I. RANGKUMAN MAKNA FILOSOFIS UPAKARA YAJNYA
1.1 CANANG
SARI
Canangsari berasal dari bahasa jawa kuno yang pada berarti: “Sirih”, yang mana sirih ini disuguhkan
kepada para Tamu (Uttama) yang
dihormati. Di Bali kebiasaan bagi para tetua dalam memakan daun sirih disebut dengan “Pecanagan”. (Pasek Swastika,2008:90). Canangsari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih
menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih Setelah Danghyang
Markandeya moksah.
Mpu
Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat
variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan
menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang,
daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang
komak.
Menurut Bagus Sugriwa
dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali
wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu
memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta
meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara.
Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima
oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas
yaitu dan salah satunya adalah Mpu Sangkulputih.
Selain canangsari beliau juga menciptakan
bentuk-bentuk canang yang lainya
seperti: canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala,
pungu-pungu, beakala, ulap ngambe. (http://balikasogatan.blogspot.com/2010/02/siwa-siddhanta.html
diakses 9 April 2012).
Setelah
agama Hindu berkembang di Bali, sirih itupun menjadi unsur penting dalam
upacara agama dan kegiatan lain. Di Bali, setiap pembuatan upacara dari yang
paling besar sampai yang paling kecilpun selalu mempergunakan daun sirih. Namun
daun sirih tidak di pakai begitu saja, daun sirih dibentuk sedemikian rupa
diisi dengan kapur atau pamor dan pinang, selanjutnya dilipat kedalam lipatan
janur kemudian ditusuk dengan semat. Rangakaian daun sirih, Pamor dan pinang
ini di Bali disebut dengan porosan.
Porosan merupakan unsur terpenting yang harus ada dalam sebuah
canangsari tanpa adanya porosan maka
canang belumlah memiliki nilai agama secara spiritual. Porosan inilah yang memberikan fungsi yang sangat penting pada
canangsari. Canangsari ini dalam
persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista). Kenapa disebut terkecil namun
inti, karena dalam setiap banten atau yadnya apa pun selalu berisi Canangsari.
Makna
Filosofis Canangsari
Canangsari sebagai salah satu sarana dalam upacara
keagamaan agama Hindu di Bali terdiri dari beberapa bahan penting yang
masing-masing bahan memiliki nilai-nilai filosofis. Bahan-bahan itu yaitu:
1. Canangsari memakai alas berupa ceper,
pembuatannya dilakukan dengan cara melipat janur sehingga
berbentuk segi empat. Kemudian ditutup dengan dua
potong janur yang dijahit melintang sperti tapak
dara. Bentuk segi empat melambangkan Catur
Loka Pala atau empat arah mata angin, dan setelah ditambahnya penututupnya
akan memiliki makna delapan mata arah angina atau “astadala”.
2. Porosan, seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Porosan itu terdiri dari janur, sirih, kapur dan pinang. Porosan biasanya diletakkan sebagai dasar dari Canang, adapun makna filosofis dari porosan ini adalah lambang pemujaan kepada Tuhan yang Maha Esa
dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang
Tri Murti. Pinang lambang pemujaan pada Dewa Brahma, kapur lambang pemujaan
pada Dewa Siwa, sirih lambang pemujaan pada Dewa Wisnu.
3. Bunga, melambangkan ketulus iklasan dan kesucian di saat kita
melakuakan pemujaan kepada Ida Sang Hyang
Widhi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatiakan dalam pemakaian bunga
yaitu; bunga yang dipakai disini adalah bunga yang masih segar dan berbau harum
dan jangan sampai memakai bunga yang sudah di makan ulat dan terlebih lagi
bunga yang tumbuh dikuburan.
Penataan bunga juga
harus berdasarkan warnanya diatur dengan etika
dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran Panca Dewata. Untuk urutannya disini kita menggunakan patokan
urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu
diawali dari arah Timur ke Selatan.
Bunga berwarna Putih
(jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk
menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa-Nya dalam
kekuatan Sang Hyang Iswara agar
memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk
menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala. Bunga berwarna Merah disusun
untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya
dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar
memercikkan Tirtha Kamandalu untuk
menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan. Bunga berwarna Kuning
disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha
Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi. Bunga berwarna Hitam (jika
sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk
menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi
kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga. Bunga Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah,
adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari
Supraba oleh Prabhawa-Nya dalam
kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha
Maha mertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa) (http:// forum diskusi jaringan hindu nusantara.blogspot.com
diakses 5 Oktober 2012).
4. Tatuwesan atau Reringitan dan Plawa
Tetuwasan atau
reringgitan merupakan lambang keteguhan atau kelanggengan umat manusia. Pada
zaman modern seperti ini, banyak sekali unsur-unsur yang dapat menggoyahkan
pikiran umat manusia. Keteguhan dan kelanggengan pikiran hendaknya tetap
dipertahankan untuk menuju kebaikan dan kebenaran. Pikiran yang teguh dan
langgeng tetap dibutuhkan untuk menuju jalan suci dan kebenaran Tuhan karena
godaan-godaan akan silih berganti datang menggoyahkan cita-cita suci tersebut
(Sudirga, 2005:61).
5. Urasari, bentuk urasari
ini menyerupai tapak dara atau swastika yang masih netral. Dimana
bentuk tapak dara ini merupakan ungkapan secara Vertikal dan Horisontal dari
pikiran umat manusia dalam pemujaan kehadapan Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya. Kemudian setelah dihias
dengan hiasan yang menyilang ke sudut-sudut menjadilah bentuk Padma Astadala. Padma Astadala merupakan lambang perputaran alam yang seimbang yang
merupakan sumber kehidupan untuk menuju kedamaian, kesejahteraan dan
kebahagiaan.
