BAB
I
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang
Siwa Siddhanta adalah salah satu mazab dari sekte Siwa, yang berkembang di India dan di
Indonesia. Mengutip dari yang ditulis oleh Haryati Soebandi dalam Sastra (2008 : 191) kata Siddhanta berarti (1) Svetarupa, (2) Sanghyang Aksobhya atau Sanghyang
Kamoksan, (3) Sanghyang Sunya-Nirmala
Sedangkan kata Siwa berasal dari ajaran yang memuja dewa Siwa sebagai dewa yang utama,
berarti sekte Siwa adalah kelompok atau kumpulan orang-orang yang memuja
serta menempatkan dewa Siwa pada tempat yang utama. Jadi Siwa Siddhanta adalah ajaran untuk
mencapai jalan menuju kepada Sang Pencipta, atau suatu jalan untuk bersatu
dengan Sang Pencipta yang berasal dari sekte Siwa. Dalam Siwa Siddhanta disebutkan alam dunia berasal dari maya (materi yang tidak murni, potensi
alam semesta), yang merupakan kesatuan nyata yang abadi, diakui sebagai nyata
adanya (Sastra, 2008 : 192).
Siwa Siddhanta yang pada awal mulanya berkembang di India,
akhirnya berkembang pula di Indonesia terutama di Bali. Siwaisme yang eksis di
Bali adalah bersumber dari salah satu sastra Hindu bernama Bhuwana Kosa. Bhuwana Kosa merupakan
naskah tradisional Bali, salah satu sumber pembangkit spiritual umat Hindu di Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Karena Bhuwana Kosa merupakan intisari ajaran Weda yang isinya kaya dengan
Siwaisme, terutama Siwa Siddhanta yang berkembang pesat di India Selatan. Bhuwana Kosa dikatakan sebagai sumber suci pembangkit spiritual
umat Hindu di Bali untuk umat Hindu secara umum maupun di kalangan orang suci (Pandita atau Sulinggih). Menjadi salah satu sumber suci bagi pemeluk Hindu di
Bali, sekaligus cikal bakal dari sumber ajaran Hindu yang eksis sampai kini di
Indonesia. (Putu Mudiantara,
http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-Siwa-siddhanta/
, diakses tanggal 22 April 2012
Pukul 15.39 Wita).
Ajaran Siwa Siddhanta di Indonesia merupakan kelanjutan dari
ajaran sekte Siwa Gama yang masuk ke
Indonesia sekitar abad ke-4. Namun dengan perpaduan antara konsep-konsep Siwa, Tantra,
Buddha Mahayana, Tri Murthi dan juga paham Waisnawa maka lahirlah konsep Siwa
Siddhanta Indonesia. Adapun konsep ajaran Siwa Siddhanta Indonesia lebih banyak
berpedoman pada konsep ajaran lokal serta ajaran yang telah berkembang
sebelumnya seperti konsep Siwa, konsep Waisnawa, konsep Tantra, konsep Tri
Murthi, bahkan konsep Buddha Mahayana yang kesemuanya dipadukan sehingga
menghasilkan konsep-konsep yang dituangkan ke dalam lontar-lontar yang kemudian
menjadi dasar konsep Siwa Siddhanta Indonesia, konsep-konsep tersebut antara
lain: Bhuana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa, Sanghyang
Mahajnana, Tattwajnana, dan Jnanasiddhanta.
(Sastra, 2008 : 193-194)
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa Siwa Sidhhanta
menempatkan Siwa sebagai realitas tertinggi. Salah satu sekte yang termasuk
dalam sekte Siwa adalah sekte Pasupata yang juga menempatkan Siwa sebagai
realitas tertinggi. Sekte ini memiliki perbedaan dengan Siwa Siddhanta, tetapi
ia merupakan bagian dari Siwa Siddhanta itu sendiri karena Siwa Siddhanta itu
merupakan gabungan atau peluruhan dari semua sekte yang ada di Bali. Bedanya
dengan Siwa Siddhanta adalah dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte
Pasupata adalah dengan menggunakan lingga sebagai simbol tempat turunnya/bersthananya Dewa Siwa. Jadi,
penyembahan lingga sebagai lambang Siwa adalah merupakan ciri khas sekte
Pasupata (Nurkancana, 1998 : 135).
Lingga merupakan
lambang Dewa Siwa, yang pada hakekatnya mempunyai arti, peranan dan fungsi yang
sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia
yang beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan Lingga sampai saat ini pada umumnya di
Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno.
Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap
dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat. Di Indonesia khususnya Bali, walaupun
ditemukan peninggalan lingga dalam
jumlah yang banyak, akan tetapi masyarakat masih ada yang belum memahami arti lingga yang sebenarnya (I Nyoman Dauh, http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1266&Itemid=29, diakses tanggal 29 April 2012 Pukul 08.36 Wita).
II.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan atas
latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan permasalahan meliputi :
1.
Apa yang dimaksud
dengan lingga?
2.
Bagaimana sejarah dan asal
mula adanya lingga?
3.
Bagaimana bentuk-bentuk lingga?
4.
Apa saja jenis-jenis lingga?
5.
Bagaimana pemujaan
terhadap lingga?
III.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui
pengertian tentang lingga
2.
Untuk mengetahui sejarah
dan asal mula adanya lingga
3.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk lingga
4.
Untuk mengetahui
jenis-jenis lingga
5.
Untuk mengetahui
pemujaan terhadap lingga
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Lingga
Lingga merupakan lambang Dewa Siwa atau
Tuhan Siwa, yang pada hakekatnya mempunyai arti, peranan dan fungsi yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang
beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga sampai saat ini pada umumnya di
Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno.
Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap
dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat. (Putu Mudiantara, http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-Siwa-siddhanta/,
diakses tanggal 22 April 2012 Pukul 15.39 Wita)
Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang
berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang
kemaluan laki-laki terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju
pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu. Sedangkan menurut Jendra, (1998:
165), lingga berasal dari urat kata lag
(bahasa Sanskerta) yang bermakna leksikal melekat, setia, dan mengikuti. Namun,
pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan: linggih, yang artinya tempat duduk. Pengertian
ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan
bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa.
Beberapa ahli lain juga memberikan pengertian lingga, diantaranya :
1).
Gupte sebagaimana
dikutip oleh Jendra (1998 : 167), dalam karyanya yang berjudul Iconography of Hindus, Budhisand Jainism
memberi pengertian Lingga sebagai
berikut:
a. Suatu tanda, suatu emblem, tanda khusus, corak khusus,
b. Suatu tanda yang tak nyata, suatu yang ramah, penyamaran
c. Gejala, tanda suatu penyakit
d. Suatu tanda pembuktian, suatu bukti, suatu kenyataan
e. Predikat suatu
proporsi dalam ilmu logika
f. Tanda jenis kelamin atau seks
g. Seks
h. Alat kelamin laki-laki
i. Jenis kelamin dewa Siwa yang dipuja dalam suatu
bentuk phallus
j. Jenis kelamin dalam tata bahasa
k. Bentuk perlambang seorang dewa atau sebuah patung
l.
Petunjuk yang menyatakan ketetapan arti suatu kata di dalam suatu bagian uraian
m.
Badan halus (tak nyata), badan kasar (yang nyata) yang dapat dilenyapkan, dihancurkan dalam filsafat Vedanta.
2.
Gusta Liebert dalam Jendra (1998 : 167), dalam karyanya yang berjudul Iconographyc Dictionary of the Indian Religion
Hinduism, Buddhism, Jainsm memberikan pengertian tentang kata Lingga sebagai berikut:
a. Tanda jenis kelamin atau seks
b. Phallus
c. Simbol azas kelaki-lakian
3.
