KRISTALISASI SEKTE-SEKTE YANG ADA DI BALI MENJADI
SIVA SIDHANTHA DALAM BENTUK PANCA YADNYA
Kristalisasi
merupakan pembekuan atau penyatuan semua sekte-sekte yang ada di Bali menjadi
Siva Siddhanta. Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah
abad IX meliputi sekte Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata,
Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha (Goris, 1974: 10-12). Dan diantara
sekte-sekte tersebut yang paling besar pengaruhnya di Bali adalah sekte Siwa
Sidhanta. Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuanakosa.
A. Sekte Siwa Sidhanta
Sekte
ini memiliki banyak cabang antara lain sekte Pasupata, Kalamukha, Bhairawa
Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata Sidhanta berarti
kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini mengutamakan
pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Paramasiwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma,
Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya,
karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya
yang berbeda-beda. Siwa Sidhanta mula-mula berkembang di India Tengah
(Madyapradesh), yang kemudian disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh Maharsi
Agastya (Gunawan, 2012: 48).
Di dalam buku-buku yang menjelaskan
tentang Saiwisme, ada referensi
tentang empat aliran filsafat yaitu Lakulisapasupata,
Saiwa, Pratyabhijna dan Raseswara.
Siwa Sidhanta adalah filsafat dari Saiwisme
bagian Selatan. Ajaran pokok dari filsafat Siwa Sidhanta adalah bahwa Siwa
merupakan realitas tertinggi, dan jiwa atau roh pribadi adalah dari intisari
yang sama dengan Siwa, tetapi tidak
identik. Pati (Tuhan), Pasu (roh) dan Pasa (pengikat) dan 36 Tattwa
atau prinsip yang menyusun alam semesta nyata. System filsafat Siwa Siddhanta
merupakan intisari saringan dari Wedanta.
Sekte Siwa Sidhanta ini merupakan saingan dari aliran filsafat Waisnawisme (Sivananda, 2003:261).
B. Sekte Pasupata
Sekte
ini merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas
dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga
sebagai symbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga
sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte
Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat
terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada
yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibuat sangat
sederhana sehingga merupakan lingga semu (Gunawan, 2012:48).
C. Sekte Waisnawa
Sekte
Waisnawa (Sri Sampradaya) yang
diperkenalkan oleh Ramanuja Acarya,
kira-kira pertengahan abad ke-12. Para pengikut Ramanuja memuliakan Wisnu
dan Laksmi beserta inkarnasinya,
mereka disebut pengikut Ramanuja atau
Sri Sampradayin atau Sri Waisnawa. Para Guru mereka adalah kaum Brahmana
dan siswa-siswanya boleh dari golongan manapun. Mereka semua mengulang-ulang Astaksara mantra “Om Namo Narayana”. Mereka menempatkan 2 garis putih dan satu garis
merah di tengah pada dahinya.
Wedanta
Desika, seorang pengikut Ramanuja,
membuat beberapa perubahan pada kepercayaan Waisnawa.
Hal ini menimbulkan formasi dari 2 kelompok ramanuja yang saling
bertentangan, yang satu disebut Kelompok Utara (Wedagalai) dan yang lainnya Kelompok Selatan (Tengalai). Para pengikut kelompok Tengalai menganggap Prapatti
atau penyerahan diri sebagai satu-satunya cara pembebasan diri. Para pengikut Wedagalai berpendapat bahwa ada satu jalan
pembebasan. Menurut mereka, para Bhakti
atau pemuja seperti anak kera yang harus mengusahakannya sendiri dan bergantung
pada induknya (Markata-Nyaya atau
teori kera); sedangkan menurut kelompok Selatan Bhakta atau pemuja adalah seperti anak kucing yang dibawa induknya
tanpa suatu usaha bagi dirinya sendiri (Marjara-Nyaya
atau teori cengkeraman kucing). Kelompok Utara menerima naskah-naskah
Sansekerta yaitu Weda, sedangkan kelompok Selatan sedang menyusun Weda bagi
kelompok mereka yang disebut “Nalayira
Prabandha” atau Empat Ribu Sloka
dalam bahasa Tamil dan menganggap lebih tua dari pada Weda sanskreta. Sesungguhnya ke-4000 sloka mereka didasarkan pada Upanisad, bagian dari Weda.dalam semua pemujaannya mereka
mengulang-ulang bagian dari sloka-sloka Tamil mereka.
Para pengikut Wedanggalai menganggap Laksmi
sebagai sakti dari Wisnu dan Laksmi sendiri tak terbatas, tak
diciptakan dan layak dipuja sebagai satu cara (upaya) untuk pembebasan. Para
pengikut Tengalai menganggap Laksmi sebagai seorang makhluk wanita
yang diciptakan, walaupun bersifat Tuhan. Menurut mereka, beliau bertindak
sebagai perantara atau menteri (Purusakara)
dan bukan sebagai suatu saluran yang layak untuk pembebasan. Kedua sekte ini
memiliki tanda-tanda wajah yang berbeda. Para Wadagalai membuat sebuah garis lengkung putih seperti huruf U untuk
menyatakan satu-satunya kaki padma Wisnu
yang kanan, sebagai sumber dari sugai Gangga.
Mereka menambahkan tanda garis merah di tengah sebagai symbol Laksmi. Para Tengalai membuat tanda garis putih seperti huruf Y yang menyatakan
kedua kaki padma Wisnu. Mereka
menggambar sebuah garis putih separuh, menurun ke hidung.
Kedua sekte tersebut bercirikan lambang
Wisnu, yaitu cakra dan kerang, pada
dada, bahu dan lengan mereka. Para pengikut Tengalai
melarang para janda diantara mereka dari pencukuran rambut. Nama keluarga dari
para Brahmana Ramanuja iasanya adalah
Aiyangar, Acarya, Carlu dan acarlu
(Sivananda, 2003:145-46).
