (telur asin), “rujak” 1 takir, kacang 3 “tangkih”, jajan, buah-buahan
masing-masing jenis 5 biji/iris “sampian nagasari” “pescian/pengeresikan”,
penyeneng”, “canang genten/”burat wangi”/sari”, “Lis” (dari janur kelapa hijau)
“padma”dan sebuah “daksina” yang berisi benang satu “tukel”, wang 225 dan
lain-lain selengkapnya. (untuk demikian pula “duwegannya” adalah “kelungah”
kelapa hijau yang di “kasturi”).
Penggunaannya:
Upakara ini dapat dipergunakan kalau ada kerusakan
yang besar atau perbaikan yang agak besr, terjadi kelainan-kelainan di rumah
atau tempat suci, (terjadi ke “durmengala”an seperti “pura” terbakar,
dihanyutkan oleh air, dirubuhkan oleh angin, ditimpa pohon-pohonan, ada
“lulut”/ meenyertai upakara “Bhuta-yadnya” yang agak besar.
“Mantra
Tebasan Durmenggala”.
Pkulun Sang Kala Purwa,
sang Kala sakti, Sang Kala Brajamuka, sang Kala Ngulaleng, Sang Kala Suksma aja
sira pati panyinga aja sira pati paprotongi iti tadah sajinira, penek lawan
bawang, jae mwang terasi bang, iwak antig, jinah satak lima likur, lawe
satukel, manawi kurang tadahan nira, aywasira usil silih gawe, tukunen sira
ring pasar-agung, iki jinah satak lima likur, lawe satukel, wehenta, senak
raninnira mwang putunnira, ndah sira lungha amarah desa, aja maring kene, den
pada siddhir astu. OM. Kala bhyo bhokte hama svaha.
“Prayascita” dan “tebasan Durmenggala”
pelaksanaannya b ersama. Cuma “banten” “tebasan durmengala” terlebih dahulu di
“ayabkan”, baru kemudian “prayascita”
2.3.6.
Caru
Ayam Brumbun” (satu ekor).
Caru dalam kamus kecil sansekerta,
dijumpai arti kata caru itu adalah bagus, canti, harmonis. Mecaru (bhs. Bali)
artinya menyelenggarakan Caru, yang mempunyai maksud mempercantik, memperbagus
dan mengharmoniskan. Kalau caru itu caru palemahan, maka yang diharmoniskan
adalah waktu atau musim atau masa. Sedangkan caru oton, yang diharmoniskan
adalah Prilaku manusia yang antara lain di akibatkan oleh pengaruh kelahiran
atau otonan.
Untuk upakara caru ayam brukmbun ini diperlukan
seekor ayam “brumbun” yaitu ayam yang bulunya berwarna merah, putih, kuning dan
hitam. Setelah ayam itu dipotong (bulunya tidak dicabut) lalu dikuliti
sedemikian rupa sehingga kepala, sayap dan kakinya masih melekat yang satu
dengan yang lainnya. Dagingnya di “olah”dijadikan 3 jenis “uraban” (urab-barak,
urab-putih) dan gegecok)dan 3 jenis sate (“sate Lembat, sate asem, dan sate
calon”) ketiga jenis “uraban “ dan sate itu disebut “trinayaka” sebagai simbul
jasmani ayam tersebut dan “aksara” nya adalah ANG, UNG, MANG. Kemudian setelah
semuanya masuk lalu dibagi (“ditanding”)
menjadi beberapa bagian sebagai berikut :
1. Sebuah
“karangan” (= “taledan” yang berisi “urab-uraban” tadi dan sate tiap jenis 2
biji, serta dilengkapi dengan garam dan sambel). Nasi dialasi dengan sebuah
bakul (nasi “sokan” dilengkapi dengan sirih “lekesan” pinang dan “susur”).
“Sampiannya” disebut “sampian nagasari”.
2.
“Kawisan”, sebuah
taledan yang isinya seperti diatas, tetapi nasinya berbentuk “pangkonan”, diisi
sebuah “canang genten/biasa”.
3.
“Banyuhan”, “taledan”
yang berisi “urab-uraban” dan sate setiap jenis satu biji. Membuat 8 “tanding”.
Nasinya adalah “ tumpeng brumbun” 8 “danan” lengkap dengan jajan, buah-buahan,
lauk-pauk/”sambel”, dan “ sampian tangga” (satu danan berisi 2 buah “tumpeng”)
4.
“Ketengan” , “taledan”
berisi “urab-uraban” dan sate setiap jenis satu biji. Membuat 8 “tanding” dab
masing-masing dilengkapi dengan “canang genten”.
5.
“Segehan Cacahan
brumbun” 8 “tanding”.
6.
“Caru –dandan” 8 buah
berisi nasi “brumbun”, serta dilengkapi dengan lauk-pauk bentuknya seperti
“kapu-kapu” yang digandengkan.
7.
“Tulung sangkur”
(“tulung” kecil) 8 buah, berisi nasi berumbun dan lauk-pauk.
8. “Takep-takepan”
(dua buah “ceper” kecil yang dikatupkan ; didalamnya berisi beras, “base
tempel”, “benang putih dan uang”).
