Soal
:
1. Jelaskan
tokoh-tokoh penyebar Siva Siddhanta dari India sampai di Bali!
2. Jelaskan kenapa kristalisasi semua sekte
di Bali dengan mengatasnamakan Siva Siddhanta!
3. Jelaskan konsep kristalisasi yang dibuat
oleh Mpu Kuturan!
4. Jelaskan konsep penyatuan Siva Siddhanta
atau sekte-sekte dalam merajan!
5. Bagaimana anda menyikapi terhadap
fenomena menyontek dalam ujian, korupsi, dan teroris dalam Siva Siddhanta?
Jawab
:
1. Tokoh-tokoh penyebar Siva Siddhanta dari
India sampai di Bali, dimana sejarah Siva Siddhanta berawal dipimpin oleh
kelompok atau keturunan Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India Tengah)
kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta
ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan
Trinawindu. Yang popular di Bali adalah nama
Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebutkan dalam lontar Eka Pratama. Di India wahyu Hyang Widhi dierima oleh Sapta Rsi dan dituangkan
dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Veda.
Pengawi dan ahli Weda I Gusti BAgus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa,
Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima
setidak-tidaknya oleh enam Maharsi yaitu:
a. Danghyang Markandeya
Pada
abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur)
bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca
datu yang terdiri dari unsure-unsur emas, perak, tembaga, besi dan permata
mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang-Gianyar, beliau
memantapkan ajaran Siva Siddhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual Surya Sewana, Bebali (banten) dan
Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau
bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang
bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini
dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siva
Siddhanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan
bebali atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad
Kahyangan lainnya yaitu: Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa dan Lempuyang.
b. Mpu Sangkulputih
Setelah Danghyang
Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali
antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai
jenis banten dengan menambahkan unsure-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun
sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang,
kelapa dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang
diciptakan antara lain canang sari, canang tubungan, canang raka, daksina,
peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita,
durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Disamping
itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh,
Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuaan
arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu atau
logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.
c. Mpu Kuturan
Pada abad ke-11
datanglah ke Bali seorang Brahmana Buddha dari Majapahit yang berperan sangat
besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Pada saat itu
beliau mampu menyatukan berbagai macam aliran atau sekte yang berkembang di
Bali. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran
cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud
symbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di
tiap Desa Adat, dan Pembangunan pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg
(Wisnu) dan Gelap (Siva), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham
Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal
(pangider-ider).
d. Mpu Manik Angkeran
Beliau adalah
Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan
maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari
pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus
dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah
genting yang putus itu disebut segara rupek.
e. Mpu Wijaya
Beliau
menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran tantric terutama kepada kaum bangsawan
di zaman Dinasti WArmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa
ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang
berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian
senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
e. Danghyang Dwijendra
Datang ke Bali pada abad ke-14
dari desa keeling di Jawa, beliau adalah keturunan Brahmana Buddha tetai
beralih menjadi Brahmana Siva, ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem
Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana
bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi
dalam manifestasinya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.
Danghyang Dwijendra mempunyai Bhiseka lain: Mpu/Danghyang Nirarta dan dijuluki:
Pedanda Saktu Wawu RAwuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang
membuat Dalem WAturenggong sang kagum sehingga beliau diangkat menjadi
Bhagawanta (pendeta kerajaan). Beliau mendorong penciptaan karya-karya sastra
seperti lontar, kidung atau kekawin dan yang terkenal adalah: Sebun BAngkung,
Sara Kusuma, Legarang, Mahisa Langit, Dharma Pitutur, Wilet Demung Sawit,
Gagutuk Menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran,dll. Saksi sejarah
kegiatan ini adalah didirikannya Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana
beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya: Purancak, Rambut Siwi,
Pakendungan, Huluwatu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak,
Gowa Lawah, Ponjok Batu,Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari,
Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Puncak Tedung, dll. (Gunawan,
2012:39-43)
2. Alasan mengapa krisalisasi semua sekte–sekte
yang ada di Bali dengan mengatasnamakan Siva Siddhanta karena seperti yang
disebutkan oleh R.Goris pada masa Bali Kuno berkembang suatu kehidupan
keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang
pada masa Bali Kuno antara lain sekte Pasupata,
Bhairawa, Siva Siddhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Siva Siddhanta merupakan sekte yang
sangat dominan (Ardhana, 1989:56). Pengikut sekte siva
siddhanta yang paling banyak diantara sekte yang lain. Dilihat dari tata cara pelaksanaan upacara di Bali sekte Siva Siddhanta mampu
menampung sekte-sekte yang lain. Sehingga kristalisasi semua
sekte-sekte di Bali ditandai dengan adanya pelaksanaan Panca Yadnya dan
mengatasnamakan Siva Siddhanta.
