UPACARA
POTONG GIGI (Mapandes)
Uraian
Upacara
Upacara ini dapat
dijadikan satu dengan upacara meningkat dewasa, dan mapetik, dan penambahan
upakaranya tidaklah begitu banyak. Upakara ini bertujuan untuk mengurangi “Sad
Ripu” dari seseorang, dan sebagai simbulnya akan dipotong 4 buah gigi atas dan
2 buah taring (semua berjumlah 6 buah). Yang di maksud dengan “Sad Ripu” adalah
6 sifat manusia yang dianggap kurang baik, bahkan sering dianggap sebagai musuh
di dalam diri sendiri. Keenam sifat tersebut adalah :
1. Tamak
/ loba.
2. Suka
menipu.
3. Suka
dipuji (moha).
4. Murka/
kroda (suka marah).
5. Suka
menyakiti sesama makhluk.
6. Suka
memfitnah.
Demikianlah
upacara potong gigi itu bukanlah semata-mata mencari keindahan/ kecantikan
belaka, melainkan mempunyai tujuan yang mulia.
Susunan
Upakaranya.
1. Upakara
yang paling kecil
Banten pabyakalaan, prayascita,
pengelukatan, dan tataban seadanya.
2. Upakara
yang lebih besar
Seperti diatas, tetapi tatabannya
memakai pulagembal.
Catatan
:
Disamping
upakara-upakara tersebut, terdapat pula upakara/ perlengkapan lainnya yaitu :
a. Upacara
dilaksanakan pada sebuah bangunan yang biasa untuk upacara Manusa Yadnya,
dilengkapi kasur, bantal, tikar bergambar Semara- Ratih; Bisa juga ditutupi
dengan permadani/ yang sejenis.
b. Bale
Gading :
Bale gading ini dibuat dari bambu
gading (yang lain) dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning,
serta di dalamnya diisi banten peras, ajuman, daksina (kadang-kadang dapat
dilengkapi dengan suci), canang buratwangi, canang sari dengan raka-raka :
kekiping, pisang mas, nyahnyah gula kelapa dan periyuk/ sangku berisi air serta
bunga 11 jenis. Bale- gading adalah sebagai tempat Sanghyang Semara-Ratih.
c. Kelapa
gading yang dikasturi, airnya dibuang dan ditulis “Ardanareswari” (gambar
Semara Ratih). Kelapa gading ini akan dipakai sebagai tempat “ludah” dan
“singgang-gigi” yang sudah dipakai. Setelah upacara, kelapa gading ini dipendam
di tempat yang biasa untuk maksud tersebut.
d. Untuk
singgang gigi (pedangal), adalah tiga potong cabang dadap dan tiga potong tebu
malem/ tebu ratu. Panjang pedangal ini kira-kira 1cm atau 1 setengah cm.
e. “Pengilap”
yaitu sebuah cincin bermata mirah.
f. Untuk
pengurip-urip, adalah empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih, dan
kapur.
g. Sebuah
bokor yang berisi : kikir, cermin dan pahat. (Biasanya “pengilap” yang tersebut
di atas ditaruh pada bokor ini, demikian pula pengurip-urip” nya.
h. Sebuah
tempat sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang, dan gambir (di
dalam lekesan itu sudah berisi kapur).
i. Banten
“tetingkeb” yang akan diinjak waktu turun nanti (dapat diganti dengan segehan
agung).
Pelaksanaan
Upacara.
Seperti
biasa dilakukan upacara mabyakala dan maprayascita, lalu bersembahyang
kehadapan Batara Surya, dan Sang Hyang Semara Ratih, kemudian naik ke tempat
upacara potong gigi (ke balai yang tersebut di depan) serta duduk menghadap ke
hulu (ke luanan). Pimpinan upacara mengambil cincin yang akan dipakai untuk
nga- “rajah” pada beberapa tempat yaitu :
Pada dahi (antara kedua kening)
dengan huruf ()
Pada taring
sebelah kanan dengan huruf ()
Pada gigi atas
dengan huruf ()
Pada gigi bawah
dengan huruf ()
Pada lidah bawah
dengan huruf ()
Pada dada dengan
huruf ()
Pada nabi puser
dengan huruf ()
Pada paha kanan
dan kiri dengan huruf ()
Penulisan
“Rerajahan” tersebut sesuai dengan pilihan pimpinan upacara (Sangging) yang
memimpin upacara Metatah tersebut. Setelah itu diperciki “tirtha pesangihan”,
kemudian ditidurkan menengadah, ditutupi dengan kain/ rurub dan selanjutnya
acara dipimpin oleh “sangging” yaitu orang yang bisa melaksanakan hal tersebut.
