Kajian
Lontar Wrhaspati Tattwa
I Pendahuluan
Wrhaspati Tattwa
adalah sebuah lontar yang tergolong tua usianya. Lontar ini menguraikan ajaran
tentang kebenaran tertinggi yang bersifat Siwastik yang diuraikan secara
sistematik. Wrhaspati Tattwa terdiri
dari 74 pasal/sloka yang menggunakan bahasa Sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno.
Bahasa Sansekerta disusun dalam bentuk sloka dan bahasa Jawa Kuno disusun dalam
bentuk bebas (Gancaran) yang
dimaksudkan sebagai terjemahan atau penjelasan bahasa Sansekertanya. Lontar Wrhaspati Tattwa merupakan sebuah
lontar mengandung ajaran samkya dan yoga. Bagian yang mengajarkan
pembentukan alam semesta beserta isinya mengikuti ajaran samkya dan bagian yang mengajarkan etika pengendalian diri
mengambil ajaran yoga.
Secara etimologi Wrhaspati Tattwa berasal dari kata “Whraspati” dan “Tattwa”, pengertian Wrhaspati
adalah nama seorang Bhagawan di
sorga, hal ini sesuai dengan yang terdapat dalam Wrhaspati Tattwa Sloka 1 yang berbunyi sebagai berikut:
Irikang kala bana sira wiku ring swarga
Bhagawad Whraspati ngaran ira
Sira ta maso mapuja di Bhatara.
Terjemahan
:
Pada saat itu ada seorang
petapa di sorga bernama Wrhaspati, Ia
datang dan memuja Hyang Iswara (
Putra dkk, 1998 : 1 ).
Kemudian
menurut Watra
(2007 : 1) Tatwa berasal dari bahasa
sansekerta. Tattwa memiliki berbagai
pengertian seperti : kebenaran, kenyataan, hakekat hidup, sifat kodrati, dan
segala sesuatu yang bersumber dari kebenaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa Wrhaspati Tattwa berarti ajaran
kebenaran atau hakekat kebenaran dharma dari
Bhagawan Wrhaspati.
Wrhaspati
Tattwa berisi dialog antara seorang guru spiritual yaitu Sang Hyang Iswara dengan seorang sisya beliau yaitu Bhagawan Wrhaspati. Iswara dalam
konsep pengider-ider di Bali adalah
Dewa yang menempati arah timur. Iswara
tidak lain adalah aspek dari Siwa
sendiri. Di dalam Wrhaspati Tattwa
disebutkan bahwa Hyang Iswara
berstana di puncak Gunung Kailasa yang merupakan puncak gunung Himalaya yang
dianggap suci. Sedangkan Bhagawan
Wrhaspati adalah orang suci yang merupakan sebagai guru dunia (guru loka) berkedudukan di Sorga. Dalam
dialog tersebut, Sang Hyang Iswara
mencoba menjelaskan kebenaran tertinggi tentang Siwa kepada Bhagawan
Wrhaspati dengan metode tanya jawab. Wrhaspati
Tattwa merupakan naskah jawa kuno yang bersifat realistis. Di dalam
menyajikan ajarannya dirangkum dalam suatu mitologi yang tujuannya untuk
mempermudah ajaran itu dimengerti. Mengingat ajaran filsafat atau Tattwa yang tinggi seperti ini memang
sulit untuk dimengerti.
II. Pembahasan
2.1 Karma
Wasana
Wasana
artinya
perbuatan yang dilakukan oleh manusia di dunia ini. Ia menerima hasil perbuatan
pada kelahirannya yang baru, apakah hasilnya itu baik atau buruk. Perbuatan
apapun yang dilakukan olehnya, pada akhirnya pasti akan menghasilkan buah.
Seperti halnya periuk yang berisi hinggu (getah
damar) walaupun hinggu itu telah
habis dan periuk itu telah di gosok dan cuci, baunya tetap tercium, karena bau
itu tetap melekat pada periuk. Inilah yang dinamakan vasana. Demikian halnya dengan wasana
perbuatan (Karma Wasana). Wasana itu ada dalam atman, ia melekat padanya. Ia menodai
atau mewarnai atman itu. Atman yang ternoda disebut Raga. Jadi Wasana menghasilkan Raga (Putra
dkk, 1998 : 4).
Oleh
karena itu, setiap perbuatan orang akan membuahkan Karma Wasana. Wasana yang
telah mewarnai atman akan
menghasilkan Karma Wasana dan Karman. Keduanya itu kemudian membawa
kelahiran yang berbeda-beda. (Misalnya yang mempunyai sifat dewa) melahirkan
dewa (devayoni), vidhyadhara (vidhyadhara yoni, raksasa (raksasayoni), daitya (daityayoni),
naga (nagayoni). Sangat banyak yoni yang terjadi, yang merupakan sumber
kelahiran. Oleh karena itu dalam fisik yoni-yoni
itu berbeda-beda. Adapun yang diperbuat oleh pikiran pada yoni yang terdahulu, ia merupakan keinginan. Keinginan ini
merupakan karma yang terjadi terus
menerus. Apabila yang dilakukan itu suatu perbuatan jahat, maka atman akan terlempar ke neraka, di mana
ia akan mengalami bermacam-macam siksaan. Bila akibat dari perbuatan jahat itu
telah berakhir, maka atman akan lahir
menjadi binatang yang rendah. Sebaliknya bila perbuatannya baik, ia akan lahir
di surga dan mengalami bermacam-macam kenikmatan. Setelah masa yang
menyenangkan itu berakhir ia akan lahir sebagai putra raja atau orang yang
hidup makmur. (Putra dkk, 1998 : 4).
Dapat dijumpai juga
seperti orang buta yang tidak mengetahui wujud gajah yang sesungguhnya,
demikian juga manusia itu diliputi oleh kebingungan, kemabukan itulah sebagai
kegelapannya. Tattwa itu umpama gajah
yang dianggap sebagai kepala, gading, belalai, perut, kaki dan ekor. Ilmu
pengetahuan dan sastra itu banyak adanya yang dikembangkan oleh Sang Hyang Wisesa, itulah yang
menjadikan bingung dan terlena, saling tindih-menindih, tidak tahu mana yang
mulia mana yang utama, tidak tahu mana atas dan mana bawah, tidak tahu kurang
dan lebih, tidak tahu pergi dan datang. Pikiran yang demikian itu disebut
bingung yang tidak akan berhasil mencapai tujuan.
2.2
Cetana dan Acetana
Tattwa
itu yaitu Cetana dan Acetana. Cetana yaitu pengetahuan (jnanasvabhava),
tidak terpengaruh oleh ketidaksadaran dan bersifat abadi (nitya), artinya tetap kokoh, tidak dapat disembunyikan. Itulah
yang disebut dengan Cetana. Begitu
pula dengan Acetana yang berarti
tanpa pengetahuan, ibarat batu. Itulah yang dinamakan Acetana.
Jika Cetana dan Acetana bertemu maka akan lahirlah seluruh Tattwa yaitu Tattwa asal (Pradhana Tattwa), Triguna Tattwa, Budhhi Tattwa, Ahangkara Tattwa, Bhayendriya Tattwa, Karmendriaya
Tattwa, Pancamahabhuta Tattwa. Ada tiga bentuk Cetana yaitu Paramaiswa Tattwa,
Sadasiwa Tattwa dan Siwa Tattwa. (Putra dkk, 1998 : 9).