3. Konsep kristalisasi yang dibuat oleh Mpu
Kuturan.
Pada abad ke-11
datanglah ke Bali seorang Brahmana Buddha dari Majapahit yang berperan sangat
besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Pada saat itu
beliau mampu menyatukan berbagai macam aliran atau sekte yang berkembang di
Bali. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran
cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud
symbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di
tiap Desa Adat, dan Pembangunan pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg
(Wisnu) dan Gelap (Siva), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham
Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal
(pangider-ider) (Gunawan, 2012:41). Biasanya bangunan Kahyangan Tiga
yang merupakan galeng hulu sebagai utama mandala diatur sebagai berikut:
a. Pura Desa; dibangun dihulu atau
ditengah-tengah Desa dan pada tempat yang dianggap baik.
b. Pura Puseh; pada umumnya dibangun dekat pantai
dan pada tempat yang dianggap baik.
c. Pura Dalem; dibangun dihulun Setra dan
tempatnya berada dipinggiran Desa.
Dalam pembangunan
Pura, Desa pakraman dan Setra yang merupakan symbol dari pada Bhuwana Agung,
diatur berdasarkan Tri Angga, yaitu Utama Angga, Madya Angga, dan Nista Angga.
Pada umumnya di Bali bila akan dibangun suatu
perumahan keluarga terlebih dahulu diadakan pembuatan denah berdasarkan
ketentuan Tri Mandala.
a. Utama Mandala; yang merupakan tempat untuk
membangun Sanggah/ pemerajan.
b. Madya Mandala; sebagai tempat penghu7nian
keluarga.
c. Nista Mandala sebagai tempat teba, kandang dan
sebagainya yang terletak didaerah paling belakang.
Mengenai tujuan dari pada pembangunan
pura Kahyangan Tiga, tiada lain agar semua anggota Desa Adat dalam kehidupannya
sehari-hari selalu mendekatkan diri dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa, dengan cara melakukan persembahyangan, berdoa seraya mohon ampun
dan keselamatan serta berterima kasih atas segala rakhmat yang telah
dilimpahkan-Nya (Soeka, 1993:8).
4. Konsep Penyatuan Siva Siddhanta atau
sekte-sekte dalam Merajan.
a. Pengertian Merajan
Merajan atau sanggah dalam sebuah
keluarga Hindu di Bali adalah sebuah tempat suci, yang berdasarkan konsep Tri
Angga, Tri Mandala, dan juga Tri Hita Karana. Merupakan
sebuah tempat untuk memuja Tuhan dan juga roh leluhur. Dasar dari Tri Angga, Mrajan adalah sebuah tempat utama seperti
ibaratnya kepala manusia. Genah madyanya adalah rumah itu sendiri yang
ibaratkan badan manusia, nista angganya adalah perkebunan aau
pekarangan itu sendiri, dan juga tempat mandi itu juga seperti badan kita
sendiri. Tri Angga itulah yang tidak boleh pisah dari
struktur badan manusia, seperti kepala badan dan juga kaki.
Dasar Tri
Mandala itu sendiri adalah Mrajan sebagai utamanya, sedangkan keluarga adalah
Madyanya, dan nistanya adalah pekarangan itu sendiri. Jika
tempat suci, mesti mengikuti sebuah aturan dimana arahnya adalah timur maupun
utara. Kaja kangin, timur laut. Jika arah timur
laut dianggap kurang memadai untuk sebuah bangunan suci, karena alas an seperti tempatnya agak pendek, dihujani cucuran air
tetangga, dan juga terdapat sebuah empat yang kurang enak dalam segi
kebersaihan, maka tempat tersebut dapat ditinggikan menjadi merajan.