T.A Gopinathe dalam Jendra (1998 : 167), dalam karyanya yang berjudul Elements of Hindu Iconography volume II, part I, II memberi makna Lingga sebagai berikut:
a. Simbol Purusha
b. Lambang kelaki-lakian Dewa Siwa
4.
Masdiwarsito dalam Jendra (1998 : 167), dalam kamusnya yang berjudul Kamus Jawa Kuno-Indonesia memberi makna lingga senada dengan Gusta dan Gopinate
yakni:
a. Phallus
b. Kemaluan laki-laki
c. Tanda
Lingga dalam Tulisan Svami Swananda (1958) dengan karyanya yang berjudul All about Hinduism, dinyatakan bahwa lingga adalah lambang kosmos, bukan simbol jenis kelamin. Kemudian Sai Baba dalam Jendra (1998 : 167-168) menganalisa lingga itu dan kurang lebih menjelaskan
pokok bahasan lingga sebagai berikut :
Dunia
sebenarnya didukung oleh kekuatan atom yang dalam bahasa Sanskerta disebut anu.
Anu atau atom terdiri atas muatan positif yang disebut danabhaga dan muatan
negatif yang disebut vibhaga. Danabhaga
dapat dipadankan dengan proton dan vibhaga dapat disejajarkan dengan elektron.
Danabhaga dan Vibhaga senantiasa bergerak. Gerakan ini timbul akibat sifat
aktif danabhaga yang berusaha menyatukan diri dengan vibhaga sehingga usaha
pencarian atau pengejaran danabhaga mencari vibhaga berbentuk bulat telur atau
oval. Gerakan oval ini bersifat universal. Oleh karena itu, benda-benda yang
keberadaannya secara alami (natural) umumnya berbentuk bulat telur (oval),
tidak bundar seperti bola, contoh bumi berbentuk bulat telur.
Bumi
dikelilingi oleh bulan yang juga berbentuk oval, dalam garis lingkaran oval.
Bumi dan bulan mengelilingi matahari juga dalam garis lingkaran oval.
Oleh
karena itulah kosmik ini, alam semesta ini, dilambangkan dalam bentuk oval,
yang kemudian bentuk itu disebut Lingga. Siapa yang menggerakkan isi alam semesta
ini yang begitu teratur dalam bentuk oval tadi? Siapa yang menggantung bulan,
bumi, bintang di ruang angkasa dan kemudian berputar dalam bentuk garis oval?
Tentu ada kekuatan tertentu yang disebut kekuatan luar biasa (super natural).
Kekuatan yang maha dasyat yang menyangga alam semesta ini di dalam bahasa
Sanskerta disebut Brh memopang. Dari
urat kata brh inilah menjadi bentuk
kata Brahman, Tuhan Yang Maha Esa yang abstrak, kekal abadi yang menyangga atau
menopang alam semesta.
Manusia umumnya, bhakta yang alphabudi, sangat sulit
membayangkan sesuatu yang abstrak yang kekal abadi itu. (Bhagavad Gita XII. 1-5) untuk
mempermudah penghayatan dibuatkanlah medium, perantara, dalam wujud replika
mini seperti patung dan bentuk pratima lain.
Salah satu wujud lambang replika mini yang diyakini sangat representative ditinjau dari gerakan unsur danabhaga dan vibhaga
tadi dalam Lingga. (Jendra, 1998 : 168).
Petunjuk tertua mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra Siwa telah terdapat di hampir
semua kitab suci agama Hindu, malah dalam berbagai penelitian umat oleh
arkeolog dunia diketahui bahwa konsep tentang Siwa telah terdapat dalam
peradaban Harappa yang merupakan peradaban praweda dengan ditemuinya suatu
prototife tri mukha yogiswara pasupati urdha lingga Siwa pada peradaban Harappa. Kemudian pada peradaban lembah
Hindus, bahwa menurut paham Hindu, lingga merupakan lambang kesuburan.
Perkembangan selanjutnya pemujaan terhadap Lingga
sebagai simbol Dewa Siwa terdapat di pusat candi di Chennittalai pada sebuah
desa di Travancore, menurut anggapan orang Hindu di India pada umumnya pemujaan
kepada lingga dilanjutkan kepada Dewa Siwa dan
saktinya (Rao, 1916 : 69). Di India terutama di India Selatan dan India Tengah
pemujaan lingga sebagai lambang dewa Siwa sangat
populer dan bahkan ada suatu sekte khusus yang memuja lingga yang menamakan dirinya sekte Linggayat
(Putra, 1975 : 104 ; Putu Mudiantara, http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-Siwa-siddhanta/, diakses tanggal 22
April 2012 Pukul 15.39 Wita).
Dalam ikonografi Hindu, lingga sebagai lambang api ini identik dengan kekuatan dan
kekuasaan yang dimiliki seorang raja. Lingga
dalam perwujudannya sebagai Lingodbhavamurti ini Siwa digambarkan ke luar dari
dalam lingga yang terbuka. Dalam bentuk relief
umumnya digambarkan sebuah lingga dengan seekor angsa melayang di atasnya, agak ke bawah terpahat
arca manusia berwajah babi hutan sedang mencari-cari (lingga) di tanah. Gambaran relief itu
didasarkan pada kitab-kitab Purana, diantaranya adalah kitab Lingga Purana, Vayu Purana, Brahmanda Purana, Kurma Purana, Siwa
Purana (Rudra Samhita), dan Skanda
Purana. Cerita yang sama dapat juga dijumpai di Indonesia dalam kekawin Bhomantaka atau Bhomakavya dan Narakavijaya.
(Gunawan, 2012: 80).
Petunjuk yang lebih jelas lagi mengenai lingga terdapat pada kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung. Di dalam Lingga Purana disebutkan sebagai berikut:
“Pradhanam prartim tatca ya dahurlingamuttaman. Gandhawarna rasairhinam sabdasparsadi warjitam”.
Terjemahan:
Lingga awal yang mula-mula tanpa bau, warna, rasa, pendengaran dan sebagainya dikatakan sebagai prakrti (alam).
Lingga awal yang mula-mula tanpa bau, warna, rasa, pendengaran dan sebagainya dikatakan sebagai prakrti (alam).
Jadi menurut
Lingga Purana, Lingga merupäkan tanda pembedaan yang
erat kaitannya dengan konsep pencipta alam semesta wujud alam semesta yang tak
terhingga ini merupakan sebuah lingga dan kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga pada Lingga Purana adalah simbol Dewa Siwa (Siwa Lingga).
Semua wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah Lingga dan Dewa Siwa. Kemudian di dalam Siwaratri Kalpa disebutkan sebagai berikut:
”Bhatara SiwaLingga kurala sirarcanam I dalem ikang
suralaya”.
Terjemahan:
Selalu memuja Hyang Siwa dalam perwujudan-Nya “Siwa Lingga” yang bersemayam di alam Siwa.
Selalu memuja Hyang Siwa dalam perwujudan-Nya “Siwa Lingga” yang bersemayam di alam Siwa.
Jadi lingga merupakan simbol Siwa yang selalu dipuja untuk memuja alam
Siwa. Kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung ini semakin memperkuat kenyataan
bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga pada hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dalam wujudnya sebagai Siwa. (I Nyoman Dauh, http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1266&Itemid=29, diakses tanggal 29 April 2012 Pukul 08.36 Wita ; Putu Mudiantara, http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-Siwa-siddhanta/,
diakses tanggal 22 April 2012 Pukul 15.39 Wita).