2.2.1 Paramasiwa
Tattwa
Penjelasan tentang Paramasiwa Tattwa disampaikan dalam
sloka 7 sampai sloka 10 yang berbunyi :
Aprameya bhatara, tan pangen-angenan, apa hetu, ri
kadadinyan ananta, tan pahingan, anirdesyam, tan patuduhan, ri kadadinyan tan
palaksana, anaupamyam, tatan papada, ri kadadinyan tan hana pada nira juga,
anamayam, tatan keneng lara, ri kadadinyan alilang, suksma ta sira sarwagata,
kehibekan tikang rat denira, sahananya kabeh, nityomideng sadakala, ri
kadadinya n tan pasangkan, dhruwam, menget ta sira, ri kadadinyan tan polah,
umideng, sadakala, awyayam, tatan palwang, ri kadadinyan pariprna, Isvara ta sira,
Isvara ngaranya ri kadadinya n prabhu ta sira, sira ta pramana tan kapramanan,
nihan yang paramasivatattva ngaranya.
Nihan yang sadasivatattva ngaranya, I sor ning
paramasivatattva.
Terjemahan:
Iswara tidak dapat di ukur, tidak berciri,
tidak dapat dibandingkan, tidak tercemar, tidak tampak, ada dimana-mana, abadi,
tetap, tidak berkurang (sloka 7). Ia tidak dapat diukur dalam arti tanpa akhir.
Ia tidak berciri karena ia tidak mempunyai cirri. Ia tidak dapat dibandingkan,
karena tidak ada yang lain seperti Dia. Ia tidak tercemar, karena ia tidak
bernoda (sloka 8).
Ia tidak tampak
karena ia tidak bisa dilihat. Ia ada di mana-mana, karena ia ada dalam segala
benda. Ia abadi karena ia tidak berbentuk. Ia tetap karena ia tidak bergerak (sloka
9).
Ia tidak
berkurang karena ia tetap utuh. Ia tetap tenang Sivatattwa ini meliputi
seluruhnya (sloka 10)
Tuhan tidak
dapat dibayangkan, Apremaya. Karena
bersifat ananta yaitu tidak terbatas.
Anirdesyam berarti tidak dapat diberi
batasan karena ia mempunyai ciri. Anaupamya
artinya tidak dapat dibandingkan, karena tidak ada yang menyamainya. Anamaya artinya tidak terkena penyakit
atau sakit karena Ia suci. Ia Suksma karena
Ia tidak dilihat. Ia Sarwagata karena
Ia ada dalam segalanya, Ia memenuhi seluruh jagat raya. Ia Dhruva
yaitu kokoh, karena Ia tidak bergerak, tetap stabil. Ia Avyaya yaitu Ia tidak pernah berkurang, karena Ia selalu utuh. Ia
adalah Iswara. Ia disebut Iswara karena ia sebagai guru. Ia mengatur
seluruhnya, namun tidak di atur (oleh siapa-siapa). Inilah yang dinamakan Paramasiwa Tattwa. Sekarang kujelaskan
apa yang disebut Sadasiwa Tattwa yang
lebih rendah daripada Paramasiwa Tattwa.
(Putra dkk, 1998 : 9-10).
Dari petikan sloka di atas dapat disimpulkan bahwa, Parama Siwa sama sekali tidak
terbelenggu oleh Maya, oleh karena
itu ia disebut Nirguna Brahman, ia
adalah perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi tanpa aktivitas. Dalam wujud transendental-Nya
ini, kenyataan itu disebut dengan Nirguna
Brahman, yaitu Brahman tanpa
atribut. Ini diterima sebagai sesuatu yang satu dan tidak berbeda, yang tetap
statis dan dinamis dan merupakan prinsip mutlak yang menggaris bawahi jagat
raya. “Brahman adalah dia yang
kata-katanya tidak dapat diungkapkan, dan yang mana tidak dapat digapai oleh pikiran
kita yang membinggungkan”, demikian juga diungkapkan dalam kitab Taittiriya Upanisad.
2.2.2 Sadasiwa
Tattwa
Penjelasan
tentang Sadasiwa Tattwa disampaikan
dalam sloka 11 sampai sloka 13 yang berbunyi :
Sawyaparah, bhatara sadasiva sira, hana padmasana
pinaka palungguhanira, aparan ikang padmasana ngaranya sakti nira, sakti
ngaranya, vibhusakti, prabhusakti, jnanasakti, kriyasakti, nahan yang
cadusakti.
Terjemahan
:
Sadasiwa aktif, berguna, bersinar,
terdiri dari unsur kesadaran, mempunyai kedudukan dan sifta-sifat. Ia memenuhi
segalanya. Ia di puja karena tanpa bentuk ( sloka 11).
Ia maha pencipta, pelebur, pengasih,
bersinar, abadi, maha tahu, dan ada di mana-mana (sloka 12).
Bagi orang yang tak punya tempat berlindung,
Ia merupakan saudara, ibu dan ayah. Ia merupakan penawar dari segala rasa sakit
dan membebaskan manusia dari ikatan tumimbal lahir. (sloka 13)
Padmasana
sebagai tempat duduk Beliau, sakti-Nya
meliputi: Wibhu Sakti, Prabhu Sakti,
Jnana Sakti dan Kriya Sakti. Disebut Cadu
Sakti yaitu empat kemahakuasaan Sang
Hyang Widhi. (Putra dkk, 1998 : 10-11).
Jika ditilik dari petikan sloka di atas, pada
tingkatan Sadasiwa, kesadarannya
sudah mulai tersentuh oleh Maya. Pada
saat itu Ia mulai terpengaruh oleh Sakti,
Guna, dan Swabhawa yang merupakan hukum kemahakuasaan Sadasiwa. Ia memiliki kekuatan untuk memenuhi segala kehendaknya
yang disimbolkan dengan bunga teratai yang merupakan stana-Nya. Lebih lanjut,
Tim Penyusun (2003 : 8) menyatakan Sadasiwa
digambarkan sebagai perwujudan mantra yang disimbolkan dengan aksara AUM (OM) dengan Iswara sebagai kepala, Tatpurusa
sebagai muka, Aghora sebagai hati, Bamadewa sebagai alat-alat rahasia, Sadyojata sebagai badan. Sada Siwa aktif dengan segala
ciptaan-ciptaan-Nya. Karena itu, Ia disebut Saguna
Brahman.
2.2.3 Siwatma
Tattwa
Pada tingkatan Siwatma Tattwa, Sakti, Guna dan Swabhawa Tuhan (Siwa) sudah berkurang karena sudah dipengaruhi oleh Maya. Karena itu Siwatma Tattwa disebut juga Mayasira
Tattwa. Bilamana pengaruh Maya sudah
demikian besar terhadap Siwatma menyebabkan
kesadaran aslinya hilang dan sifatnya menjadi awidya. Dan apabila kesadaranya terpecah-pecah dan menjiwai semua
makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia, maka Ia disebut atma atau jiwatma. (Tim Penyusun, 2003 : 8)
Meskipun atma merupakan
bagian dari Tuhan (Siwa), namun
karena adanya tirani awidya yang
pekat yang sumbernya adalah Maya,
maka ia tidak lagi menyadari asalnya. Hal ini menyebabkan atma dalam lingkaran sorga-neraka-samsara secara berulang-ulang.
atma dapat bersatu kembali pada asalnya, apabila semua selaras dengan
ajaran Catur Iswarya, Panca Yama Brata,
Panca Niyama Brata dan Astasiddhi. Bilamana
dalam segala karma dari atma bertentangan dengan ajaran-ajaran
tadi, maka atma akan tetap berada
dalam lingkaran reinkarnasi.
Untuk mengakhiri lingkaran reinkarnasi Wrhaspati Tattwa mengajarkan agar setiap
orang menyadari hakekat ketuhanan dalam dirinya. Hal itu dapat dilakukan melalui
jalan (1) Jnana Bhyudreka,
mempelajari segala Tattwa; (2) Indriya Yoga Marga, tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu;
(3) Tresna Dosa Ksaya, tidak terikat pada pahala perbuatan baik atau
buruk; (4) Yoga, selalu memusatkan
pikiran pada tuhan melalui enam tahapan yang disebut Sadangga Yoga.
