Senin, 16 Desember 2013

Lontar Wrhaspati Tattva

Kajian Lontar Wrhaspati Tattwa

I             Pendahuluan
               Wrhaspati Tattwa adalah sebuah lontar yang tergolong tua usianya. Lontar ini menguraikan ajaran tentang kebenaran tertinggi yang bersifat Siwastik yang diuraikan secara sistematik. Wrhaspati Tattwa terdiri dari 74 pasal/sloka yang menggunakan bahasa Sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno. Bahasa Sansekerta disusun dalam bentuk sloka dan bahasa Jawa Kuno disusun dalam bentuk bebas (Gancaran) yang dimaksudkan sebagai terjemahan atau penjelasan bahasa Sansekertanya. Lontar Wrhaspati Tattwa merupakan sebuah lontar mengandung ajaran samkya dan yoga. Bagian yang mengajarkan pembentukan alam semesta beserta isinya mengikuti ajaran samkya dan bagian yang mengajarkan etika pengendalian diri mengambil ajaran yoga.
               Secara etimologi Wrhaspati Tattwa berasal dari kata “Whraspati” dan “Tattwa”, pengertian Wrhaspati adalah nama seorang Bhagawan di sorga, hal ini sesuai dengan yang terdapat dalam Wrhaspati Tattwa Sloka 1 yang berbunyi sebagai berikut:
            Irikang kala bana sira wiku ring swarga
            Bhagawad Whraspati ngaran ira
            Sira ta maso mapuja di Bhatara.

Terjemahan :
Pada saat itu ada seorang petapa di sorga bernama Wrhaspati, Ia datang dan memuja Hyang Iswara ( Putra dkk, 1998 : 1 ).

            Kemudian menurut Watra (2007 : 1) Tatwa berasal dari bahasa sansekerta. Tattwa memiliki berbagai pengertian seperti : kebenaran, kenyataan, hakekat hidup, sifat kodrati, dan segala sesuatu yang bersumber dari kebenaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa Wrhaspati Tattwa berarti ajaran kebenaran atau hakekat kebenaran dharma dari Bhagawan Wrhaspati.
Wrhaspati Tattwa berisi dialog antara seorang guru spiritual yaitu Sang Hyang Iswara dengan seorang sisya beliau yaitu Bhagawan Wrhaspati. Iswara dalam konsep pengider-ider di Bali adalah Dewa yang menempati arah timur. Iswara tidak lain adalah aspek dari Siwa sendiri. Di dalam Wrhaspati Tattwa disebutkan bahwa Hyang Iswara berstana di puncak Gunung Kailasa yang merupakan puncak gunung Himalaya yang dianggap suci. Sedangkan Bhagawan Wrhaspati adalah orang suci yang merupakan sebagai guru dunia (guru loka) berkedudukan di Sorga. Dalam dialog tersebut, Sang Hyang Iswara mencoba menjelaskan kebenaran tertinggi tentang Siwa kepada Bhagawan Wrhaspati dengan metode tanya jawab. Wrhaspati Tattwa merupakan naskah jawa kuno yang bersifat realistis. Di dalam menyajikan ajarannya dirangkum dalam suatu mitologi yang tujuannya untuk mempermudah ajaran itu dimengerti. Mengingat ajaran filsafat atau Tattwa yang tinggi seperti ini memang sulit untuk dimengerti.

II.          Pembahasan
2.1         Karma Wasana
              Wasana artinya perbuatan yang dilakukan oleh manusia di dunia ini. Ia menerima hasil perbuatan pada kelahirannya yang baru, apakah hasilnya itu baik atau buruk. Perbuatan apapun yang dilakukan olehnya, pada akhirnya pasti akan menghasilkan buah. Seperti halnya periuk yang berisi hinggu (getah damar) walaupun hinggu itu telah habis dan periuk itu telah di gosok dan cuci, baunya tetap tercium, karena bau itu tetap melekat pada periuk. Inilah yang dinamakan vasana. Demikian halnya dengan wasana perbuatan (Karma Wasana). Wasana itu ada dalam atman, ia melekat padanya. Ia menodai atau mewarnai atman itu. Atman yang ternoda disebut Raga. Jadi Wasana menghasilkan Raga (Putra dkk, 1998 : 4).
Oleh karena itu, setiap perbuatan orang akan membuahkan Karma Wasana. Wasana yang telah mewarnai atman akan menghasilkan Karma Wasana dan Karman. Keduanya itu kemudian membawa kelahiran yang berbeda-beda. (Misalnya yang mempunyai sifat dewa) melahirkan dewa (devayoni), vidhyadhara (vidhyadhara yoni, raksasa (raksasayoni), daitya (daityayoni), naga (nagayoni). Sangat banyak yoni yang terjadi, yang merupakan sumber kelahiran. Oleh karena itu dalam fisik yoni-yoni itu berbeda-beda. Adapun yang diperbuat oleh pikiran pada yoni yang terdahulu, ia merupakan keinginan. Keinginan ini merupakan karma yang terjadi terus menerus. Apabila yang dilakukan itu suatu perbuatan jahat, maka atman akan terlempar ke neraka, di mana ia akan mengalami bermacam-macam siksaan. Bila akibat dari perbuatan jahat itu telah berakhir, maka atman akan lahir menjadi binatang yang rendah. Sebaliknya bila perbuatannya baik, ia akan lahir di surga dan mengalami bermacam-macam kenikmatan. Setelah masa yang menyenangkan itu berakhir ia akan lahir sebagai putra raja atau orang yang hidup makmur. (Putra dkk, 1998 : 4).
Dapat dijumpai juga seperti orang buta yang tidak mengetahui wujud gajah yang sesungguhnya, demikian juga manusia itu diliputi oleh kebingungan, kemabukan itulah sebagai kegelapannya. Tattwa itu umpama gajah yang dianggap sebagai kepala, gading, belalai, perut, kaki dan ekor. Ilmu pengetahuan dan sastra itu banyak adanya yang dikembangkan oleh Sang Hyang Wisesa, itulah yang menjadikan bingung dan terlena, saling tindih-menindih, tidak tahu mana yang mulia mana yang utama, tidak tahu mana atas dan mana bawah, tidak tahu kurang dan lebih, tidak tahu pergi dan datang. Pikiran yang demikian itu disebut bingung yang tidak akan berhasil mencapai tujuan.