2.2
Sejarah dan Asal Mula Lingga
2.2.1
Sejarah Penemuan Lingga
Pada zaman Weda (Rgveda), telah
ditemukan bentuk lingga
yang disebut Sisnadewa. Kemudian orang
Baratlah menyebut wujud dan lambang kosmik itu dengan istilah phallus. Di dalam kamus
Inggris-Indonesia (Echols dan Hassan Shadily,t.th ; 427), phallus diberi makna lambang kemaluan
lelaki, anal atau zakar.
Dalam zaman
Purana, di dalam Markandeya Purana, dinyatakan bahwa Rudra dan Wisnu
menciptakan alam semesta dalam wujud Ardhanareswara
atau Hari+Ardha dan terbentuklah Haryardha.
Wisnu adalah perempuan, dan Rudra adalah laki-laki. Sedangkan di dalam Wisnu
Purana diceritakan bahwa Dewa Brahma meminta
kepada Rudra agar membagi diri dalam aspek laki-laki dan wanita. (Jendra, 1998:
170)
Pada zaman
dahulu kala, ditemukan dua buah lingga
yang diyakini paling tua umurnya
yaitu:
1). Lingga
yang ditemukan di Bhita yang berwujud Mukha Lingga
(lima muka). Wujud lima muka ini erat sekali dengan aspek Siwa yang
dilambangkan dengan Panca
Aksara yaitu Sa, Ba, Ta, A, I.
(1)
Sa singkatan dari nama Dewa Sadyojata
(2)
Ba singkatan dari nama Dewa Bamadewa
(3)
Ta singkatan dari nama Dewa Tatpurusa
(4)
A singkatan dari nama Dewa Aghora
(5)
I singkatan dari nama Dewa Isana
Penemuan lingga
di Bhita ini berasal dari abad I Masehi (Rao, 1971; 63 - - 5) (170).
2). Lingga
yang kedua ditemukan di Gudimallam, terletak enam mil sebelah Timur Laut kota
Renigunta antara Madras dan Maheretta. Lingga
itu disebut Parusurameswara.
(Jendra, 1998: 170).
2.2.2.
Asal Mula Lingga
Pemujaan
kepada Sang Hyang Siwa melalui Siwa Lingga
banyak dilakukan oleh masyarakat zaman dahulu terutama oleh sekte Pasupata yang
merupakan sekte pemuja Siwa dengan menggunakan lingga
sebagai sarana dalam pemujaan kepada Sang Hyang Siwa. Hal ini terlihat dari
banyaknya peninggalan purbakala berupa “Saila Lingga”
(Lingga dari batu), permata, termasuk
dalam bentuk sesajen (upakara) yang disebut “Dewa-Dewi” juga adalah
penggambaran sebuah “Lingga”
(Gunawan, 2012 :
75). Kitab-kitab Purana banyak memberikan gambaran tentang cerita maupun
keutamaan yang diperoleh dari Siwa Lingga,
Oleh karenanya Siwa Lingga
dijadikan sarana sebagai objek pemujaan. Beberapa cerita penting tentang lingga,
diuraikan sebagai berikut:
1). Kutukan Bhargava dan Angirasa.
Siwa
mengembara ke seluruh penjuru dunia, meratap sedih atas kematian Satidevi pada
saat berlangsungnya Yajna yang diselenggarakan oleh Daksa dan Kamadewa mengikuti
dengan panah asmara untuk melepaskan penderitaan dan kesulitan Siwa. Siwa
kemudian masuk ke dalam hutan Daru yang didiami oleh para maharsi beserta
istri-istri mereka. Siwa memberi penghormatan dan meminta punia kepada mereka, Tetapi
para maharsi tidak menyukai kedatangan Siwa dan tetap melanjutkan tapanya. Siwa
pergi meninggalkan tempat tersebut, tetapi istri-istri para maharsi itu banyak
yang mengikuti Siwa. Dibuat marah atas hal tersebut, para pertapa seperti
Bhargawa dan Angrasa mengutuk Siwa
bahwa phallus-Nya akan jatuh ke bumi. Phallus Siwa jatuh dan menyebabkan
kegoncangan pada dunia. Brahma dan Wisnu pun mengetahui dan segera datang ke
tempat phallus itu terlentang. Wisnu
sangat keheranan melihat phallus yang sedemikian panjangnya dan dengan
mengendarai garuda turun pergi ke Patala.
Brahma dengan kendaraannya, pergi ke arah atas. Brahma dan Wisnu gagal dalam usaha
menemukan ujung dari phallus tersebut
kemudian memuja Siwa dan memohon kepada-Nya
supaya phallus beliau diambil kembali dari
bumi. Siwa meminta dengan tegas supaya para dewa memuja phallus-Nya
tersebut. Brahma dan Wisnu
pun menyetujui. Mahawisnu
kemudian menciptakan Catur Warna,
menciptakan berbagai sastra atau petunjuk sebagai petunjuk bagi masyarakat
untuk memuja phallus atau Lingga tersebut. Empat kitab sastra yang
dikenal adalah: Siwam, Pasupatam,
Kaladamanam, dan Kapalikam. Setelah melaksanakan semua seperti tersebut di
atas, Wisnu dan Brahma
kembali, Siwa mengambil kembali phallus-Nya (Vamana Purana 6 dalam
Gunawan, 2012 : 76-77).
2). Balakhilya.
Delapan
puluh delapan ribu Balakhilya lahir
dari pikiran Brahma. Mereka menguruskan badan mereka dengan selalu mandi,
melakukan puasa dan memuja Siwa. Meskipun mereka memuja Siwa sampai seribu
tahun devata, Siwa tidak pernah muncul di hadapan mereka. Parwati yang melihat hal tersebut
bertanya kepada suaminya.
Siwa, mengapa tak datang memperlihatkan diri kepada mereka. Siwa
menjawab bahwa mereka (pertapa) belum memahami kebajikan, belum terbebas dari
nafsu dan kemarahan. Siwa pun menjelaskan kepada Parwati dengan pergi turun
ke Bhalakilya menjelma menjadi
seorang pemuda yang tampan, mengenakan kalung bunga Vanamala, membawa mangkuk untuk memperoleh dana punia di tangannya
dan bertelanjang bulat. Para wanita Advaitin
(pengikut Advaita) sangat tertarik
oleh ketampanan pemuda tersebut (Siwa) dan menanyakan tentang tapa apa yang
telah dilakukan oleh pertapa muda tersebut. Pertapa (Siwa) tidak memberi
tahukan tentang tapanya dan hanya mengatakan ia telah melakukan tapa yang
sangat rahasia. Para wanita yang penasaran serta terdorong oleh nafsunya, mencoba
untuk merayu Siwa. Hal itu diketahui oleh para pertapa serta marah kepada
pertapa muda (Siwa) tersebut. Salah satu pertapa ada yang memuluk phallus pertapa muda itu dengan tongkat
dan batu hingga phallus itu jatuh ke
tanah yang menyebabkan kegoncangan pada dunia. Siwa pun menghilang dari tempat
itu. Para pertapa kebingungan dan memohon perlindungan dari dewa Brahma. Merasa
telah melakukan kesalahan, kebodohan serta ketidaktahuan, Brahma meminta kepada
para pertapa untuk mendinginkan kemarahan serta menyenangkan hati Siwa. Para pertapa
pun memuja Siwa, dan Siwa datang memberikan petunjuk tentang pendirian Lingga sebagai tempat pemujaannya. Atas
bantuan dari Parwati pula, para pertapa berhasil bertemu Siwa yang kemudian
membantu mendirikan Lingga di tepi sungai.