2.3 Pradhana
Tattwa dan Tri Guna
Pradhana Tattwa, wujud besar maya, sunya acetana
sebagai badannya. Dipertemukan Atma
Tattwa dengan Pradhana Tattwa
oleh Bhatara, maka atma yang dalam keadaan Acetana menjadi hilang atau lupa.
Digerakkannya Pradhana Tattwa
melahirkan Triguna Tattwa yaitu Sattwam, Rajah, Tamah. Pikiran yang
serba ringan dan jernih disebut satwa,
pikiran yang cepat gerakannya disebut dengan rajah, dan pikiran yang gelap-gelap disebut dengan tamah. Pikiran yang menyebabkan atma menikmati sorga, jatuh ke neraka,
menjadi binatang, lahir sebagai manusia dan mencapai moksa atau kelepasan.
Prilaku yang sungguh-sungguh jujur dan kokoh, ia mengetahui perbedaan antara
sesuatu dan batas-batasnya, ia memahami Iswara
Tattwa, pandailah ia, manis tutur katanya dan indah badannya itu semua
merupakan ciri-ciri pikiran Sattwika.
Prilaku bengis, pemarah dan menakutkan, congkak, suka memperkosa, panas hati,
lobha, melakukan perbuatan kasar dengan tangan, melakukan perbuatan kasar
dengan kaki, berkata-kata kasar, merupakan ciri-ciri dari pikiran Rajah. Pikiran dihinggapi rasa takut,
lelah tidak suci, suka mengantuk, cenderung untuk berkata bohong, ingin
membunuh, tidak hati-hati dan murung merupakan cirri-ciri dari Tamah.
Apabila ketiga unsur itu sama, maka kita akan lahir sebagai manusia,
karena ketiga unsur itu memenuhi keinginan, masing-masing rajah berkata: “saya mau
berbuat jahat”. Sattwa menghalangi.
Tamah berkata: “Saya lelah dan tidak ingin berbuat apa-apa”. Rajah membuat kita bergerak. Sattwa
bersama rajah berkata: “Saya ingin berbuat baik”. Maka dicegah
oleh tamah. Demikian kerja ketiga
sifat itun silih berganti. Karena itu atman
tidak berbuat baik maupun buruk. Namun apabila atman berbuat baik dan buruk karena pengaruh ketiga sifat itu maka
kita akan lahir sebagi manusia. Sang
Hyang Widhi telah memperhatikan antara surga dan neraka merupakan tempat
pensucian atman. Apapun yang
dikerjakan dalam kelahiran sebagai manusia, Sang
Hyang Widhi memperhatikannya, oleh karena Ia menjadi saksi dari segala
perbuatan manusia baik maupun buruk.
Tatkala Tamah yang lebih
besar mempengaruhi pikiran maka akan menyebabkan atma menjadi binatang. Ada lima jenis binatang, seperti : Pasu, Mrga, Paksi, Sarisrpa, Mina. Pasu adalah binatang piaraan di desa,
seperti : sapi, maka akan menyebabkan atma menjadi binatang. Mrga adalah jenis binatang yang ada di
dalam hutan. Paksi adalah segala
jenis binatang burung yang dapat terbang. Sarisrpa
adalah segala jenis binatang yang bergerak dengan dadanya. Mina adalah semua jenis binatang yang ada di dalam air.
2.4 Buddhi
Dari Triguna maka lahirlah Buddhi. Buddhi ada empat jenis,
bagian-bagianya antara lain: Dharma
Buddhi, Jnana Buddhi, Wairagya Buddhi dan Aiswarya Buddhi.
2.4.1 Dharma Buddhi
Perbuatan
mulia, yajna, tapa, dana punia,
meninggalkan keluarga dan hidup dari sedekah, yoga, inilah yang disebut dharma.
Sila artinya melakukan perbuatan yang
baik. Yajna artinya melaksanakan
pemujaan api, tapa artinya menjadi Wiku yang melakukan Tapa Brata. Wiku artinya seorang yang di-diksita, yoga artinya mekukan meditasi. Itulah beberapa ciri dharma. Menurut Wrhaspati Tattwa orang yang telah mantap menjalankan dharma akan mencapai sorga dan
berinkarnasi menjadi dewayoni, beliau
juga akan memperoleh kesenangan tanpa berbalik kedukaan (suka tanpa wali dukha). Ia juga memperoleh Siddhi.
2.4.2 Jnana Buddhi
Pengindraan
langsung, menarik kesimpulan, ajaran-ajaran agama dari orang yang telah
mempelajarinya, inilah tiga cara untuk memperoleh pengetahuan. Demikianlah
orang yang mengetahui tentang tiga Pramana,
yaitu: Pratyaksa, Anumana dan Agama. Pratyaksa artinya sesuatu yang dapat dilihat atau diraba. Anumana artinya seperti asap yang
terlihat dari jauh, menandakan adanya api (api itu sendiri tidak tampak).
Inilah yang disebut Anumana. Agama artinya ajaran para guru. Orang
yang mengetahui ketiga pramana ini, Pratyaksa, Anumana dan Agama disebut dengan istilah Samyagjnana. Wrhaspati
Tattwa menegaskan, buah dari Jnana yang
telah dijalankan oleh seorang Jnanin adalah
ia akan memiliki pengetahuan ataupun pandangan yang baik dan benar, pada
tahapan yang lebih sempurna seorang Jnanin
akan memperoleh pengetahuan yang sangat utama, inilah yang akan
mengantarkan pada keadaan yang disebut Moksa,
kembali ke alam Siwa. Kesadarannya
menyatu dalam Tuhan.
2.4.3 Wairagya Buddhi
Ketidakterikatan
terhadap kesenangan, baik yang dilihat maupun yang didengar, pada badan yang
sehat dinamakan Wairagya. Ketidaksenangan
kepada yoga tidak berarti ketidakterikatan
(arti sebenarnya adalah orang yang tidak senang kepada yoga bukan yogin melainkan
orang yang menganut Wairagya). Ada
kesenangan dari yang dilihat seperti halnya raja yang berkuasa, ada kesenangan
dari yang didengar, seperti kahyangan yaitu tempat para Dewa. Kesenangan
seperti itu, yang dilihat maupun yang didengar tidak diinginkannya. Bahkan
menjadi rajapun ia tidak ingin. Lepas dari keinginan seperti itu dinamakan Wairagya. Melalui Wairagya, atma mencapai Prakrti Loka dan mengalami kesenangan
ibarat orang tidur tanpa mimpi, sangat damai dan tenang.
2.4.4 Aiswarya
Buddhi
Pada hakekatnya Aiswarya
adalah prinsip kesimbangan. Keseimbangan dalam kesenangan disebut Bhoga. Bhoga dalam arti lain adalah segala yang dimakan dan diminum. Keseimbangan
dalam kesenangan kecil disebut Upabhoga
Dalam arti lain adalah segala sesuatu yang
dipakai. Keseimbangan dalam kesenangan besar disebut Paribhoga. Dalam pandangan material Paribhoga berarti punya istri (berumah tangga) dan pembantu. Wrhaspati Tattwa menyebutkan buah dari Aiswarya (Aiswarya Phala) adalah seseorang akan menikmati kesenangan penuh
tanpa gangguan demikian pula perbuatannya. Padanya juga mendapat Anima dan kekuatan lain dan seseorang
itu akan lahir dalam Dewayoni,
akhirnya ia menjadi Dewa. (Putra dkk, 1998 : 27)
2.5
Panca Wiparyaya
Panca
Wiparyaya adalah lima sifat yang tidak baik penyebab
kesengsaraan. Penjabaranya adalah sebagai berikut.