Wisnu
adalah anggota kedua dari Trimurti
yang termasuk di dalamnya adalah Brahma dan Siva. Wisnu juga dikenal dengan
nama lain seperti Vasudewa dan Narayana. Sepuluh inkarnasi atau awatara
dari Wisnu digambarkan dalam mitologi Hindu kemunculannya memberikan bantuan
Tuhan pada berbagai tahap evolusi manusia. Adapun kesepuluh inkarnasi atau
awatara dari Wisnu yaitu :
1) Matsya
(ikan); menyelamatkan Rsi Manu dari banjir dan mengembalikan Veda dari raksasa.
2) Kurma
(kura-kura); menjaga bumi di punggungnya.
3) Varaha
(babi hutan); yang membawa bumi kembali dari dasar lautan dimana ia telah
diseret oleh raksasa, yang dikenal dengan nama Hiranyaksa; Varaha yang membunuh
raksasa itu.
4) Narasimha
(manusia singa); yang membunuh raja Hiranyakasipu, yang berencana untuk
membunuh anaknya sendir, seorang pemuja Wisnu.
5) Vamana
(orang cebol) membunuh raksasa Raja Mahabali, yang mengusir dewa dari tempat
daerah kekuasaanya.
6) Parasurama
(prajurit dengan kapak); yang menyelamatkan Brahma dari tirani ksatria yang
arogan.
7) Rama;
membunuh Ravana, Raja raksasa dari Lanka.
8) Sri
Krsna;inkarnasi yang paling terkenal; Krsna memberikan kontribusi selama
hidupnya termasuk ajaran bhagavad Gita pada Arjuna.
9) Buddha:
Hindu menganggap bahwa Buddha adalah inkarnasi dari dewa Wisnu dan menerima
ajarannya, tetapi tidak secara langsung memujanya.
10) Kalkin
(manusia yang mengendarai kuda putih); inkarnasi ini belum datag dan akan
menandai akhir dari kejahaan di dunia (Pandit, 2006:206).
Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan
jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan
Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan
kemakmuran. Di kalangan petani di Bali Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi
yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti perkembangan sekte Waisnawa di
Bali yakni dengan berkembanngnya warga Rsi
Bujangga (Gunawan, 2012:49).
D. Sekte Boddha dan Sogatha
Adanya sekte ini di Bali dibuktikan
dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mantra dalam zeal meterai tanah
liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti ini banyak diketahui di
daerah Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr.W.F. Stutterheim mantra
Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke-8 Masehi.
Terbukti dengan adanya arca Buddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca boddhisatwa
Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah dan di tempat
lain (Gunawan, 202:49).
E. Sekte Brahmana
Menurut Dr.R. Goris sekte ini
seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India sekte Brahmana disebut
Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana,
Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan
produk dari sekte Brahmaa. Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian
yang sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan
berasal dari wangsa (golongan) Brahmana. Istilah Dewarsi atau Rajarsi pada
orang Hindu merupakan orang suci diantara raja-raja dari Wangsa Ksatria
(Gunawan, 2012:49).
F. Sekte Sora
Sekte ini merupakan sekte yang
pemujaannya dihadapkan kepada Dewa Surya sebagai Dewa Utama. Sistem pemujaan
Dewa Matahari yang disebut Suryasewana
dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri
penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga
terdapat sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara
agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang
memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya.
G. Sekte Ganapatya
Sekte
ini adalah kelompok pemuja Dewa Ganesha. Adanya sekte ini dahulu di Bali
terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesha baik dalam wujud besar maupun
kecil. Ada berbahan batu padas atau darilogam yang biasanya tersimpan di
beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya
Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng
gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai dan sebagainya. Setelah zaman
Gelgel, banyak patung Ganesa dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam
salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat
pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa
lainnya. Namun dalam pemikiran Hindu dinyatakan bahwa dengan memuja Ganesa
untuk dapat mencapai keberhasilan yang diinginkan dalam dunia fisik dan juga untuk
selanjutnya mencapai kesempurnaan. Karena keberhasilan sempurna dalam semua
tindakan yang religius sama haknya dengan hubungan di dunia yang merupakan tujuan
dari semua manusia. Hindu memuja Ganesa untuk mencari berkah Tuhan sebelum
memulai sebuah kegiatan. Untuk alasan inilah, Ganesa dipuja terlebih dahulu
sebelum melakukan perayaan atau fungsi keagamaan lainnya. Dalam mitologi Hindu,
dewa Ganesa adalah putra dari Dewa Siva dan Dewi Parvati (Pandit, 2006:198).
H. Sekte Bhairawa
Sekte ini adalah sekte yang memuja
Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaannya terhadap Dewi Durga di Pura Dalem
yang ada di setiap desa pakraman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini.
Begitu juga pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari
sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang
mendambakan kekuatan (magic) yang beranfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam
badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber
dari sekte ini. (Gunawan, 2012:50)
Sumber lain menyatakan Bhairawi yaitu dewi sebagai fenomena
spiritual selalu melibatkan 2 kategori eksklusif; keindahan/kecantikan (beaut)
disatu sisi dan kemurkaan/ketakutan (dangerous) pada sisi lainnya.
Kecantikan/keindahan spiritual adalah pesona yang menarik kita untuk mendekatinya.