Tiap kali “pedangal” diganti; Ludah serta pedangal yang sudah dipakai dibuang
ke dalam “kelungah” kelapa gading. Bila dianggap sudah cukup rata, lalu diberi
pengurip-urip (kunir), kemudian berkumur dengan air cendana, selanjutnya makan
sirih (ludahnya ditelan tiga kali), dan sisanya dibuang ke dalam kelapa gading.
Sore hari (setelah berganti pakaian) dilaksanakan acara natab/ ngayab dipimpin
oleh sulinggih atau orang yang wajar untuk maksud tersebut.
Beberapa
Mantra.
1. Mantra
kikir :
OM
Sang Perigi Manik, aja sira geger lunga, antinen kakang nira Sri Kanaka teka
kekeh pageh, tan katekaning lara wigena, teka awet-awet-awet.
2. Mantra
waktu pemotongan gigi yang pertama :
OM
lunga ayu, teka ayu (diucapkan 3 kali).
3. Mantra
pangurip-urip :
OM
urip uriping bayu, sabda idep, teka urip, Ang Ah.
4. Mantra
lekesan :
OM
suruh mara, jambe mara, timiba pwa sira ring lidah, Sang Hyang Bumi Ratih
ngaranira, tumiba pwa sira ring hati, Kunci Pepet arannira, katemu-temu delaha,
samangkana lawan tembe, metu pwa sira ring wewadonan Sang Hyang Sumarasa
arannira, wastu kedep mantranku.
Catatan
:
Menurut Lontar
Sastra Proktah (tutur Sang Hyang Yama) tidak wajar Sawa (mayat) itu ditadah “Ngeludin wangke ngaran”.
UPACARA
MAWINTEN
Upacara
ini bertujuan untuk mohon waranugraha akan mempelajari ilmu pengetahuan seperti
kesusilaan, keagamaan, weda-weda dan sebagainya.
Pemujaan di sini diutamakan kehadapan
tiga dewa yaitu : Betara Guru,
sebagai pembimbing (guru), Betara Gana,
sebagai pelindung serta pembebas dari segala rintangan/ kesukaran, dan Dewi Saraswati , sebagai Dewi/ penguasa
ilmu pengetahuan.
Susunan
upakaranya.
Sebagai
pasaksi adalah : peras, ajuman,
daksina, banten “Saraswati”, dan sebuah cakepan (pustaka). Di depan Sanggar
Pasaksi : banten pawintenan serta perlengkapannya/ tataban. Untuk yang akan
mewinten : dibuatkan byakala, prayascita dan untuk pengelebar adalah segehan
serta peras.
Penjelasan
beberapa buah banten :
1. Banten
Saraswati :
Sebuah tamas yang berisi pisang
mas, bubur precet 22 takir, bubur dibungkus dengan daun beringin 22 biji
(dibungkus dengan daun “keraras” 22 biji, air cendana, empehan, madu, nyahnyah
gula kelapa, serta jajan-jajan yang lain, buah-buahan, canang mererepe,
lengawangi, buratwangi, dan canang sari. Di samping itu pada tamas yang lain
diisi bunga-bunga yang berwarna putih seperti : menuh, gambir, tunjung,
selasih-miyik, kemerakan, cempaka, dan lain-lain yang berbau harum.
2. Banten
Pewintenan (yang kecil) :
Alasnya adalah kulit sesayut, di
atasnya diisi sebuah tumpeng dengan puncaknya telur itik yang direbus, ikannya
itik putih yang diguling, dilengkapi dengan buah-buahan, jajan, “jaja saraswati
11 buah” dan lain-lainnya.
Perlengkapan untuk “ngerajah” dahi
serta bagian badan lainnya, adalah Lekesan yang ujungnya berisi tunjung biru.
Untuk ngerajah lidah : madu dan
tangkai sirih sebanyak orang yang akan diwinten.
“Untal-untalan” (yang akan ditelan)
: Lekesan 3 biji, ditulisi tri aksara (Ang, Ung, Mang); Sebaiknya menggunakan
huruf Bali/ Jawa/ Sansekerta/ huruf daerah.