2.5.1 Tamah,
pikiran yang menginginkan segala macam kesenangan.
2.5.2 Moha,
pikiran yang secara buta menginginkan delapan Aiswarya.
2.5.3 Mahamoha, keinginan mencapai kebahagiaan
Niskala bersama dengan delapan Aiswarya.
2.5.4 Tamirsa, mendambakan kebahagiaan
dikemudian hari.
2.5.5 Andhatamirsa, menangisi sesuatu yang telah tiada atau
hilang.
2.6 Tusti
Tusti
berarti kepuasan. Ada orang yang berbuat sesuatu untuk mencari kepuasan. Tusti itu ada beberapa jenis, yaitu :
2.6.1 Arjana, menadapatkan kesenangan melalui
penumpukan harta benda.
2.6.2 Raksasa, senang mempertahankan barang
yang diperoleh.
2.6.3 Ksaya, kesenangan dalam menghamburkan
kekayaan (pemborosan).
2.6.4 Sanga, kepuasan yang diperoleh ketika
sesuatu yang didambakan berhasil diraih seperti kekasih dan benda.
2.6.5 Himsa, membunuh semata-mata untuk
kesenangan.
2.6.6 Bhagya, puas dalam hati, meskipun tidak
memperoleh kebahagiaan.
2.6.7 Kala, ingin cepat mendapat sesuatu
yang dikehendaki.
2.6.8 Atma, pengetahuan yang menyelidiki Atma.
2.7 Asta Siddhi
Asta
Siddhi adalah delapan pekerjaan mulia yaitu memberi,
belajar, berguru, bermusyawarah, bersahabat (5 bagian ini disebut Bahya Siddhi) dan tiga pekerjaan yang
merupakan pencegahan kesengsaraan (Adhyatmika
Siddhi). Bahya Siddhi meliputi
(1) Dana, memberikan bantuan moril
maupun materiil; (2) Adhyayana,
mempelajari kitab-kitab suci; (3) Sadhana,
kemampuan mendengarkan suara gaib (waskita) dan mampu membedakan barang
kasar dan barang halus; (4) Sadhaka,
kecakapan dalam bidang spiritual dan (5) Tarka,
adil dan bermusyawarah. Sedangkan Adhyatmika
Siddhi adalah mampu mengatasi tiga macam kesengsaraan (Dukha Telu). Dukha Telu meliputi Adhyatmika Dukha (sakit dari pikiran), Adhidaivika Dukha (sengsara yang diakibatkan dari kutuk dewa,
leluhur, orang suci dll) dan Adhibhautika
Dukha (sengsara/sakit yang disebabkan jasad renik, roh jahat dan binatang).
2.8 Panca
Tan Matra dan Panca Maha Bhuta
Bila telinga ditutup, terdengar suara. Suara ini sangat
halus dan disebut Sabda Tan Matra. Ada
angin kencang, butir-butir angin itu terasa meresap pada kulit, itulah yang
disebut dengan Sparsa Tan Matra. Ada
yang disebut petang, setelah matahari terbenam, ada cahayanya berbekas,
butir-butir cahaya yang tampak itu,
itulah yang disebut Rupa Tan Matra.
Yang disebut Rasa Tan Matra adalah
yang dimakan terasa manis atau pahit, adapun butir-butir rasa yang dirasakan
itu tidak segera hilang ia berbekas pada lidah, ada sisanya yang tertinggal,
itulah Rasa Tan Matra namanya. Gandha Tan Matra yaitu ada kayu cendana
yang dibakar, butir-butir baunya yang dicium itulah yang disebut Gandha Tan Matra. Demikianlah yang disebut
Panca Tan Matra.
Dari Panca Tan Matra lahir Panca
Maha Bhuta yakni Ether (Akasa) lahir dari Sabda Tan Matra. Angin (Wayu)
lahir dari Sparsa Tan Matra. Cahaya (Teja) lahir dari Gandha Tan Matra. Apah
(air) lahir dari Rasa Tan Matra. Prtiwi (tanah) lahir dari Gandha Tan Matra. Itulah yang disebut Panca Maha Bhuta. Berwujud nyata dapat
dilihat dan dipegang. Demikianlah sifat seluruh tattwa-tattwa di atas menyusupi tattwa
di bawahnya.
2.9 Sad
Rasa dan Dasendriya
Adapun rasa itu enam jenisnya antara lain : Lawana, Amla, Katuka, Tikta, Kasaya, Madhura. Lawana artinya asin. Amla
artinya asam. Katuka artinya pedas. Kasaya artinya sepet. Madhura artinya manis. Tikta artinya pahit. Demikianlah yang
disebut Sad Rasa.
Srotendriya
terletak pada telingga. Twagindrriya
terletak pada kulit, menyebabkan atma
merasakan panas dan dingin fungsinya. Caksurindriya
terletak pada mata, menyebabkan atma
melihat rupa dan warna fungsinya. Jihwendriya
terletak pada lidah, menyebabkan atma
dapat merasakan rasa yang enam fungsinya. Granendriya
terletak pada hidung, menyebabkan atma
dapat berfungsi mencium bau busuk dan harum. Wagindriya terletak pada tangan, menyebabbkan atma dapat mengambil atau memegang fungsinya. Padendriya terletak pada kaki, menyebabkan atma dapat bejalan fungsinya. Payuindriya
terletak pada dubur, menyebabkan atma
dapat berak, pletus fungsinya. Upasthendriya
terletak pada venis dan vagina, menyebabkan atma
dapat kencing dan mengeluarkan sukla dan swanita fungsinya. Demikianlah prihal dasendriya dalam badan.
Badan itu diumpamakan hiasannya
kereta. Perbuatan baik dan buruk ibarat dunia, yang berputar antara sorga dan neraka
yang disebut cakraning gilingan (roda
yang selalu berputar pada sumbunya). Atma
ibarat lembu yang menarik kereta. Bhatara
Iswara sebagai sais, menyuruh lembu itu menarik kereta, tidak mau ia tidak
melaksanakan pertintah, karena itu pelayan yang seorang akan kepayahan.
2.10 Nadi
dan Dasa Wayu
Ada sepuluh Nadi
besar, seperti : Ida, Pinggala, Sumsumna,
Gandhari, Hasti, Jihwa, Pusa, Alambusa, Kuhu, Sangkhini, itulah kesepuluh
nadi besar itu. Dari kesepuluh ada tiga yang paling utama yaitu : Ida
adalah tenggorokan kanan. Pinggala
adalah tenggorokan kiri. Sumsumna
adalah tenggorokan tengah.
Semua Nadi
itu sama-sama berisi Wayu (daya
hidup), sepuluh banyaknya yaitu : Prana,
Apana, Udana, Wyana, Naga, Kurma, Krkara, Dewadatta, Dhananjaya. Adapun
penjelasan sebagai berikut:
Daya hidup yang disebut prana ada pada mulut dan hidung, fungsinya untuk bernafas, pada
dada bawahnya, ia menggerakkan daya hidup (wayu)
seluruhnya. Samana berada pada hati,
fungsinya di sana mengolah sari-sari yang dimakan menjadi empedu. Udana berada pada ubun-ubun, fungsinya
di sana adalah membuat berkedipnya mata dan berkerutnya dahi serta menumbuhkan
rambut. Wyana ada pada seluruh
persendian, fungsinya di sana menjadikan berjalan, melambat, memegang,
menggerakkan semua persendian pada badan dan membuat lupa, marah dan usia tua. Naga fungsinya menyemburkan. Daya hidup Kurma membuat gemetar. Sedangkan Krkara adalah daya hidup yang membuat
besin, Dewadatta membuat menguap, Dhananjaya membuat suara. Inilah yang
disebut dengan Dasa Wayu.