Mereka semuanya, yang menyaksikan pendirian Lingga tersebut memperoleh
kebebasan yang tertinggi. Ketika phallus
(lingga)
didirikan, Brahma juga membangun phallus yang
lain dari batu. Setelah satu masa, phallus
yang kedua menyatu dengan yang pertama dan memancarkan cahaya yang
gemerlapan. Mereka yang melihat hal itu juga memperoleh kesempurnaan. Segera saja
Brahma mendirikan lagi 7 Lingga untuk
menyenangkan hati para rsi, dan para rsi pun mencapai kebebasan yang tertinggi
setelah mengurapi dirinya dengan debu Lingga
tersebut. Tempat Lingga itu didirikan
kini sangat popular dengan nama Sthanutirtha
(Vamana Purana 45 dalam Gunawan 2012 :
78-79).
3). Bhahmasrsti.
Pada
awalnya Brahma memberikan kepercayaan kepada Siwa untuk melaksanakan tugas
penciptaan, dan untuk mendapatkan kekuatan penciptaan, ia tinggal di bawah air
untuk beberapa generasi. Siwa tidak kembali meskipun Braham telah lama
menunggunya, akhirnya Brahma menciptakan para Prajapati dan mereka yang
mengerjakan semua penciptaan itu. Selanjutnya setelah Siwa memiliki semua
kekuatan yang diinginkan, ia muncul kembali dari air. Siwa ternyata sangat
marah dan semua ciptaan ketika ia tidak ditempat dirusak, dan ia mencabut phallus-Nya dan melemparkannya ke atas bumi. ia
berkata, sejak saat itu semua ciptaan ditangani oleh Brahma, ia selanjutnya
tidak memerlukan phallus tersebut. Phallus yang dilemparkan oleh Siwa
menancap di Bumi dan tetap tinggal berdiri di sana. Nantinya, Siwa menari untuk
memusnahkan para dewa. Akhirnya atas permohonan para dewa, Siwa menyimpan api
kemarahannya di dalam air. Api itulah yang mengeringkan air di lautan,
sungai-sungai dan lain-lain. Ketika kemarahan Siwa telah lenyap dan keadaan
menjadi tenang, para dewa memuja phallus (lingga)
yang menancap di tanah, dan karenanya pemujaan kepada lingga
demikian populer (Mahabharata, Sauptikaparva 17 dalam Gunawan
2012 : 79).
Mitologi
tentang lingga
juga dijelaskan oleh Rao sebagaiman
dikutip oleh Jendra (1998 : 168-169), dalam
karyanya tentang mitologi Hindu yang berjudul Linggodbhawamurti diceritakan tentang munculnya lingga. Secara ringkas mitologi itu
dapat disarikan sebagai berikut:
Dewa Brahma dan Dewa Wisnu bertemu
dan sama-sama mengaku lebih hebat kesaktiannya dari yang lain. Dewa Siwa kurang
berkenan terhadap sikap kedua dewa itu yang arogan, ogo, dan merasa paling
hebat.
Untuk menyadarkan kedua dewa ini, Siwa menciptakan lingga sebagai bentuk kosmik dengan
disertai api yang berkobar besar sebagai penjelmaan dari-Nya. Lingga itu besar dan tinggi.
Ada sabda dari angkasa yang menyatakan bahwa siapapun di
antara kedua dewa itu yang lebih dahulu
dapat mencapai ujung lingga,
adalah yang terhebat.
Kedua
dewa itu ingin berlomba mencari ujung lingga.
Dewa Brahma berubah wujud menjadi angsa, terbang ke angkasa mencari ujung atas
puncak lingga. Dewa Wisnu berubah
wujud menjadi babi, mencari ujung bawah lingga
ke dasar api di dalam tanah. Kedua dewa itu sesungguhnya gagal menemukan kedua ujung lingga, akan tetapi Dewa Brahma berbohong. Brahma menyatakan bahwa bunga ketuki yang ajaib dibawa dari
puncak lingga. Sebenarnya bunga
ketuki itu jatuh dari kepala Maheswara. Oleh karena kebohongan itu Dewa Brahma
dikutuk oleh Dewa Siwa, agar Dewa Brahma tidak (pernah) menerima persembahan
dari para bhakta.
Kedua
Dewa itu sujud di depan api lingga,
di hadapan Maheswara yang berbentuk seperti lingga
api itu dengan beribu tangan, beriku kaki, matahari, bulan kobaran api seperti
tiga mata yang disebut pinika, berkalung ular, lalu bersabda:
“Kau berdua lahir dari saya,
Brahma lahir dari pinggang kanan,
Wisnu lahir dari pinggang kiri.
Sebenarnya
ketiga kita ini satu”
2.3
Bentuk – bentuk Lingga
Haryati Subadio dalam bukunya yang berjudul Jnana Siddhanta dengan mengambil
istilah Atma Lingga dan Siwa Lingga atau sering disebut stana dan pada
Dewa Siwa atau sering disebut sebagai simbol kekuatan Tuhan Yang Maha
Esa. Dalam Jnana Siddhanta
disebutkan:
“Pranalo Brahma visnus ca Lingotpadah Siwarcayet”.
Terjemahan:
Salurannya ialah Brahma dan Wisnu dan penampakan lingga dapat dianggap sebagai sumber Siwa.
Salurannya ialah Brahma dan Wisnu dan penampakan lingga dapat dianggap sebagai sumber Siwa.
Pranala dalam bahasa Sansekerta diartikan saluran air, pranala dipandang sebagai kaki atau dasar lingga yang dilengkapi sebuah saluran air.
Dengan istilah Lingga Pranala lalu dimaksudkan seluruh konstruksi
yang meliputi kaki dan lingga, jadi Lingga dan Yoni. Kemudian Lingga Yoni, berkaitan dengan tri purusa yaitu
Brahma, Wisnu dan Siwa, di mana Siwa dinamakan lingga, sedangkan Brahma dan Wisnu bersama-sama dinamakan pranala
sebagai dasar yaitu yoni. (Putu
Mudiantara, http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-Siwa-siddhanta/, diakses tanggal 22 April 2012 Pukul 15.39 Wita).
Sesuai dengan uraian di atas, lingga mempunyai bagian-bagian yang sangat jelas. Pembagian lingga berdasarkan bentuknya terdiri atas : dasar Lingga paling bawah yang pada umumnya berbentuk segi empat yang
pada salah satu sisinya terdapat carat atau saluran air bagian ini disebut yoni. Di atas yoni yang merupakan bagian lingga paling bawah berbentuk segi empat disebut dengan Brahma Bhaga, bagian tengah berbentuk
segi delapan disebut Wisnu Bhaga,
sedangkan bagian atas berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga. Jadi bentuk Lingga
menggunakan konsep Tri Murthi (Brahma, Wisnu, Siwa) ketiga bagian Lingga tersebut kiranya dapat disamakan dengan konsepsi Bhur Bwah
Swah. Lingga pada umumnya diletakkan
di atas lapik yang disebut pindika atau
pitha. Bentuk lapik ini biasanya segi
empat sama sisi, segi empat panjang, segi enam, segi delapan, segi dua belas,
bulat, bulat telur, setengah bulatan, persegi enam belas dan yang lainnya. Yang
paling sering dijumpai adalah lapik yang berbentuk segi empat. Mengenai bentuk-bentuk dan puncak lingga ada banyak ragam antara lain :
berbentuk payung (chhatrakara),
berbentuk telur (kukkutandakara),
berbentuk buah mentimun (tripusha kara),
berbentuk bulan setengah lingkaran (arddhacandrakara),
berbentuk balon (budbudhasadrisa) (I
Nyoman Dauh, http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1266&Itemid=29 , diakses tanggal 29 April 2012 Pukul
08.36 Wita ; Putu
Mudiantara, http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-Siwa-siddhanta/,
diakses tanggal 22 April 2012 Pukul 15.39 Wita).