2.2         Cetana dan Acetana
Tattwa itu yaitu Cetana dan Acetana. Cetana yaitu pengetahuan (jnanasvabhava), tidak terpengaruh oleh ketidaksadaran dan bersifat abadi (nitya), artinya tetap kokoh, tidak dapat disembunyikan. Itulah yang disebut dengan Cetana. Begitu pula dengan Acetana yang berarti tanpa pengetahuan, ibarat batu. Itulah yang dinamakan Acetana.
Jika Cetana dan Acetana bertemu maka akan lahirlah seluruh Tattwa yaitu Tattwa asal (Pradhana Tattwa), Triguna Tattwa, Budhhi Tattwa, Ahangkara Tattwa, Bhayendriya Tattwa, Karmendriaya Tattwa, Pancamahabhuta Tattwa. Ada tiga bentuk Cetana yaitu Paramaiswa Tattwa, Sadasiwa Tattwa dan Siwa Tattwa. (Putra dkk, 1998 : 9).
2.2.1      Paramasiwa Tattwa
              Penjelasan tentang Paramasiwa Tattwa disampaikan dalam sloka 7 sampai sloka 10 yang berbunyi :
Aprameya bhatara, tan pangen-angenan, apa hetu, ri kadadinyan ananta, tan pahingan, anirdesyam, tan patuduhan, ri kadadinyan tan palaksana, anaupamyam, tatan papada, ri kadadinyan tan hana pada nira juga, anamayam, tatan keneng lara, ri kadadinyan alilang, suksma ta sira sarwagata, kehibekan tikang rat denira, sahananya kabeh, nityomideng sadakala, ri kadadinya n tan pasangkan, dhruwam, menget ta sira, ri kadadinyan tan polah, umideng, sadakala, awyayam, tatan palwang, ri kadadinyan pariprna, Isvara ta sira, Isvara ngaranya ri kadadinya n prabhu ta sira, sira ta pramana tan kapramanan, nihan yang paramasivatattva ngaranya.
Nihan yang sadasivatattva ngaranya, I sor ning paramasivatattva.

Terjemahan:
Iswara tidak dapat di ukur, tidak berciri, tidak dapat dibandingkan, tidak tercemar, tidak tampak, ada dimana-mana, abadi, tetap, tidak berkurang (sloka 7). Ia tidak dapat diukur dalam arti tanpa akhir. Ia tidak berciri karena ia tidak mempunyai cirri. Ia tidak dapat dibandingkan, karena tidak ada yang lain seperti Dia. Ia tidak tercemar, karena ia tidak bernoda (sloka 8).
Ia tidak tampak karena ia tidak bisa dilihat. Ia ada di mana-mana, karena ia ada dalam segala benda. Ia abadi karena ia tidak berbentuk. Ia tetap karena ia tidak bergerak (sloka 9).
Ia tidak berkurang karena ia tetap utuh. Ia tetap tenang Sivatattwa ini meliputi seluruhnya (sloka 10)
Tuhan tidak dapat dibayangkan, Apremaya. Karena bersifat ananta yaitu tidak terbatas. Anirdesyam berarti tidak dapat diberi batasan karena ia mempunyai ciri. Anaupamya artinya tidak dapat dibandingkan, karena tidak ada yang menyamainya. Anamaya artinya tidak terkena penyakit atau sakit karena Ia suci. Ia Suksma karena Ia tidak dilihat. Ia Sarwagata karena Ia ada dalam segalanya, Ia memenuhi seluruh jagat raya.  Ia Dhruva yaitu kokoh, karena Ia tidak bergerak, tetap stabil. Ia Avyaya yaitu Ia tidak pernah berkurang, karena Ia selalu utuh. Ia adalah Iswara. Ia disebut Iswara karena ia sebagai guru. Ia mengatur seluruhnya, namun tidak di atur (oleh siapa-siapa). Inilah yang dinamakan Paramasiwa Tattwa. Sekarang kujelaskan apa yang disebut Sadasiwa Tattwa yang lebih rendah daripada Paramasiwa Tattwa. (Putra dkk, 1998 : 9-10).

              Dari petikan sloka di atas dapat disimpulkan bahwa, Parama Siwa sama sekali tidak terbelenggu oleh Maya, oleh karena itu ia disebut Nirguna Brahman, ia adalah perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi tanpa aktivitas. Dalam wujud transendental-Nya ini, kenyataan itu disebut dengan Nirguna Brahman, yaitu Brahman tanpa atribut. Ini diterima sebagai sesuatu yang satu dan tidak berbeda, yang tetap statis dan dinamis dan merupakan prinsip mutlak yang menggaris bawahi jagat raya. “Brahman adalah dia yang kata-katanya tidak dapat diungkapkan, dan yang mana tidak dapat digapai oleh pikiran kita yang membinggungkan”, demikian juga diungkapkan dalam kitab Taittiriya Upanisad.


2.2.2      Sadasiwa Tattwa
              Penjelasan tentang Sadasiwa Tattwa disampaikan dalam sloka 11 sampai sloka 13 yang berbunyi :
Sawyaparah, bhatara sadasiva sira, hana padmasana pinaka palungguhanira, aparan ikang padmasana ngaranya sakti nira, sakti ngaranya, vibhusakti, prabhusakti, jnanasakti, kriyasakti, nahan yang cadusakti.

