BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia itu
lahir di Bhuvana Alit dan terus lahir lahir di Bhuvana Agung. Bhuava Alit itu
adalah kandungan ibunya. Di dalam kandungan ibunya manusia yang masih berbentuk
janin itu oleh alam melalui Catur Sanaknya seperti darah, yeh nyom, lamas dan
Ari-ari. Lewat Catur Sanak itulah janin itu semakin dimanusiakan dalam
kandungan ibunya. Setelah ia lahir ke dunia atau Bhuvana Agung ia dimanusiakan
oleh lingkungannya baik itu lingkungan alam aupun oleh lingkungan sesama
manusia. Manusia itu dimanusiakan dengan berbagai jalan. Salah satu jalan yang
ditempuh adalah ritual Agama. Ritual Agama dalam tradisi Hindu di Bali disebut
Upacara Manusa Yajna. Dari bayi itu baru lahir sampai ia melangsungkan upacara
perkawinan (Wiana, 2002:239).
Manusia yadnya adalah suatu korban suci atau pengorbanan suci demi
kesempurnaan hidup manusia. Di dalam pelaksanaan upacara manusia yadnya masalah
tempat, keadaan dan waktu sangat penting. Secara umum upacara itu
dilaksanakan pada saat anak mengalami
masa peralihan, hal ini dilatar belakangi oleh adanya suatu
anggapan bahwa pada saat-saat
itulah seorang anak dalam keadaaan kritis, sehingga perlu dilaksanakan suatu
upacara atau keselamatan. Dalam menyenglenggarakan segala usaha serta kegiatan
dalam bentuk yang lain nyata demi kemajuan pendidikan, kesehatan dan
lain-lain guna persiapan menempuh kehidupan
sehari-hari. Demikianlah pengertian manusia yajna jika dilihat secara umum.
Namun dalam konsep Sastra Agamanya rumusan Manusia yajña agak berbeda dengan pengertian
secara umum dewasa ini di Bali. Sumber sastra agama yang berbahasa sansekerta
maupun bahasa kawi merumuskan manusia yajña
itu adalah sebagai ritual untuk melayani Atithi
Yajña dan menjamu masyarakat dengan makanan dan minuman sesuai dengan
kemampuan. Di dalam kitab Sathapata
Brahman dari Rg weda bahwa “manusia
Yajña itu adalah persembahan berupa
makanan kepada orang lain”. Di dalam kitab Manawa
Dharmasastra III. 70 Manusia Yajña
bahwa “dengan istilah Nara Yajña yang penerimaan tamu dengan ramah tamah atau
Atihti Puja. Nara Yajña Atithi pujanam”. Sedangkan
dalam sloka 81 disebutkan bahwa “Nara Yajña itu adalah mempersembahkan
makanan kepada masyarakat”. Pengertian manusia yajna di dalam sumber bahasa
sansekerta itu sejalan dengan pengertian Manusia Yajna yang dirumuskan dalam
sumber – sumber Sastra Agama yang berbahasa Jawa kuna. Didalam kitab Korawa Asrama yang berbahasa jawa
kuan manusia Yajna itu disebutkan bahwa “memberikan makanan kepeda masyarakat”.
Didalam lontar Agastia Parwa juga
berbahasa jawa kuna disebutkan bahwa “Manusia Yajna itu adalah mempersembahkan
makanan kepada masyarakat”.
Nampaknya
mempersembahkan makanan inilah wujud Manusia Yajna sebagaimana dirumuskan dalam
sastra agama yang ada. Sedangkan upacara untuk menyucikan manusia dari ia baru
lahir sampai ia kawin dalam sumber sastra agama disebut Sarira Samskara atau disebut Samskara
saja. Hal ini ditegaskan dalam kitab Manawa
Dharmasastra II, 26. Dalam sloka
– sloka diuraikan nama dan tata penyelenggaraan upacara Sarira Samskara tersebut. Proses penyucian inilah dalam tradisi
Hindu di Bali disebut manusia yajna. Kalau kita renungkan landasan filosofinya
tidaklah salah kalau upacara Sarira
Samskara itu disebut Manusia Yajna. Upacara Manusia Yajna itu menganisiasi
manusia dari satu tahapan hidup sampai menuju tingkatan yang lebih tinggi status
kesuciannya begitu juga Sarira Samskara (Wiana :2002 :240).