Kemurkaan/ketakutan adalah bahaya yang membuat kita cepat-cepat menyingkir dan
menjauh. Bhairawi adalah penampilan murka ilahi yang powerful dan energetic. Ia
mewakil unsur tejas/agni (api, panas/cahaya) sebuah energi pembakar yang
apabila murka akan mengancam segala sesuatu. Api yang berkobar dalam spirit
Bhairawi akan membakar dan menghanguskan rasa kakuan kita. Karena itu Bhairawi
digambarkan sebagai Dewi yang berwajah seram dan menakutkan. Ia sangat
mengerikan bagi orang yang mencintai kesenangan material dan mereka yang
terikat kecenderungan egoistiknya (egsentric
existence). Pengaruh ego didalam diri kita identik dengan kekaburan
batin/kekotoran (mala) seperti “gumpalan sampah” dari negative force pikiran kita. Bhairawi dengan api spiritualnya yang
dahsyat menolong para aspiran spiritual mengobarkan api kesucian hati untuk
menyingkikan energi negative. Inilah pesona beauty tersembunyi yang ditampilkan
Sang Ibu yang penampilannya menyeramkan (Yudhiantara, 2003:55-56).
Pada mulanya sekte-sekte tersebut
hidup berdampingan secara damai. Lama-lama justru sering terjadi persaingan.
Bahkan takjarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat
mengganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu
menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar
tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu
pertemuan yang dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga). Pertemuan ini mencapai
kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka
dan Kahyangan Tiga. Sekte Siwa
Siddhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India Tengah)
kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta
ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyaradesh dikenal dengan berbagai nama
antara lain: Kumbhayoni, hari Candana, Kalasaja dan Trinawindu. Yang populer di
Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam
lontar kuno seperti Eka Pratama. Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta
di Bali antara lain: Wrhaspati Tattwa. Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali
dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang
Nirartha.
Masing-masing sekte memuja Dewa-dewa
tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol)
tertntu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang
lainnya diangga lebih rendah. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan
antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan
dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga. Oleh karena hal ini Raja
Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersepakatan untuk mendatangkan 4 orang
Brahmana bersaudara yaitu:
1) Mpu
Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari Jumat Kliwon, wuku Pujut,
bertepatan engan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka
yaitu tahun caka 921 (1999M) lalu berparhyangan di Besakih
2) Mpu
Ghana, penganut aliran Ganapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku
Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel.
3) Mpu
Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari
Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku
babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti
(Padangbai)
4) Mpu
Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di
Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati
padha cukla (tanggal 1), candra sengkala muka dikwitangcu (tahun caka 928 atau
1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang).
Mpu Kuturan membahas bagaimana
menyederhanakan keagamaan di Bali, yang terdri dari berbagai aliran. Kemudian
disepakati untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma, Wisnu, Ciwa) untuk menjadi
inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau
manifestasi dari sang Hyang Widhi Wasa. Konsensus yang tercapai pada waktu itu
menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di
Bali ditampung dalam satu wadah yang dsebut “CIWA BUDHA” sebagai
persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan
tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang widhi Wasa dala
perwujudannya yang masing-masing bernama:
1) Pura
Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang
Hyang Widhi Wasa (Tuhan).
2) Pura
Puseh untuk memuja kemuliaan Wisnu sebagai perwujudan dar Sang Hyang Widhi
Wasa.
3) Pura
Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu saktinya Dewa Ciwa sebagai
perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam Trimurti Tattwa dinyatakan bahwa
biasanya bangunan Kahyangan Tiga yang merupakan galeng hulu dan sebagai utama
mandala diatur sebagai berikut:
1) Pura
Desa dibangun dihulu atau ditengan-tengah Desa dan pada tempat yang
dianggap baik.
2) Pura
Puseh pada umumnya dibangun dkat pantai dan pada tempat yang dianggap baik.
3) Pura
Dalem dibangun dihulun setra dan tempatnya berada dipinggiran Desa.
(Soeka, 1993:8)
Ketiga pura tersebut Pura “Kahyangan
Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam Samuan
Tiga juga dilahirkan suatu organisasi “Desa
Pakraman” yang lebih dikenal sbagai “Desa
Adat”. Mpu Kuturan memiliki pemikiran-pemikiran untuk mengajak umat Hindu
di Bali mengembangkan konsep Tri Murti dalam wujud simbol palinggih Kemulan
Rong Tiga di tiap perumahan. Sanggah Kemulan ini berbentuk segi empat panjang
bertiang empat dengan 3 buah ruangan (rongan). Ruag sebelah kanan adalah
linggih Dewa Brahma, ruang sebelah kiri adalah Linggih dewa Wisnu dan ruang
sebelah tengah adalah linggih Dewa Ciwa. Pada ruang tengah biasanya diisi buah
kelapa yang masih bertampuk dan betangkai serta kulitnya tada bercacat disebut
“Tahulan”. Tahulan merupakan simbol
jiwa, tampuk sebagai lambang Ciwadwara dan tangkai sebagai simbol rambut.
Sedangkan ruang kiri dan kanan sebagai simbol mata (Soeka, 1993:9). Kemudian
mendirikan Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-Pura
Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu) dan Gelap (Siwa) serta Padma Tiga
di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi
horizontal (pangier-ider). Di bidang ritual ciri khas Hindu-Bali yang
terpenting adalah adanya bebali atau banten yang dikembangkan oleh Danghyang Markandeya
dan Mpu Sangkulputih (Gunawan, 2012:50-54).
Hubungan/kaitan sekte-sekte yang ada
di Bali dengan Panca Yadnya dimana pada pembahasan diatas sudah dijelaskan
sekte-sekte yang pernah ada di Bali dan penyatuannya yaitu menjadi Ciwa Budha. Apabila dikaitkan dengan
pelaksanaan Panca Yadnya di Bali, simbolisasi dari sekte-sekte tersebut masih
memiliki pengaruh. Pelaksanaan Panca Yadnya atas dasar catur marga dalam bentuk
sesajen atau banten yang mana bentuk dan caranya disesuaikan dengan Drsta dan
Sadacara. Dalam realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali
juga menampakkan perpaduan dari unsur-unsur kepercayaan nenk moyang, Wariga,
Rerahinan (hari raya) da upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek
moyang. Warisan ini berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan
sebuah satu kesatuan yang bulat dan utuh. Maka agama Hindu di Bali memiliki
sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani orang Bali dari jaman dahulu
hingga sekarang. Warisan tersebut perlu kita jaga, rawat dan menyempurnakan
pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umat
(Gunawan, 2012:38).