Terjemahan :

   Sadasiwa aktif, berguna, bersinar, terdiri dari unsur kesadaran, mempunyai kedudukan dan sifta-sifat. Ia memenuhi segalanya. Ia di puja karena tanpa bentuk ( sloka 11).
   Ia maha pencipta, pelebur, pengasih, bersinar, abadi, maha tahu, dan ada di mana-mana (sloka 12).
   Bagi orang yang tak punya tempat berlindung, Ia merupakan saudara, ibu dan ayah. Ia merupakan penawar dari segala rasa sakit dan membebaskan manusia dari ikatan tumimbal lahir. (sloka 13)
   Padmasana sebagai tempat duduk Beliau, sakti-Nya meliputi: Wibhu Sakti, Prabhu Sakti, Jnana Sakti dan Kriya Sakti. Disebut Cadu Sakti yaitu empat kemahakuasaan Sang Hyang Widhi. (Putra dkk, 1998 : 10-11).

   Jika ditilik dari petikan sloka di atas, pada tingkatan Sadasiwa, kesadarannya sudah mulai tersentuh oleh Maya. Pada saat itu Ia mulai terpengaruh oleh Sakti, Guna, dan Swabhawa yang merupakan hukum kemahakuasaan Sadasiwa. Ia memiliki kekuatan untuk memenuhi segala kehendaknya yang disimbolkan dengan bunga teratai yang merupakan stana-Nya. Lebih lanjut, Tim Penyusun (2003 : 8) menyatakan Sadasiwa digambarkan sebagai perwujudan mantra yang disimbolkan dengan aksara AUM (OM) dengan Iswara sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka, Aghora sebagai hati, Bamadewa sebagai alat-alat rahasia, Sadyojata sebagai badan. Sada Siwa aktif dengan segala ciptaan-ciptaan-Nya. Karena itu, Ia disebut Saguna Brahman.
2.2.3      Siwatma Tattwa
              Pada tingkatan Siwatma Tattwa, Sakti, Guna dan Swabhawa Tuhan (Siwa) sudah berkurang karena sudah dipengaruhi oleh Maya. Karena itu Siwatma Tattwa disebut juga Mayasira Tattwa. Bilamana pengaruh Maya sudah demikian besar terhadap Siwatma menyebabkan kesadaran aslinya hilang dan sifatnya menjadi awidya. Dan apabila kesadaranya terpecah-pecah dan menjiwai semua makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia, maka Ia disebut atma atau jiwatma. (Tim Penyusun, 2003 : 8)
              Meskipun atma merupakan bagian dari Tuhan (Siwa), namun karena adanya tirani awidya yang pekat yang sumbernya adalah Maya, maka ia tidak lagi menyadari asalnya. Hal ini menyebabkan atma dalam lingkaran sorga-neraka-samsara secara berulang-ulang. atma dapat bersatu kembali pada asalnya, apabila semua selaras dengan ajaran Catur Iswarya, Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata dan Astasiddhi. Bilamana dalam segala karma dari atma bertentangan dengan ajaran-ajaran tadi, maka atma akan tetap berada dalam lingkaran reinkarnasi.
              Untuk mengakhiri lingkaran reinkarnasi Wrhaspati Tattwa mengajarkan agar setiap orang menyadari hakekat ketuhanan dalam dirinya. Hal itu dapat dilakukan melalui jalan (1) Jnana Bhyudreka, mempelajari segala Tattwa; (2) Indriya Yoga Marga,  tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu; (3) Tresna Dosa Ksaya,  tidak terikat pada pahala perbuatan baik atau buruk; (4) Yoga, selalu memusatkan pikiran pada tuhan melalui enam tahapan yang disebut Sadangga Yoga.

2.3         Pradhana Tattwa dan Tri Guna
Pradhana Tattwa, wujud besar maya, sunya acetana sebagai badannya. Dipertemukan Atma Tattwa dengan Pradhana Tattwa oleh Bhatara, maka atma yang dalam keadaan Acetana menjadi hilang atau lupa. Digerakkannya Pradhana Tattwa melahirkan Triguna Tattwa yaitu Sattwam, Rajah, Tamah. Pikiran yang serba ringan dan jernih disebut satwa, pikiran yang cepat gerakannya disebut dengan rajah, dan pikiran yang gelap-gelap disebut dengan tamah. Pikiran yang menyebabkan atma menikmati sorga, jatuh ke neraka, menjadi binatang, lahir sebagai manusia dan mencapai moksa atau kelepasan. Prilaku yang sungguh-sungguh jujur dan kokoh, ia mengetahui perbedaan antara sesuatu dan batas-batasnya, ia memahami Iswara Tattwa, pandailah ia, manis tutur katanya dan indah badannya itu semua merupakan ciri-ciri pikiran Sattwika. Prilaku bengis, pemarah dan menakutkan, congkak, suka memperkosa, panas hati, lobha, melakukan perbuatan kasar dengan tangan, melakukan perbuatan kasar dengan kaki, berkata-kata kasar, merupakan ciri-ciri dari pikiran Rajah. Pikiran dihinggapi rasa takut, lelah tidak suci, suka mengantuk, cenderung untuk berkata bohong, ingin membunuh, tidak hati-hati dan murung merupakan cirri-ciri dari Tamah.
Apabila ketiga unsur itu sama, maka kita akan lahir sebagai manusia, karena ketiga unsur itu memenuhi keinginan, masing-masing rajah berkata: “saya mau berbuat jahat”. Sattwa menghalangi. Tamah berkata: “Saya lelah dan tidak ingin berbuat apa-apa”. Rajah membuat kita bergerak. Sattwa bersama rajah berkata: “Saya ingin berbuat baik”. Maka dicegah oleh tamah. Demikian kerja ketiga sifat itun silih berganti. Karena itu atman tidak berbuat baik maupun buruk. Namun apabila atman berbuat baik dan buruk karena pengaruh ketiga sifat itu maka kita akan lahir sebagi manusia. Sang Hyang Widhi telah memperhatikan antara surga dan neraka merupakan tempat pensucian atman. Apapun yang dikerjakan dalam kelahiran sebagai manusia, Sang Hyang Widhi memperhatikannya, oleh karena Ia menjadi saksi dari segala perbuatan manusia baik maupun buruk.
Tatkala Tamah yang lebih besar mempengaruhi pikiran maka akan menyebabkan atma menjadi binatang. Ada lima jenis binatang, seperti : Pasu, Mrga, Paksi, Sarisrpa, Mina. Pasu adalah binatang piaraan di desa, seperti : sapi, maka akan menyebabkan atma menjadi binatang. Mrga adalah jenis binatang yang ada di dalam hutan. Paksi adalah segala jenis binatang burung yang dapat terbang. Sarisrpa adalah segala jenis binatang yang bergerak dengan dadanya. Mina adalah semua jenis binatang yang ada di dalam air.