Apabila kita
pengikatnya, itu sebabnya atma dengan
damai mengembara ke dunia lain, mana yang disebut dengan dunia lain adalah Pancapada (lima dunia) yang mana
merupakan stananya atma pada saat
berwujud. Ada yang disebut Jagrapada, Swapnapada,
Susuptapada, Turyapada dan Turyantapada. Pada adalah dunia atau tempat
berstananya atma yang lima jumlahnya,
karena itu disebut Pancapada. Jagrapada artinya terjadi, tiada
terhingga keterjagaannya, saat demikian atma
menjadi jelas terlihat dan dapat dirasakan. Adapun Swapnapada adalah tidak jelas bagaikan Maya (bayangan) yang ada dalam air, bila tenang airnya maka akan
tampaklah bayangannya, bila bergolak airnya maka bayangannya itu tidak jelas
dilihat. Demikian atma itu tidak akan
jelas, karena segala pada (stana) sama dengan atma. Sang Taijasa namanya
bila demikian. Apabila dalam Susuptapada,
tatkala tidur nyenyak, keadaan sepi itu, tidak berkesadaran, Nirwana, Nisprakamya, tak tampak dan
tidak terpikirkan susuptapada itu.
Demikianlah atma hilang kesadarannya bercampur dengan Acetana, tidak berkesadaran, lupa sebagai sifatnya.
2.11 Sadangga
Yoga
Dalam Wrhaspati Tattwa sloka 53 disebutkan ada
enam cabang yoga, yang disebut dengan sadangayoga.
Sadangayoga ini juga dapat
dikatakan sebagai enam tingkatan yoga yang saling terkait, mengabaikan salah
satu tingkatan yoga berarti menghancurkan sistem yoga itu dan itu berarti
gagal. Bunyi dari sloka yang dimaksud adalah:
Nahan tang sadanga yoga ngaranya, ika ta sadhana ning sang mahyun
Umangguhakena sang hyang wisesa denjika, pahawas tang hidepta, haywa ta
iweng-iweng denta ngrengosang hyang aji, hana pratyahara yoga ngaranya, hana
tarka yoga ngaranya, hana pranayama yoga ngaranya, hana dharanaya yoga
ngaranya, hana tarka ngaranya, hana samadhiyoga ngaranya, nahan sadanga yoga
ngaranya
(Wrhaspati
Tattwa sloka 53)
Terjemahan :
Pratyahara (penarikan), Dhyana
(meditasi), pranayama (pengendalian
nafas), dharana (menahan), tarka (renungan), Samadhi (konsentrasi), itulah ke enam cabang yoga.Sadangayoga menyatakan alat bagi orang
yang ingin mencapai visesa. Pikiranmu
harus tetap tanggap: tidak hanya mendengarkan ajaran suci. Patut kita ketahui prathyahara yoga,dhyanayoga, pranayama yoga,
dharana yoga, tarka yoga, dan
samadhiyoga. ( Putra dkk, 1998 : 61)
Dengan asumsi bahwa dengan mengetahui dan memahami
serta mempraktikan sadangayoga secara
benar dan baik selaras dengan karma
vasana pastilah memperoleh pengalaman dan manfaat yang positif.Untuk lebih memahami
tentang sadangayoga ini marilah kita
kaji sloka-sloka Wrhaspati Tattwa selanjutnya.
2.11.1 Pratyaharayoga
Dalam pustaka suci Wrhaspati
Tattwa sloka 54 di uraikan sebagai berikut:
Ikang indriya kabeh winatek sangkeng wisayanya,
ikang citta budhi manah tan wineh maparan-parana,
kinemitaken ing citta malilang, yeka pratyaharayoga ngaranya
(Wrhaspati
Tattwa sloka 54)
Terjemahan :
Pratyahara (penarikan diri) artinya indriya dari obyeknya, dengan upaya dan
pikiran yang tenang.Semua obyek indria harus ditarik dari obyeknya dan manah
tidak diperbolehkan bergerak kesana kemari.Ia harus dijaga oleh citta yang
murni. Ini pratyaharayoga ( Putra dkk,
1998 : 61)
Pratyahara
ini berarti penarikan. Yang ditarik disini adalah menarik indra dari objek kesukaanya.
Masing-masing indra memiliki objek kesenangan sendiri-sendiri dari objek
kesukaanya, missal mata suka akan rupa dan warna yang indah,dan benci rupa dan
warna yang buruk indra penciuman suka bau yang harum dan benci bau yang busuk
dan ketiga indra yang lainya memiliki objek kesenanagnnya sendiri. Indra-indra
inilah yang perlu ditarik dari objek yang disenanginya dan yang dibencinya lalu
diarahkan kedalam diri.
Dengan pikiran
yang terkendali konsentrasi jiwa dapat dilaksanakan dengan baik, semua
keinginan untuk keperluan pribadi dan panca
indria harus dikontrol. Ibarat seekor penyu yang menarik kepalanya dan
anggota badannya, supaya jiwa menjadi harmonis dan seimbang. Di saat seseorang
itu mengahadapi suatu kesulitan dalam hidupnya janganlah terlarut dalam
kesedihannya itu, sebaliknya ketika seseorang mendapatkan kebahagian janganlah
terlalu dipuji-puji. Hal baik kita terima dengan senang hati, hal burukpun kita
terima dengan senang hati. Demikianlah orang yang memiliki keseimbangan jiwa
dalam menghadapi suka dan duka. Selain pengekangan terhadap panca indria penegkakangan terhadap jiwa
perlu dilakukan sehingga jiwa dapat bersatu dengan atman. Dengan bersatunya atman
dan jiwa, maka yang maha tahu akan menampakkan dirinya.
2.11.2 Dhayanayoga
Dalam pustaka suci Wrhaspati Tattwa sloka 55 di uraikan
sebagai berikut:
Ikang jnana tan pangrwa-rwa, tatan wikara, enak heneng-heneng nira,
umideng sad tan kawarana, yeka dhyanayoga ngaranya.
(Wrhaspati
Tattwa sloka 55)
Terjemahan :
Dhyana
(meditasi) adalah yoga yang terus menerus memusatkan pikiran kepada suatu
bentuk yang tak berpasangan, tak berubah damai dan tidak bergerak.Pengetahuan
yang indah tak berpasangan tidak berubah indah dan tenang, tetap stabil, tanpa
selubung yang demikian itulah Dhyanayoga.(
Putra dkk, 1998 : 61)
Dhyanayoga
atau meditasi adalah keadaan pikiran dimana pikiran merupakan keberadaan yang
mutlak yang tidak melakukan tindakan. Menurut Agama Hindu atman adalah sumber kekuatan yang tak terbatas dan kebijaksanaan
dalam diri manusia dan Dhyana atau
meditasi adalah alat untuk berhubungan dengan kebijaksanaan tertinggi. Para Rsi Hindu mengatakan bahwa ketika
pikiran tidak melakuakan apa-apa pikiran dapat memasuki tahap kesadaran super
atau turiya dan menyadari penyatuan
dengan Tuhan. Setelah seseorang itu mencapai turuya maka seseorang tersebut dapat dikatakan telah mencapai moksa terbebas dari siklus kelahiran
dan kematian. Seseorang yang dapat mencapai Turuya
ketika masih berada adalam tubuh manusia disebut dengan Jiwanmukti.
Dhyana bukanlah
suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh seseorang, namun sebuah phenomena yang
muncul dengan spontan dan tidak disadari ketika pikiran tidak berpikir atau
berada pada tahap tidak melakukan tindakan. Meditasi dan konsentrasi dapat
dibedakan dengan sifatnya yang tidak terintrupsi. Konsentrasi diibaratkan
dengan menuangkan air sedangkan Meditasi diibaratkan menuangkan minyak.