Padma Astadala juga merupakan simbol Dewata Nawa Sanga. Yang dalam Lontar Dasaksara disebutkan sebagai
berikut:
1.
Timur,
warna putih bersthana Dewa Iswara
2.
Tenggara,
warna merah Muda bersthana Dewa Mahesora
3.
Selatan, warna merah bersthana Dewa Brahama
4.
Barat
Daya, warna orange bersthana Dewa Rudra
5.
Barat,
warna kuning bersthana Dewa Mahadewa
6.
Barat
laut, warna hijau bersthana Dewa Sangkara
7.
Utara,
warna hitam bersthana Dewa Wisnu
8.
Timur
laut, wrana Abu/biru bersthana Dewa
sambhu
9.
Tengah,
warna manca warna bersthana Dewa Siwa (Swastika,2008:90).
Makna filosofis dari Urasari yang terdapat dalam canangsari adalah selain sebagai sthana dari para Dewata Nawa Sanga juga
merupakan permohonan kehadapan para dewa untuk berkenan memberikan Anugrahnya
dalam kehidupan ini untuk menuju kehidupan tentram, bahagia, dan sejahtera.
Selain itu konsep penyatuan sekte-sekte kedalam konsep Saiwa Shidanta secara jelas tampak terlihat dalam Urasari.
Makna
filosofis dari canangsari adalah
secara teologis adalah tempat Sthana Ida
Shang Hyang Widhi dalam prabawa-Nya sebagai dewata Nawa Sangga yang di
mohon kehadirannya untuk memberiakan anugerah kepada manusia. Kemudian secara etika canangsari memiliki makna ketetapan hati dan bhakti kehadapan Ida
Shang Hyang Widhi.
1.2 DAKSINA
Daksina
merupakan tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga
merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah dari yadnya.
Hal ini
dapat kita lihat pada berbagai upacara yang besar, di mana kita lihat banyak
sekali ada daksina. Kalau kita lihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang
muput karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan
tanda "terima kasih" baik sekala maupun niskala. Begitu pula kalau
daksina itu kita haturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita
dan sembah sujud kita atas semua karunia-Nya.
Selain
fungsi di atas, daksina memiliki kegunaan lain dalam upacara yadnya diantaranya
yaitu:
A.
Daksina sebagai simbol Hyang Tunggal/ Hyang Guru:
Membuat
sarana perlengkapan daksina yang begitu lengkapnya sehingga dianggap cukup
untuk mewakili isi seluruh alam semesta yang ada. Maka dengan demikian daksina
diartikan sebagai satu kesatuan dan sekaligus sebagai simbol Hyang Tunggal atau
Hyang Guru sebagai manifestasi dari Deva Siva sebagai penguasa alam semesta
ini. Hal ini dinyatakan dalam lontar yajnaprakrti
(Putra, 2003:28)
B.
Daksina sebagai sarana persembahan dalam
upacara Yajna:
Daksina
adalah sarana perlengkapan yang paling penting dari beberapa jenis upacara
Yajna. Sebesar dan semegah apapun pelaksanaan upacara Dewa Yajna, tanpa
menggunakan sarana daksina, maka upacara itu belum dianggap sempurna karena
menggunakan daksina dianggap sebagai media untuk mendekatkan diri dan
mewujudkan kuasa Tuhan, agar tercipta hubungan manusia sebagai bakta yang akan
menyembah Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa yang akan disembah.
C.
Daksina sebagai cetusan rasa terima
kasih:
Daksina dipersembahkan oleh para baktanya, untuk
menyampaikan rasa angayubagia kepada Hyang Widhi beserta manifestasiNya, karena
apa yang dimohon bakta dalam melaksanakan dharmanya sehari-hari sebagai umat
Hindu mendapatkan sesuai yang diinginkan. Fungsi lain dari daksina ini adalah
sebagai sarana untuk media menyempaikan terima kasih kepada para sulinggih atau
para pinandita yang ditugaskan untuk melaksanakan/memuput upacara, juga sebagai
bukti rasa bhakti para umatnya disatu sisi merupakan bentuk pelayanan para
pandita dan pinandita kepada umatnya.
D.
Daksina untuk memohon keselamatan
Sebagai
manusia yang sangat menyadari bahwa jauh dari sempurna, sehingga manusia tidak
akan luput dari kesalahan/hilaf serta segala kekurangan-kekurangan, kesalahan
dan lupa karena keterbatasan pikiran maka perlu melaksanakan permohonan
keselamatan. Khususnya bagi para tukang banten (Serati Banten) kehadiran banten
daksina sebagai Sthana Hyang Widhi mutlak sangat diperlukan. Hyang Widhi
sebagai manifestasiNya Sang Hyang Devi Tapeni/ Bhatari Tapeni (Devanya Serati
Banten) untuk memohon bimbigan keselamatan, dalam melaksanakan pembuatan banten
untuk upacara Deva Yajna tidak sampai melakukan kesalahan akibat keterbatasan
pikiran seperti, kelupaan. Kebingungan dan lain sebagainya. Para Serati Banten
biasanya jika akan membuat sarana bebantenan untuk upacara/upakara maka akan
meletakkan daksina disertai perlengkapan banten yang lain diletakkan di mana
sudah disiapkan tempat banten/ pelangkiran di mana para Serati Banten akan
bekerja untuk membuat banten. Daksina tidak saja diperlukan oleh Serati Banten,
tetapi juga bagi tukang-tukang lainnya seperti tukang unagi bangunan, tukang
terang, tukang membuat gayah, tukang gamelan, tukang ukir dan lain-lain yang
semua tujuannya untuk ngaturang piuning supaya dalam melaksanakan tugasnya
mendapat bimbingan dan keselamatan oleh Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa.
