GANAPATI TATTWA
I.
PENDAHULUAN
Ajaran
pokok dari Siwa Siddhanta adalah bahwa Siwa, merupakan realitas tertinggi, dan
jiwa atau roh pribadi adalah dari intisari yang sama dengan Siwa, tetapi tidak
identik.( Yayasan Sanatana, 2003:261). Realita tertinggi disebut Siwa, yang
merupakan kesadaran tak terbatas, yang abadi, tanpa perubahan, tanpa wujud,
merdeka, ada dimana-mana, maha kuasa, esa tiada duanya, tanpa awal, tanpa
penyebab, tanpa noda, ada dengan sendirinya, selalu bebas, selalu murni dan
sempurna. Ia tak dibatasi oleh waktu yang merupakan kebahagiaan dan kecerdasan
yang tak terbatas, bebas dari cacat, maha pelaku dan maha mengetahui.
Sumber ajaran siva di Bali terdapat empat
kelompok, yaitu weda, tattwa, etika, dan upacara. Kelompok Weda : Weda
Parikrama, Weda Sanggraha, Surya Sevana dan Siva Pakarana. Kelompok Tattwa :
Bhuwana Kosa, Bhuwana Sang Ksepa, Wrhaspati Tattwa, Siwa Gama, Siwatattwa
Purana, Gong Besi, Purwa Bhumi Kamulan, Tantu Pagelaran, Usana Dewa, Ganapati
Tattwa, Tattwa Jnana dan Jnana Siddhanta. Kelompok Etika : Siwa Sasana, Rsi
Sasana, Wrti Sasana, Putra Sasana dan Slokantara. Kelompok Upacara : Upacara
Dewa Yadnya (caturwedhya, wrhaspatikalpa, ddewatattwa dan sundarigama), Pitra
Yadnya (yamatattwa, empulutukaben, kramaning atiwatiwa, indik maligya, dan
puteru pasaji), Rsi Yadnya (kramaning madhiksa dan yajna samskara), Manusa
Yadnya (dharma kahuripan, eka ratama, janamaprawrti, puja kalapati, puja
kalib), Bhuta Yadnya (eka dasa ludra, pancawali karma, indik caru dan
pujapalipala). Salah satu sumber yang akan dibahas adalah Ganapati Tattwa yang
termasuk sumber Siwa Siddhanta ke dalam kelompok Tattwa. Ganapati Tattwa ini
adalah mengisahkan bagaimana percakapan Dewa Siwa dengan putranya yaitu Ganesha
atau Ganapati.
II.
PEMBAHASAN
2.1.
Ringkasan
Singkat Ganapati Tattwa
Ganapati
Tattwa adalah salah satu Lontar Tattwa, Lontar Filsafat Siwa, yang digubah
dengan mempergunakan metode Tanya jawab. Tanya jawab ditulis di dalam 37 lembar
daunt al yang disusun dalam 60 bait, menggunakan bahasa Sansekerta yang
disertai dengan ulasan dalam bahasa Kawi.
Ganapati, putera Siwa, adalah Dewa penanya yang cerdas. Dan Siwa adalah
Maheswara, yang menjabarkan ajaran Rahasia Jnana, menjelaskan tentang misteri
alam semesta beserta isinya. Terutama tentang hakikat manusia : dari mana ia
dilahirkan, untuk apa ia lahir, kemana ia akan kembali dan bagaimana caranya
agar bisa mencapai kelepasan.
Kitab
Ganapati Tattwa ini telah dikaji oleh Sudarshana Devi Singhal dan diterbitkan
dalam Satapitaka Series No.4 oleh International Academy of Indian Culture,
Nagpur, India (1958) terdiri dari 60 sloka dalam Chabda Anustubh Sansekerta.