Panca Yadnya adalah lima macam korban
suci yang patut dipersembahkan oleh umat Hindu ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa
beserta manifestasinya. Tujuannya adalah untuk mewujudkan sradha atau keyakinan,
menyampaikan rasa hormat, memohon kesucian, perlindungan dan menyampaikan rasa
syukur atas rahmat, memohon kesucian, perlindungan dan menyampaikan rasa syukur
atas rahmat yang dianugrahkan-Nya. Pelaksanaan Panca Yadnya merupakan realisasi
dari ajaran Tri Rna yaitu tiga macam hutang yang kita miliki dalam hidup dan
kehidupan ini. Umat manusia akan merasa berdosa dalam hidup ini wajib kita
bayar. Cara atau upaya untuk membayar Rna (hutang-hutang) tersebut dirumuskan
dalam Panca Yadnya (Sudirga,2004:97). Dewa
Yadnya adalah yadnya yang ditujukan kepada Tuhan dan manifestasi-Nya. Pitra Yadnya adalah yadnya yang
ditujukan kepada orang tua atau leluhur secara sekala dan niskala. Rsi Yadnya adalah yadnya yang ditujukan
kepada orang suci atau mahaguru. Bhuta Yadnya
adalah yadnya yang ditujukan kepada semua makhluk ciptaan Tuhan. Manusia Yadnya yaitu yadnya kepada
sesama manusia (Surayin, 1993:3).
Sesuai dengan kepercayaan umat Hindu
di Bali, yang merayakan hari raya Sivalatri, Saraswati, Purnama, Tilem dan Manggala
Wara yang merupakan hari suci untuk menasehati diri dimana diyakini sebagai
perayaan hari Siva (Gunawan, 2012:36). Dalam hal ini sekte Siwa masih memiliki
pengaruh.
Kristalisasi sekte Brahmana
di Bali adalah seperti yanng sudah
disebutkan diatas bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang berasal dari
golongan brahmana. Setiap pelaksanaan upacara Panca Yadnya di Bali memerlukan
seorang Brahmana yang sering disebut dengan pemangku,
pandita, pinandita, sri mpu, sulinggih. Dimana kewajiban seorang sulinggih
terhadap masyarakat yaitu memimpin dan memuput upacara yadnya atau upacara
keagamaan, memberikan dewasa (menunjukkan hari-hari baik) untuk melaksanakan
upacara yadnya (Sukartha, 202:24).
Kemudian
pada sekte Sora dimana pemujaannya terhadap Dewa Surya yag disimbolisasikan sebagai penguasa Matahari. Dimana
matahari menyinari dunia beserta isinya, merupakan sumber kehidupan bagi semua
makhluk hidup di dunia. Karena hal inilah di Bali di setiap rumah kepala
keluarga dibuatkan Sanggah Surya
sebagai saksi bahwa seseorang sudah melakukan upacara yadnya. Pada saat persembahyangan dewa yang pertama dipuja
adalah Dewa Surya.
Pada Sekte Waisnawa, karena
pemujaannya terhadap Dewa Wisnu dan Dewi Laksmi dimana disimbolisasikan bahwa
Dewa Wisnu itu sebagai penguasa air dan Dewi Laksmi sebagai penguasa
padi/beras. Apabila dikaitkan dengan setiap pelaksanaan Panca Yadnya selalu
menggunakan air dan beras yang kemudian dijadikan tirtha dan bija. Tirtha atau
air suci dibedakan menjadi 2 jenis. Yaitu tirtha yang didapat dengan cara
memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasinya, dan tirtha yang
dibuat oleh para sulinggih melalui pujanya.
Menurut ajaran agama Hindu tirtha
memiliki fungsi sebagai sarana untuk membersihkan menyucikan lahir dan bathin
umat manusia dari kotoran maupun kecemaran atau leteh. Adapun cara
penggunaannya adalah dipercikkan di kepala diminum dan diraupkan pada muka,
masing-masing tiga kali. Hal ini merupakan simbolis pembersihan dan peyucian
dari sabda, bayu, dan idep yang ada pada diri umat manusia. Selain menggunakan
tirtha sebagai sarana peyucian dalam persembahyangan juga digunakan wija atau
bija dan bhasma yang juga disebut gandhaksta.
Bija adalah biji beras yang direndam dengan air cendana. Cara penggunaannya
adalah ditempelkan diantara kedua kening (tengahing
lelata) dan pada tempat lainnya. Bija adalah simbol atau lambang kehidupan
sebagai benih dari Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan bhasma adalah lambang
peleburan dosa atau kekotoran yang terdapat pada tubuh manusia.