2.4         Buddhi
  Dari Triguna maka lahirlah Buddhi. Buddhi ada empat jenis, bagian-bagianya antara lain: Dharma Buddhi, Jnana Buddhi, Wairagya Buddhi dan Aiswarya Buddhi.
2.4.1      Dharma Buddhi
  Perbuatan mulia, yajna, tapa, dana punia, meninggalkan keluarga dan hidup dari sedekah, yoga, inilah yang disebut dharma. Sila artinya melakukan perbuatan yang baik. Yajna artinya melaksanakan pemujaan api, tapa artinya menjadi Wiku yang melakukan Tapa Brata. Wiku artinya seorang yang di-diksita, yoga artinya mekukan meditasi. Itulah beberapa ciri dharma. Menurut Wrhaspati Tattwa orang yang telah mantap menjalankan dharma akan mencapai sorga dan berinkarnasi menjadi dewayoni, beliau juga akan memperoleh kesenangan tanpa berbalik kedukaan (suka tanpa wali dukha). Ia juga memperoleh Siddhi.
2.4.2      Jnana Buddhi
  Pengindraan langsung, menarik kesimpulan, ajaran-ajaran agama dari orang yang telah mempelajarinya, inilah tiga cara untuk memperoleh pengetahuan. Demikianlah orang yang mengetahui tentang tiga Pramana, yaitu: Pratyaksa, Anumana dan Agama. Pratyaksa artinya sesuatu yang dapat dilihat atau diraba. Anumana artinya seperti asap yang terlihat dari jauh, menandakan adanya api (api itu sendiri tidak tampak). Inilah yang disebut Anumana. Agama artinya ajaran para guru. Orang yang mengetahui ketiga pramana ini, Pratyaksa, Anumana dan Agama disebut dengan istilah Samyagjnana.  Wrhaspati Tattwa menegaskan, buah dari Jnana yang telah dijalankan oleh seorang Jnanin adalah ia akan memiliki pengetahuan ataupun pandangan yang baik dan benar, pada tahapan yang lebih sempurna seorang Jnanin akan memperoleh pengetahuan yang sangat utama, inilah yang akan mengantarkan pada keadaan yang disebut Moksa, kembali ke alam Siwa. Kesadarannya menyatu dalam Tuhan.    
2.4.3      Wairagya Buddhi
  Ketidakterikatan terhadap kesenangan, baik yang dilihat maupun yang didengar, pada badan yang sehat dinamakan Wairagya. Ketidaksenangan kepada yoga tidak berarti ketidakterikatan (arti sebenarnya adalah orang yang tidak senang kepada yoga bukan yogin melainkan orang yang menganut Wairagya). Ada kesenangan dari yang dilihat seperti halnya raja yang berkuasa, ada kesenangan dari yang didengar, seperti kahyangan yaitu tempat para Dewa. Kesenangan seperti itu, yang dilihat maupun yang didengar tidak diinginkannya. Bahkan menjadi rajapun ia tidak ingin. Lepas dari keinginan seperti itu dinamakan Wairagya. Melalui Wairagya, atma mencapai Prakrti Loka dan mengalami kesenangan ibarat orang tidur tanpa mimpi, sangat damai dan tenang.


2.4.4      Aiswarya Buddhi
              Pada hakekatnya Aiswarya adalah prinsip kesimbangan. Keseimbangan dalam kesenangan disebut Bhoga. Bhoga dalam arti lain adalah segala yang dimakan dan diminum. Keseimbangan dalam kesenangan kecil disebut Upabhoga Dalam arti lain adalah  segala sesuatu yang dipakai. Keseimbangan dalam kesenangan besar disebut Paribhoga. Dalam pandangan material Paribhoga berarti punya istri (berumah tangga) dan pembantu. Wrhaspati Tattwa menyebutkan buah dari Aiswarya (Aiswarya Phala) adalah seseorang akan menikmati kesenangan penuh tanpa gangguan demikian pula perbuatannya. Padanya juga mendapat Anima dan kekuatan lain dan seseorang itu akan lahir dalam Dewayoni, akhirnya ia menjadi Dewa. (Putra dkk, 1998 : 27)

2.5         Panca Wiparyaya
              Panca Wiparyaya adalah lima sifat yang tidak baik penyebab kesengsaraan. Penjabaranya adalah sebagai berikut.
2.5.1      Tamah, pikiran yang menginginkan segala macam kesenangan.
2.5.2      Moha, pikiran yang secara buta menginginkan delapan Aiswarya.
2.5.3      Mahamoha, keinginan mencapai kebahagiaan Niskala bersama dengan delapan Aiswarya.
2.5.4      Tamirsa, mendambakan kebahagiaan dikemudian hari.
2.5.5      Andhatamirsa,  menangisi sesuatu yang telah tiada atau hilang.