Upacara dengan upakara manusa yadnya memvisualisasikan
secara ritual agama cita-cita menyucikan manusia agar menjadi manusia sebagai
manusia sebagaiman mestinya. Manusia dalam hidupnya perlu disucikan dari tiga
bentuk kekotoran. Setiap gerakan alam dan manusia selalu menimbulkan dua aspek,
yaitu aspek yang positif dan negatif. Usaha-usaha manusia tentunya harus
berusaha untuk menanggulangi akibat negatif tersebut agar pengaruhnya sekecil
mungkin (Tinggen, 2002:3).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi
rumusan permasalahan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai
berikut.
1.2.1 Apa pengertian Upacara Perkawinan?
1.2.2 Apa tujuan Upacara Perkawinan?
1.2.3 Apa yang menjadi syarat sahnya suatu perkawinan?
1.2.4 Bagaimana Sistem Perkawinan Hindu di Bali?
1.2.5 Bagaimana Tata Cara Pelaksanaan Upacara Perkawinan Hindu di Bali?
1.3 Tujuan Permasalahan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian Upacara Perkawinan
1.3.2 Untuk mengetahui tujuan Upacara Perkawinan
1.3.3 Untuk mengetahui syarat sahnya suatu perkawinan
1.3.4 Untuk mengetahui Sistem Perkawinan Hindu di Bali
1.3.5 Untuk
mengetahui Tata Cara Pelaksanaan Upacara Perkawinan Hindu di Bali.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Upacara Perkawinan
Upacara
perkawinan merupakan persaksian, baik kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
maupun kepada masyarakat bahwa kedua orang tersebut mengikatkan diri sebagai
suami-istri dan segala akibat perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka
bersama. Di samping itu upacara tersebut juga merupakan pembersihan terhadap “sukla swanita” (bibit) serta lahir
bathinnya. Hal ini dimaksud agar bibit dari kedua mempelai bebas dari
pengaruh-pengaruh buruk (gangguan Bhuta Kala), sehingga kalau keduanya bertemu
(terjadi pembuahan) akan terbentuklah sebuah “Manik” yang sudah bersih.
Dengan
demikian diharapkan agar “Roh” yang akan menjiwai Manik itu adalah Roh yang
baik/suci dan kemudian akan lahirlah seorang anak yang berguna dimasyarakat
(yang menjadi idaman orang tuanya). Lain daripada itu, dengan adanya upacara
perkawinan secara Agama Hindu, berarti pula bahwa kedua mempelai telah memilih
Agama Hindu sebagai pegangan hidup di dalam membina rumah tangganya.
Selanjutnya menurut beberapa lontar seperti Kuno Dresthi, Eka Pertama dan
lain-lainnya, dikemukakan bahwa hubungan sex (di dalam suatu perkawinan) yang tidak didahului dengan upakara
“pedengen-dengenan” (pekala-kalaan) di anggap tidak baik dan disebut
“Kamakeparagan”. Kalau kedua kama itu bertemu atau terjadi pembuahan, maka
lahirlah anak yang disebut “Rare-diadiu”,
yang tidak mau mendengarkan nasehat orang tua atau ajaran-ajaran Agama. Hal ini
mungkin ditujukan kepada perkawinan yang direstui/disetujui oleh kedua belah
pihak (pihak orang tua si gadis dan pihak orang tua si pemuda).