“Labahan” (dimakan seusai upacara)
adalah : Lekesan, pinang serta tembakau, sebanyak orang yang akan diwinten (di
dalam lekesan sudah berisi gambir).
Pelaksanaan
Upacara.
Upacara
ini sedapat mungkin dipimpin oleh Sulinggih dan acaranya mengikuti petunjuk
beliau. Hal ini disebabkan adanya acara “ngerajah”.
Bratan
Pemangku.
1. Diusahakan
berambut panjang, kalau dipotong oleh sesama pemangku atau oleh diri sendiri.
2. Pada
waktu menjalankan swadarma hendaknya menurut bhusana pemangku.
3. Tidak
boleh makan daging sapi dan babi piaraan.
4. Dalam
hal kematian (kecuntakaan) hendaknya membatasi diri, tidak ikut ngarap sawa dan
mengecap sesuatu yang berasal darinya. Dan kegiatannya hanya terbatas pada
pelaksanaan upacara.
UPACARA
PERKAWINAN
Uraian
Upacara
Upacara
perkawinan merupakan persaksian, baik kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
maupun kepada masyarakat bahwa kedua orang tersebut mengikatkan diri sebagai
suami-istri, dan segala akibat perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka
bersama. Di samping itu upacara tersebut juga merupakan pembersihan terhadap “sukla swanita” (bibit) serta lahir
bathinnya.
Hal ini dimaksud
agar bibit dari kedua mempelai bebas dari pengaruh-pengaruh buruk (gangguan
Bhuta Kala), sehingga kalau keduanya bertemu (terjadi pembuahan) akan
terbentuklah sebuah “Manik” yang sudah bersih.
Dengan
demikian diharapkan agar “Roh” yang akan menjiwai Manik itu adalah Roh yang
baik/ suci, dan kemudian akan lahirlah seorang anak yang berguna di masyarakat
(yang menjadi idaman orang tuanya). Lain daripada itu, dengan adanya upacara
perkawinan secara Agama Hindu, berarti pula bahwa kedua mempelai telah memilih
Agama Hindu sebagai pegangan hidup di dalam membina rumah tangganya.
Selanjutnya menurut beberapa lontar seperti Kuno Dresthi, Eka Pertama dan
lain-lainnya, dikemukakan bahwa hubungan sex (di dalam suatu perkawinan) yang tidak didahului dengan upakara
“pedengen-dengenan”
( pekala-kalaan) di anggap tidak baik,
dan disebut “Kamakeparagan”. Kalau kedua kama itu bertemu atau terjadi pembuahan,
maka lahirlah anak yang disebut “Rare-diadiu”,
yang tidak mau mendengarkan nasehat orang tua atau ajaran-ajaran Agama.
Hal ini mungkin
ditujukan kepada perkawinan yang direstui/ disetujui oleh kedua belah pihak
(pihak orang tua si gadis dan pihak orang tua si pemuda). Tetapi di Bali masih
sering terjadi perkawinan secara “Ngerorod”, sehingga kemungkinan sekali segala
upacara akan ditunda sampai tercapainya kata sepakat antara kedua belah pihak.
Dan hubungan sex yang mungkin terjadi dalam hal ini, kiranya tidaklah dapat
dianggap sebagai “Kamakeparagan”, karena perbuatannya dilakukan dengan penuh
kesadaran dan rasa tanggung jawab atas segala akibatnya. Sebagai contoh
dapatlah dikemukakan perkawinan antara Dewi Sakuntala dengan Prabu Duswanta, di
mana menurut ceritanya perkawinan itu tidak disertai dengan sesuatu upakara/
upacara apapun.
Upacara-upacara di dalam perkawinan
kiranya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Upacara
medengen-dengenan (mekala-kalaan) adalah upacara yang terpenting (pokok) di
dalam perkawinan, karena dalam upacara inilah dilakukan pembersihan secara
rokhaniah terhadap “bibit” kedua mempelai, dan pesaksian atas perkawinannya,
baik kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan masyarakat. Oleh karena itu pelaksanaannya sedapat mungkin tidak
tertunda.
2. Upacara
natab, dan mapejati (ngaba jaja), merupakan penyempurnaan di dalam perkawinan.
Tujuannya untuk membersihkan lahir bathin kedua mempelai, memberi bimbingan
hidup dan menentukan status salah satu
pihak. Pelaksanaannya kadang-kadang tertunda beberapa hari tergantung pada
keadaan.