Adapun jenis-jenis tirtha berdasarkan fungsinya
dalam pelaksanaan upacara Panca Yadnya secara umum dapat dibedakan sebagai
berikut:
a) Tirtha
Pembersihan
Merupakan tirtha yang difungsikan untuk membersihkan dan
menyucikan para umat yang akan melaksanakan persembahyangan dan juga
membersihkan serta menyucikan berbagai macam upakara persembahan.
b) Tirtha
Pengelukatan
Merupakan tirtha yang difungsikan untuk membersihkan dan
menyucikan para umat yang akan sembahyang dan upakara yang akan dipersembahkan,
agar segala kotoran dan letehnya menjadi suci.
c) Tirtha
Wangsuhpada
Merupakan tirtha sebagai lambang amartha yang merupakan
anugerah dari Tuhan dan Para Dewata, yang dapat dimohon oleh umat. Pada saat
menerima tirtha wangsuhpada sikap tangan tengadah dengan telapak tangan kanan
diatas telapak tangan kiri, siap untuk menerima tirtha yang dipercikkan tiga
kali di ubun-ubun, diminum tiga kali dan diraupkan tiga kali. Dengan tujuan
untuk menyucikan pikiran, perkataan dan perbuatan yang disebabkan oleh sthula,
suksma dan antahkarana sarira.
d) Tirtha
Pemanah
Merupakan tirtha yang dimohon oleh umat pada sumber mata
air, seperti campuhan, yang biasanya dipergunakan dalam rangka upacara Pitra Yadnya.
e) Tirtha
Penembak
Merupakan tirtha yang dibuat oleh Sang Sulinggih, Pendeta
atau Sang Dwijati yang difungsikan dalam rangka upacara Pitra Yadnya.
f) Tirtha
Pengentas
Merupakan tirtha yang dibuat oleh para Sulinggih yang
difungsikan dalam rangka upacara kematian, Pitra Yadnya.
Jenis-jenis tirtha sebagai lambang
atau simbol upacara agama dapat dibedakan, sebagai berikut:
a) Tirtha
berfungsi sebagai lambang penyucian dan pembersihan
Upacara atau banten yang akan
dipersembahkan dalam rangka upacara agama, seperti panca yadnya sebelum
dipersembahkan hendaknya dibershkan dan disucikan dengan memergunakan tirtha
pembersihan dan penyucian ebagai lambang atau simbol yang dibuat oleh pendeta
atau sulinggih. Kewajiban untuk menyucikan upakara atau banten yang akan
dipersembahkan kehadpan Tuhan beserta manifestasinya. Disebutkan dalam Lontar
Kusuma Dewa Gong Wesi,
“Salwir bebanten yajna matirtha karyan
Pedanda Putus tan katampi aturannya”.
Artinya :
Segala sajian atau bebanten bila tidak
disuckan dengan tirtha yang dibuat oleh Pendeta utama, tidak akan diterima persembahannya.
b) Tirtha
yang berfungsi sebagai Pengurip atau Pencipta
Tirtha yang dipergunakan untuk
membersihkan dan menyucikan upakara atau bebanten juga berfungsi sebagai sarana
untuk menjiwai upakara yang akan dipersembahkan oleh umat ke hadapan Tuhan
beserta manifestasinya. Dengan demikian banten yang dibuat dari kumpulan
rangkaian bunga, buah, daun dan jajan setelah diperciki tirtha pengurip secara
resmi menjadi sarana agama yang bernilai sakral dan memiliki jiwa secara
spiritual. Tirtha penguripbiasanya juga dipergunakan oleh para undagi atau
tukang bangunan untuk melaspas atau menghidupkan bangunan yang sudah selesai
dibangun. Tirtha pengurip ini adalah permohonan ke hadapan sang Hyang
Paramasiwa agar sudi menjiwai secara spiritual banten atau bangunan yang baru
selesai dibuat.
c) Tirtha
yang berfungsi sebagai Pemelihara
Tirtha juga befungsi sebagai
pemelhara. Dalam pelaksanaan Yadnya tirtha berfungsi sebagai lambang berkah uci
atau anugrah dari Ia Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya kepada
umatNya. Pada saat dilaksanakannya upacara Puja Wali atau Patithan di suatu
tempat suci setelah dilangsungkannya persembahyangan dilanjutkan engan
pemercikan tirtha, untuk diminum an diraupkan pada wajah masing-masing umat.
Tirtha dam hal ini dijiwai oleh Dewa Wisnu sebagai lambang sthiti atau kehidupan
(Sudirga, 2004:73-77). Jadi sudah jelas, bahwa penyatuan dari sekte Waisnawa dalam pelaksanaan Panca Yadnya
di Bali ditandai dengan ada tirtha dan bija di setiap pelaksanaannya.
Kemudian Sekte Bhairawa seperti
yang sudah dijelaskan diatas bahwa sekte ini memuja Dewi Durga sebagai Dewa
Utama. Pemujaannya terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di setiap desa
pakraman di Bali. Kalau di dalam Panca Yadnya pengaruh dari sekte bhairawa ini
adalah dilaksanakannya Bhuta Yadnya. Oleh masyarakat Hindu butha kala sering
dibayangkan sebagai makhluk halus dengan rupa yang menakutkan dan sering
menimbulkan gangguan serta bencana, tetapi bila dierhatikan (diberi korban)
mereka akan membantu serta melindungi.
Di dalam kitab Purwaka bumi Kemulan
djelaskan bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa telah menciptakan:
a) Sang
Kursika berwarna putih, kemudian menjadi Bhuta Dengen berwujud Yaksa
bertempat di Timur.
b) Sang
Garga berwarna merah kmudian menjadi Bhuta Abang berwujud Mong bertempat di
Selatan.
c) Sang
Metri berwarna kuning, menjadi Bhuta Kuning berwujud ular bertempat di
Barat.
d) Sang
Kurusya berwarna hitam, menjadi Bhuta Hireng, erwujud buaya bertempat di
Utara.
e) Sang
Pretanjala berwarna brumbun (wiswa warna) bertempat di arah tengah bersama
dengan Bhatari Uma dan berwujud bhuta disebut Durga Dewi.