Tetapi di Bali masih sering terjadi perkawinan secara
“Ngerorod”, sehingga kemungkinan sekali segala upacara akan ditunda sampai
tercapainya kata sepakat antara kedua belah pihak. Dan hubungan sex yang
mungkin terjadi dalam hal ini, kiranya tidaklah dapat dianggap sebagai
“Kamakeparagan”, karena perbuatannya dilakukan dengan penuh kesadaran dan rasa
tanggung jawab atas segala akibatnya. Sebagai contoh dapatlah dikemukakan
perkawinan antara Dewi Sakuntala dengan Prabu Duswanta, di mana menurut
ceritanya perkawinan itu tidak disertai dengan sesuatu upakara/ upacara apapun.
2.2 Tujuan
Upacara Perkawinan
Menurut
ajaran agama Hindu, tujuan perkawinan adalah sebagai berikut.
1. Menurut Manu dalam kitab Manawa Dharma Sastra disebutkan “Perkawinan itu akan Dharma dan diabadikan
berdasarkan Veda dan merupakan salah satu sarira samkara atau penyucian badan
melalui perkawinan”.
2. Untuk memperoleh keturunan (anak) yang
dapat dipandang sebagai jalan untuk menebus hutang (Rna) dan juga untuk
melepaskan derita orang tuanya, diwaktu mereka meninggal nanti.
3. Kawin dan mempunyai anak adalah Dharma
dan merupakan perintah agama yang dimuliakan (Sukartha, 2002:4).
Selain itu, penyelenggaraan upacara
perkawinan bertujuan untuk memberikan “Penyangaskara”
hingga perkawinan dimaksud beserta akibat-akibatnya nanti bernilai suci menurut
agama.
2.3 Syarat-Syarat
Sahnya Suatu Perkawinan
Syarat-syarat sahnya suatu perkawinan
menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 dan kitab Manawa Dharma Sastra
menyebutkan bahwa perkawinan harus didasari atas cinta sama cinta, telah
melaksanakan upacara mabyakala atau makalan-kalan (byakawonan) disebut Bhuta
Saksi, telah dilakukan persaksian dan perwalian dari yang berwenang (manusa
saksi), telah melakukan upacara perkawinan menurut tata cara agama (Dewa Saksi)
dan telah mendapat pengesahan atau dibenarkan menurut hukum agama dan memenuhi
syarat-syarat administrasi yang telah ditentukan.
2.4 Sistem
Perkawinan Hindu di Bali
Berdasarkan
tradisi atau hukum adat bagi umat Hindu terdapat empat sistem yang dilaksanakan
sebagai berikut.
1. Sistem Memadik (meminta).
Memadik adalah bentuk perkawinan yang
dipandang paling terhormat baik menurut adat Bali maupun menurut agama Hindu.
Yang melakukan peminangan itu adalah pihak keluarga laki-laki atau purusa, yang
dapat menemui pihak keluarga si wanita. Hal ini dilakukan atas persetujuan
putra-putri kedua belah pihak yakni pihak pradhana (pihak wanita) dan pihak
purusa (pihak laki). Sebelum peminangan dilakukan, sudah terjadi jalinan dan
paduan janji saling cinta mencintai antara kedua belah pihak calon mempelai
(Sudharta, 1993:118-119).
2. Sistem ngrorod atau rangkat yang dikenal
dengan sistem pelarian.
3. Sistem nyentana atau juga merupakan
bentuk sistem nyeburin yaitu bentuk
sistem materi lokal. Pihak wanita berkedudukan sebagai purusa dan pihak laki-laki
berkedudukan sebagai pradana.
4. Sistem ngunggahin, salah satu bentuk
perkembangan tersendiri dari sistem rangkat.
2.5 Tata Cara Pelaksanaan Upacara Perkawinan Hindu
di Bali
Tata upacara perkawinan dilaksanakan setelah kedua belah
pihak dari kedua mempelai memberikan persetujuan yang kemudian oleh keluarga
yang bersangkutan, dalam hal ini yang berkedudukan sebagai purusa memohonkan
dewasa/perhitungan hari yang baik. Dalam pelaksanaan ini biasanya dimohonkan
dewasa kepada Pendeta yang nantinya sekaligus akan menyelesaikan upacaranya
secara agama. Upacara-upacara di dalam perkawinan kiranya dapat dibagi menjadi
dua bagian yaitu :
1.