2.6         Tusti
              Tusti berarti kepuasan. Ada orang yang berbuat sesuatu untuk mencari kepuasan. Tusti itu ada beberapa jenis, yaitu :
2.6.1      Arjana, menadapatkan kesenangan melalui penumpukan harta benda.
2.6.2      Raksasa, senang mempertahankan barang yang diperoleh.
2.6.3      Ksaya, kesenangan dalam menghamburkan kekayaan (pemborosan).
2.6.4      Sanga, kepuasan yang diperoleh ketika sesuatu yang didambakan berhasil diraih seperti kekasih dan benda.
2.6.5      Himsa, membunuh semata-mata untuk kesenangan.
2.6.6      Bhagya, puas dalam hati, meskipun tidak memperoleh kebahagiaan.
2.6.7      Kala, ingin cepat mendapat sesuatu yang dikehendaki.
2.6.8      Atma, pengetahuan yang menyelidiki Atma.

2.7         Asta Siddhi
              Asta Siddhi adalah delapan pekerjaan mulia yaitu memberi, belajar, berguru, bermusyawarah, bersahabat (5 bagian ini disebut Bahya Siddhi) dan tiga pekerjaan yang merupakan pencegahan kesengsaraan (Adhyatmika Siddhi). Bahya Siddhi meliputi (1) Dana, memberikan bantuan moril maupun materiil; (2) Adhyayana, mempelajari kitab-kitab suci; (3) Sadhana, kemampuan mendengarkan suara gaib (waskita) dan mampu membedakan barang kasar dan barang halus; (4) Sadhaka, kecakapan dalam bidang spiritual dan (5) Tarka, adil dan bermusyawarah. Sedangkan Adhyatmika Siddhi adalah mampu mengatasi tiga macam kesengsaraan (Dukha Telu). Dukha Telu meliputi Adhyatmika Dukha (sakit dari pikiran), Adhidaivika Dukha (sengsara yang diakibatkan dari kutuk dewa, leluhur, orang suci dll) dan Adhibhautika Dukha (sengsara/sakit yang disebabkan jasad renik, roh jahat dan binatang).

2.8         Panca Tan Matra dan Panca Maha Bhuta
              Bila telinga ditutup, terdengar suara. Suara ini sangat halus dan disebut Sabda Tan Matra. Ada angin kencang, butir-butir angin itu terasa meresap pada kulit, itulah yang disebut dengan Sparsa Tan Matra. Ada yang disebut petang, setelah matahari terbenam, ada cahayanya berbekas, butir-butir cahaya  yang tampak itu, itulah yang disebut Rupa Tan Matra. Yang disebut Rasa Tan Matra adalah yang dimakan terasa manis atau pahit, adapun butir-butir rasa yang dirasakan itu tidak segera hilang ia berbekas pada lidah, ada sisanya yang tertinggal, itulah Rasa Tan Matra namanya. Gandha Tan Matra yaitu ada kayu cendana yang dibakar, butir-butir baunya yang dicium itulah yang disebut Gandha Tan Matra. Demikianlah yang disebut Panca Tan Matra.
              Dari Panca Tan Matra lahir Panca Maha Bhuta yakni Ether (Akasa) lahir dari Sabda Tan Matra. Angin (Wayu) lahir dari Sparsa Tan Matra. Cahaya (Teja) lahir dari Gandha Tan Matra. Apah (air) lahir dari Rasa Tan Matra. Prtiwi (tanah) lahir dari Gandha Tan Matra. Itulah yang disebut Panca Maha Bhuta. Berwujud nyata dapat dilihat dan dipegang. Demikianlah sifat seluruh tattwa-tattwa di atas menyusupi tattwa di bawahnya.
2.9         Sad Rasa dan Dasendriya
              Adapun rasa itu enam jenisnya antara lain : Lawana, Amla, Katuka, Tikta, Kasaya, Madhura. Lawana artinya asin. Amla artinya asam. Katuka artinya pedas. Kasaya artinya sepet. Madhura artinya manis. Tikta artinya pahit. Demikianlah yang disebut Sad Rasa.
              Srotendriya terletak pada telingga. Twagindrriya terletak pada kulit, menyebabkan atma merasakan panas dan dingin fungsinya. Caksurindriya terletak pada mata, menyebabkan atma melihat rupa dan warna fungsinya. Jihwendriya terletak pada lidah, menyebabkan atma dapat merasakan rasa yang enam fungsinya. Granendriya terletak pada hidung, menyebabkan atma dapat berfungsi mencium bau busuk dan harum. Wagindriya terletak pada tangan, menyebabbkan atma dapat mengambil atau memegang fungsinya. Padendriya terletak pada kaki, menyebabkan atma dapat bejalan fungsinya. Payuindriya terletak pada dubur, menyebabkan atma dapat berak, pletus fungsinya. Upasthendriya terletak pada venis dan vagina, menyebabkan atma dapat kencing dan mengeluarkan sukla dan swanita fungsinya. Demikianlah prihal dasendriya dalam badan.
              Badan itu diumpamakan hiasannya kereta. Perbuatan baik dan buruk ibarat dunia, yang berputar antara sorga dan neraka yang disebut cakraning gilingan (roda yang selalu berputar pada sumbunya). Atma ibarat lembu yang menarik kereta. Bhatara Iswara sebagai sais, menyuruh lembu itu menarik kereta, tidak mau ia tidak melaksanakan pertintah, karena itu pelayan yang seorang akan kepayahan.
2.10       Nadi dan Dasa Wayu
              Ada sepuluh Nadi besar, seperti : Ida, Pinggala, Sumsumna, Gandhari, Hasti, Jihwa, Pusa, Alambusa, Kuhu, Sangkhini, itulah kesepuluh nadi besar itu. Dari kesepuluh ada tiga yang paling utama yaitu :  Ida adalah tenggorokan kanan. Pinggala adalah tenggorokan kiri. Sumsumna adalah tenggorokan tengah.
              Semua Nadi itu sama-sama berisi Wayu (daya hidup), sepuluh banyaknya yaitu : Prana, Apana, Udana, Wyana, Naga, Kurma, Krkara, Dewadatta, Dhananjaya. Adapun penjelasan sebagai berikut:
              Daya hidup yang disebut prana ada pada mulut dan hidung, fungsinya untuk bernafas, pada dada bawahnya, ia menggerakkan daya hidup (wayu) seluruhnya. Samana berada pada hati, fungsinya di sana mengolah sari-sari yang dimakan menjadi empedu. Udana berada pada ubun-ubun, fungsinya di sana adalah membuat berkedipnya mata dan berkerutnya dahi serta menumbuhkan rambut. Wyana ada pada seluruh persendian, fungsinya di sana menjadikan berjalan, melambat, memegang, menggerakkan semua persendian pada badan dan membuat lupa, marah dan usia tua. Naga fungsinya menyemburkan. Daya hidup Kurma membuat gemetar. Sedangkan Krkara adalah daya hidup yang membuat besin, Dewadatta membuat menguap, Dhananjaya membuat suara. Inilah yang disebut dengan Dasa Wayu.
Apabila kita pengikatnya, itu sebabnya atma dengan damai mengembara ke dunia lain, mana yang disebut dengan dunia lain adalah Pancapada (lima dunia) yang mana merupakan stananya atma pada saat berwujud. Ada yang disebut Jagrapada, Swapnapada, Susuptapada, Turyapada dan Turyantapada. Pada adalah dunia atau tempat berstananya atma yang lima jumlahnya, karena itu disebut Pancapada. Jagrapada artinya terjadi, tiada terhingga keterjagaannya, saat demikian atma menjadi jelas terlihat dan dapat dirasakan. Adapun Swapnapada adalah tidak jelas bagaikan Maya (bayangan) yang ada dalam air, bila tenang airnya maka akan tampaklah bayangannya, bila bergolak airnya maka bayangannya itu tidak jelas dilihat. Demikian atma itu tidak akan jelas, karena segala pada (stana) sama dengan atma. Sang Taijasa namanya bila demikian. Apabila dalam Susuptapada, tatkala tidur nyenyak, keadaan sepi itu, tidak berkesadaran, Nirwana, Nisprakamya, tak tampak dan tidak terpikirkan susuptapada itu. Demikianlah atma hilang kesadarannya bercampur dengan Acetana, tidak berkesadaran, lupa sebagai sifatnya.