Setelah mendapat
penyucan Beliau berubah menjadi Dewa seperti:
a) Sang Kursika menjadi Dewa Iswara
b) Sang Garga menjadi Dewa Brahma
c) Sang Metri menjad Dewa Maha Dewa
d) Sang Kurusya menjadi Dewa Wisnu
e) Sang Uma retanjala menjadi Dewa Siwa
Sarana yang
biasa digunakan dalam upacara Bhuta Yadnya yaitu banten caru dan juga api. Api
ini memiliki banyak fungsi. Tidak hanya digunakan dalam upacara bhuta yadnya
tetapi digunakan dalam semua jenis yadnya. Adapun jenis-jenis upacara Bhuta
Yadnya diantaranya:
a. Segehan serta banten yang setingkat
1) Segehan kepelan dan segehan cacahan
Kedua jenis segehan ini dapat
digunakan untuk menyertai upacara Panca Yadnya seperti Kliwon, Saraswati,
Galungan, Kuningan, Otonan memujung ke setra dan upacara-upacara bhuta yadnya.
2) Segehan Agung
Segehan
ini digunakan agak khusus misalnya memendak membuka tanah baru baik untuk perumahan
maupun untuk pura dan digunakan pula
dalam upacara-upacara besar seperti caru dan tawur.
3) Gelar Sanga
Banten
ini selalu ditaruh dibawah sanggar pesaksi dalam upacara caru atau tawur,
misalnya untuk memendak, ngelebar dan lainnya.
4) Banten Prayascita
Banten ini berfungsi sebagai
pembersihan terhadap tempat atau bangunan terutama yang baru diperbaiki, pada
diri seorang yang sehabis kecuntakaan, dan lainnya.
b. Caru
Adapun beberapa jenis caru yang biasa
digunakan oleh umat Hindu dalam pelaksanaan yadnya, diantaranya:
1) Caru
Ayam Brumbun
Caru ini disebut pula caru pengruak
dan caru ini dipergunakan ada waktu piodalan di pura serta merajan baik sebagai
pendahuluan, sebelum mulai bekerja maupun menyertai piodalan tersebut. Adapun
tujuan dari caru ayam brumbun ini adalah untuk menyucikan tempat-tempat dalam
arti membebaskan dari pengaruh buruk yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan
para Bhuta Kala sehingga keharmonisan dapat diwujudkan.
2) Caru
Panca Sata
Caru ini adalah caru yang menggunakan
lima ekor ayam yang disesuaikan dengan arah pengider-ider (arah mata angin).
Penggunaan caru Panca Sata ini adalah untuk upacara melaspas di pura atau di
sanggar perumahan serta sebagai dasar dalam penggunaan biatang-binatang lainnya
seperti penggunaan itik, asu bang bungkem, kerbau, kambing dan lainnya sehingga
cara Panca Sata ini dianggap sebagai dasar caru berikutnya.
3) Caru
Panca Kelud
Caru ini mempergunakan lima ekor ayam
ditambah dengan seekor itik belang kalung dan seekor asu bang bungkem. Caru ini
dipergunakan sebagai dasar dalam upacara-upacara Mapedanan, ngenteg linggih,
odalan, baik disanggar perumahan, di kahyangan bila terjadi hal-hal yang
dianggap kurang baik ada tempat-tempat tersebut.
4) Caru
Rsi Gana
Caru ini tidak digunakan secara umum
melainkan pada tempat-tempat dan bila ada kejadian-kejadian tertentu misalnya,
tempat dianggap angker, sering menimbulkan bencana, penyakit, dan lainnya.
c. Tawur
/ Caru Kesanga (untuk Menyambut Tahun Baru Caka)
salah satu contoh Tawur adalah Tawur
ke Sanga. Tawur ke Sanga adalah upacara Bhuta Yadnya yang bertujuan untuk
menyucikan buana agung (alam semesta) dengan sarana utama api (ngerupuk) dan
tirtha. Sedangkan hari Nyepi adalah penyucian buana alit (diri manusia) dengan
pengendalian diri dan pemusatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Widhi (Supartha,
1994:66-69).
Dalam persembahyangan api itu
diwujudkan dengan dhupa (dupa) dan dipa. Dupa adalah sejenis ramuan yang
dibakar sehingga berbau wangi. Dupa dengan nyala apinya lambang Dewa Agni yang
berfungsi sebagai pendeta pemimpin upacara, sebagai perantara yang
menghubungkan antara pemuja dan yang dipuja, sebagai pembasmi segala kotoran
dan pengusir roh jaha dan sebagai saksi upacara yadnya. Penggunaan api dalam
kehidupan beragama Hindu memiliki dasar yang bersumber dari kitab-kitab suci
Wedangga yang terdiri dari kitab Siksa, Wyakarana, Chandra, Nirukta, Jyotisa
dan Kalpa. Api dalam istilah agama Hindu disebut Apuy, Agni, Wahn. Api sebagai
sumber kehidupan dewanya Brahma. Sifat api adalah menerangi atau menyinari dan
“dharmanya” membakar. Adapun fungsi api di dalam pelaksanaan upacara yadnya di
Bali:
a) Api sebagai pendeta pemimpin upacara
Dhupa dan dipa adalah sarana pendeta
dalam memimpin upacara. Dhupa adalah
wangi-wangian yang dipakai dalam upacara. Sarana ini disamping dpakai oleh
pendeta, umat yang akan mengikuti persembahyangan pun harus menyiapkan dhupa.