Menurut
Ayatrohaedi dalam Jendra (1998: 170-173), lingga
ditinjau dari sudut bentuk dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:
a. Bentuk phallus, bentuknya bulat panjang menyerupai alat kelamin
laki-laki.
b. Lingga semu, Lingga yang bentuknya tidak jelas, tetapi diyakini sebagai Lingga.
c. Lingga
yoni, Lingga yang disertai dengan bentuk lapisan dasar tempat lingga
didudukkan disebut yoni. dalam Lingga
Purana,
dinyatakan bahwa lingga
itu adalah Maheswara dan yoni itulah
wujud Mahadewi atau dewi Uma.
d. Mukha Lingga adalah
lingga
yang mempunyai satu sampai luma mukha Siwa.
e. Lingga bertingkat tiga adalah lingga
yang terdiri dari tiga bagian;
(a). Brahmabhaga
adalah bagian bawah lingga
yang berbentuk segi empat atau empat sudut.
(b).Wisnubhaga
adalah bagian tengah lingga
yang terdiri atas delapan sudut.
(c). Siwabhaga adalah bagian atas lingga
yang bernebtuk bulat oval.
f. Lingga
kembar adalah lingga
yang berjajar dua atau tiga seperti yang ditemukan di Pura Sayaan, Sukawana-Bangli.
Dasar lingga
yang sering disebut yoni disebut pula
lapik atau pindika (Sanskerta) atau pitha. Bentuk pitha itu bisa segi empat, segi enam, segi delapan, segi dua belas,
bulatan, setengah bulatan, segi enam belas. Di samping lapik (pitha, pindika) sebagai dasar, lingga
itu juga mempunyai puncak atau ujung alas. Puncak lingga,
menurut pustaka Mayamata dan pustaka Sidhanta Saravali ada empat macam (Rao dalam Jendra, 1998 : 173).
1. Chantraka adalah puncak berbentuk paying.
2. Tripurushakara adalah puncak berbentuk seperti buah mentimun.
3. Ardhachandraka adalah puncak berbentuk setengah lingkaran.
4. Budbuda Sadrisa adallah puncak berbentuk balon.
Di bagian
permukaan sering diberi coretan dua garis vertikal, yakni pada bagian Rudrabaga atau Pujabaga. Garis itu disebut Brahmasatra
atau disebut pula dengan istilah lain seperti Lakshanoddharana, Manirokha, Parsva-sutra.
2.3.1 Mukha Lingga
Mukha Lingga adalah salah satu bentuk lingga yang diberi hiasan berbentuk muka dewa. Hiasan muka
tersebut bisa berjumlah 1, 2, 3, 4 atau 5 buah muka. Hiasan muka yang berjumlah
5 itu mengandung arti simbolik dari kelima aspek Siwa, yaitu Sadyojata, Vamadeva, Aghoramurti, Tatpurusa dan Isana (Margaret Stutley dalam Gunawan,
2012 : 83).
Kelima aspek Siwa itu juga berkaitan erat dengan lima unsur (panca maha bhuta), yaitu tanah, air,
api, angin, dan udara (akasa). Kelima
aspek Siwa itu mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Sadyojata aspek Siwa sebagai pencipta (dunia), Vamadeva aspek Siwa sebagai pemelihara (dunia), Aghoramurti aspek Siwa sebagai
pemelihara (dunia), Tatpurusa aspek
Siwa sebagai pembasmi samsara, dan Sada Siwa aspek Siwa yang erat hubungannya
dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai moksa (Margaret Stutley dalam Gunawan,
2012 : 84).
Pendapat
sebaliknya dilontarkan oleh Gopinatha Rao dalam Gunawan (2012 :
84) menghubungkan
kelima aspek Siwa itu dengan; Samharamurti
sebagai perusak, Anugrahamurti sebagai
pemberi anugrah, Nrttamurti sebagai
ahli tari, Daksinamurti sebagai ahli
musik, filsafat dan Samadhi, daan Bhiksatamurti
sebagai “pengemis”. Selanjutnya kitab Skanda Purana menyebutkan warna masing-masing aspek Siwa tersebut yaitu : Sadyojata berwarna putih seperti kulit kerang atau bulan, Aghoramurti memeiliki warna yang
menyerupai awan hitam, Vamadewa
mempunyai warna kuning keemasan, Tatpurusa
mempunyai warna kemilau, dan Sada Siwa mempunyai warna putih (Margaret
Stutley dalam Gunawan, 2012 : 83-84).
2.3.2 Lingodhavamurti
Salah satu bentuk perwujudan Siwa yang sangat menonjol di
India adalah Lingga dalam
perwujudannya sebagai Lingodhavamurti.
Dalam perwujudan ini Siwa digambarkan ke luar dari dalam sebuah lingga yang terbuka. Dalam bentuk relief
umumnya digambarkan sebagai sebuah lingga dengan seekor angsa terbang di atas lingga agak ke bawah terpahat arca manusia
berwajah babi hutan sedang mencari-cari (lingga) di bawah tanah. Bentuk lain penggambaran Lingodhavamurti berupa wujud Siwa sedang ke luar dari dalam lingga yang terbuka. Di depannya
digambarkan Wisnu
dan Brahma berdiri dalam sikap memberi hormat dalam sikap anjali. Gambaran pada relief ini
didasarkan pada kitab-kitab Purana, diantaranya kitab Vayu Purana, Brahmanda Purana, Siwa Purana (Rudra Samhita), Lingga Purana dan Skanda
Purana. Dalam lingga Purana diceritakan bahwa para dewa datang bertanya pada Brahma awal
mula lahirnya Lingga, dan bagaimana
Mahesvara dapat berada dalamnya. Brahma kemudian bercerita bahwa lingga adalah pradhana (= alam), dan pemilik lingga adalah Dewa Tertinggi, Paramesvara.
Kemudian Brahma juga menceritakan pertemuannya dengan Visnu serta kedatangan
api lingga yang mempesona. Ia (Brahma) dan
Visnu berusaha mencari ujung dan pangkal lingga, namun tidak berhasil. Dalam usaha pencarian itu, Visnu
berubah menjadi babi hutan dan ia sendiri (Brahma) berubah menjadi seekor
hamsa.
2.3.3 Lingodhavamurti dalam bentuk arca dan relief
Kitab Amsumadbhedagama
menjelaskan salah satu penerapan kisah timbulnya lingga dalam pahatan, yaitu dengan cara memahat tokoh Siwa dalam
bentuk Chandrasekhamurti di bagian
depan (permukaan) sebuah lingga. Keterangan ini diperjelas oleh kitab Karanagama. Menurut kitab ini seperlima ujung dan dasar lingga sebaiknya dibiarkan polos, tanpa
pahatan. Kaki di bawah lutut tokoh Siwa tidak ada. Sebelah kanan lingga dekat ujung (puncak) lingga dipahat Brahma dalam bentuk seekor
angsa, sementara Visnu dalam bentuk seekor babi hutan dipahat pada bagian kiri
kaki lingga. Dapat pula tokoh Brahma dan Wisnu dipahat di atas kanan dan kiri
menghadap lingga dengan tangan dalam sikap anjali. Tokoh-tokoh ini dapat pula
diberi warna, warna untuk tokoh Siwa merah, Wisnu hitam, dan Brahma kuning
keemasan. Keterangan yang lebih rinci terdapat dalam kitab Kamikagama. Menurut kitab ini ukuran angsa ditetapkan sama panjang
dengan wajah Siwa. Tokoh babi hutan digambarkan sedang menggali dan masuk ke
dalam bumi. Tokoh Wisnu dan Brahma dalam bentuk kedewaan tidak perlu
dipahatkan, sedangkan angsa dan babi hutan harus dipahatkan.