E.
Daksina sebagai Upasaksi (Lambang Hyang Guru):
Pengertian
upasaksi terdiri dari dua suku kata, yaitu upa
dan saksi, upa dapat diartikan
sebagai perantara dan saksi dapat berarti mengetahui. Jadi upasaksi dapat
mengendung pengertian sebagai sarana untuk diketahui atau mempermaklumkan,
dalam hal ini kepada Hyang Widhi dengan manifestasiNya. Tempat untuk
menghaturkan banten upasaksi biasanya dibuat khusus yang diberi nama Sanggar
Upasaksi, Sanggar Surya atau bisa juga Sanggar Tawang tergantung besar kecilnya
upacara yang dilaksanakan. Sanggar Tawang bisa juga disebut Sanggar Agung
biasanya dibentuk bangunan temporer dari bambu petung atau batang pinang yang
sudah dikupas terlebih dahulu.
Bentuknya
dibikin sederhana ruang atas yang dibagi menjadi tiga ruangan, apabila memakai
satu ruangan maka disebut Sanggar Surya. Maka sesuai dengan namanya, maka
Sanggar Tawang berarti sthana di angkasa, dan fungsinya adalah untuk mensthanakan
Hyang Widhi sebagai aspeknya, sebagai Sang Hyang Catur Lokapala atau Hyang Tri
Murti. Oleh umat Hindu sangat diyakini bahwa sthanaNya yang abadi berada di
luhuring akasa (di atas angkasa).Setiap aktifitas ritual umat Hindu dari
pelaksanaan upacara yang sederhana (nista) sampai ketingkatan upacara yang
besar (utama) senantiasa dibuatkan Sanggar Surya atau Sanggar Tawang untuk
memohon kehadiran Hyang Surya guna menyaksikan ketulusan hati umatnya yang
sedang melaksanakan upacara/ Yajna.
Sebagai
upasaksi, banten daksina dijadikan sthana Hyang Widhi, apabila banten daksina
tersebut diletakkan pada Sanggar Surya atau Sanggar Tawang sebagai upasaksi,
maka sudah jelaslah fungsinya. Biasanya banten daksina di Sanggar Surya atau di
Sanggar Tawang tidak berdiri sendiri, tetapi melengkapi atau menyertai
banten-banten yang lainnya, seperti banten pejati, banten peras, banten
dewa-dewi, catur, suci dan banten lainnya.
F.
Daksina sebagai banten pelengkap.
Mengingat
daksina sebagai pelengkap banten-banten lainnya seperti banten pejati, banten
pebangkit, banten pulegembal, dan masih banyak lagi banten yang lainnya yang
tidak penulis sebutkan satu-persatu. Hal ini disebabkan karena upakara atau
banten yang digunakan dalam suatu upacara merupakan satu kumpulan dari beberapa
jenis banten yang disebut soroh dan setiap soroh hampir selalu menggunakan
daksina sebagai runtutannya. Adapun kedudukan daksina yang selalu menyertai
banten-banten yang yang lain adalah karena memang unsur yang terdapat dalam
daksina sangatlah lengkap, selain itu daksina merupakan kekuatan atau saktinya
suatu Yajna. Dengan kata lain suatu upakara Yajna akan menjadi sempurna apabila
ada daksinanya. Lebih jelas kita lihat pada upacara Deva Yajna, seperti
melaspas, mecaru, Ngenteg Linggih, Upacara Pujawali, Panca Walikrama dan Eka
Dasa Rudra. Adapun urut-urutan rangkaian upacara yang umum dilaksanakan adalah
sebagai berikut:
Upakara Ngatur Piuning memulai karya (Nuasin Karya),
upakara Nuur (Mendak) Tirtha, upakara untuk Serati Banten (ngelinggihang Sang
Hyang Tapini) yaitu Devanya Serati Banten, Upakara RsiBijana, Upakara Mapapada
(pada Sanggar Pesaksi) yang ditujukan kehadapan Siwa Raditya dan Giripati, dan
upakara di bale Pawedan. Adapun banten daksina yang digunakan disesuaikan
dengan besar kecilnya upakara (nista, madya, utama). Namun umumnya pada upacara
Deva Yajna dapat penulis sebutkan di atas masih kebanyakan menggunakan daksina
gede atau daksina pemogpog di samping daksina pelinggih dan daksina alit.
G.
Daksina sebagai sarana penebusan :
Daksina
juga berfungsi sebagai penebusan atas kekurangan alam upakara yang
dilaksanakan, terletak pada sesari/ uang. Selain itu uang sesari yang
mengandung juga makna simbol ketulusan hati/ sarining manah. Ada juga yang
menyebut daksina pemogpog yang mengandung makna sebagai menutup bilamana dalam
melaksanakan upakara yajna ada kekurangan, maknanya hampir sama yaitu untuk
penebusan.
Berikut merupakan komponen-komponen pembentuk dari
Daksina:
1.
Bedongan
Adalah sarana upacara
yang dibuat dengan daun kelapa sehingga menyerupai suatu wadah seperti bakul
yang dalam bahasa bali disebut wakul daksina. Nama lainnya dalah bedongan.
2.
Tapak Dara
Tapak dara
merupakan simbol sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga
sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping
menuju arah kehidupan alam sekitar.
3.
Beras merupakan
simbul udara sebagai cerminan sang hyang bayu yang merupakan sumber pokok
kehidupan, dan sebagai simbol benih yaitu benih-benih kehidupan
4.
Kelapa merupakan
simbul matahari atau “windu” yakni
cerminan sang hyang sadha siwa. buah yang serba guna (seluruh bagiannya dapat
digunakan untuk kehidupan manusia) disimbulkan sebagai bumi dan juga sebagai
kepala
5.