“Banten-banten” tersebut dilengkapi dengan “peras”,
“penyeneng”, “sanggah urip”, “sesayut”, “pengambean”, “soroan”, “pengulapan”,
ajuman”, “daksina ponggolan” (= “daksina ponggolan”), “ tipat kelanan”, “suci
alit, “segehan agung”, “sesayut durmengala”, “prayascita-sakti”, “byakaonan”,
lengkap dengan “Lis Pabyakaonan”. Semua upakara-upakara yang tersebut diatas
semua dilandasi dengan “sengkwi” yaitu jenis anyaman dari pelepah kelapa,
banyak anyaman 8 biji.
Kulit ayam tadi dialasi dengan dua lembar daun
“telujuangan”, letak kuliat ayam itu sedemikian sehingga kepalanya berada di
ujung daun itu, sedangkan sayap dan kakinya direntangkan. Diatasnya di isi secarik kain yang
berwarna-warna, sebuah “kwangen” yang berisi uang 8 kepeng, selanjutnya
ditarung diatas upakara-upakara yg tersebut diatas (kalau mungkin daun
“telunjungan” itu dialasi dengan “kelatkat sudhamala”). Di hulu dari upakara
tersebut diisi sebuah sanggah “cukcuk” yang dilengkapi dengan gantung-gantung,
lamak dari “busung” dan daun “telunjungan”. Upakara yang di taruh pada
“sanggah” itu adalah dua buah “tumpeng”
dengan “ceper” dilengkapi dengan lauk-pauk “sampian tangga”, “canag burat
wangi” dan “tadah sukla”.
Disamping itu untuk menghaturkan upakara ini membuat
pula ”sanggah” pesaksian (sanggah surya) yang berisi “banten”: “peras”, “ajuman”, “daksina”, “suci”, dan
lain selengkapnya.
Dan sebagai tempat “tetabuhannya” disebut ‘canang”
yaitu bamboo kecil yang dipotong miring, lalu diisi “tetabuhan” seperti di
depan. Dan penggunaannya :
“Caru ayam brumbun” ini disebut pula “caru
pengeruak”, dan pengunaanya hampir sama dengan “segehan agung”, tetapi didalam
upacara yang lebih besar, misalnya piodalan di “sanggah/pura”, baik sebagai
pembersihan maupun menyertai piodalan tersebut, untuk perabasan atau peombakan
suatu tempat/hutan, pembongkaran atau peletakan batu pertama untuk suatu
bangunan suci, permulaan mempergunakan suatu bangunan seperti rumah,
“pura”,”bale banjar”, dan lain-lainya.
Beberapa
mantra:
1. Mantra
“Caru ayam Brumbun”.
OM, indah ta kita Sang Bhuta Tiga Sakti
ring madya desanira, Kliwon pancawaranira, Bhatara Siwa, Dewatania, iki tadah
sajinira, penek mancawarna, meiwak ayam brumbun, ingolah winangun urip ketekang
saruntu tan ipun, ajak sawadwabalanira ulung siki, menawi wentwn luput
kakirangan ipun denageng sampuranen sang adrewa caru. ONG ING namah.
2.
Mantra mengayabkan
benten caru
OM bhuktiantu Durga katarah, bhutiantu,
kalam ewaca, bhuktiantu sarwa Bhutanem, bhuktiantu pisaca sanggyem.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari materi diatas dapat kami simpulkan bahwa tujuan dari
pada Bhuta Yadnya itu adalah pembersihan terhadap tempat (alam), dan
Pembersihan terhadap bhuta-kala. Serta mampu memeberikan penyupatan kepada
mahluk yang lebih rendah dari pada manusia dan para Bhuta-kala agar menjadi
Bhuta hita. Dan upakara-upakara yang befungsi sebagai pemeliharaan dan
penyupatan Yaitu terhadap para bhuta
kala dan makhluk-makhluk tersebut, yaitu ‘segehan kepel’, segehan cacahan’,
‘segehan agung’, ‘gelar sanga’, dan beberapa jenis caru. Upakara ini dapat
dipergunakan sebagai persembahan biasa dan menyertai setiap yadnya. Serta
upakara yang berfungsi sebagai pembersihan. yaitu “byakala”, “prayascita”,
“durmenggala”. Upakara-upakara ini dapat dipergunakan sebagai pendahuluan dari
suatu yadnya, pembersihan terhadap suatu tempat, diri sendiri dan lain-lainnya.
3.2 Saran
Kami
menyadari bahwa makalah yang kami susun
ini masih jauh dari sempurna, maka demi penyempuranaan makalah kami ini
kritik dan saran dari para pembaca sangat kami perlukan dan kekurangan-kekurang
materi yang kami sampaikan perlu
ditinjau lebih jauh lagi. Semoga makalah kami ini ada manfaatnya bagi pembaca.
kenapa hindu bali ribet bgt
BalasHapusseharusnya bisa dibuat sederhana
Terima kasih menambah wawasan. Sangat setuju dengan isi blog ini, BerTuhan diwujudkan dengan tindakan, bukan hanya berkata kata.
BalasHapus