Kitab Silparatna menambahkan bahwa Siwa
membawa sula pada salah satu tangannya. Kitab Karanagama mengharuskan memahat tokoh Siwa dalam bentuk Chaturbhuja dengan ketentuan salah satu
tangannya digambarkan dalam sikap abhaya,
dan salah satu tangan lainnya dalam sikap varadahasta.
Tangan ketiga membawa parasu (kapak) dan tangan keempat memegang krsnamrga (seekor rusa jantan berwarna
hitam). Siwa dipahat dengan hiasan mahkotanya berbentuk hiasan bulan sabit.
Beberapa bentuk perwujudan Lingodbhavamurti
yang ada di India telah ditelaah Gopinatha Rao dalam bukunya Elementa of Hindu Iconography, diantaranya : 1. Lingodbhavamurti yang ditemukan dalam candi Kailasanathasvami di Conjeevaram yang umurnya lebih dari 1200 tahun
lalu. Tokoh Siwa digambarkan dalam bentuk
Candrase kharamurti , Siwa yang bertangan delapan. Beberapa dari
kedelapan tangan digambarkan membawa parasu,
sula, aksamala, dalam sikap abhaya dan katyavalambita. Keterangan selanjutnya,
bahwa seperlima bagian ujung Lingga
sebelah kirii tidak ada pahatan,
demikian juga dari lutut ke bawah tokoh Siwa.
Siwa digambarkan mengenakan hiasan bulan sabit pada mahkota-Nya. Babi hutan sebagai avatara Wisnu digambarkan ertangan empat, dua
buah tangan sedang menggali bumi, dua buah tangan lainnya digambarkan membawa sankha dan cakra. Menurut kitab Agama, babi hutan juga dapat dipahatkan seakan
keluar dari dasar ruang panil. Brahma digambarkan terbang di udara di ujung Lingga dalam bentuknya sebagai seekor
angsa. Tokoh Wisnu dan Brahma juga dipahatkan dalam bentuk caturbhuja dikanan kiri lingga. Wisnu dan Brahma digambarkan
dalam sikap memuja (sebuah tangan dalam sikap memuja, sebuah diletakkan di atas
pinggul masing-masing, dan tangan-tangan yang lain membawa laksana masing-masing). Pada puncak relung dipahatkan makara-torana. Selain di candi Kailasanathasvami, relief Lingodbavamurti, kita temukan juga di
dalam candi Siwa Ambar Magalam. Di
sini, lingga digambarkan dengan
untaian bunga berbentuk lingkaran keluar dari atas puncak lingga. Tokoh Siwa digambarkan dalam bentuk caturbhuja, sebuah tangan dalam sikap abhaya, tangan lainnya dalam sikap katyavalambita, membawa parasu
dan rusa jantan hitam. Kaki-kaki tokoh Siwa dibawah lutut dan diatas
pergelangan kaki dipahatkan bertentangan dengan peraturan yang ditetapkan dalam
kitab agama, yaitu sebuah kaki disembunyikan dalam lingga. Diatas lingga tergambar
angsa dengan paruh yang sangat menonjol. Dibawah sebelah kiri lingga babi hutan yang diwujudkan dalam
bentuk setengah manusia dan setengah binatang sedang menggali lubang di bawah
bumi. Menurut perkiraan relief Lingodbavamurti
ini berasal dari abad 11 atau 12 masehi, yaiti periode pertengahan Chola.
2.4
Jenis-Jenis Lingga
Berdasarkan penelitian dan TA. Gopinatha Rao, yang terangkum
dalam bukunya berjudul Elements Of Hindu
Iconografi Vol. II part 1 di sini beliau mengatakan bahwa berdasarkan
jenisnya lingga dapat dikelompokkan atas dua bagian
antara lain :
1.
Chala Lingga
2.
Achala Lingga
2.4.1
Chala Lingga
Chala Lingga adalah lingga-lingga yang dapat bergerak, artinya lingga itu dapat dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain
tanpa mengurangi suatu arti yang terkandung. Adapun yang termasuk dalam
kelompok lingga ini adalah :
1) Mrinmaya Lingga
Merupakan suatu lingga yang dibuat dari tanah liat, yang prosesnya dengan cara
dibakar. Dalam kitab Kamikagama dijelaskan
bahwa pembuatan lingga ini berasal dari tanah liat putih dan tempat yang bersih.
Proses pengolahannya adalah tanah dicampur susu, tepung, gandum, serbuk cendana,
menjadi adonan setelah beberapa lama disimpan lalu dibentuk sesuai dengan
ketentuan, lalu dibakar.
2) Lohaja Lingga
Yaitu suatu lingga yang terbuat dari jenis logam, seperti : emas, perak,
tembaga, logam besi, timah dan kuningan.
3) Ratmaja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dan jenis batu-batuan yang berharga seperti,
permata, mutiara, kristal, jamrud, waidurya, kwarsa, blue stone dan lain-lain.
4) Daruja Lingga
Yaitu lingga yang terbuat dari bahan kayu seperti kayu sami, tinduka,
karnikara, madhuka, arjuna, pippala dan udumbara. Dalam kitab Kamikagama disebutkan juga jenis kayu
yang digunakan yaitu khadira, chandana, sala, bilva, badara, dan dewadara.
5) Kshanika Lingga
Yaitu lingga yang dibuat untuk sementara jenis-jenis lingga ini dibuat dari saikatam, beras,
nasi, tanah pekat, rumput kurcha, janggery dan tepung, bunga dan rudrasha.
Namun ada pula yang membagi Chala Lingga menjadi 11 jenis, yaitu: Chala Lingga yang ditinjau dari sudut bahan,
dapat dibedakan menjadi jenis lingga sebagai berikut:
1).
Mrimonaya Lingga : Lingga dari bahan tanah liat
2).
Lohaja Lingga : Lingga dari metal, emas, besi, perunggu, timas dan
sejenisnya.
3).
Ratnaja Lingga : Lingga
dari batu permata, mutiara, coral, dan
lain
sebagainya.
4).
Gariya Lingga : Lingga
dari bahan kayu cendana, belwa, sami dan
sejenisnya.
5).
Kahanika Lingga : Lingga dari bahan beras yang telah atau
belum
dimasak.
6).
Widurya Lingga : Lingga
dari bahan kristal, kuartz, topas, dan
sejenisnya.
7).
Pushyaraga Lingga : Lingga
dari bahan zamrud hijau atau biru.
8).
Lingga Keju : Lingga
dari bahan keju.
9).
Lingga Kusa : Lingga
dari rumput Kusa.
10).
Lingga Biji Rudraksa : Lingga
dari biji rudraksa.
11).