Telur merupakan
simbul bulan atau “ardha chandra”
yakni cerminan Sang Hyang Siwa. Telur yang digunakan dalam daksina diusahakan
menggunakan telur itik karena itik mampu memilih makanan yang bisa atau yang
tidak bisa dimakan, itik juga sangat rukun dengan sesamanya dan dapat
menyesuaikan hidupnya baik di darat, air dan juga udara.
6.
Peselan
Peselan ini terdiri dari lima jenis
dedaunan yang mewakili lima warna yaitu:
a. Daun mangga
mewakili warna hijau-hitam
b. Daun durian
mewakili warna putih,
c. Daun langsat
mewakili warna kuning,
d. Daun manggis
mewakili warna merah, dan
e. Daun salak
mewakili warna brumbun.
Kelima macam warna daun ini
dipergunakan sebagai simbul dari Panca Dewata yaitu warna hitam adalah warna
dari Dewa Wisnu, putih adalah Iswara, kuning adalah Mahadewa, merah adalah
Brahma dan brumbun (Panca warna) adalah Siwa. Namun demikian, masih banyak yang
mempergunakan jenis daun yang lain untuk mewakili kelima daun tersebut seperti
daun rambutan, endongan dan sebagainya tanpa mengurangi makna simbolik yang
terkandung didalamnya. Karena selain berpatokan pada tattwa setiap upacara juga
selalu berpatokan pada Desa (tempat), Kala (waktu), dan Patra (Kondisi).
7.
Gantusan
Gantusan yaitu yang dibungkus daun
pisang (2 bungkus). Yang masing-masing diisi dengan segala jenis ikan teri,
bumbu (yang melambangkan isi darat dan laut) serta biji-bijian (5 macam) yang
mempunyai warna (hitam, putih, merah, kuning dan campuran) sebagai cerminan
adanya jiwatman (roh).
8.
Pangi merupakan
simbul sarwa pala bungkah cerminan Sang
Hyang Boma.
9.
Tingkih merupakan
simbul bintang atau “ nata“ yakni
cerminan Sang Hyang Parama Siwa.
10.
Uang kepeng
bolong merupakan simbul “windu sunia”
yakni cerminan “sangkan paran”.
11.
Porosan merupakan
simbul silih asih, cerminan dari Sang
Hyang Semarajaya Semara Ratih.
12.
Benang
tatebus warna putih
Di atas kelapa diisi dengan benang tatebus
warna putih. Penggunaan Benang dalam setiap pelaksanaan upcara keagamaan
memiliki makna simbolik sebagai tali penghubung antara yang memuja dan yang
dipuja, sebagai pengikat spiritualitas kita dan juga pada upakara-upakara
tertentu benang melambangkan usus.
13.
Canang
payasan yang sering juga disebut dengan pasucian/pangresikan. merupakan simbul
asta aiswarya yaitu sang hyang dewata nawa sanga.
Daksina
juga diisi sasari/uang. Daksina secara utuh dalam penggunaannya biasanya
dirangkaikan dengan jenis upakara/bebantenan yang lain seperti : peras, ajuman,
raka, dan yang lainnya. Rangkaian banten ini biasanya disebut dengan pejati.
Namun daksina juga bisa berdiri sendiri apabila daksina tersebut berfungsi
sebagai daksina linggih. Namun dalam daksina linggih ini ditambahkan dengan chili
yang bermakna sebagai simbol wajah. Ada beberapa jenis daksina yaitu : Daksina
alit (isinya tiap/jenis satu biji/butir); Daksina pekala-kalaan (isinya
dilipatkan dua kali); Daksina gede (isinya dilipatkan empat kali); Daksina
krepa (isinya dilipatkan tiga kali); Daksina galahan (isinya dilipatkan 5 atau
10 kali) (Putra, 2003:28).
1.3 PERAS
Perlengkapan serta cara menyusunnya hampir sama dengan
ajuman, tetapi nasinya berbentuk tumpeng (dua buah), alasnya ditempeli
“kulit-peras” yaitu sejenis jejahitan yang khusus. Sedangkan sampiannya disebut
sampian tupeng (sampian peras). Banten ini boleh dikatakan tidak pernah
dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai banten-banten yang lain seperti:
daksina, suci, tulung-sesayut, dan lainnya. Dalam beberapa hal, pada alasnya
dilengkapi dengan sedikit beras, base tampel, uang yang jumlahnya disesuaikan dengan
penggunaannya, dan benang-putih. Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka
seseorang (umumnya pimpinan upacara) akan menarik lekukan pada “kulit peras”,
dan menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada lontar Yajna-prakerti disebut bahwa peras melambangkan Hyang
Triguna-Sakti.
Kiranya kata “peras” dapat diartikan “sah” atau resmi,
umpama: “meras anak” mengesahkan anak; “Banten pemerasan”, yang dimaksud adalah
sesajen untuk mengesahkan anak/cucu; Dan bila suatu kumpulan sesajen tidak
dilengkapi dengan peras, akan dikatakan penyelenggaraan upacaranya “tan
perasida” yang mungkin dapat diartikan “tidak sah”. Oleh karena itu banten
peras selalu menyertai sesajen-sesajen yang lain terutama yang mempunyai
tujuan-tujuan tertentu. (Putra, 2003:29).