Isinya merupakan dialog antara Sang Hyang Siwa dengan Sang Hyang Ganapati,
putranya sendiri. Secara ringkas isinya dapat diuraikan sebagai berikut: Omkara
adalah wujud sabda sunya, nada Brahman, asal mula Pancadaivatma : Brahma,
Wisnu, Iswara, Rudra dan Sang Hyang Sadasiva. Pancadivatma merupakan asal Panca
Tan Matra yang terdiri dari Rupa (unsur bentuk), Gandha (unsur bau), Rasa
(unsur rasa/kenikmatan), Sparsa (unsur sentuhan), dan Sabda (unsur suara). Dari
Panca Tan Matra munculah Panca Mahabutha yang merupakan unsur materi (elemen
alam semesta) yang terdiri dari : Apah (air/benda cair), Teja(panas), Vayu
(angin), Prthivi (tanah) dan Akasa (ether). Dari Panca Mahabutha ini alam
semesta beserta isinya diciptakan, dan Sang Hyang Sivatma menjadi sumber hidup
yang menggerakkan segala ciptaannya (Ganapatitattwa dalam Buku Pasek Gunawan,
2012: 62).
Dijelaskan
pula ajaran Sadangga Yoga yang terdiri dari Pratyaharayoga, Dhyanayoga,
Pranayamayoga, Dharanayoga, Tarkayoga, dan juga Samadhi ebagai jalan spiritual
untuk mencapai Moksa (Ganapatitattwa dalam Buku Pasek Gunawan, 2012:62). Juga
diuraikan tentang eksistensi Padmahrdaya (Padmahati) sebagai Sang Hyang
Sivalingga, Beliau harus direnungkan. Hanya ia yang bijaksana, berhati suci,
dan penuh keyakinan yang dapat mengetahui beliau. Beliau hendaknya setiap saat
dipuja dengan sarana Sang Hyang Caturdasaksara (14 buah huruf suci).
Dilanjutkan dengan uraian tentang berbagai jenis Lingga (Ganapatitattwa dalam
Buku Pasek Gunawan, 2012 :62).
Pada
bagian lain diuraikan tentang anggapan orang bodoh dan sombong yang tidak
memahami Atma, juga uraian tentang sthana Bhatara Brahma, Visnu dan Siva dalam
tubuh manusia. Sang Hyang Bhedajnana adalah ajaran yang sangat rahasia tentang
manusia. Yang berhak menerima ajaran Dharma. Berikutnya diuraikan tentang Moksa
(kalepasan) dan orang-orang yang mencapai hal tersebut, yakni yang mengutamakan
pengetahuan yang suci. Bagian terakhir menjelaskan upacara ruwatan
(panglukatan) Ganapati, sarana upakara yang diperlukan, mantra yang digunakan,
dan manfaat dari upacara ritual tersebut. Kitab ini ditutup dengan mantra
pemujaan ditujukan kepada Sang Hyang Ganapati dan Dewi Saraswati
(Ganapatitattwa dalam Buku Pasek Gunawan, 2012:63).
2.2.
Pokok-Pokok
Ajaran Dalam Ganapati Tattwa
Sebagai
salah satu sumber dari Siwa Sinddhanta, adapun pokok-pokok ajaran dalam
Ganapati Tattwa, yaitu :
1. Sang
Hyang Siwatman Menciptakan Alam Semesta Dari Unsur Panca Mahabutha
Dalam
bagian ini, akan di jelaskan bagaimana percakapan Sang Ganapati dengan Dewa
Siwa. Dimana, Dewa Siwa memberikan wejangan bagaimana Sang Hyang SIwatman itu
menciptakan alam semesta dari unsur Panca Maha Butha. Berawal dari perihal
munculnya Panca Daiwatma, yang dijelaskan bahwa dari Omkara muncul Windu,
bagaikan embun yang berada di ujung rambut/rumput, disinari matahari bening bagaikan
dupa, sinarnya terang cemerlang berkilauan. Dari Windu itu muncullah Panca
Daiwatma yaitu : Brahma, Wisnu, Rudra, Kami/daku dan Sang Hyang Sadasiwa.
(Ganapati Tattwa,1.2)
Kemudian
tentang hakikat alam semesta, dari Panca Daiwatma lahir Panca Tanmatra, yaitu :
dari Brahma lahir bau, dari Wisnu muncul unsur kenikmatan, dari Rudra timbul
mode/bentuk, dari Daku (Iswara) keluar unsur rabaan, dari Sang Hyang Sadasiwa
nada/suara. (Ganapati Tattwa, 1.4). Kemudian dari sabda timbul ether, dari
sparsa muncul angin, dari rupa keluar sinar, dari rasa lahir zat cair, dan dari gandha timbul tanah. Dari perthiwi
terwujudlah bumi, berkat apah muncul air, karena teja tercipta matahari, bulan
dan bintang; karena wahyu adalah angin; dari akasa lahirlah tumbuh-tumbuhan
seperti : rumput pohon kayu, tanaman melata, serba kulit kelopak dan inti serta
segala makhluk yaitu : bianatang/ternak, burung, ikan makhluk halus;
demikianlah keadaannya alam semesta itu.