Lingga Puspa : Lingga
dari bahan bunga. (Jendra, 1998 : 171-172)
Bahan dan pembuatan lingga erat kaitannya dengan tujuan dilakukannya pemujaan. lingga yang terbuat dari emas bertujuan
untuk mendapatkan kekayaan. Lingga
yang terbuat dari nasi umumnya digunakan bila pemujanya mengharapkan makanan,
terutama nasi. Adapun lingga tanah liat ditujukan untuk mendapatkan kekayaan, sedangkan lingga dari kotoran sapi digunakan untuk
menghilangkan penyakit. lingga dengan bahan dasar mentega umumnya memberikan suasana
gembira. Pemuja lingga yang ingin mendapatkan umur panjang maka mengadakan
pemujaan dengan menggunakan lingga yang terbuat dari bunga-bungaan. Untuk mendapatkan
kebahagiaan lingga yang dipuja umumnya terbuat dari sadlewood. (Gunawan, 2012 : 81-82).
Hal senada juga diungkapkan oleh T.A Gopinata Rao dalam
Jendra (1998 : 174), dinyatakan bahwa antara bahan lingga dengan fungsi atau kegunaannya mempunyai kaitan yang erat.
Hubungannya dapat dipaparkan antara lain sebagai berikut:
1.
Lingga tanah liat yang tidak dibakar
adalah berfungsi untuk menghancurkan musuh.
2.
Lingga emas adalah unuk meningkatkan
kekayaan.
3.Lingga beras yang tidak dimasak untuk
memenuhi bahan makan yang berlimpah
4.
Lingga keju adalah untuk memperoleh
kebahagiaan dan kegembiraan.
5.
Lingga biji Rudraksa untuk
peningkatan jnana.
6.
Lingga Pasta Cendana untuk kesucian
dan kebahagiaan.
7.
Lingga Rumput Kusa adalah untuk
mencapai moksha.
8.
Lingga dari bunga adalah untuk
mendapatkan panjang umur.
2.4.2 Achala Lingga
Achala Lingga merupakan lingga yang tidak dapat dipindah-pindahkan seperti gunung sebagai
linggih Dewa-Dewi dan Bhatara-Bhatari. Di samping itu pula lingga ini biasanya berbentuk batu besar
dan berat yang sulit untuk dipindahkan. I Gusti Agung Gde Putra dalam bukunya
berjudul Cudamani, kumpulan
kuliah-kuliah agama jilid I, menjelaskan bagian lingga atas bahan yang digunakan. Beliau mengatakan lingga yang dibuat dari barang-barang
mulia seperti permata tersebut spathika lingga, lingga yang dibuat dari emas disebut kanaka lingga dan bahkan ada pula dibuat dari
tahi sapi dengan susu disebut homaya lingga, lingga yang dibuat dari bahan banten disebut Dewa-Dewi, lingga yang biasa kita jumpai di Indonesia
dari di Bali khususnya adalah linggapala yaitu lingga terbuat dari batu. Mengenai keadaan masing-masing jenis lingga, T.A. Gopinatha Rao dalam bukunya
berjudul Elements of Hindu Iconografi
Vol. II part I dapat dijelaskan, sebagai berikut:
1) Svayambhuva Lingga.
Dalam mitologi, lingga dengan sendirinya tanpa diketahui keadaannya di bumi,
sehingga oleh masyarakat lingga yang paling suci dan lingga yang paling utama (uttamottama).
Atau dapat dikatakan “terjadi dengan sendirinya”.
2). Ganapatya Lingga. Lingga ini berhubungan dengan Ganesa, Ganapatya Lingga yaitu lingga yang berhubungan dengan kepercayaan
dibuat oleh Gana (padukan Dewa Siwa) yang menyerupai bentuk mentimun, sitrun
atau apel hutan.
3) Arsha Lingga. Lingga yang dibuat dan dipergunakan oleh para Resi. Bentuknya
bundar dengan bagian puncaknya bundar seperti buah kelapa yang sudah dikupas.
4) Daivika Lingga. Lingga yang memiliki kesamaan dengan Ganapatya Lingga dan Arsha Lingga hanya saja tidak memiliki brahma
sutra (selempang tali atau benang suci, dipakai oleh brahman).
5) Manusa Lingga. Lingga yang paling umum ditemukan pada bangunan suci, karena
langsung dibuat oleh tangan manusia, sehingga mempunyai bentuk yang bervariasi.
Lingga ini umumnya mencerminkan
konsep tri bhaga yang Brahma Bhaga (dasar), Wisnu Bhaga (badan) dan Rudra Bhaga (puncak). Mengenai ukuran panjang maupun lebar menyamai
pintu masuk tempat pemujaan utama. (Putu Mudiantara, http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-Siwa-siddhanta/, diakses tanggal 22
April 2012 Pukul 15.39 Wita).
Untuk Manusa Lingga, ada pula yang memberikan pembagian berdasarkan cara
pembuatannya yang terdiri dari beberapa bentuk, diantaranya adalah :
1).
Sarvadesika Lingga. Jenis ini
panjangnya ditentukan oleh perbandingan dengan sisi ruangan dalam candi. lingga jenis ini ada 3 macam sesuai dengan
besarnya. Pembagian terdiri atas uttama, yaitu 3/5 sisi ruangan, madhyama 5/9
sisi ruangan, dan adhama ½ sisi ruangan.
2). Sarvasama, jenis lingga yang perbandingan antara Rudrabhaga, Visnubhaga, dan Brahmabhaga
sama tinggi.
3). Siwadhika, jenis lingga ini mempunyai perbandingan panjang, 2 bagian bawah sama
panjang dan 1 bagian (atas) lebih
panjang. Perbandingan yang umum adalah 7:7:8, 5:5:6, dan 4:4:5.
4). Svastika, jenis lingga ini yang mempunyai proporsi semakin ke atas semakin panjang
(bagian atas terpanjang) dengan perbandingan 2:3:4.
5). Varddhamana, jenis lingga degnan proporsi makin ke atas makin panjang dengan
perbandingan 4:5:6, 5:6:7, dan 7:8:9.
6). Trairasika, jenis lingga yang mempunyai proporsi tinggi keseluruhan lingga dibagi 9, dengan
ketentuanperbandingan antara Rudrabhaga:
Visnubhaga; Brahmabhaga, 6:7:8 (Gunawan, 2012 : 82-83).
ManusaLingga terbagi atas 3 bagian, yaitu : Rudrabhaga (lingga bagian atas) berpenampang garis lengkung, Visnubhaga (lingga bagian tengah) mempunyai bentuk segi delapan (octagonal), dan Brahmabhaga (lingga bagian bawah) mempunyai bentuk
persegi. (Gunawan, 2012; 83).
Puncak lingga (sirivartthana)
jenis ini mempunyai beberapa macam bentuk, diantaranya bentuk chattrakara (bentuk payung), tripusakara (bentuk ketimun), kukkutaudakara (bentuk telur), ardhacandrakara
(bentuk bulan sabit), budolasadrisa
(bentuk menggelembung). Pada puncak lingga ditemukan 2 garis vertical yang bertemu dengan 2 garis
melengkung. Garis-garis tersebut dinamakan garis Brahmasutra. Adapun jenis-jenis Manusa Lingga yaitu:
(1). Astotarasata “108 lingga kecil”. Manusa Lingga jenis ini adalah lingga yang pujabhaga (permukaaan lingga) nya dibagi atas garis-garis vertikal dan horizontal,
sehingga terlihat seperti dihiasi lingga-lingga kecil.
(2). Dhara, adalah lingga yang bagian pujabhaga-Nya dihiasi garis-garis vertikal yang
memanjang (fluted vertical) sebanyak 50-60 buah. Kitab Suprabhedagama menjelaskan garis
vertikal tersebut dapat saja berjumlah 5,7,9,12,16,20,24, maupun 28, sedangkan
kitab Karanagama memberi ketentuan 16
buah garis.