Susunan
Upakara.
1. Upakara
yang kecil :
Untuk penyemputan, di muka rumah si suami.
Segehan cacahan warna lima, api
takep dan tetabuhan.
Untuk peresmian perkawinan.
Banten pedengen-dengen
(pekala-kalaan), tataban seadanya dan pejati.
2. Upakara
yang lebih besar :
Untuk penyemputan di muka rumah si
suami.
Seperti di atas, dilengkapi dengan
carun-patemon.
Untuk peresmian perkawinan.
Seperti di atas, dilengkapi dengan
carun-patemon dan tataban pulagembal, serta sesayut nganten.
Penjelasan
berapa buah banten.
1. Banten
pedengen-dengenan (pekala-kalaan), yang terdiri dari :
Peras, ajuman, daksina, suci dengan
ikannya telur itik yang direbus, tipat kelanan, sesayut, pengambyan, penyeneng,
tulung, sanggah urip, pamugbug (tumpeng kecil 5 buah dialasi dengan kulit
sesayut, raka-raka dan lauk-pauk); Untek 7 buah (dialasi dengan taledan
dilengkapi dengan raka-raka dan lauk pauk), solasan 22 tanding (nasi yang
dialasi taledan kecil), dilengkapi dengan lauk-pauk, ikannya sesate, dan
lekesan/sirih selengkapnya, bayuan (penek warna 5 dialasi daun telujungan
ikannya “olahan” ayam brumbun, dan kulit dari ayam tersebut ditaruh di atasnya
dilengkapi kewangen; jika tidak mungkin membuat olahan/sesate, maka ayam itu
dapat pula dipanggang). Kemudian dilengkapi dengan pabyakalaan, prayascita,
lis, gelar sanga, tetabuhan, dan beberapa perlengkapan seperti :
a. Tikeh
dadakan : adalah sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang masih
hijau. Ini merupakan simbul kesucian si gadis.
b. Kala
Sepetan, adalah sebuah bakul bambu berisi sebutir telur ayam mentah, ditutupi
sebuah serabut kelapa belah tiga (sambuk kupak telu) diikat dengan benang
putih, hitam dan merah, di atasnya diisi ujung cabang dapdap, serta lidi
masing-masing 3 biji. Ada juga yang tidak memakai bakul bambu sedangkan telur
ayam dimasukkan ke dalam serabut kelapa.
c. Tegen-tegenan,
terdiri dari : cangkul, sebatang tebu, dan cabang dadap. Pada salah satu
ujungnya digantungi periyuk yang berisi tutup, dan ujungnya yang lain
digantungi bakul berisi uang.
d. Sok
padagangan : adalah sebuah bakul yang berisi beras, kain, bumbu-bumbuan,
rempah-rempah, pohon kunir, keladi, andong serta kapas.
e. Penegtegan
: biasanya dipakai tiang daripada Sanggah Kamulan yang disebelah kanan, yaitu
diisi sebuah keris lengkap dengan pakaiannya.
f. Pepegatan
: dibuat dari dua buah cabang dadap, yang ditancapkan agak berjauhan dan
keduanya dihubungkan dengan benang putih.
g. Tetimpug
: dibuat dari beberapa potong bambu yang masih kedua ruasnya. Dalam upacara
nanti bambu ini dibakar sampai mengeluarkan bunyi (meletus).
2. Carun
patemon yang terletak di jalan.
Nasi
dialasi bakul, ikannya karangan babi (atau yang lain), nasi yang digulung
dengan “upih” (daun) (ikannya hati), dilengkapi dengan bunga cempaka 2 buah
canang buratwangi, sesari 25 dan tetabuhan. Banten ini dihaturkan kehadapan
Sang Bhuta Hulu Lembu, Sang Bhuta Harta dan Sang Bhuta Kilang-Kilung.
3. Carun
patemon yang terletak di atas pintu.
Nasi
takilan ikannya darah mentah dialasi limas (tangkih), bawang, jahe, dan garam.
Banten ini dihaturkan kehadapan : Sang Bhuta Pila-Pilu, Sanghyang Sasarudira,
Sanghyang Muladrawa, Sanghyang Ragapanguwus, Kaki Rangga- ulung, dan Kaki
Rangga tan kewuh.