2.11        Sadangga Yoga
               Dalam Wrhaspati Tattwa sloka 53 disebutkan ada enam cabang yoga, yang disebut dengan sadangayoga. Sadangayoga ini juga dapat dikatakan sebagai enam tingkatan yoga yang saling terkait, mengabaikan salah satu tingkatan yoga berarti menghancurkan sistem yoga itu dan itu berarti gagal. Bunyi dari sloka yang dimaksud adalah:
Nahan tang sadanga yoga ngaranya, ika ta sadhana ning sang mahyun Umangguhakena sang hyang wisesa denjika, pahawas tang hidepta, haywa ta iweng-iweng denta ngrengosang hyang aji, hana pratyahara yoga ngaranya, hana tarka yoga ngaranya, hana pranayama yoga ngaranya, hana dharanaya yoga ngaranya, hana tarka ngaranya, hana samadhiyoga ngaranya, nahan sadanga yoga ngaranya
                                                                                    (Wrhaspati Tattwa sloka 53)
Terjemahan :
Pratyahara (penarikan), Dhyana (meditasi), pranayama (pengendalian nafas), dharana (menahan), tarka (renungan), Samadhi (konsentrasi), itulah ke enam cabang yoga.Sadangayoga menyatakan alat bagi orang yang ingin mencapai visesa. Pikiranmu harus tetap tanggap: tidak hanya mendengarkan ajaran suci. Patut kita ketahui prathyahara yoga,dhyanayoga, pranayama yoga, dharana yoga, tarka yoga, dan samadhiyoga. ( Putra dkk, 1998 : 61)

              Dengan asumsi bahwa dengan mengetahui dan memahami serta mempraktikan sadangayoga secara benar dan baik selaras dengan karma vasana pastilah memperoleh pengalaman dan manfaat yang positif.Untuk lebih memahami tentang sadangayoga ini marilah kita kaji sloka-sloka Wrhaspati Tattwa selanjutnya.
2.11.1    Pratyaharayoga
              Dalam pustaka suci Wrhaspati Tattwa sloka 54 di uraikan sebagai berikut:
Ikang indriya kabeh winatek sangkeng wisayanya,
ikang citta budhi manah tan wineh maparan-parana,
kinemitaken ing citta malilang, yeka pratyaharayoga ngaranya
                                                                           (Wrhaspati Tattwa sloka 54)
Terjemahan :
Pratyahara (penarikan diri) artinya indriya dari obyeknya, dengan upaya dan pikiran yang tenang.Semua obyek indria harus ditarik dari obyeknya dan manah tidak diperbolehkan bergerak kesana kemari.Ia harus dijaga oleh citta yang murni. Ini pratyaharayoga ( Putra dkk, 1998 : 61)