Keduanya kan jatuh pada tempat yang sama, namun jatuhnya air tidak akan
selancar minyak. Air memiliki kecendrungan untuk berpencar menjadi titik-titik
air, sehingga mengakibatkan aliran yang tidak bias.
2.11.3 Pranayamayoga
Dalam pustaka suci Wrhaspati
Tattwa sloka 56 di uraikan sebagai berikut:
Ikang sarwadwara kabeh yateka
tutupane, mata, irung, tutuk, talinga,ikang vayu huwus inesep nguni rumuhun,
yateka winetwaken maha waneng wunwunwn, kunang yapwan tan abhyasa ikang vayu
mahawane ngkana, dai ya winetwaken mahawaneng irung ndan saka sadiki dening
mawetwaken vayu, yateka pranayamayoga ngaranya.
(Wrhaspati
Tattwa sloka 56)
Terjemahan:
Pranayama (pengatuaran nafas) ialah menutup semua jalan
keluar nafas dari batok kepala (pada saat meninggal).Semua jalan keluar harus
ditutup mata, hidung, mulut, telinga. Nafas yang telah ditarik dikeluarkan
melalui batok kepala. Jika orang tidak mengeluarkan nafas dengan cara ini, maka
nafas ajkan keluar melalui hidung. Tapi ia hanya mengeluarkan sebagian kecil
dari nafas itu. Inilah yang dinamakan Pranayamayoga
(Putra,dkk, 1998 : 62)
Pranayama berarti
pengaturan pernapasan yang lancar panjang dan dalam. Manfaat dari Pranayama ini adalah untuk membantu
menghilangkan pikiran yang tidak diinginkan. Sehingga mempermudah kita untuk
berkonsentrasi dan bermeditasi. Para Rsi mengatakan nafas yang pendek dan
teratur akan meningkatkan aktifitas mental, yang menghasikan pikiran yang tidak
diinginkan yang akan merusak pikiran.
2.11.4 Dhranayoga
Dalam pustaka suci Wrhaspati
Tattwa sloka 57 diuraikan sebagai berikut:
Hana ongkara sabda umunggwing
hati, yateka dharanan, yapwan hilang ika nora karengo ri kala ning yoga yateka sivatma
ngaranya, sunyawak bhatara siva yan mangkana yeka dharanayoga ngaranya.
(Wrhaspati
Tattwa sloka 57)
Terjemahan :
Omkara yang
merupakan sifat siwa harus ditempatkan
dalan hati penuh dengan Tattwa.
Karena Omkara dipegang terus maka
dinamakan “menahan” dhrana. Suara omkara bertempat di hati. Orang harus
memusatkan pikiran kepadanya. Bila lenyap dan tidak didengarkan saat beryoga
dinamakan Sivatman. Dalam keadaan
seperti itu Bhatara Siwa dikatakan
dalam keadaan kosong. Inilah dharanayoga.
(Putra dkk, 1998 : 62)
Dharanayoga artinya
menguasai indria dibawah pengawasan Manah
(pikiran) dan memusatkan pikiran pada objek meditasi. Objek dari
konsentrasi dapat berupa gambaran dari Dewa, sebuah mantra, nafas dan yang lainnya.
2.11.5 Tarkayoga
Dalam pustaka
suci Wrhaspati Tattwa sloka 58 di
uraikan sebagai berikut:
Kadi akasa rakwa sang hyang paramartha, ndan ta palenanira lawan
akasa, tan han sabda ri sira, ya ta kalingan ing paramartha,papada nira lawan
awing-awang malilang juga, yeka tarka yoga ngaranya.
(Wrhaspati
Tattwa sloka 58)
Terjemahannya:
Tarka
(renungan) ialah terus menerus memusatkan pikiran kepada-Nya yang wujudnya
sangat halus, tetap dan tenang dan hening.
Engkau
harus mengetahui bahwa Paramartha sangat
halus. Tetapi juga ada bedanya dengan yang halus itu yaitu bahwa Paramartha tanpa suara. Itulah
penjelasan Paramartha yang dapat
dipersamakan dengan Akasa. Ia suci.
Itulah yang disebut Tarkayoga. (Putra
dkk, 1998 : 62)
2.11.6 Samadhi
Dalam pustaka suci Wrhaspati
Tattwa sloka 59 di uraikan sebagai berikut:
Ikang jnana tanpopeksa, tan panggalpane, tan hana kaharep nira, tan
han sinadhyanira, alilang tan kawaranan juga, tatan pakahilang, tatan pawasta
ikang cetana, apan mari muhidep sira ikang sarira, luput saking catur kalpana.Catur
kalpana ngaranya, wruh lawan kinaweruhan, pangawruh lawan nahan yang caturkalpana ngaranya, ika ta
kabeh tan hana ri sang yogisvara yateka Samadhi ngaranya. Nahan yang sadanga
yoga ngaranya, pinaka jnana sang pandita matangyang kapangih sang hyang visesa,
ika kayogiswaran mangkana, yateka karaksan ring dasasila.
(Wrhaspati
Tattwa sloka 59)
Terjemahan :
Samadhi (konsentrasi)
ialah terus menerus merenungkan-Nya sebagai yang mutlak, tidak dapat
dijelaskan, tanpa nafsu, tenang, tak berubah dan tanpa ciri. Jnana (pengetahuan) itu mutlak, tak
dapat dijelaskan, tanpa nafsu, tanpa tujuan, suci, tak berselubung, dan tidak
terbinasakan. Cetana ini tidak
bertujuan. Ia tidak memiliki kesadaran fisik. Ia bebas dari Catur Kalpana. Catur kalpana artinya pengetahuan dan yang
diketahui, sarana untuk mengetahui dan orang yang mengetahui. Itulah keempat Kalpana. Semua ini tidak ada pada Yogiswara. Inilah yang dinamakan Samadhiyoga. Sadangayoga ini harus
dimiliki oleh seorang pandita. Dengan
demikian orang akan mencapai Wisesa.
Sifat Yogiswara ini harus ditunjang
oleh kesepuluh kebajikan. (Putra dkk, 1998 : 63)
Samadhi merupakan tahap terakhir
yoga baik tahapan menurut Wrhasapati
Tattwa dalam Sadanggayoga, adalah
“penyatuan dengan dengan Tuhan”. Dalam sebuah Samadhi yang sadar seorang akan mencapai kekuatan super-natural (yang disebut dengan siddhi) dengan kekuatan dari latihan
yoga.
2.12 Dasa
Sila
Dasa Sila
merupakan gabungan dari Panca Yama
dan Niyama Brata. Bagian-bagian
dari Dasa Sila meliputi :
2.12.1 Ahimsa
: artinya tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak melukai atau tidak mengambil
nyawa makhluk apapun. Namun Himsa
(menyakiti/pembunuh) itu boleh dilakukan untuk keperluan Dharma, keperluan agama, bersedekah, untuk Dewapuja, Pitrapuja, Astithipuja ( untuk disuguhkan kepada tamu).
2.12.2 Brahmacari : artinya bergerak di dalam ilmu pengetahuan suci Weda
atau berkecimpung di dalam ajaran suci kerohanian.
2.12.3 Satya
: artinya benar setia atau jujur.
Satya yang berarti benar setia atau
jujur memegang peranan yang penting di dalam ajaran sastra kerohanian untuk
mencapai kesempurnaan rohani kebahagiaan akhirat, penjelmaan yang baik dan
kelepasan atau Moksa. Seseorang
hendaknya satya dalam pikiran,
perkataan, perbuatan serta jujur dan satya
terhadap teman, terhadap janji.