Yang menjadi unsur-unsur Peras, yaitu:
Alasnya Tamas/taledan/Ceper; Tamas
lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang
murni/ananda). Ceper/Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja
Marga). Kemudian disusun di atasnya beras (makanan pokok – sifat
rajah), uang kepeng/recehan (untuk mencari segala kesenangan-sifat
tamas), benang (kesucian dan alat pengikat-sifat satwam) merupakan
lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu:
pikiran yang benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang
benar, dan tujuan yang benar. Dua buah tumpeng (simbol rwa bhineda baik-buruk); lambang
kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena
sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/ perempuan) harus
disatuakan baru bisa berhasil (Prasidha), tumpeng adalah lambang keuletan orang
dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat
sukses menuju kepada Tuhan. Base tampel/porosan (poros –
pusat) yang merupakan lambang tri murti. Kojong Ragkat, tempat
rerasmen/lauk pauk; memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus
dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati
nurani). Diisi buah-buahan, pisang, kue secukupnya-persembahan sebagai hasil
kerja kita. Sampyan peras; terbuat dari empat potong janur dibentuk
menyerupai parabola di atasnya, merupakan lambang dari kesiapan diri kita dalam
menerima intuisi, inisiasi, waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya akan
kita pakai untuk melaksanakan Dharma. Canang sari;inti dari segala
yadnya, merupakan simbol dari Ida Sang Hyang Widhi http://neztra.blogspot.com/2012/04/banten-peras-cara-membuat-beserta-makna.html
1.4 SESAYUT
Sesayut atau ‘Sayut’
dalam Bahasa Kawi (Jawa Kuno) berasal dari kata ‘asayut’ artinya menahan, atau
menguatkan Banten. Sesayut atau Banten tatebasan kalau disimak dari arti kata
Sesayut, yang berakar dari kata “Sayut” atau nyayut memiliki arti mengharapkan,
mendoakan, mensthanakan dan mengembalikan. Sedangkan Tatebasan yang berakar
dari kata “Tebas” yang memiliki arti sama dengan Sesayut. Sesayut adalah
banten-banten yang bertujuan untuk menguatkan rasa bhakti sekaligus
menyampaikan permohonan kepada Sang Hyang Widhi untuk tujuan tertentu. Setiap
upacara yang dilaksanakan oleh umat Hindu akan memakai Banten Sesayut atau
Banten Tatebasan yang berbeda-beda sesuai dengan harapan dan tujuan upacara
yang dilaksanakan, begitu juga dalam upacara Dewa-yadnya akan memakai Banten
Sesayut sesuai dengan Ista Dewata yang akan di sthanakan atau di puja.
Beberapa Jenis Sesayut
A. Sesayut
Payascita Luwih
Terdiri dari sebuah kulit sesayut (bentuknya
bulat terbuat dari daun keapa). Diisi tulung agung (dibawahnya berbentuk tamas
dan dibawahnya berbentuk cili). Didalamnya diisi nasi serta lauk pauk. Disusuni
dengan sebuah tumpeng dan diisi dengan bunga teratai putih. Disekelelengnya
diisi dengan buah penek kecil. 11 buah kuangen, 11 buah tupat kukur/ tipat
gelantik, 11 buah tulung kecil atau peras kecil (alit) pasucian, panyeneng,
kelungah kelapa gading, lis, tebu, sampian naga sari, canang burat wangi serta
dilengkapi dengan jajan, buah-buahan dan lauk pauk.
B. Sesayut
Saraswati
Terdiri dari sebuah kulit sesayut, diisi penek
warna merah, penek warna putih, dan penek warna hitam. Masing-masing sebuah dan
diisi dengan lauk-pauk, pisang, jajan,buah-buahan,tebu, sampian nagasari,
penyeneng dan canang burat wabngi atau canang jenis lainnya.
C. Sesayut
Mertha Dewa
Terdiri dari sebuah kulit sesayut, di atasnya
diisi penek dan beras kuning, dialasi dengan takir (terbuat daridaun kelapa),
dilengkapi dengan lauk-pauk,. Jajan, buah-buahan, sampian nagasari, penyeneng,
dan canang genteng atau canang jenis lainnya.
D. Sesayut
Sida Karya
Terdiri dari sebuah kulit sesayut diatasnya
diisi nasi berbentuk segi empat bagian tengah-tengah nasi tersebut diisi sebuah
tumpeng yang agak besar. Tumpeng tersebut diapit dengan tumpeng yang lebih
kecil. Pada tumpeng yang paling besar puncaknya diisi terasi dan pada setiap
sudutnya diisi sebuah kuangen. Dilengkpai pula dengan dua buah tulung dan
perlengkapan lainnya yang pada dasarnya sama dengan sesayut Mertha Dewa
tersebut diatas.
E. Sesayut
Sida Purna
Terdiri dari sebuah kulit sesayut, diisi nasi
berbentuk bulat. Disebelahnya diisi lima buah penek masing-masing disisipi
pucuk dapdap. Dilengkapi dengan ketipat sida purna lima buah dan perlengkapan
lain seperti tersebut diatas.
F. Sesayut
Langgeng Amukti Sakti
Terdiri dari sebuah kulit sesayut yang diisi
sebuah penek. Penek tersebut diisi sebuah kalpika dan muncuk dapdap (pucuk
dapdap). Perlengkapan lainya sama dengan tersebut diatas.
G. Sesayut
Pasupati
Banten sesayut ini
digunakan pada saat upacara Tumpek Landep. Umat Hindu merayakan Tumpek Landep
yaitu pada Saniscara Kliwon Wuku Landep. Ida Pedanda Made Gunung pernah
menyampaikan, menurut filosofinya, Tumpek Landep merupakan tonggak penajaman
citta, budhi dan manah (pikiran). Diharapkan, tingkah laku perbuatan umat
selalu dilandasi atas kesucian pikiran sehingga bisa memilah mana yang baik
maupun yang buruk. Sebab dari pikiran kebahagiaan itu datang dan dari pikiran
juga kesedihan menggelayut di hati. Seperti tersurat dalam Sloka 81,
Sarasamuscaya, “Pikiran itu sangatlah labil dan berubah-ubah, apabila seseorang
dapat mengendalikan pikirannya, niscaya ia akan memperoleh surga di dunia dan
surga di akhirat”.