Setelah
itu juga dijelaskan bagaimana perihal penjelmaan (kelahiran) manusia. Kelahiran
manusia tidaklah berbeda dengan manifestasinya Dewa. beserta dengan penciptaan
alam semesta, sebab manusia lahir dari Windu, awal mulanya Omkara; bagaimana
wujudnya, yakni : Brahma dan Wisnu menciptakan badan jasmani, yang terbentuk dari
unsur tanah dan zat cair; Rudra menciptakan alat pelihat (mata), yang terwujud
dari sinar; Daku (Iswara) membuat pernafasan, yang berbentuk raba sentuhan;
Sang Hyang Sadasiwa menciptakan bunyi/suara, yang terwujud dari unsur ether.
(Ganapati Tattwa, 1.6).
2. Hubungan
Gaib/Rahasia dari Sang Hyang Siwatma
Alam
semesta dan badan jasmani manusia adalah tunggal. Sama seperti dalam
hubungannya dengan keberadaan bhuana agung dan bhuana alit. Apa yang ada di
alam semesta juga ada dalam tubuh jasmani manusia. Seperti halnya pada alam
semesta, Brahma berstatus di selatan, memelihara tanah/bumi; Wisnu berstatus di
utara memelihara zat cair/air; Rudra berstatus di barat, mengendalikan
matahari, bulan dan bintang; Daku (Iswara) berstatus di timur mengatur
udara/angin; Sang Hyang Sadasiwa berstatus di tengah, memelihara
ether/atmosphere. Kalau dalam tubuh manusia, Brahma berstatus di muladhara,
menghidupkan indra/jasmaniah, berhubungan dengan hidung, memerlukan bau; Wisnu
berstatus di pusar/nawe, memelihara badan jasmani, berhubungan dengan lidah,
memerlukan unsur kepuasan (rasa); Rudra berstatus di hati, mengatur
kesadaran/tekad, berhubungan dengan pandangan mata, menentukan pikiran; Daku
(Iswara) berstatus di kerongkongan/throat, mengendalikan ketiduran, berhubungan
pada mulut, mengatur nada suara; Sang Hyang Sadasiwa berstatus di ujung lidah,
menguasai segala pengetahuan, berhubungan dengan telinga, meneliti keadaan
suara.(Ganapati Tattwa, 1.8). Begitulah keberadaan Daiwatma itu dalam tubuh
jasmani dan alam semesta ini.
Dalam
bagian ini juga dijelaskan tentang muladhara, yang tempatnya diantara lubang
dubur dan alat kelamin. Tentang perpaduan serta pembentukan manusia baru yang
dilahirkan melalui perantara sang ibu. Dikatakan pula perihal tentang yang
menghidupkan bayi itu dalam kandungan hingga adalam usia tuanya. Seperti dalam
Ganapati Tattwa, 1.15 dijelaskan bahwa yang menjadi penghidupannya
3. Sadanggayoga,
Jalan Untuk Mencapai Kelepasan
Adapun bagian
dari Sadanggayoga, yaitu
3.1.
Pratyaharayoga
Segala tujuan kepuasan hawa nafsu yang dapat
dikendalikan dengan ketenangan iman (pikiran) yang teguh, itulah yang
dinyatakan Pratyahara. Pratyaharayoga artinya segala hubungan hawa nafsu itu
terkekang, tiada dibbaskan pemuasannya, dikendalikan dengan kesadaran iman suci
yang teguh, meskipun kurang mesra namun ada juga kejernihannya, surutnya
pemuasan nafsu itulah yang disebut Pratyaharayoga. (Ganapati Tattwa, 4)
3.2.