(3). Sahasra, Lingga jenis ini
pujabhaga-Nya dihiasi garis-garis vertikal dan
horizontal. Bedanya dengan astottarasata,
pada sahasra garis-garis horizontal
dan vertikal itu tidak membentuk lingga-lingga kecil. (Gunawan, 2012 : 83)
2.5 Pemujaan terhadap Lingga
Upacara puja lingga atau lebih dikenal sebagai Nitya-Puja dapat berupa Abhiseka,
yaitu membasahi lingga dengan cairan
berupa air kelapa, madu, air gula, susu sdan sebagainya. Pujaan terhadap lingga dapat pula dilakukan dengan
memberi dupa, membakar kayu wangi, lepa dan sebagainya. Selain memberi dupa
dapat pula berupa persembahan Naivedya,
yaitu upacara pemberian aneka makanan bagi sang lingga. Usai upacara semua makanan dibagikan pada yang hadir untuk
di santap bersama. Puja terhadap lingga
dapat pula dilakukan di dalam Garbhagrha
dengan meletakkan lampu dan untaian bunga atau bunga-bunga lepas. Dalam upacara
besar selain menggunakan bunga dan lampu, juga dipersembahkan musik dan tari.
Penarinya seorang Devadasis (deva= dewa; dasi = abdi), yaitu seorang wanita cantik yang telah mendapat
latihan menari sesuai dengan aturan-aturan puja.
Dalam kitab Manasara disebutkan bahwa “di india lingga atau phalli
mempunyai banyak sebutan, diantaranya Siwa,
pasupata, kalamukha, mahavrata, vama, dan bhairav. (Manasara LII : 2-3). Untuk kumpulan lingga mendapat sebutan samakarmna,
vardhamamana, Siwanka, dan svastika.
Yang masing-masing merupakan media pemujaan untuk kaum brahmana, ksatrya, vaisya, dan sudra.
(Manasana LII: 4-5). Sebagai simbol Siwa,
lingga merupakan aspek sekunder dari
lambang kelaki-lakian Siwa yang baru akan menimbulkan tenaga atau energi
setelah bersatu dengan yoni, yaitu
lambang kewanitaan sakti Siwa yaitu
Parvati. Lingga merupakan lambang
api, sebagai manisfestasi dari kekuatan atau kekuasaan, sedangkan yoni merupakan lambang bumi. Kedua sifat
itu saling bertolak belakang, namun bila keduanya bersatu akan melahirkan
kekuatan atau energi. Itulah makna pertemuan antara lingga dan yoni.
Mengenai pemujaan lingga di Indonesia, yang tertua dijumpai pada prasasti Canggal di
Jawa Tengah yang berangka tahun 732 M ditulis dengan huruf Pallawa dan digubah dalam bahasa
Sansekerta yang indah sekali. Isinya terutama adalah memperingati didirikannya
sebuah lingga (lambang Siwa) di atas sebuah bukit
di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya. Dengan didirikannya sebuah lingga sebagai tempat pemujaan, sedangkan lingga adalah lambang untuk dewa Siwa,
maka semenjak prasasti Canggal itulah mulai dikenal sekte Siwa (Siwaisme), di
Indonesia. Hal ini terlihat pula dari isi prasasti tersebut dimana bait-baitnya
paling banyak memuat/berisi doa-doa untuk Dewa Siwa. Dalam perkembangan
berikutnya tradisi pemujaan Dewa Siwa dalam bentuk simbulnya berupa lingga terlihat pula pada jaman
pemerintahan Gajayana di Kanjuruhan, Jawa Timur. Hal tersebut tercantum dalam
prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M isi prasasti ini antara lain
menyebutkan bahwa raja Gajayana mendirikan sebuah tempat pemujaan Dewa Agastya.
Bangunan suci yang dihubungkan dengan prasasti tersebut adalah candi Badut yang
terdapat di desa Kejuron. Dalam candi itu ternyata bukan arca Agastya yang
ditemukan melainkan sebuah lingga. Maka disini mungkin sekali lingga merupakan Lambang Agastya yang memang selalu digambarkan
dalam Sinar Mahaguru. Peninggalan Arkeolog dari jaman
Majapahit ialah di Sukuh dan Candi Ceto dari abad ke-15 yang terletak dilereng
Gunung Lawu daerah Karanganyar Jawa Tengah. Pada puncak candi ini terdapat lingga yang naturalis tingginya 2 meter
dan sekarang disimpan di museum Jakarta. Pemujaan Lingga di candi ini dihubungkan dengan upacara kesuburan (Putu
Mudiantara, http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-Siwa-siddhanta/,
diakses tanggal 22 April 2012 Pukul 15.39 Wita).
Berdasarkan kenyataannya yang ditemui di Bali banyak
ditemukan peninggalan lingga, yang sampai saat ini lingga-lingga tersebut disimpan dan dipuja pada tempat atau pelinggih
pura. Mengenai kepercayaan terhadap lingga di Bali masih hidup di masyarakat dimana lingga tersebut dipuja dan disucikan serta
diupacarai. Masyarakat percaya lingga berfungsi sebagai tempat untuk memohon keselamatan,
kesuburan dan sebagainya. Mengenai peninggalan lingga di Bali banyak ditemui di pura-pura seperti di Pura
Besakih, Pura-pura di Pejeng, di Bedahulu dan di Goa Gajah. (Putu Mudiantara, http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-Siwa-siddhanta/,
diakses tanggal 22 April 2012 Pukul 15.39 Wita).
Peninggalan purbakala berwujud lingga banyak ditemukan di Bali dan Jawa, ada yang masih tetap
difungsikan sebagai sarana pemujaan kepada Sang Hyang Siwa (disucikan) dan ada
yang ditempatkan sedemikian rupa tidak difungsikan lagi, karena umat Hindu
setempat tidak mengenal lagi cara melakukan pemujaan melalui lingga. Pura Batumadeg, Besikalung, dan
sejenisnya mengisyaratkan adanya pemujaan kepada Sang Hyang Siwa melalui sebuah
lingga. (Gunawan, 2012 : 80).
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Lingga merupakan lambang Dewa Siwa atau Tuhan Siwa, yang pada
hakekatnya mempuriyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu. Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri,
isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki
terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang batu,
Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu. Sedangkan pengertian yang umum
ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa Lingga
diidentikkan dengan : linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak
jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa.
Pemujaan
kepada Sang Hyang Siwa melalui Siwa Lingga
banyak dilakukan oleh masyarakat zaman dahulu terutama oleh sekte Pasupata yang
merupakan sekte pemuja Siwa dengan menggunakan lingga
sebagai sarana dalam pemujaan kepada Sang Hyang Siwa. Haryati Subadio dalam bukunya yang berjudul : “Jnana
Siddhanta” dengan mengambil istilah Atma Lingga dan Siwa Lingga atau sering disebut stana dan pada Dewa Siwa atau sering
disebut sebagai symbol kekuatan Tuhan Yang Maha Esa.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Siwasiddhanta 1. Singaraja: (Tanpa Penerbit).
Jendra, Wayan, 1998. Cara Mencapai Moksa di Zaman Kali.
Nurkancana, I Wayan. 1998. Menguak Tabir Perkembangan Hindu. BP; Denpasar
Sastra,
Gede Sara. 2008. Bhujangga Waisnawa dan
Sang Trini. Denpasar: Pustaka Bali Post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...