              Pratyahara ini berarti penarikan. Yang ditarik disini adalah menarik indra dari objek kesukaanya. Masing-masing indra memiliki objek kesenangan sendiri-sendiri dari objek kesukaanya, missal mata suka akan rupa dan warna yang indah,dan benci rupa dan warna yang buruk indra penciuman suka bau yang harum dan benci bau yang busuk dan ketiga indra yang lainya memiliki objek kesenanagnnya sendiri. Indra-indra inilah yang perlu ditarik dari objek yang disenanginya dan yang dibencinya lalu diarahkan kedalam diri.
               Dengan pikiran yang terkendali konsentrasi jiwa dapat dilaksanakan dengan baik, semua keinginan untuk keperluan pribadi dan panca indria harus dikontrol. Ibarat seekor penyu yang menarik kepalanya dan anggota badannya, supaya jiwa menjadi harmonis dan seimbang. Di saat seseorang itu mengahadapi suatu kesulitan dalam hidupnya janganlah terlarut dalam kesedihannya itu, sebaliknya ketika seseorang mendapatkan kebahagian janganlah terlalu dipuji-puji. Hal baik kita terima dengan senang hati, hal burukpun kita terima dengan senang hati. Demikianlah orang yang memiliki keseimbangan jiwa dalam menghadapi suka dan duka. Selain pengekangan terhadap panca indria penegkakangan terhadap jiwa perlu dilakukan sehingga jiwa dapat bersatu dengan atman. Dengan bersatunya atman dan jiwa, maka yang maha tahu akan menampakkan dirinya.
2.11.2    Dhayanayoga
              Dalam pustaka suci Wrhaspati Tattwa sloka 55 di uraikan sebagai berikut:
Ikang jnana tan pangrwa-rwa, tatan wikara, enak heneng-heneng nira, umideng sad tan kawarana, yeka dhyanayoga ngaranya.
                                                                           (Wrhaspati Tattwa sloka 55)
Terjemahan :
Dhyana (meditasi) adalah yoga yang terus menerus memusatkan pikiran kepada suatu bentuk yang tak berpasangan, tak berubah damai dan tidak bergerak.Pengetahuan yang indah tak berpasangan tidak berubah indah dan tenang, tetap stabil, tanpa selubung yang demikian itulah Dhyanayoga.( Putra dkk, 1998 : 61)

              Dhyanayoga atau meditasi adalah keadaan pikiran dimana pikiran merupakan keberadaan yang mutlak yang tidak melakukan tindakan. Menurut Agama Hindu atman adalah sumber kekuatan yang tak terbatas dan kebijaksanaan dalam diri manusia dan Dhyana atau meditasi adalah alat untuk berhubungan dengan kebijaksanaan tertinggi. Para Rsi Hindu mengatakan bahwa ketika pikiran tidak melakuakan apa-apa pikiran dapat memasuki tahap kesadaran super atau turiya dan menyadari penyatuan dengan Tuhan. Setelah seseorang itu mencapai turuya maka seseorang tersebut dapat dikatakan telah mencapai moksa terbebas dari siklus kelahiran dan kematian. Seseorang yang dapat mencapai Turuya ketika masih berada adalam tubuh manusia disebut dengan Jiwanmukti.
              Dhyana bukanlah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh seseorang, namun sebuah phenomena yang muncul dengan spontan dan tidak disadari ketika pikiran tidak berpikir atau berada pada tahap tidak melakukan tindakan. Meditasi dan konsentrasi dapat dibedakan dengan sifatnya yang tidak terintrupsi. Konsentrasi diibaratkan dengan menuangkan air sedangkan Meditasi diibaratkan menuangkan minyak. Keduanya kan jatuh pada tempat yang sama, namun jatuhnya air tidak akan selancar minyak. Air memiliki kecendrungan untuk berpencar menjadi titik-titik air, sehingga mengakibatkan aliran yang tidak bias.
2.11.3    Pranayamayoga
              Dalam pustaka suci Wrhaspati Tattwa sloka 56 di uraikan sebagai berikut:
Ikang sarwadwara kabeh yateka tutupane, mata, irung, tutuk, talinga,ikang vayu huwus inesep nguni rumuhun, yateka winetwaken maha waneng wunwunwn, kunang yapwan tan abhyasa ikang vayu mahawane ngkana, dai ya winetwaken mahawaneng irung ndan saka sadiki dening mawetwaken vayu, yateka pranayamayoga ngaranya.
                                                                                    (Wrhaspati Tattwa sloka 56)
Terjemahan:
Pranayama (pengatuaran nafas) ialah menutup semua jalan keluar nafas dari batok kepala (pada saat meninggal).Semua jalan keluar harus ditutup mata, hidung, mulut, telinga. Nafas yang telah ditarik dikeluarkan melalui batok kepala. Jika orang tidak mengeluarkan nafas dengan cara ini, maka nafas ajkan keluar melalui hidung. Tapi ia hanya mengeluarkan sebagian kecil dari nafas itu. Inilah yang dinamakan Pranayamayoga (Putra,dkk, 1998 : 62)

          Pranayama berarti pengaturan pernapasan yang lancar panjang dan dalam. Manfaat dari Pranayama ini adalah untuk membantu menghilangkan pikiran yang tidak diinginkan. Sehingga mempermudah kita untuk berkonsentrasi dan bermeditasi. Para Rsi mengatakan nafas yang pendek dan teratur akan meningkatkan aktifitas mental, yang menghasikan pikiran yang tidak diinginkan yang akan merusak pikiran.
2.11.4    Dhranayoga
              Dalam pustaka suci Wrhaspati Tattwa sloka 57 diuraikan sebagai berikut:
Hana ongkara sabda umunggwing hati, yateka dharanan, yapwan hilang ika nora karengo ri kala ning yoga yateka sivatma ngaranya, sunyawak bhatara siva yan mangkana yeka dharanayoga ngaranya.
                                                                        (Wrhaspati Tattwa sloka 57)
Terjemahan :
Omkara yang merupakan sifat siwa harus ditempatkan dalan hati penuh dengan Tattwa. Karena Omkara dipegang terus maka dinamakan “menahan” dhrana. Suara omkara bertempat di hati. Orang harus memusatkan pikiran kepadanya. Bila lenyap dan tidak didengarkan saat beryoga dinamakan Sivatman. Dalam keadaan seperti itu Bhatara Siwa dikatakan dalam keadaan kosong. Inilah dharanayoga. (Putra dkk, 1998 : 62)