4. Banten
pejati (jauman)
Peras,
ajuman, daksina, suci ikannya itik diguling, tipat kelanan, bantal, jaja
kuskus, dan beberapa jenis jajan lainnya, dilengkapi dengan sirih, pinang,
tembakau, gambir, rantasan-saparadeg (pakaian 1 stel), kadang-kadang dilengkapi
dengan 2 buah tumpeng lengkap dengan guling babi. Banten ini dihaturkan di
Sanggah Kamulan, kemudian diserahkan kepada orang tua si gadis.
Beberapa
Mantra.
1. Mantra
pengelukatan
OM
Sanghyang Kama jaya-Kama ratih, sira ta maka uriping carmaning ngulun, yan sira
angawe manusa, aja sira amiruda, amrisakiti, wehana pangalukatan luputa ring
lara roga, sanut sangkala, sebel kandel, ring awak sariran ipun. OM siddhi
rastu, OM. çri, çriambawane sarwa roga winasaya, sarwa papa winasanem, sarwa
klesa winasa ya namo namah.
2. Mantra
natab banten “pedengen-dengenan”.
OM
indah ta kita Sang Kala-Kali, puniki pabyakala kalane si anu katur ring sang
Kala-Kali sadoyo, sira reka pakulun angelu waraken sakwehing Kala Kacarik, Kala
Patti, Kala Karapan, Kala Karogan, Kala Mujar, Kala Kapepengan, Kala Sepetan,
Kala Kapepek, Kala Cangkingan, Kala Durbala-Durbali, Kala Brahma makadi
sakwehing Kala haneng ring awak sariran ipun si anu, sami pada kaluwarane de
nira Betara Siwa wruh ya sira ring Hyang Hyangganing awak sariranira,
kajenengana denira Sanghyang Tripurusangkara, kasaksenan denira Sanghyang
Triodasa-saksi, lah ya maruwaten sang Kala-Kali mundura dulurane rahayu den
nutugang tuwuh ipun si anu, tunggunen dening bayu pramana, mwang wreddhi putra
listu ayu, (kadang-kadang dilanjutkan dengan : “ Ayu wreddhi.......).
Tata
Upacara Medengen-dengenan.
Seperti
biasa terlebih dahulu mabyakala, dan maprayascita, kemudian mempelai disuruh
duduk menghadap Sanggah Kamulan serta banten pedengen-dengenan. Setelah banten
tersebut dipujai seperlunya lalu kedua mempelai bersembahyang, kemudian di
upakarai dengan alat-alat yang ada pada pebersihan seperti : sisig, keramas,
segau, tepung tawar dan sebagainya, lalu diberi pengelukatan, dan kemudian
natab banten pedengen-dengenan. Selanjutnya kedua mempelai berjalan
mengelilingi Sanggah Kamulan, Sanggar Pasaksi, tiap kali melewati Kala Sepetan
kakinya disentuhkan sebagai simbul pembersihan sukla-swanita dan dirinya.
Setelah tiga kali, lalu penganten yang laki berbelanja, sedangkan yang
perempuan menjual segala yang ada pada “sok bebelanjaan” (waktu berjalan
pengantin yang laki memikul tegen-tegenan dan yang perempuan menjungjung sok
bebelanjan).
Upacara
jual beli ini mungkin sebagai simbul tercapainya kata sepakat untuk memperoleh
keturunan. Kemudian dilanjutkan dengan “merobek tikar” (tikeh dadakan), dimana
pengantin yang perempuan memegang tikar tersebut, dan yang laki merobek dengan
keris yang berada pada Penegtegan. Hal ini merupakan simbul “ pemecahan selaput gadis”. Setelah itu
kedua mempelai memutuskan benang yang terlentang pada cabang dadap (pepegatan),
sebagai tanda bahwa mereka telah melampaui masa remajanya, dan kini berada pada
fase yang baru sebagai suami-istri. Kemudian bersama-sama menanam pohon kunir,
andong dan keladi di belakang Sanggah Kamulan, dilanjutkan dengan mandi/
berganti pakaian.
Sore
harinya dilakukan upacara melukat, mejaya-jaya dan natab dapetan seadanya, dan
akhirnya mapejati (ngaba jaja). Upacara mepejati ini bertujuan untuk menyatakan
bahwa mulai saat itu si gadis tidak masih menjadi tanggung jawab dan hak waris keluarganya.
Dengan demikian
upacara perkawinan dianggap selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...