Dasar Tri Hita
Karana juga berbicara dalam mrajan ini. Mrajan adalah
sebuah tempat dimana Prahyangan empat untuk memjua Tuhan dan juga roh leluhur
menjadi satu. Selain dari satu keselarasan antara
orang yang tinggal dan lingkungannya, juga diperlukan sebuah tempat untuk
melakukan sebuah sinergisme ke atas yang daalam hal ini berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa. Jadi Mrajan adalah sebuah tempat suci yang berada
di setiap lingkungan keluarga untuk memuja kebesaran Tuhan dan juga roh leluhur
(Anom,2002:1)
b. Fungsi Sanggah / Merajan
Adapun beberapa fungsi sanggah /
merajan diantaranya: sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dan
para leluhur/kawitan, sebagai tempat berkumpul sanak keluarga dalam upaya
mempererat tali kekeluargaan, sebagai tempat kegiatan social/pendidikan yang
berkaitan dengan Agama (Soeka, 1993:16).
c. Pelinggih Pokok Yang Terdapat Dalam Merajan
a) Sanggah
Kemulan / Penghulun Karang
Sanggah
kemulan terdiri dari 2 kata yaitu “sanggah” dan “kamulan”. Sanggah adalah perubahan ucapan dari kata “sanggar”. Sanggar adalah tempat pemujaan (lontar keagamaan di Bali). Kamulan berasal dari kata “mula” (samkrit) yang berarti akar, umbi,
dasar, permulaan, asal (Kamus Kecil Samkrit-Indonesia, 1983.180). Jadi
Sanggah Kemulan adalah tempat pemujaan asal atau sumber (Wikarman,1998:2). Bangunan ini berupa palinggih
dengan atap, dengan rong yang berjumlah tiga, ada juga yang menggunakan tiang
(saka) namun ada juga dengan palinggih kemulan jajar, tanpa tiang. Jika diruntun dengan konsep Tri Angga, maka atap dari rong tiga
adalah utamaning angga, sedangkan tiang adalah madyanya dan bataran palinggih
itu sendiri adalah nistaning angganya. Menurut kayu yang digunakan untuk
membuat palinggih adalah kayu cendana, kayu patih penengen, kayu cempaka
kuning, majagau, taru pala, kayu sasih, kayu sabho, kayu bhujangga, kayubuni
sari, kayu jampinis, kayu bayur, kayu gentawas, kayu cemara, kayu naga sari,
dan jika untuk atapnya, menggunakan ilalang dan juga duk (Anom, 2002:14). Pada sanggah kamulan ruang sebelah kanan adalah linggih Dewa
Brahma, ruang sebelah kiri adalah linggih Dewa Wisnu dan ditengah adalah
linggih Dewa Siva. Pada ruang tengah biasanya diisi
buah kelapa yang masih bertampuk dan bertangkai serta kulitnya tiada bercacat
disebut “tahulan”. Tahulan ini dianggap sebagai simbol jiwa, tampuk sebagai lambing
Siwadwara dan tangkai sebagai simbol rambut. Sedangkan
ruang kanan dan kiri sebagai simbol mata (Soeka, 1993:9). Dasar hokum
pendirian SAnggah Kamulan terdapat dalam lontar Sivagama (Lontar Sivagama,
lembar 328) merupakan pustaka suci bagian Smrti dari seke Siva yang menyatakan
bahwa setiap keluarga yang menempati karang perumahan tersendiri wajib
membangun sanggah kamulan. Dalam lontar Gong Wesi, Usana Dewa, Tattwa Kepatian
dan Purwa Bumi Kamulan adalah Sanghyang Triatma, yaitu Paratma yang diidentikkan
sebagai ayah (Purusa), Sang Sivatma yang diidentikkan dengan ibu (Pradana) dan
Sang Atma yang diidentikkan sebagai diri sendiri (roh individu). Yang hakekatnya Sang Hyang Triatma itu tidak lain dari pada Brahma
atau Hyang Tunggal / Hyang Tuduh sebagai Pencipta. Dalam
lontar Purwa Bumi Kamulan menyatakan bahwa yang berstana di sanggah kemulan
adalah Dewa Pitara. Dan dalam Tattwa Kepatian, Sang Hyang Atma (roh)
seelah mengalami proses upacara akan bersthana di
Sanggah Kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang belum suci, hanya baru mendapat tirta pengentas
pendem/upacara sementara (ngurug) (Wikarman, 1998:6-9). Siva adalah Tuhan dalam dimensi imanen (sekala). Sadasiva adalah Tuhan dalam dimensi sekala-niskala (Ardanareswara)
sedangkan Paramasiva adalah Tuhan dalam dimensi niskala (transcendental).