2.12.4 Awyawahara atau Awyawaharika
: artinya peraturan hidup atau undang-undang. Seseorang hendaknya melakukan
usaha-usaha yang selalu mengacu pada kedamaian dan ketulusan. Juga disebutkan Awyawahara berarti tidak terlibat atau
terikat akan gelombang hidup sehari-hari atau pasang surut hidup keduniawian.
2.12.5 Asteya artinya tidak mencuri atau
berpantang terhadap perbuatan mencuri memperkosa hak milik orang lain.
Mengambil hak milik orang lain, mencuri dan memaksa disebut steya atau staiya
2.12.6 Akrodha : artinya tidak
marah atau tidak dikuasai oleh kemarahan.
2.12.7 Guru Susrusa : artinya mendengarkan atau
menaruh perhatian terhadap ajaran-ajaran dan nasehat-nasehat Guru. Guru Susrusa itu bertalian erat dengan Guru Bhakti atau sujud terhadap Guru dan
Asewaka Guru yaitu mengabdi kepada
Guru.
2.12.8 Sauca : berarti kebersihan, kemurnian
atau kesucian lahir bathin.
2.12.9 Aharalaghawa : artinya makan serba
ringan tidak semau-maunya saja. Oleh karena itu disarankan hendaknya orang-orang
yang ingin mencapai kesempurnaan, harus berbadan sehat, karena sehat jasmani bisa mempengaruhi keadaan rohani. Makan yang
melebihi batas kemampuan perut untuk mencernanya akan membawa penyakit.
2.12.10 Apramada : artinya tidak bersifat ingkar
atau mengabaikan kewajiban. Dapat pula diartikan taat tanpa ketakaburan mempelajari dan mengamalkan ajaran suci.
Dari bagian 1 sampai bagian 5 disebut dengan Panca Yamabrata sedangkan bagian 6
sampai 10 disebut dengan Panca
Niyamabrata. Perlu ditambahakan bahwa orang harus mengabdikan hidupnya
dalam melaksanakan Yoga Samadhi.
Orang harus siap melaksanakan Sadhana.
Sadhana artinya bersifat Yogi yang mempunyai pengaruh terhadap Dasa Sila. Dasa Sila menunjang yoga.
Jika diperoleh pengetahuan yang tidak bersifat jasmaniah, tidak bersifat Maya Tattwa ini dinamakan Turyantapada. Maka ia dinamakan Jiwanmukta, mendapat pembebasan atau Moksa semasih hidup. Niskala telah dicapai melalui Samadhi, tetapi jasmaninya belum binasa
karena ia menyadari bahwa Karma Wasana
belum binasa, maka ia memusnahkannya dengan api yoga. Dengan cara ini ia
membersihkan kotoran. Jagrapada bertemu
dengan Turyapada melahirkan Saptangga, Saptagni dan Saptamrta.
Tanah (Prthiwi), air (Apah), cahaya (Teja),
udara (Wayu), ether (Akasa), akal (Budhi) dan pikiran (Manah)
itulah yang disebut Saptangga. Yang
disebut Saptagni. Adapun
bagian-bagiannya yakni : Ghrata
artinya alat penciuman, Rasayita
artinya alat perasa enam jenis rasa. Drasta
artinya alat penglihatan, Sprasta
artinya yang digunakan merasakan sentuhan. Srota
artinya alat pendengar. Manta artinya
alat untuk berpikir. Bodha artinya
alat untuk mengetahui. Itulah yang disebut Saptagni.
Jenis-jenis Tattwa yang sepatutnya
diketahui oleh Sang Yogiswara,
sehingga dapat membakar kekotoran yang ada dalam badannya. Inilah yang disebut Saptamrta. Suara didengar, Sentuhan
dirasakan, Bentuk dilihat, Rasa dikecap, Bau dicium, Gagasan dipertimbangkan
dan Pengetahuan dipelajari. Inilah yang disebut Saptamrta. Usahakanlah semua itu, kesemuanya dan Karma Wasana itu diketahui oleh Sang Yogiswara.
2.13 Astaiswarya
Dalam Wrhaspati Tattwa dinyatakan apabila sang
Yogiswara telah telah mantap dalam
yoga, dalam artian Karma Wasana-nya
telah terbakar musnah oleh Siwagni,
konsentrasinya menjadi kokoh dan kuat. Tuhan selalu ada dalam dirinya. Karena
itu ia dikatakan Cintamani (segala
yang ia inginkan terpenuhi). Sebagai manifestasinya ia mendapat delapan Aiswarya. Yang meliputi Anima, Laghima, Mahima, Prapti, Prakamya,
Isitwa, Wasitwa, Yatrakamawasayitwa. Dalam tataran ini, sang Yogiswara telah memiliki kekuatan sama
dengan Tuhan/Iswara.
2.13.1 Anima
Badan seperti
yang diinginkan, meninggalkan wujud kasanya, dan menjadi sangat halus dan
disebut dengan Anima. Badan kasarnya
berubah menjadi sangat halus. Halus artinya bahwa ia mampu datang dan pergi
tanpa diketahui oleh orang yang tak berpengetahuan, seperti anak kecil masuk
dalam air. Begitu pula seorang Yogiswara
masuk dan keluar dari tanah. Tiada yang menghalangi dalam geraknya. Yang mempu
menembus gunung atau batu besar. Tak ada yang tertingga. Badannya lenyap begitu
saja. Inilah yang disebut Anima.
2.13.2 Lagima
Badan yang dahulu berat tiba-tiba menjadi sangat ringan
seperti kapas. Oleh karena itu Yogiswara
melakukan apa yang dikehendaki.semua mungkin baginya, apakah pergi kesurga atau ketujuh alam atau ketujuh Bhuwana. Juga mungkin berkeliling dalam
jagat raya ini. Ia mempunyai kekuatan untuk pergi kemanapun ia suka. Itulah
yang disebut dengan Lagima (sangat
ringan).
2.13.3 Mahima
Kemana saja ia bisa pergi sesuka hatinya, disana ia
bisa tinggal sesuka hatinya. dan karena dimana-mana ia dihormati ia dinamakan Mahima. Ia berkeliling diberbagai
tempat. Di tempat itu ia disambut, dihormati, dan diberi segala yang
menyenangkan, makanan dan hadiah. Itulah yang dinamakan Mahima.
2.13.4 Prapti
Segala yang diinginkan oleh Yogiswara ia dapatkan tanpa mencari ataupun meminta. Apa saja yang
diinginkan bahkan sejumlah besar karma wasana ia berhasil mendapatkan untuk
kebahagiaannya. Bila ia mendapat kebahagiaan itu untuk segera menghentikan Karma Phala, ia merubah dirinya menjadi Sahasradeha yaitu mempunyai seribu badan
untuk menikmati surga. Ia menikmati segala-galanya seperti wanita cantik yang
ada disana, Bhoga, Upabhoga dan Paribhoga. Bila telah selesai menikmati
semuanya ia merasa puas, ia pun tidak memikul beban Karma Phala, itulah Prapti.
2.13.5 Prakamya
Jika wujud itu
diciptakan oleh dirinya sendiri, juga dicapai oleh dirinya sendiri, maka wujud
yang diciptakan sekehendak hatinya itu dinamakan prakamya. Yathetccha
Yogiswara yaitu wujud apa saja yang diinginkan, apakah Tuhan, manusia, atau
binatang, wujud itu diberikan kepadanya dan berfungsi sebagai wadahnya. Itulah Prakamya.
2.13.6 Isitwa
Bila ia pergi ke
surga untuk menyenangkan hatinya, ia mempunyai kekuasaaan untuk menundukkan
Brahma, Wisnu, Indra, dan Surya di surga juga para Dewa, karena Tuhan ada dalam
Yogiswara. Karena itu Yogiswara mempunyai kekuasaan untuk
mengendalikan semua Dewa. Itulah Isitwa.