Upacara medengen-dengenan
(mekala-kalaan) adalah upacara yang terpenting (pokok) di dalam perkawinan,
karena dalam upacara inilah dilakukan pembersihan secara rokhaniah terhadap
“bibit” kedua mempelai, dan pesaksian atas perkawinannya, baik kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa dan masyarakat. Oleh karena itu pelaksanaannya sedapat mungkin tidak tertunda.
2.
Upacara natab, dan mapejati (ngaba
jaja), merupakan penyempurnaan di dalam perkawinan. Tujuannya untuk
membersihkan lahir bathin kedua mempelai, memberi bimbingan hidup dan menentukan status salah satu pihak.
Pelaksanaannya kadang-kadang tertunda beberapa hari tergantung pada keadaan.
Susunan Upakara.
1.
Upakara yang kecil :
Untuk penyemputan, di muka rumah si suami.
Segehan cacahan warna lima, api takep dan tetabuhan.
Untuk peresmian perkawinan.
Banten pedengen-dengen
(pekala-kalaan), tataban seadanya dan pejati.
2.
Upakara yang lebih besar :
Untuk penyemputan di muka rumah si
suami.
Seperti di atas, dilengkapi dengan
carun-patemon.
Untuk peresmian perkawinan.
Seperti di atas, dilengkapi dengan
carun-patemon dan tataban pulagembal, serta sesayut nganten.
Sedangkan
untuk upacara mepejati atau mejauman upakaranya adalah berupa banten pejati
yang dilengkapi dengan beberapa jenis jajan untuk oleh-oleh (gagapan) kepada
sanak keluarga mempelai yang berkedudukan sebagai Pradana (yang kawin).
Penjelasan berapa buah banten.
1.
Banten
pedengen-dengenan (pekala-kalaan), yang terdiri dari :
Peras, ajuman, daksina, suci dengan
ikannya telur itik yang direbus, tipat kelanan, sesayut, pengambyan, penyeneng,
tulung, sanggah urip, pamugbug (tumpeng kecil 5 buah dialasi dengan kulit
sesayut, raka-raka dan lauk-pauk); Untek 7 buah (dialasi dengan taledan
dilengkapi dengan raka-raka dan lauk pauk), solasan 22 tanding (nasi yang
dialasi taledan kecil), dilengkapi dengan lauk-pauk, ikannya sesate, dan
lekesan/sirih selengkapnya, bayuan (penek warna 5 dialasi daun telujungan
ikannya “olahan” ayam brumbun, dan kulit dari ayam tersebut ditaruh di atasnya
dilengkapi kewangen; jika tidak mungkin membuat olahan/sesate, maka ayam itu
dapat pula dipanggang). Kemudian dilengkapi dengan pabyakalaan, prayascita,
lis, gelar sanga, tetabuhan, dan beberapa perlengkapan seperti :
a.
Tikeh dadakan : adalah sebuah tikar
kecil yang dibuat dari daun pandan yang masih hijau. Ini merupakan simbul
kesucian si gadis.
b.
Kala Sepetan, adalah sebuah bakul bambu
berisi sebutir telur ayam mentah, ditutupi sebuah serabut kelapa belah tiga
(sambuk kupak telu) diikat dengan benang putih, hitam dan merah, di atasnya
diisi ujung cabang dapdap, serta lidi masing-masing 3 biji. Ada juga yang tidak
memakai bakul bambu sedangkan telur ayam dimasukkan ke dalam serabut kelapa.
c.
Tegen-tegenan, terdiri dari: cangkul,
sebatang tebu, dan cabang dadap. Pada salah satu ujungnya digantungi periyuk
yang berisi tutup, dan ujungnya yang lain digantungi bakul berisi uang.
d.
Sok padagangan: adalah sebuah bakul yang
berisi beras, kain, bumbu-bumbuan, rempah-rempah, pohon kunir, keladi, andong
serta kapas.
e.