Siva dalam wujud 3 tersebut dalam Sivagama digelari sebagai
Bhatara Guru, karena beliau (Siva) menjadi “Dang Guru ing Iswara”. Konon
gelar bhatara Guru dihaturkan oleh murid beliau terpandai
yakni Dewa Surya. Setelah Dewa Surya dianugrahi gelar Siva
Raditya oelh Siva sendiri sebagai Dang Guru (Wiana, 1997:81). Oleh
karena Siva beraspek tiga, sebagai Tri Purusa, maka guru pun ada 3 aspek yaitu
Guru Purwam, Guru Madyam dan Guru Rupam. Guru Purwam (dimensi
niskala), Guru Madyam (sekala-niskala) dan Guru Rupam (dimensi sekala/imanen).
Yang dipuja/yang bersthana pada sanggah kamulan pada hakekatnya adalah
Tuhan/Hyang Widhi baik sebagai Hyang Tri Atma, yang sebagai roh (atma) alam
semesta dengan isinya (jagat) yang Dewanya adalah Brahma, Wisnu dan Iswara yang
merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal adalah Siva, Sadasiva, Parama
Siva, aspek Tuhan dalam bentuk vertical (Tri Purusa /Guru Tiga/Bhatara Guru)
(Wikarman, 1998:12). Berdasarkan aspek Jnana Kanda ngunggahan
Dewa Pitara pada sanggah kamulan adalah mengandung maksud mempersatukan dewa
pitara (roh leluhur yang sudah mati) kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Sivatma dan
Paratma. Hal ini merupakan realisasi dari tujuan akhir
Agama Hindu yakni mencapai moksa.
b) Palinggih
Taksu
Palinggih
ini dibangun dengan atap dan rong satu. Dengan empat
tiang disetiap sudutnya. Kayu yang digunakan juga sama
seperti diatas, dan posisinya berada di sebelah kanan kemulan. Menghadap kearah selatan, dan disanalah tempat stana Sang kala Raja
yang memberikan sebuah kewibawaan. Taksu berarti daya
magic/sakti. Sakti/wisesa/energi adalah simbil dari
“bala” atau kekuatan (ajaran Tantrayana). Palinggih taksu berfungsi
untuk memohon “kesidhian”/keberhasilan untuk semua jenis profesi seperti
seniman, pedagang, petani, pemimpin masyarakat, dsb (Wikarman,1998:2)
c) Palinggih
Ratu Ngurah
berupa
bangunan seperti tugu dengan batu paras, atau batu bata, dengan rong satu. Tempatnya dikiri dari sanggah kemulan. Palinggih itu tiada lain adalah tempat stana dari Sang Hyang Catur Sanak. Dengan posisinya sebagai keamanan secara niskala (Anom, 2002:14).
Selain palinggih pokok tersebut,
apabila di merajan dadia biasanya dibangun juga pelinggih-pelinggih yang lain
yaitu: Sanggah Surya; yang merupakan tempat pemujaan terhadap Dewa Surya. Palinggih ini merupakan perwujudan dari sekta Sora. Kalau di merajan Pasek Gaduh terdapat pelinggih yang bernama
gedong, pejenengan, pesaren dan menjangan seluang. Namun
fungsi dari masing-masing pelinggih tersebut belum ditemukan sumbernya. Kemudian dalam merajan juga dibangun Bale Piasan yang digunakan
sebagai linggih pemangku pada saat muput upacara. Kemudian
Bale banten/bale peyadnyan digunakan sebagai tempat banten atau upakara.
Dibangun juga gedong penyimpanan yang berfungsi untuk
menyimpan perabotan-perabotan merajan, pratima, umbul-umbul dsb. Selain dibangunnya pelinggih-pelinggih tersebut, dibangun juga
linggih pamedalan merajan yang merupakan pintu masuk merajan tersebut dan
Penunggun Karang yang merupakan perwujudan dari sekta Ganapatya sebagai
penjaga.
Dengan
dibangunnya pelinggih-pelinggih tersebut dalam satu merajan, sudah menandakan atau
mencirikan penyatuan atau kristalisasi semua sekte-sekte yang ada di Bali.