Dhyanayoga
Tanpa pasangan, tiada perubahan agitasi, tanpa
koneksi, dan tetap juga tenang, maka system konsentrasi renungan berpikir yang
demikian itulah yang disebut Dhyana. Dhyanayoa artinya system pemikiran yang
tiada mendua tanpa perubahan, (selalu) tenang juga dalam suka dukanya, tiada
pernah gelisah, tetap teguh tanpa terpengaruhi, kesadaran pemikiran yang
menunggal itulah jadi perilakunya, demikianlah yang dimaksud Dhyanayoga.
(Ganapati Tattwa, 5)
3.3.
Pranayamayoga
Isaplah udara dengan segala lubang lain yang
tertutup dan terus konsentrasi kemudian keluarkan udara itu perlahan-lahan,
inilah yang disebut system pelaksanaan Pranayama. Pranayamayoga artinya:
tutupilah segala lubang mata, hidung, telinga dan mulut, namun terlebih dahulu
isaplah udara, konsentrasi/tembuskan pada ubun-ubun, bila sudah terasa
tegang/penuh terkendali biarkanlah keluar melalui lubang hidung secara perlahan-lahan;itulah
yang disebut konsentrasi pengaturan nafas (Pranayamayoga). (Ganapati Tattwa, 6)
3.4.
Dharanayoga
Statuskanlah Omkara itu dihati dan konsentrasikan
Siwatma (Sunyatma) dengan Siwatma (Sunyatmaka/Sunyasiwa) bila tiada terdengar
sesuatu, demikianlah yang disebut Dharana. Dharanayoga berarti : secara
spirituilnya sebagai simbolik bahwa Omkara itu ada di hati, yaitu sebagai pusat
pengendalian pengaruh unsure jasmaniah bila tenang tiada lagi terdengar sesuatu
dalam saat beryoga, maka dalam status beginilah Bhatara (Atma) dalam perwujudan
Sunyasiwatma (menunggal) dengan Sumber Jiwa Alam Semesta/Sadasiwa. Demikianlah
yang dimaksud Dharanayoga. (Ganapati Tattwa, 7)
3.5.
Tarkayoga
Pikiran itu bagaikan tanpa suara diangkasa,
terpisahnya suara dengan angkasa itulah sebenarnya tujuan pikiran yang suci
(Paramartha), demikianlah Tarkayoga itu adanya. Tarkayoga artinya : bagaikan
langit/angkasa kiranya pikiran suci (Paramartha) itu, yang tiada terpengaruhi
sesuatu, sebab tak ada unsure suara padanya, begitulah simbulnya Paramartha,
yang berlainan dengan angkasa udara, walaupun persamaannya sungguh serba
jernih; demikianlah yang disebut Tarkayoga. (Ganapati Tattwa, 8)
3.6.
Semadhiyoga
Tiada lalai, tanpa aktivitas, tanpa keperluan, tanpa
pengakuan, tanpa keinginan, tidak terpengaruh, tanpa harapan; itulah yang
disebut Semadhi. Semadhiyoga artinya: bhatin yang tidak lalai, tiada berharap,
tanpa keakuan, tiada sesuatu yang diinginkannya, tak ada yang diperlukan,
tenang tiada terpengaruh; itulah yang dinamakan Semadhiyoga. (Ganapati Tattwa,
9).
4. Catur
Dasaksara
Untuk Caturdasaksara yang bagaikan bunga dengan keharuman
tanpa surutnya, beliau bertahtah di hati, yang senantiasa daku sembah (seperti)
Siwa.
Di sana pada ulu hati keadaan Bhatara Siwa, pujalah
beliau senantiasa dengan sarana Sang Hyang Caturdasaksara, bersimbolik seperti
ini: SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG, YANG, ANG, UNG, MANG:
OM, itulah beliau Sang hyang Caturdasaksara, diumpamakan sebagai bunga yang
mekar, harum semerbak tiada selingan, demikianlah pemujaanmu yang tekun setiap
waktu.
Dari Niskala lahir Nada, dari Nada muncul Bindu, dari
Bundu muncul Bulan (semi), dari Bulan itu ada Wisnu/ dunia berulang-ulang.