Teknologi
canggih ada karena manusia menggunakan pikiran untuk memanfaatkan ilmu
pengetahuan menghasilkan karya yang bermanfaat. Terkait dengan hari Tumpek
Landep ini umat melakukan pemujaan kepada Sanghyang Siwa Pasupati yang
merupakan dewanya taksu dengan menghaturkan sesayut pasupati. Setelah
memperingati hari Saraswati (turunnya ilmu pengetahuan) selanjutnya umat
memohon pengetahuan tersebut bertuah dan memberi ketajaman pikiran.
Adapun
sarana/upakara yang dibutuhkan dalam Tumpek Landep, yang paling sederhana
adalah canang sari, dupa, dan tirtha pasupati. Yang lebih besar dapat
menggunakan upakara Peras, Daksina atau Pejati. Dan yang lebih besar biasanya
dapat dilengkapi dengan jenis upakara yang tergolong sesayut, yaitu Sesayut
Pasupati. Bahan-bahan untuk membuat sesayut pasupati adalah terdiri dari Tumpeng barak amusti, kulit tebasan antuk don andong 1 ring
ajeng tumpange daksina, ring bilang samping tumpenge kulit peras medaging
tumpeng barak dua, soda ajengan penek barak 2, tipat kelan, tipat tampulan
asiki, sampeyan nagasari penyeneng peras canang antuk don andong. Maulam ayam
biing (barak) jeroan megoreng wadah taku, takir keruh meserana kacang saur.
matah apalet anggen ring segehan pasupati. Jika dianalisis bahan-bahan
pembuatan sesayut pasupati ini yang lebih banyak menggunakan warna merah,
merupakan ciri penghormatan terhadap Dewa Brahma sehingga demngan ketajaman
pikiran yang dimiliki manusia mampu menciptakan besi-besi yang nantinya
bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari http://yadnya-banten.blogspot.com/2012/07/tumpek-landep-dan-sesayut-pasupati.html.
Jadi makna filosofi dari banten
Sesayut Pasupati ini adalah sebagai stana dari Sang Hyang Siva sebagai
Pasupati. Juga penyatuan siva siddhanta terdapat dalam rangkaian banten Tumpek
Landep. Ini terlihat dari bahan-bahan pembuatan sesayut yang identik dengan
warna merah (Brahma) juga dilengkapi dengan tirtha pasupati sebagai simbolis
dari Visnu.
1.5 AJUMAN
(SODAAN)
Bahan perlengakapan yang diperlukan untuk membuat ajuman adalah: nasi
yang disebut “penek/telompokan”, beberapa jenis jajan, buah-buahan, lauk-pauk
berupa serundeng (sesaur), kacang-kacang, ikan teri, telur/lainnya, lalab
seperti trung, timun, tauge (kecai), daun kemangi (kecarum), garam, sambel dan
lainnya. Sebagai alasnya dapat dipergunakan taledan atau yang lain; Diatasnya
diisi dua buah penek, lauk-pauk, dialasi dengan tangkih, berbentuk segitiga,
jajan, buah-buahan, dan sebuah sampian soda (sampian ajuman) berbentuk tangkih;
kadang-kadang bagian atasnya dibuat agak indah seperti kipas disebut
“sampian-kepet kepetan”. Dapat pula dilengkapi dengan canang genten/canang
sari/canang burat-wangi.
Ajuman disebut pula
soda (sodaan), dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi
daksina, suci dan lainnya. Bila ditujukan kehadapan para Leluhur, salah satu
penek-nya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “ajuman
putih-kuning”. Ada pula yang disebut “perangkat/ perayuan” yaitu jajan serta
buah-buahannya dialasi tersendiri, demikian pula lauk-pauknya masing-masing
dialasi ceper/ituk-ituk, kemudian diatur mengelilingi sebuah penek yang agak
besar. Diatasnya diisi sebuah canang-pesucian, canang buratwangi atau yang lain.
Ada juga yang melengkapi dengan sampian kepet-kepetan.
Rayunan bisa
ditambahakan beberapa jenis sate, serta”urab-uraban” dialasi tersendiri dengan
aled. Bahkan dalam beberapa hal tidak mempergunakan lauk-pauk seperti
serundeng, kacang-kacang dan lainnya tetapi cukup dengan sate dan urab-uraban.
Dalam hal ini jumlah sate yang digunakan akan menentukan nama serta besar
kecilnya penek, umpama ada yang disebut “japit” atau “pajeg”; Baik japit maupun
pajeg dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan desa, kala, patra.
Walaupun cara mengatur serta lauk-pauk yangdipergunakan agak berbeda-beda
tetapi penggunaannya hampir sama dengan ajuman yaitu sebagai persembahan atau
melengkapi sesajen-sesajen yang lain (Putra, 2003:28-29).
1.6 BANTEN PEJATI
Pejati
berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa-”.
Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa-
membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang
menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh. Jadi, Banten Pejati adalah sekelompok banten
yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang
Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon
dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati
merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.
Banten
Pejati sering juga disebut “Banten
Peras Daksina”. Ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat
suci, begitu pula jika seseorang memohon jasa Pemangku atau Pedanda, “meluasang”
kepada seorang balian/seliran, atau untuk melengkapi upakara, banten pejati
sering dibuat. Oleh karena itu, pejati dipandang sebagai banten yang utama,
maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat
dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja.
Unsur Dan Makna Filosofi Banten Pejati
Adapun unsur-unsur banten pejati,
yaitu:
1.
Daksina
2.
Banten Peras,
3.
Banten Ajuman Rayunan/Sodaan
4.