Penegtegan: biasanya dipakai tiang
daripada Sanggah Kamulan yang disebelah kanan, yaitu diisi sebuah keris lengkap
dengan pakaiannya.
f.
Pepegatan: dibuat dari dua buah cabang
dadap, yang ditancapkan agak berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan benang
putih.
g.
Tetimpug: dibuat dari beberapa potong
bambu yang masih kedua ruasnya. Dalam upacara nanti bambu ini dibakar sampai
mengeluarkan bunyi (meletus).
2.
Carun
patemon yang terletak di jalan.
Nasi dialasi bakul, ikannya karangan
babi (atau yang lain), nasi yang digulung dengan “upih” (daun) (ikannya hati),
dilengkapi dengan bunga cempaka 2 buah canang buratwangi, sesari 25 dan
tetabuhan. Banten ini dihaturkan kehadapan Sang Bhuta Hulu Lembu, Sang Bhuta
Harta dan Sang Bhuta Kilang-Kilung.
3.
Carun
patemon yang terletak di atas pintu.
Nasi takilan ikannya darah mentah
dialasi limas (tangkih), bawang, jahe, dan garam. Banten ini dihaturkan
kehadapan : Sang Bhuta Pila-Pilu, Sanghyang Sasarudira, Sanghyang Muladrawa,
Sanghyang Ragapanguwus, Kaki Rangga- ulung, dan Kaki Rangga tan kewuh.
4.
Banten
pejati (jauman)
Peras, ajuman, daksina, suci ikannya
itik diguling, tipat kelanan, bantal, jaja kuskus, dan beberapa jenis jajan
lainnya, dilengkapi dengan sirih, pinang, tembakau, gambir, rantasan-saparadeg
(pakaian 1 stel), kadang-kadang dilengkapi dengan 2 buah tumpeng lengkap dengan
guling babi. Banten ini dihaturkan di Sanggah Kamulan, kemudian diserahkan
kepada orang tua si gadis.
Beberapa
Mantra.
1.
Mantra pengelukatan
OM Sanghyang Kama jaya-Kama ratih,
sira ta maka uriping carmaning ngulun, yan sira angawe manusa, aja sira
amiruda, amrisakiti, wehana pangalukatan luputa ring lara roga, sanut sangkala,
sebel kandel, ring awak sariran ipun. OM siddhi rastu, OM. çri, çriambawane
sarwa roga winasaya, sarwa papa winasanem, sarwa klesa winasa ya namo namah.
2.
Mantra natab banten “pedengen-dengenan”.
OM indah ta kita Sang Kala-Kali,
puniki pabyakala kalane si anu katur ring sang Kala-Kali sadoyo, sira reka
pakulun angelu waraken sakwehing Kala Kacarik, Kala Patti, Kala Karapan, Kala
Karogan, Kala Mujar, Kala Kapepengan, Kala Sepetan, Kala Kapepek, Kala
Cangkingan, Kala Durbala-Durbali, Kala Brahma makadi sakwehing Kala haneng ring
awak sariran ipun si anu, sami pada kaluwarane de nira Betara Siwa wruh ya sira
ring Hyang Hyangganing awak sariranira, kajenengana denira Sanghyang
Tripurusangkara, kasaksenan denira Sanghyang Triodasa-saksi, lah ya maruwaten
sang Kala-Kali mundura dulurane rahayu den nutugang tuwuh ipun si anu,
tunggunen dening bayu pramana, mwang wreddhi putra listu ayu, (kadang-kadang
dilanjutkan dengan : “ Ayu wreddhi.......).
Tata Upacara Medengen-dengenan.