Tegasnya, yang Niskala melahirkan Nada. Dari Nada melahirkan
Bindu, dari Bindu melahirkan Ardhacandra, dari Ardhacandra melahirkan Wisnu/
alam semesta, berulang-ulang pelaksanaannya; Wiswa berarti Sang Hyang Pranawa,
Sang Hyang Pranawa sesungguhnya adalah omkara. Wiswa (alam) berpadu dengan Candra (semi bulan), Bindu
dengan Nada, dari perpaduan itu senantiasa mewujudkan Omkara.Wiswa itu
berpadu dengan Ardhacandra dan Bindu
beserta Nada; energi hidup Ardhacandra dan Bindu serta Nada itu manunggal,
selanjutnya menjadi Omkara.Wiswa melekat pada Candra, dan Candra menempel pada
Bindu, serta Bindu kembali pada Nada, demikianlah perihal/ keadaan
aktivitasnya.
Wiswa itu bergantung pada Ardhacandra, Ardhacandra itu
lebur dalam Bindu, Bindu itulah bergantung pada Nada, demikianlah halnya ajaran
Filsafat dan Nada itu kembali ke Niskala. Niskala itu disebut dengan Maya
Tattwa, itulah Pradhana (materi), pengembaliannya pada Nada, dan Niskala itu
kembali ke Sunyantara, Sunyantara itu
kembali ke Atyantasunya, sebagai pengembaliannya Niskala dan anakku Sang
Ganadhipa, adapun yang dimaksud Utpatti (lahir), Sthiti (hidup) dan Pralina
(lebur) itu ialah Sang Hyang Pranawa.
Dari Siwa lahir Atma, karena Atma maka dari Prakrti
muncullah Rawi (matahari), dari Rawi lahir Agni (panas/api).
ING itulah disebut Siwa, dari siwa lahir Atma, BANG dari
Atma lahir Pradhana/materiil, SANG dari Pradhana/Prakrti lahirlah matahari
(Aditya), TANG, Aditya lahirlah Agni (api/panas),ANG. Demikianlah hal
manifestasinya Sang Hyang Panca Brahma yaitu: ING, BANG, SANG, TANG, ANG.
Prakrti itu dijiwai atma, dan karena Atma maka adalah
matahari, adanya Agni menyusul setelah matahari; demikianlah ternyata Siwagni
dalam keadaan Sthiti. Yang
permulaan adalah SANG filsafatnya, selanjutnya BANG, kemudian TANG, terus ANG,
dan akhirnya ING, inilah Sthitinya Sang Hyang Panca Brahma, urutannya adalah SANG,
BANG, TANG, ANG, ING. (Ganapati Tattwa,
24-29).
Aksara Am itu disertai leh Aksara Tam, disertai oleh
Aksara Sam, disertai Aksara Bam, disertai oleh Aksra Im.
Demikianlah lahirnya Sang Hyang Panca Brahma urutannya
adalah: Am, Tam, Sam, Bam, Im. Aksara Sam dan Bam lebur menjadi Aksara (aksara) A, sedangkan Aksara Tam
dan Am lebur menjadi Uksara (aksara) U. Adapun aksara Im lebur mejadi Makara (aksara Ma). Dengan
demikian Sang Hyang Panca Brahma (Am, Tam, Sam, Bam, Im) lebur menjadi Tyaksara
(A, Um, Ma). Apabila Sang Hyang Tyaksara menyatu maka ia akn menjadi Omkara
(aksara Om). Sesungguhnya aksara A itu berada di tengah, aksara Ma berada di
atas, dan aksara U berada di bawah. Demikianlah pertemuan dari ketiga huruf itu
membentuk aksara Om (Omkara).
Aksara Yam, Wam, Sim, dan Nam adalah utpatti Sang
Hyang Pancaksara. Aksara Sim, Wam, Man dan Yam adalah Sthiti Sang Hyang
Pancaksara. Sedangkan aksara Nam, Mam, Sim, Wam, Yam, adalah Pralina sang Hyang
Pancaksara. (Ganapati Tattwa, 30-33)
5. Lahirnya
Tri Aksara, Dasaaksara dan Catur Dasaksara
Aksara
Ya dihilangkan dimasukkan pada aksara A (Aksara) pada tahap pertama. Tahap
kedua masukkan aksara Tang (Siwa) pada aksara U (Ukara). Tahap ketiga aksara Ya (Yakara) dihilangkan
menjadilah ia aksara Ma (Makara). Adapun aksara A (Aksara) dan aksara U (Ukara)
apabila dilebur akan menjadi aksara O (Okara).