Ketupat Kelanan
5.
Penyeneng/Tehenan/Pabuat
6.
Pesucian
7.
Segehan alit
Sarana yang Lain
·
Daun/Plawa; lambang kesejukan.
·
Bunga; lambang cetusan perasaan
·
Bija; lambang benih-benih kesucian.
·
Air; lambang pawitra, amertha
·
Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.
Daksina terdiri atas:
1.
bakul/serembeng, simbol arda candra
2.
kelapa dengan sambuk maperucut, simbol brahma dan nada
3.
bedogan, simbol swastika
4.
kojong pesel-peselan, simbol ardanareswari
5.
kojong gegantusan, simbul akasa/ pertiwi
6.
telur bebek simbol windu dan satyam
7.
tampelan, simbol trimurti
8.
irisan pisang, simbol dharma
9.
irisan tebu, simbol smara-ratih
10.
benang putih, simbol siwa
Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad
Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan
senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka
keseimbangan hidup akan menyelimuti manusia. Alasnya
tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam
buah ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/
tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari.
Penyeneng/Tehenan/Pabuat Yang membentuk
Penyeneng: Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang
tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu
gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat ntuk nuntun,
menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Baliau berkenan hadir dalam upacara yang
diselenggarakan. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk membangun hidup yang
seimbang sejak dari baru lahir hingga meninggal. Ruang 1, berisi Nasi aon
adalah lambang dari dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta ini dan merupakan
sarana untuk menghilangkan semua kotoran (dasa mala). Ruang 2 berisi beras benang dan uang, lambang dari dewa Visnu
yang memelihara alam semesta ini, beras adalah sumber makanan manusia, uang
adalah alat transaksi untuk melangsungkan kehidupan, benang sebagai penghubung
antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan
Hyang Widhi. Ruang 3 berisi bunga,
daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk dengan kunir dan beras, melambangkan
dewa Siva dalam prabhawaNya sebaga Isvara dan Mahadeva yang senantiasa
mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar, meniadakan (pralina)
Adharma dan kembali ke jalan Dharma. Bagian atas dari Penyeneng ini ada
jejahitan yang menyerupai Ardhacandra = Bulan, Windu = Matahari, dan Titik =
bintang dan teranggana (planet yang lain).
Pesucian
terdiri dari sebuah ceper /taledan yang berisi tujuh bua tangkih kecil yang
masing-masing tangkih berisi: Bedak (dari tepung), Bedak warna kuning (dari
tepung berwarna kuning), Ambuh (kelapa diparut/ daun kembang sepatu dirajang),
Kakosok (rengginang yang dibakar hingga gosong), Pasta (asem/jeruk nipis),
Minyak Wangi, Beras. Di atasnya disusun sebuah jejahitan yang disebut payasan
(cermin, sisir dan petat) terbuat dari janur. Pada intinya pesucian merupakan alat-alat
yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara dalam suatu upacara keagamaan. Secara
instrinsik mengandung makana filosofis bahwa sebagai manusia harus senantiasa
menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa), karena
Hyang Widhi itu maha suci maka hanya dengan kesucian manusia dapat mendekati
dan menerima karunia Beliau.
Secara
etimologi Segehan artinya Suguh
(menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah
akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan
perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan
dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut.
Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan.
Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi
tidak boleh emosional. Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan
kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap
masalah-masalah sosial (cuek). Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral,
garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang
merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin). Tetabuhan Arak,
Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat
efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan.
Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat
masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di
sekitar tempat itu menjadi hilang/mati.
Banten Pejati dihaturkan kepada
Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu
·
Daksina kepada Sanghyang Brahma
·
Peras kepada Sanghyang Isvara
·
Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
·
Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva
Adapun bahan dan
alat-alat untuk membuat banten pejati ini diataranya terdiri dari tatakan dari
keben, nampan, nare atau nyiru; aled, tape
gede; pisang, tebu, buah-buahan (Salak, Anggur, Apel, Manggis, Jambu, dan
sebagainya); Jajan uli, begina, apem, pasung, jongkong; daksina dan
perlengkapannya; tipat kelanan dan telur rebus; tumpeng 2 buah dari kojong
daun; kulit peras diatas tatakan ituk-ituk; sampian sodaan dan sampian peras.
Cara menatanya adalah sebagai berikut :
- Pisang dan tebu ditaruh di luanan, di
tengah-tengahnya disusuni Tape Gede. Selanjutnya disusuni pula dengan jajan
Bagina dan jajan Uli. Disamping dan dibelakangnnya juga diisi jajan-jajan yang
lain dan buah-buahan. Daksina yang terdiri dari: bedogan, beras, pangi,
kemudian disusuni dengan kelapa yang telah dikupas kulitnya, telur yang
dibungkus dengan daun atau janur, tangkih dan benang tetebus di atas kelapa, ditaruh
ditebenan (di belakangnya).
- Selanjutnya Tipat Nasi Kelanan yang
telah disusun diatas Ceper Bungkulan diatasnya berisi telur rebus dan Kojong
Janur berisi bunga ditaruh di sampingnya.
- Kulit Peras diisi Tumpeng Kojong dari
daun pisang, diisi Tampelan, Beras dan Benang Tetebusan.
- Paling atas adalah Sampian Sodan dan Sampian
Peras
(Raras,
2006:210)
1.7 BANTEN UNTUK NGELINGGIHANG SANGGAH SURYA
Tujuan dari upacara adalah untuk menyucikan prahayangan semoga Ida
Bhatara berkenan untuk bersthana di pelinggih tersebut. Begitu juga ketika kita
melinggihkan sanggah surya diperlukan suatu upakara yang akan dipersembahkan.