Sesuai dengan adat tradisi di Bali selalu ada upacara yadnya
(Panca Yadnya) dan semua sekte sudah menyatu didalamnya yang ditandai dengan
dibuatnya banten. Terlebih lagi sesuai dengan kepercayaan adat dan
tradisi di Bali proses pembangunan suatu merajan tidak terlepas dari suatu
upacara yang bertujuan untuk menyucikan prahyangan semoga Ida Bhatara berkenan
untuk berstana di pelinggih-pelinggih tersebut. Demikianlah
penyatuan/kristalisasi sekte-sekte yang ada di dalam suatu merajan.
5. Menyikapi fenomena menyontek dalam ujian,
korupsi dan teroris dalam Siva Siddhanta.
Siva Siddhanta adalah suatu ajaran yang paling dominan di Bali yang
berarti akhir dari kebenaran tertinggi untuk mencapai Siva. Ajarannya
bersifat sanatana (kebenaran yang kekal) namun cara
untuk mencapainya bersifat nutana sesuai dengan kondisi zaman.
Di zaman
kaliyuga ini banyak sekali terjadi fenomena-fenomena yang mulai tidak
mengindahkan ajaran-ajaran agama. Diantaranya adalah
fenomena menyontek dalam ujian, korupsi dan teroris. Ketiga
fenomena tersebut sudah tidak menerapkan ajaran Panca Sradha dan juga swadharma
(kewajiban) masing-masing. Seperti kita ketahui bahwa
salah satu ajaran dari Panca Sradha adalah meyakini adanya hokum karma phala.
Orang-orang yang menyontek dalam ujian, melakukan korupsi dan
teroris ini sudah tidak mempedulikan hokum karma phala. Sifat egoism atau mementingkan diri sendiri disini lebih dominan.
Fenomena menyontek dalam ujian biasanya dilakukan oleh siswa
atau pelajar. Fenomena ini terjadi karena adanya beberapa factor
diantaranya yaitu siswa tidak melaksanakan swadharmanya yaitu belajar sebelum
ujian dimulai, kurangnnya pemahaman pada saat proses Kegiatan Belajar Mengajar
(KBM) di sekolah, dan juga tenaga pengajar yang kurang professional. Factor-faktor itulah yang kerapkali menyebabkan siswa menyontek
dalam ujian. Fenomena ini juga termasuk kiamat dalam diri sendiri yaitu
pada diri siswa tersebut dan juga kiamat dalam kelompok belajar di sekol;ah. Sehingga nantinya sulit untuk
mencetak generasi yang berkualitas.
Kemudian
fenomena korupsi juga seperti itu. Orang-orang yang
melakukan korupsi sebagaian besar adalah para pejabat-pejabat tinggi negara.
Dia tidak melaksanakan swadharmaning agama dan swadharmaning
negara. Tidak hanya pejabat tinggi negara, sebagai
pelajar pun kita sering korupsi waktu, sulit sekali menerapkan disiplin waktu
sehingga kita sering korupsi waktu (terlambat). Apabila sebagai insan
manusia yang tergabung dalam masyarakat selalu melakukan korupsi, kehidupan
manusia tidak akan tentram. Terjadilah
kiamat dalam masyarakat. Begitu juga halnya dengan
orang-orang yang menjadi teroris. Dia sudah berani menentang hokum karma,
berbuat dosa kepada umat manusia, tidak menjalankan swadharmaning agama lan swadharmaning negara.
Apabila
semua orang menjadi teroris, kiamatlah dunia ini. Kalau kita kaitkan
dengan konsep Tri Murti, dimana Siva sebagai pelebur, apabila fenomena-fenomena
tersebut terjadi pada seluruh lapisan umat manusia, maka dunia akan mengalami
pralaya yang akan dilebur oleh Siva.
DAFTAR PUSTAKA
Anom, IB. 2002. Tentang Membangun Merajan. Denpasar: CV.
Kayumas Agung.
Gunawan,
Pasek I Ketut. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta I.
Denpasar: IHDN.
Soeka, Gde.
1993. Tri Murti Tattwa. Denpasar: CV
Kayumas.
Wikarman,
Singgin I Nyoman. 1998. Sanggah Kamulan, Fungsi dan Pengertiannya. Surabaya: Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...