Apabila
aksara Ma (Makara) dihilangkan ia akan menjadi Bindu (Windu = titik) yang
terletak diatas O (Okara). Demikianlah tatacara lahir (Utpati), pemeliharaan
(Sthiti), dan peleburan (Pralina). Sang Hyang Panca Brahma dan Pancaksara.
Pertama-tama aksara Ma (Makara) diikuti oleh aksara A dan selanjutnya diikuti
oleh aksara U sebagai kelahiran Sang H yang Tri Aksara Mam, Am dam Um. Itulah
tatacara sehingga menyebebkan mencapai sorga.
Apabila
aksara A dipakai permulaan kemudian diikuti oleh aksara U dan aksara Ma,
sebagai pemeliharaannya Sang Hyang Tri Aksara Am, Um dan Mam. Itulah tatacara
yang jiga dapat menyebabkan mencapai sorga. Adapun apabila dimulai dengan
aksara U (Ukara) selanjutnya diikuti oleh aksara A dan terakhir aksara Ma,
sebagai pelebur Sang Hyang Tryaksara Um, Am, dan Mam (akan mencapai) Sorga.
Adapun aksara U lebur pada Bindu (windu=titik) dan Ardacandra. Sedangkan aksara
Ma (Makura) lebur pada Nada. Nada itu terletak pada alam kosong. Demikianlah
tatacaranya. Sampai pada hati Caturdasaksara.
Inilah
Sang Hyang Bhedajnana kuajarkan kepadamu anakku, oleh karena teramat rahasia
sifatnya, karena itu tidak diketahui oleh dunia (masyarakat), apa sebabnya?
Karena ia adalah rahasia tentang diri (kita), seandainya rahasia itu tidak
diketahui mustahil akan dapat mencapai (dunianya) Siwa. Sesungguhnya asal diri
manusia adalag Dewa (Dewa sarira) dan ia yang selalu menjaga Sang diri. Hal itu
diketahui oleh Sang Pendeta yang merupakan pengetahuan rahasia tentang manusia,
dari awal, pertengahan dan akhir, habis olehku mengajarkan kepadamu, oleh
karena teramat sangat penting untuk diketahui. (Ganapati Tattwa, 34-41)
6. Pengetahuan
tentang Sang Hyang Bheda Jnana
Adapun
murid yang dapat diberikan pengetahuan tentang Sang Hyang Bhedajnana adalah
murid yang punya imam terhadap Dana ( sedekah), orang yang dapat mengendalikan
nafsunya, dan mereka yang bersungguh-sungguh hendak melaksanakan Dharma,
melaksanakan Bratha (mengurangi kepentingan hidup di dunia ini), dan pada murid
yang berbakthi berguru. Umpamanya : adalah yoga yang di ajarkan oleh Sang Hyang
Bhedajnana. Adapun tatacaranya demikian (lihat sloka 43).
Ada
tiga prilaku bagi orang yang mengutamakan (purusa) kebebasan seperti : ada yang
mengikuti prilaku Sakala, Kawalasuddha dan Malinatwa. Ketiganya dijelaskan
demikian. Sakala artinya berbadan tri guna (satwam, rajas, tamas). Kewalasuddha
artinya melepaskan diri dari kebahagiaan (duniawi). Malinatwa artinya bebas
dari sifat tri guna. Manowijnana badannya, artinya suci badannya. Jiwanya badan
suci, dari sana menuju kesangsian, itulah yoga namanya. Sinyakara kaiwalya
artinya orang yang tak ternoda oleh kebahagiaan duniawi aialah yang dianggap
Siwa Suci.