Sedangkan dipa adalah lampu yang
memakai minyak kelapa dengan bentuk tertentu, di masyarakat oleh umat sering disebut
Pedamaran Ida Pendanda. Sarana ini
hanya boleh dipakai oleh Pendeta dalam memimpin upacara. Dhupa adalah lambang akasa tattwa dan dipa merupakan lambang sakti tattwa.
b) Api sebagai perantara pemuja dan yang
dipuja
Fungsi api sebagai perantara yang meghubungkan
antara pemuja dengan yang dipuja yang dipentingkan adalah asap yang berbau
harum itu berhembus ke atas, terus luluh beersatu dengan angkasa.
c) Api sebagai pembasmi kotoran dan pengusir
roh jahat
Karena sifat api yang sarwa bhaksa yaitu memakan segala macam
benda, dalam upacara-upacara agama Hindu di Bali digunakan sebagai lambag
pengusir atau pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat. Dalam hal ini api
diwujudkan dalam beberapa upacara agama dengan berbagai bentuk diantaranya:
(a) Api
Takep
Dibuat dari dua belahan serabut kelapa
bagian luar dari kulit kelapa, dibentuk bertumpuk menyilang seperti bentuk
tamda tambah atau bentuk dasar dari swastika, di dalamnya diisi api. Api ini
digunakan untuk menghantarkan upacara segehan di lebuh atau di pintu gerbang
rumah. Dihaturkan di bawah pada pintu keluar masuk rumah. Api ini merupakan
lambang dari swastika yaitu lambang keseimbangan, sedangkan api yang didalamya
adalah lambang kekuatan jiwatman yang dapat menumbuhkan ketahanan diri dalam
menghadapi godaan-godaan yang bersifat negatif.
(b) Api
Prakpak
Api ini yaitu beberapa helai daun
janur yang sudah kering (danyuh) diikat pada ujungnya, kemudian dibakar
sehingga berupa obor. Api digunakan pada hari “Hari Tawur Kesanga” pada sore harinya setelah menghaturkan upacara
segehan di halaman “sanggah atau merajan” dan dipintu halaman masuk pekarangan
rumah lalu dilanjutkan dengan mengelilingi rumah tiga kali dengan membawa api
obor dari daun kelapa yang kering itu.
(c) Api
Tetimpug
Api ini dibuat dari tiga potong bambu
yang masih muda dan hijau lalu diikat menjadi satu diisi “sampaian sasap” yaitu
sampaian yang dibuat dari sepotong janur yang bentuknya sedemikian rupa,
sehingga berisi mata dua. Sampaian ini bermaksud untuk memberikan jiwa secara
simbolis kepada ketiga potong bambu itu. Lalu bambu itu diletakkan dibawah
masing-masing ujungnya dialasi dengan batu atau bata dan dibawahnya lalu
dibakar. Api ini digunakan pada upacara perkawinan tahap pertama yaitu waktu
upacara “mabia kawon” atau “pekala-kalaan”, upacara “makekelud” upacara ini
adalah upacara bhuta yadnya untuk menghilangkan “cuntaka atau sebel” akibat
kematian salah satu anggota keluarga. Biasanya dilangsungkan setelah penguburan
jenasah sudah lewat 12 hari. Fungsinya adalah untuk melenyapkan rasa duka atau
bela sungkawa atas kematian salah satu anggota keluarga.
(d) Api
Tabunan
Bentuknya mirip dengan api unggun.
Apabila ada umat Hindu yang tertimpa kecelakaan sampai ada darah yang tercecer
di tanah atau di jalan, maka darah yang tercecer itu dapat mendatangkan roh
jahat. Darah yang tercecer itu harus disucikan. Api ini juga berfungsi untuk
melepaskan ikatan roh atau jiwa orang yang mengalami kecelakaan itu, pada darah
yang merupakan bagian tubuhnya yang amat penting. Karena keterikatan roh orang
yang kcelakaan itu, baik orangnya masih hidup maupun meninggal, diyakini akan
membawa pengaruh buruk pada orang tersebut.
5) Api
Citagni
Api juga berfungsi pada upacara Ngaben
dimana unsur-unsur Panca Maha Bhuta dibakar oleh api. Menurut kepercayaan Hindu
api ini berfungsi untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Maha Bhuta pada asalnya
di Bhuwan Agung, agar Sang Hyang Atma semakin dekat dengan penciptanya.
Kemudian dalam upacara Manusa Yadnya,
ketika bayi baru lahir, ari-arinya (placenta)
ditanam di atas gundukan tanaman. Di atas gundukan itu setiap sore diisi dengan
api dalam bentuk lilin atau lampu tradisinal. Maka api dalam upacara penanaman
ari-ari (placenta) tersebut adalah
untuk melindungi ari-ari itu dari gangguan roh jahat. Penggunaan api sebagai
pembasmi kotoran dalam upacara Manusa Yadnya juga lihat pada upacara si bayi
berumur tiga bulan wuku atau 105 hari. Bentuk api dalam upacara ini adalah
berbentuk linting.
d) Api sebagai saksi upacara dalam kehidupan
Dupalah yang berfungsi sebagai saksi
persembahyangan. Api dupa lambang api saksi, sedangkan asapnya lambang gerakan
rohani menuju angkasa, lambang stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan dewa-dewa
manifestasiNya. Api dupa adalah angga sarira Hyang Agni. Api dengan sinarnya
adalah penerangan dalam alam ini. Ini berarti bahwa Hyang Agni adalah maha
melihat atau saksi dari segala perbuatan manusia (Wiana, 2005)
Dari kedua sarana upacara bhuta yadnya
yaitu banten caru dan juga api disini menunjukkan bahwa sarana-sarana tersebut
saling melengkapi satu sama lain. Dipembahasan diatas dinyatakan bahwa sekte
Bhairawa ini identik dengan kekuatan magic. Biasanya sarana yang digunakan
adalah menyukai darah atau daging mentah. Hal ini masih diwarisi dalam
masyarakat Bali sekarang dimana biasanya disetiap akan melaksanakan suatu
yadnya masyarakat biasa ngelawar.
Ngelawar ini adalah realisasi dari sekte Bhairawa.