Seperti biasa terlebih dahulu
mabyakala, dan maprayascita, kemudian mempelai disuruh duduk menghadap Sanggah
Kamulan serta banten pedengen-dengenan. Setelah banten tersebut dipujai
seperlunya lalu kedua mempelai bersembahyang, kemudian di upakarai dengan
alat-alat yang ada pada pebersihan seperti : sisig, keramas, segau, tepung
tawar dan sebagainya, lalu diberi pengelukatan, dan kemudian natab banten
pedengen-dengenan. Selanjutnya kedua mempelai berjalan mengelilingi Sanggah
Kamulan, Sanggar Pasaksi, tiap kali melewati Kala Sepetan kakinya disentuhkan
sebagai simbul pembersihan sukla-swanita dan dirinya. Setelah tiga kali, lalu
penganten yang laki berbelanja, sedangkan yang perempuan menjual segala yang
ada pada “sok bebelanjaan” (waktu berjalan pengantin yang laki memikul
tegen-tegenan dan yang perempuan menjungjung sok bebelanjan).
Upacara jual beli ini mungkin sebagai
simbul tercapainya kata sepakat untuk memperoleh keturunan. Selain itu makna
yang terkandung dalam upacara ini adalah untuk mewujudkan rasa kesepakatan,
dimana nanti dalam kehidupan selanjutnya, segala apa yang akan didapatkan akan
selalu diselesaikan dengan kesepakatan musyawarah serta sama-sama bertanggung
jawab sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kemudian dilanjutkan dengan
“merobek tikar” (tikeh dadakan), dimana pengantin yang perempuan memegang tikar
tersebut, dan yang laki merobek dengan keris yang berada pada Penegtegan. Hal
ini merupakan simbul “ pemecahan selaput
gadis”. Setelah itu kedua mempelai memutuskan benang yang terlentang pada
cabang dadap (pepegatan), sebagai tanda bahwa mereka telah melampaui masa
remajanya, dan kini berada pada fase yang baru sebagai suami-istri. Kemudian
bersama-sama menanam pohon kunir, andong dan keladi di belakang Sanggah Kamulan,
dilanjutkan dengan mandi/berganti pakaian. Sore harinya dilakukan upacara
melukat, mejaya-jaya dan natab dapetan seadanya, dan akhirnya mapejati (ngaba
jaja). Upacara mepejati ini bertujuan untuk menyatakan bahwa mulai saat itu si
gadis tidak masih menjadi tanggung jawab
dan hak waris keluarganya. Dengan demikian upacara perkawinan dianggap
selesai.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari uraian materi diatas dapat
disimpulkan sebagai berikut.
3.1.1 Pengertian Upacara Perkawinan
Upacara
perkawinan merupakan persaksian, baik kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
maupun kepada masyarakat bahwa kedua orang tersebut mengikatkan diri sebagai
suami-istri dan segala akibat perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka bersama.
3.1.2 Tujuan Upacara Perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan (anak)
yang dapat dipandang sebagai jalan untuk menebus hutang (Rna) dan juga untuk
melepaskan derita orang tuanya, diwaktu mereka meninggal nanti.
3.1.3 Syarat Sahnya suatu perkawinan yaitu ditandai dengan melaksanakan
upacara perkawinan dengan menghadirkan Tri
Saksi (Bhuta Saksi, Manusa Saksi dan Dewa Saksi).
3.1.4 Sistem Perkawinan Hindu di Bali ada 4 yaitu sistem memadik
(meminta), sistem ngrorod, sistem nyentana dan sistem ngulapin.
3.1.5 Tata Cara Pelaksanaan Upacara Perkawinan Hindu di Bali
Upacara-upacara
di dalam perkawinan kiranya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : upacara
medengen-dengenan (mekala-kalaan) dan upacara mapejati.
3.2 Saran
Manusia tidak pernah luput dari suatu kesalahan. Kritik dan
saran dari pembaca sangat diharapkan penulis demi penyempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Putra, Ny.I.G.A.Mas Mt. 1993. Panca Yadnya. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.
Sudharta, Tjok Rai. 1993. Manusia Hindu Dari Dalam Kandungan Sampai Perkawinan. Denpasar:
Yayasan Dharma Naradha.
Sukartha, I Ketut, dkk. 2002. Agama Hindu. Jakarta : Ganeca Exact.
Tinggen, I Nengah. 2002. Manusa Yadnya (I) Upacara Perkawinan. Singaraja: Bubunan.
Wiana, I Ketut. 2002. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...