Tak
lama kemudian, setelah senang terdiam hening pada badan yang suci, bebas dari
nafsu keduniawian tanpa keraguan wujud yang kosong (itulah yang dimaksud)
lenyapnya segala keinginan. Itulah yang disebut kesucian tertinggi
(Paramisudha) karena lenyapnya (segala keinginan) lalu menggaib tanpa
ragu-ragu. Kerjakanlah hal itu oleh dirimu sendiri. Kesimpulannya, pengetahuan
suci yang tak ternodai (adalah) sarana untuk mencapai penyatuan diri dengan
Sang Roh Yang Maha Agung. Tidak ada yang melebihi keinginan-keinginan yang tak
ternoda oleh kesenangan duniawi. Orang demikian pasa saat mati rohnya (Sang Roh
Yang Mempribadi) akan memperoleh kebahagiaan. Inilah yang dikatakan
Purwadhakoti (awal dari sejuta kegelapan ) namanya, oleh karena tak terikat
oleh karma dan penikmatan hasil perbuatan, karenanya mencapai nirwana ujar para
Pendeta. Apa sarananya agar mencapai (nirwana) itu ? ada tiga sarana utama bagi
orang yang mengutamakan kebebasan batin dimana sarana itu dapat mengantar
kepada suatu keberhasilan.
Ketiga
sarana dimaksud adalah Wairagyaditraya, Pararogya dan Dhyanaditraya.
Wairagyaditraya adalah mengadakan Bahyawairagya Parawairagya,
Iswarapranindhana. Bahyawairagya artinya kawiratin . kawiratin artinya pendeta
yang berilmu tinggi di masyarakat. Parawairagya artinya pendeta witaraga. Pendeta
witaraga adalah pendeta ynang meninggalkan kesenangan hidup (keduniawian).
Iswarapranindhana artinya sang pendeta ynang taat ayogaprawrtti. Ayogaprawrtti
artinya pendeta yang taat melaksanakan pemujaan kepada tuhan. Dhyanaditraya
artinya melakukan pranayama, dharana san samadhi. Pranayama artinya pemusatan
dan pengaturan nafas. Dharana artinya pranawajnana artinya pemusatan bathin.
Samadhi adalag Nirwyaparajnana yang artinya ingat pada tuntutan yang tampak.
Itulah sarana untk menemukan Sang Hyang Bhedajnana. (Ganapati Tattwa, 42-44)
7. Proses
Kembalinya Sang Roh ke Dasangulasthana
Keberadaan
Sang Hyang Sadhubhranti kelepasan, Sang Hyang Wyudbhranti disuruh menjelma
kedunia, kemudian ada mantra pemisahnya. Hendaknya Tri Aksara itu teguh
dilaksanakan olehmu (pasti) dicapai Sang Hyang Sadhubhranti, janganlah keliru
(pasti) Sang Hyang Wyudbhranti ketemu. Banyak pertandanya, tetapi satu
maksudnya, umpama : apabila engkau mendengar suara Ardhacandra Bindu Nada
sekaranglah tiba saatnya kematianmu, janganlah engkau ragu-ragu , lepaskanlah
segala kesetiaanmu dan hubungan dengan keluargamu lalu tutup pangkal nadi
(pangkal peredaran darah), ineban (kerongkongan) dan semua lubang yang ada pada
badan sambil melakukan pemusatan batin, dan pengaturan nafas artinya tutuplah pikiranmu.
Janganlah berbuat sesuatu, apabila engkau bisa melaksanakannya dengan baik maka
sang roh yang bersemayam pada dirimu akan meninggalkan badanmu. Sebagai jalan
sang hyang pranawa ( sang roh yang mempribadi =atma) menuju Dwadasangulasthana
(tempat yang terlettak jauh di atas 12 (jari) tingkatan), yang disebut tempat
tak terlihat (niskala), tempat Bhatara Paramasiwa. Terbanglah ia sang roh yang
mempribadi dari sana (sang diri), itulah yang disebut moksa.
Tak
lama kemudian setelah Sang Roh Yang Mempribadi terbang dari Dwadasangulasthana, patutlah sang roh yang
mempribadi menjadi paramasiwa tatwa, kembali sebagai roh (roh yang maha agung),
apa sebabnya demikian ? yang berasal dari sunya akan kembali pada paramasunya.