Selain sarana upacara yang telah
disebutkan diatas didalam melaksanakan upacara Panca Yadnya juga tidak terlepas
dengan menggunakan sarana bunga. Bunga sebagai simbol Siwa atau Tuhan dalam
sembahyang, bunga diletakkan tersembul pada puncak cakupan kedua telapak tangan
disaat sembahyang. Setelah selesai sembahyang, bunga tadi biasanya diselipkan
diatas kepala atau disumpangkan pada kedua daun telinga. Bunga berfungsi
sebagai sarana persembahan sehingga bunga dipakai untuk mengisi upakara atau
sesajen yang akan dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Para Dewata,
Bhatara-Bhatari, dan roh suci leluhur. Bunga merupakan simbol persembahan yang
tulus dan ikhlas, kesucian dan sifat maha kasih.
Dalam sarana sembahyang bunga
dirangkai dalam bentuk canang yang didalamnya terdiri dari:
1) Porosan
Merupakan unsur sarana pokok dalam
canang. Posoran dibuat dengan sarana sirih, kapur, da buah yang dijepit atau
dibungkus dengan bentuk lancip dari potongan janur. Lontar Yajna Prakerti
menyebutkan bahwa porosan adalah lambang untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa
dalam manifestasinya sebagai Sang Tri Murti. Pinang atau buah sebagai lambang
pemujaan kepada Dewa Brahma, siri sebagai lambang pemujaan kepada Dewa Wisnu,
dan kapur sebagai lambang pemujaan kepada Dewa Siwa.
2) Plawa
Plawa juga disebut daun-daunan.
Berdasarkan penjelasan lontar Yajna Prakerti, plawa melambangkan tumbuhnya
pikiran yang hening dan suci. Umat Hindu di dalam memuja Tuhan Yang Maha Esa
dalam fungsinya sebagai Sang Tri Murti hendaknya berusaha menumbuhkan pikiran
yang suci dan hening. Pikiran yang tumbuh dengan suci dan hening akan dapat
menangkal atau mengendalikan umat manusia dari pengaruh-pengaruh yang buruk
atau jahat. Tuhan Yang Maha Esa akan menganugrahkan rahmatNya kepada umatNya
yang berpikiran suci dan hening.
3) Bunga
Bunga
yang terdapat dalam canang melambangkan keikhlasan.
4) Tetuwasan, reringgitan dan jejahitan
Tetuwasan, reringggitan dan jejahitan
merupakan lambang keteguhan atau kelanggengan umat manusia. Pada zaman modern
seperti ini, banyak sekali unsur-unsur yang dapat menggoyahkan pikrian umat
manusia. Keteguhan dan kelanggengan pikiran hendaknya tetap dipertahankan untuk
menuju kebaikan dan kebenaran. Pikiran yang teguh dan langgeng tetap dibutuhkan
untuk menuju jalan suci dan kebenaran Tuhan karena godaan-godaan akan silih
berganti datang menggoyahkan cita-cita suci tersebut.
5) Urassari
Dibuat dari garis silang yang
menyerupai tampak dara yaitu sebagai
bentuk sederhana dari Swastka. Hiasan urassari dalam bentuk lingkaran
menjadikanya menyerupai bentuk cakra. Urassari yang tersusun dengan jejahitan
tetuwasan dan reringgitan tertata sedemikian rupa menjadikan bentuk lingkaran
menyerupai bentuk Padma Astadala. Ini merupakan lambang sthana Ida Sang Hyang
Widhi Wasa degan delapan penjuru mata anginnya. Berdasarkan ajaran Hindu alam
semesta ini tercipta oleh Tuhan melalui tiga proses, antara lain: pertama, Srati
adalah proses penciptaan alam semesta beserta isinya melalui evolusi dua unsur
seperti purusa dan predana. Kedua, Swastika adalah proses ketika alam mencapai
puncak keseimbangan yang bersifat dinamis. Kondisi seperti ini yang
dilambangkan dengan jejahitan urassari. Dasar pembuatan dari garis silang atau tampak dara adalah ujung-ujung dari
urassari menunjukkan arah catur loka pala dan hiasan yang melingkar menjadi
bentuk swastika serta menjadi bentuk Padma Astadala. Padma Astadala adalah
lambang perputaran alam yang dinamis dan seimbang sebagai sumber kehidupan
menuju kebahagiaan. Ketiga, Pralaya
adalah proses alam semesta lebur kembali menuju asalnya, yaitu Tuhan Yang Maha
Esa sebagai Pencipta (Sudirga, 2005:59-62).
Demikianlah kristalisasi sekte-sekte
di Bali yang menyatu dengan sebutan “CIWA BUDHA” yang pelaksanaan
upacaranya disebut dengan Panca Yadnya dengan berbagai sarana
upakaranya yang diadopsi dari sekte-sekte yang pernah ada di Bali tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Pasek I Ketut. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta I.
IHDN Denpasar.
Pandit, Bansi. 2006. Pemikiran Hindu. Surabaya: Paramita.
Sivananda, Sri Swami. 2003. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya:
Paramita.
Soeka, Gde.
1993. Tri Murti Tattwa. Denpasar: CV.
Kayumas.
Sudirga, IB.
2005. Widya Dharma Agama Hindu XI.
Denpasar: Ganeca Exact.
Sudirga, IB.
2005. Widya Dharma Agama Hindu X.
Denpasar: Ganeca Exact.
Sukartha, I
Ketut. 2002. Agama Hindu. Denpasar:
Ganeca Exact.
Supartha, Suda I Nyoman. 1994. Penuntun Belajar Agama Hindu. Denpasar:
Ganeca Exact.
Wiana, Ketut. 2005. Sembahyang Menurut Hindu. Denpasar:
Yayasan Dharma Naradha.
Yudhiantara, Kadek. 2003. Rahasia Pemujaan Sakti Durga Bhairawi.
Surabaya: Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...