2.13.7 Wasitwa
Ia mempunyai
kekuasaan untuk memberi perintah kepada para Dewa jika mereka tidak para Dewa
tidak patuh Sang Yogiswara memiliki
kekuasaan untuk menyerang mereka. Karena sebenarnya sang yogiswara pemilik
seluruh jagat raya ini. Itulah Wasitwa.
2.13.8 Yatrakarmawasayitwa
Yatrakarmawasayitwa
adalah keinginan untuk mempunyai wujud sedemikian rupa sehingga dapat
menghukumpara Dewa, manusia, dan binatang, bila ia melanggar perintahnya.
Itulah Yatrakarmawasayitwa
2.14 Kajian ajaran Siwa Siddhanta dalam Wrhaspati Tattwa
Ajaran
Siva Siddhanta di Bali sebagai sebuah
kristalisasi dari semua paksa yang
pernah berkembang di Bali memiliki sumber-sumber ajaran salah satu sumber
ajarannya adalah Wrhaspati Tatwa. Wrhaspati Tattwa sebagai pustaka suci tradisional
Bali memiliki nilai-nilai suci yang sarat dengan religius ajaran siwa (siwaistik). Siwaistik adalah sebuah personifikasi azas yang disebut Siwa-Sakti. Siwa adalah simbol Purusa
atau Iswara atau disimbolkan dengan
kiblat Timur warna putih. Sakti adalah simbol Prakerti yang disimbolkan juga sebagai kiblat utara warna hitam. Siwa-sakti inilah pasangan dewata yang
paling dimuliakan oleh penganut paham Siwa
(Yasa dkk, 2008 : 31).
Dari pemaparan
diatas terkait dengan ajaran-ajaran inti Siva
Siddhanta yang terkandung dalam Wrhaspati
Tattwa, secara garis besar dapat penulis kaji nilai-nilai ajarannya sebagai
berikut :
Wrhaspati
Tattwa menyebutkan bahwa ada dua elemen tertinggi yang
menjadi sumber adanya segala sesuatu yakni Cetana
dan Acetana. Cetana merupakan unsur
kesadaran (consciousnees) yang
terdiri atas Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa
Tattwa dan Siwa Tattwa dan acetana merupakan unsur ketidaksadaran (unconsciousnees). Cetana Telu yakni tiga tingkat kesadaran. Paramasiwa memiliki tingkat kesadaran tertinggi, Sadasiwa menengah dan Siwatma terendah. Tinggi rendahnya
tingkat kesadaran tergantung pada frekuensi pengaruh Maya (Pudja, 1983 : 7).
Lebih lanjut, hal
senada disampaikan Gunawan (2012 : 109) bahwa dari sudut pandang filsafat
dengan banyak sedikitnya pengaruh Maya
terhadap Cetana maka ia digolongkan
menjadi tiga wujud Tri Purusha yaitu
: (1) Parama Siwa atau Tuhan dalam
keadaan Nirguna Brahman; (2) Sada Siwa atau Saguna Brahman; (3) Siwatma Tuhan dalam keadaan Maya yang menjadi jiwa semua mahkluk.
Perbedaan wujud seperti diatas bukanlah mengandung arti Polytheis karena pokok atau sumbernya tetaplah satu. Namun
digolongkan menjadi tiga wujud yang didasarkan atas sifat, fungsi, dan
aktifitas tertentu sebagai akibat adanya pengaruh Maya.
Analogi dari Tri Purusa bisa dicontohkan seperti seseorang
yang mengajar mata kuliah Siwa Siddhanta, ketika mengajar di kampus
maka orang tersebut disebut dosen, jika orang tersebut pulang ke rumah maka ia
menjadi suami bagi istrinya, dan ayah bagi anaknya, jika orang itu berbaur
dengan warga lainnya disebut anggota masyarakat, jika sedang bertani di sawah
disebut petani. Dari semua sebutan nama tadi sebenarnya orangnya adalah satu
tetapi karena pekerjaannya banyak, maka orang tersebut mempunyai banyak nama
sesuai dengan pekerjaan, sifat, tempat dan tanggung jawabnya. Demikian juga
Tuhan yang memiliki tiga fungsi yang pada dasarnya Tuhan hanya satu. (Gunawan,
2012 : 109).
III Simpulan
Wrhaspati
Tattwa termasuk kedalam salah satu pustaka suci yang
didalamnya terkandung nilai-nilai ajaran suci yang sarat dengan religius
tentang ajaran kebenaran tertinggi yakni Siwa
(Siwaistik). Sumber ajaran ini merupakan hasil dialog antara Bhatara Siwa dengan Bhagawan Wrhaspati mengenai cetana
dan acetana sebagai pasangan beroposisi
yakni Siwa-Sakti, Siwa-Maya, vidya-avidya,
siang-malam, suka-duka dsb.
Wrhaspati Tattwa
mengajarkan cara untuk mencapai kelepasan atau kebebasan dari ikatan
keduniawian melalui Sadanggayoga
yakni enam jalan menghubungkan diri denganNya yang dilandasi atas etika
moralitas disebut dengan Dasa Yama Brata
terdiri dari Yama dan Niyama Brata. Naskah ini juga
mengajarkan menemukan Tuhan dalam dirinya sendiri.
Dengan
mempelajari segala Tattwa (Jnana Bhyudreka), tidak tenggelam dalam
kesenangan hawa nafsu (Indriya Yoga Marga)
dan tidak terikat pada pahala-pahala perbuatan baik atau perbuatan buruk (Trsna Dosa Ksaya). Sebagai persyaratan
untuk memperoleh kelepasan atau Moksa.
Berkenaan dengan itu juga, harapan penulis dalam tulisan ini dikemukakan
berdasarkan pertimbangan berikut. Perbuatan bukanlah kebaikan, apabila makna
(kebaikan) teks Wrhaspati Tattwa
dibiarkan berhenti pada terminal normatif, tanpa membawanya ke wilayah
aplikatif, kedalam dunia fenomena (manusia). Artinya kebaikan itu lebih sebagai
bukti daripada menjadi saksi. Perbuatan bukanlah kebaikan, jikalau manusia
hanya baik dalam pikiran dan tidak dalam
tindakan. Swami Rama menegaskan bahwa pelaksanaan dalam bentuk perbuatan
lebih baik daripada meyimpannya dalam bentuk pengetahuan hapalan yang hanya
eksis dalam pikiran dan ucapan. Hal itu selaras dengan filsafat tindakan bahwa
tindakan tanpa pengetahuan akan berbahaya dan sebaliknya pengetahuan tanpa
tindakan akan sia-sia. Jadi, antara pengetahuan dengan tindakan harus seimbang
adanya. Inilah semangat utama yang mengalirkan tulisan ini hendak memasuki
wilayah-wilayah dunia praksis kehidupan.
Daftar
Pustaka
Gunawan,
I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar
Siva Siddhanta I. Singaraja : Tanpa Penerbit.
Pudja,
G, dkk. 1983. Tatwa Darsana. TKP :
Proyek Pembinaan Mutu Pendidikan Agama Hindu dan Buddha Departemen Agama.
Putra, I.G.A.G dkk. 1998. Wrhaspati Tattwa. Surabaya : Paramita.
Tim
Penyusun. 2003. Siwa Tattwa. Denpasar
: Pemerintah Prov. Bali Kegiatan Peningkatan Sarana Prasarana Kehidupan
Beragama.
Watra, I
Wayan. 2007. Pengantar Filsafat Hindu (
Tattwa I). Surabaya: Paramita.
Yasa, I
Wayan Suka, dkk. 2008. Siwaratri (Wacana
Perburuan Spiritual Dulu dan Kini). Denpasar : Fakultas Ilmu Agama UNHI
Bekerjasama Dengan Penerbit Widya Dharma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...