Itulah sebabnya ketahuilah kelakuan itu oleh orang yang ingin mencapai
kebebasan. Itulah sarananya untuk menemukan pengetahuan utama. (Ganapati
Tattwa, 45-48)
8. Panglukatan
Sang Ganapati, Sarana Upakara beserta Mantranya
Masyarakat
Hindu di Bali mengenal upacara ngelukat atau melukat., yakni ritual pembersihan
diri secara lahir dan bhatin atau sekala dan niskala. Upacara ini disebut
melukat karena di dalamnya menggunakan tirtha atau air suci pangelukatan yang
khusus dibuat untuk tujuan tersebut (Pudja dalam Buku Bawa Atmaja, 1999 : 90).
Seperti dikemukakan dalam Ganapati Tattwa maka Ganesa atau Ganapati bisa dipuja
untuk kepentingan pengelukatan. Tata cara upacara beserta mantram yang
diucapkan oleh pemimpin ritual yang menyelenggarakan pengelukatan Ganapati,
adalah sama dengan pelaksanaan ritual pengendalian hama dan penyakit tanaman
maupun manusia. Inilah penglukatan (pembersihan) Ganapati, boleh digunakan di
sekeliling (yang hendak dibersihkan), bahannya bambu Ampel Gading digambari
Gana, tangan kirinya memegang Cakra, tangan kanan memegang Gada. Disertai
dengan upakara : ajuman putih kuning, suci satu, dagingnya bebek (itik) putih
jambul, airnya ditempatkan pada sangku tembaga yang diisi kembang Sudamala
serta peras sesantun diisi uang (sesari) 1.100, samsam daun Katima. Bambu Ampel
Gading yang telah digambari Gana itu dimasukkan pada sangku yang berisi air.
Setelah dipuja gunakanlah pada tempat yang terserang hama.
III.
PENUTUP
Setelah
membahas tentang Ganapati Tattwa, maka sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa
Ganapati Tattwa mengisahkan bagaimana percakapan Dewa Siwa dengan putranya yaitu Ganesha
atau Ganapati. Ganapati
Tattwa adalah salah satu Lontar Tattwa, Lontar Filsafat Siwa, yang digubah
dengan mempergunakan metode Tanya jawab. Tanya jawab ditulis di dalam 37 lembar
daun tal yang disusun dalam 60 bait, menggunakan bahasa Sansekerta yang
disertai dengan ulasan dalam bahasa Kawi.
Ganapati, putera Siwa, adalah Dewa penanya
yang cerdas. Dan Siwa adalah Maheswara, yang menjabarkan ajaran Rahasia Jnana,
menjelaskan tentang misteri alam semesta beserta isinya. Terutama tentang
hakikat manusia : dari mana ia dilahirkan, untuk apa ia lahir, kemana ia akan
kembali dan bagaimana caranya agar bisa mencapai kelepasan. Dalam lontar ini
juga di sampaikan tentang Catur Dasaaksara dan Tri Aksara. Selain itu adapula
tentang Sadanggayoga yaitu jalan untuk mencapai kelepasan, yang
bagian-bagiannya yaitu Pratyaharayoga, Dhyanayoga, Pranayamayoga, Dharanayoga,
Tarkayoga dan Semadhiyoga.
Dalam
Ganapati Tattwa Ganesa atau Ganapati bisa dipuja untuk kepentingan
pengelukatan. Tata cara upacara beserta mantram yang diucapkan oleh pemimpin
ritual yang menyelenggarakan pengelukatan Ganapati, adalah sama dengan
pelaksanaan ritual pengendalian hama dan penyakit tanaman maupun manusia.
Masyarakat Hindu di Bali mengenal upacara ngelukat atau melukat., yakni ritual
pembersihan diri secara lahir dan bhatin atau sekala dan niskala. Upacara ini
disebut melukat karena di dalamnya menggunakan tirtha atau air suci
pangelukatan yang khusus dibuat untuk tujuan tersebut (Pudja dalam Buku Bawa
Atmaja, 1999 : 90).
DAFTAR
PUSTAKA
Atmadja, Nengah Bawa.
1999. Ganesa sebagai Avighnesvara,
Vinayaka dan Pengelukatan. Surabaya : Paramita
Gunawan, Pasek. 2012. Siva Siddhanta I. Singaraja
____________________Siva Siddhanta II._______
Rai Mirsha, dkk. 1995. Ganapati Tattwa Kajian Teks dan
Terjemahannya. Denpasar : Upada Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...