Yang namanya membangun suatu tempat suci ada beberapa urutan upacara dan
upakaranya pun berbeda-beda. Khusus untuk di sanggah surya, adapun
banten/upakara yang digunakan adalah sebagai berikut :
- Banten untuk Nyakap pekarangan dan ngeruak bhuana yang dihaturkan kehadapan
Surya untuk menghormati Surya sebagai saksi dengan sarana pejati, suci alit,
ajuman putih kuning, canang genten, dan juga sesuai dengan aturan desa
setempat.
- Banten Nyukat Karang atau mengukur pekarangan untuk merajan yang
dihaturkan kehadapan Surya adalah peras daksina dan juga canang.
- Pada Upacara
Menanam Dasar Bangunan didirikan sanggah cucuk sebagai tempat pemujaan
kehadapan Surya Raditya dengan sarana upakara Daksina dengan uang kepeng 127,
peras, soda putih dan juga kuning, dengan ayam di ketim, buah-buahan, dan
wangian serta banten penyeneng.
- Pada upacara Plaspas Alit, banten untuk di pelinggih Surya adalah Peras, daksina
pelinggih, banten unggahan, daksina,suci satu, soda sanang dengan dihaturkan
menurut kemampuan.
(Anom,
2002)
II. MANTRA / PUJA STAWA BEBERAPA UPAKARA YAJNA
2.1 Mantra Untuk Menghaturkan Canang Sari
Oṁ
Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ
tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha
Oṁ shri
Deva Devi Sukla ya namah svaha
2.2 Puja Untuk Menghaturkan Daksina
Om Brahma daksina desanca
Teja rakta maha rupam
Amrtha rakta sampurna
Sarwa jagat
prathistanam
Om Om Padma sana ya namah
Utpti Mang. Ung. Ang
namah
Om Om Dewa prathista ya namah
Sthiti Ang Ung Mang
namah
Tumurun....Brahma dewa
rakta warna ya namah swaha
2.3 Puja Untuk Menghaturkan Peras
Om Ekawara Dwiwara Triwara Caturwara Pancawara Purwa pras prasiddha
rahayu.
Om Panca ware bhawet brahma
Wisnu saptawara waca
Sad wareswaro dewasca
Asta ware siwo jneyah
Om karam ucyate sarwa pras. Pras-parisuddhaya nama swaha.
Om sapta ware te warna karana
Aditya tu Mahadewa
Soma Waisrawana tatha.
Anggara tu punah Sukra
Budha Wisnu tathaiwa ca
Brahma Wraspati Caiwa
Sukra Waruna ewa ca
Saniscara Yamas caiwa
Wraspati pinaka wit
Soma pinaka bungkah
Anggara pinaka godong
Buda pinaka kembang
Sukra pinaka who
Saniscara pinaka kulit
Aditya pinaka warna
(Tim Penyusun,
2003:34-35)
2.4 Mantra Untuk Menghaturkan Sesayut
Om Sangkepaning premanta,
Nagara sya muniwantam
Dewa samsthita yogante,
Brahma Wisnu,
Maheswara,
Om Pujasya mantrasya,
Tri-Aksara maha
kodratam,
Brahmangga murcage
yuktam,
Siwangga mantra
matmakam
Om Panca Bhuwana tattwan ca,
Asta dewa dalan bhawet
Dewa samsthita yogante,
Brahma Wisnu Maheswaram
Siwa Sadasiwa tattwa ya
namah swaha.
2.5 Mantra Pejati ( Daksina, Ajuman, Katipat
Kelanan)
Oṁ Puspa
Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ Siva
sutram yajna pavitram paramam pavitram
Prajapatir yogayusyam
Balam astu teja paranam
Guhyanam triganam trigunatmakam
Oṁ namaste
bhagavan Agni
Namaste bhagavan Harih
Namaste bhagavan Isa
Sarva bhaksa utasanam
Tri varna bhagavan Agni Brahma Visnu
Mahesvara
Saktikam pastikanca raksananca saiva
bhicarukam.
Oṁ
Paramasiva Tanggohyam Siva Tattva Parayanah
Sivasya Pranata Nityam Candhisaya
Namostute
Oṁ
Naividyam Brahma Visnuca
Bhoktam Deva
Mahesvaram
Sarva Vyadi Na
Labhate
Sarva Karyanta
Siddhantam.
Oṁ Jayarte
Jaya mapnuyap
Ya Sakti Yasa
Apnoti
Siddhi Sakalam
Apnuyap
Paramasiva
Labhate ya namah svaha
DAFTAR
PUSTAKA
Anom, Ida Bagus. 2002. Tentang
Membangun Merajan. Denpasar: CV. Kayumas Agung.
Pasek Swastika, I Ketut, 2008. Arti Dan Makna Puja Tri
Sandhya-Panca Sembah (Bunga, Api, Air, Kwangen, Canang Sari, Pejati). Denpasar:
CV. Kayumas Agung.
Putra, Mas.Ny.I.Gst.Ag. 2003. Upakara
– Yadnya. Denpasar: Parisadha Hindu Dharma.
Raras, Niken Tambang. 2006. Mejejahitan
dan Metanding Edisi I. Surabaya: Paramita.
Tim Penyusun. 2003. Materi Penataran Pemangku dan Tukang Banten. Singaraja: Pemerintah
Kabupaten Buleleng, Bagian Perekonomian dan Sosial.
Agung (http:// forum diskusi jaringan hindu nusantara.blogspot.com
diakses 5 Oktober 2012)
(http:// Stiti Dharma Online.com/2012/02//Lis _
Stiti Dharma Online.htm diakses 5 Oktober 2012)
LAMPIRAN
FOTO
Daksina
|
Pejati
|
Sesayut Pasupati
|
Peras
|
Canang sari tatakan dulang
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...