              Dharanayoga artinya menguasai indria dibawah pengawasan Manah (pikiran) dan memusatkan pikiran pada objek meditasi. Objek dari konsentrasi dapat berupa gambaran dari Dewa, sebuah mantra, nafas dan yang lainnya.
2.11.5    Tarkayoga
               Dalam pustaka suci Wrhaspati Tattwa sloka 58 di uraikan sebagai berikut:
Kadi akasa rakwa sang hyang paramartha, ndan ta palenanira lawan akasa, tan han sabda ri sira, ya ta kalingan ing paramartha,papada nira lawan awing-awang malilang juga, yeka tarka yoga ngaranya.
                                                                      (Wrhaspati Tattwa sloka 58)
Terjemahannya:
Tarka (renungan) ialah terus menerus memusatkan pikiran kepada-Nya yang wujudnya sangat halus, tetap dan tenang dan hening.
Engkau harus mengetahui bahwa Paramartha sangat halus. Tetapi juga ada bedanya dengan yang halus itu yaitu bahwa Paramartha tanpa suara. Itulah penjelasan Paramartha yang dapat dipersamakan dengan Akasa. Ia suci. Itulah yang disebut Tarkayoga. (Putra dkk, 1998 : 62)
2.11.6    Samadhi
              Dalam pustaka suci Wrhaspati Tattwa sloka 59 di uraikan sebagai berikut:
Ikang jnana tanpopeksa, tan panggalpane, tan hana kaharep nira, tan han sinadhyanira, alilang tan kawaranan juga, tatan pakahilang, tatan pawasta ikang cetana, apan mari muhidep sira ikang sarira, luput saking catur kalpana.Catur kalpana ngaranya, wruh lawan kinaweruhan, pangawruh lawan  nahan yang caturkalpana ngaranya, ika ta kabeh tan hana ri sang yogisvara yateka Samadhi ngaranya. Nahan yang sadanga yoga ngaranya, pinaka jnana sang pandita matangyang kapangih sang hyang visesa, ika kayogiswaran mangkana, yateka karaksan ring dasasila.
                                                                           (Wrhaspati Tattwa sloka 59)
Terjemahan :
Samadhi (konsentrasi) ialah terus menerus merenungkan-Nya sebagai yang mutlak, tidak dapat dijelaskan, tanpa nafsu, tenang, tak berubah dan tanpa ciri. Jnana (pengetahuan) itu mutlak, tak dapat dijelaskan, tanpa nafsu, tanpa tujuan, suci, tak berselubung, dan tidak terbinasakan. Cetana ini tidak bertujuan. Ia tidak memiliki kesadaran fisik. Ia bebas dari Catur Kalpana. Catur  kalpana artinya pengetahuan dan yang diketahui, sarana untuk mengetahui dan orang yang mengetahui. Itulah keempat Kalpana. Semua ini tidak ada pada Yogiswara. Inilah yang dinamakan Samadhiyoga. Sadangayoga ini harus dimiliki oleh seorang pandita. Dengan demikian orang akan mencapai Wisesa. Sifat Yogiswara ini harus ditunjang oleh kesepuluh kebajikan. (Putra dkk, 1998 : 63)

Samadhi merupakan tahap terakhir yoga baik tahapan menurut Wrhasapati Tattwa dalam Sadanggayoga, adalah “penyatuan dengan dengan Tuhan”. Dalam sebuah Samadhi yang sadar seorang akan mencapai  kekuatan super-natural (yang disebut dengan siddhi) dengan kekuatan dari latihan yoga.

2.12       Dasa Sila
Dasa Sila merupakan gabungan dari Panca Yama dan Niyama Brata. Bagian-bagian dari Dasa Sila meliputi :
2.12.1    Ahimsa : artinya tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak melukai atau tidak mengambil nyawa makhluk apapun. Namun Himsa (menyakiti/pembunuh) itu boleh dilakukan untuk keperluan Dharma, keperluan agama, bersedekah, untuk Dewapuja, Pitrapuja, Astithipuja ( untuk disuguhkan kepada tamu).
2.12.2    Brahmacari : artinya bergerak di dalam ilmu pengetahuan suci Weda atau berkecimpung di dalam ajaran suci kerohanian.
2.12.3    Satya : artinya benar setia atau jujur.
Satya yang berarti benar setia atau jujur memegang peranan yang penting di dalam ajaran sastra kerohanian untuk mencapai kesempurnaan rohani kebahagiaan akhirat, penjelmaan yang baik dan kelepasan atau Moksa. Seseorang hendaknya satya dalam pikiran, perkataan, perbuatan serta jujur dan satya terhadap teman, terhadap janji.
2.12.4    Awyawahara atau Awyawaharika : artinya peraturan hidup atau undang-undang. Seseorang hendaknya melakukan usaha-usaha yang selalu mengacu pada kedamaian dan ketulusan. Juga disebutkan Awyawahara berarti tidak terlibat atau terikat akan gelombang hidup sehari-hari atau pasang surut hidup keduniawian.
2.12.5    Asteya artinya tidak mencuri atau berpantang terhadap perbuatan mencuri memperkosa hak milik orang lain. Mengambil hak milik orang lain, mencuri dan memaksa disebut steya atau staiya
2.12.6    Akrodha : artinya tidak marah atau tidak dikuasai oleh kemarahan.
2.12.7    Guru Susrusa : artinya mendengarkan atau menaruh perhatian terhadap ajaran-ajaran dan nasehat-nasehat Guru. Guru Susrusa itu bertalian erat dengan Guru Bhakti atau sujud terhadap Guru dan Asewaka Guru yaitu mengabdi kepada Guru.
2.12.8    Sauca : berarti kebersihan, kemurnian atau kesucian lahir bathin.
2.12.9    Aharalaghawa : artinya makan serba ringan tidak semau-maunya saja. Oleh karena itu disarankan hendaknya orang-orang yang ingin mencapai kesempurnaan, harus berbadan sehat, karena sehat jasmani bisa mempengaruhi keadaan rohani. Makan yang melebihi batas kemampuan perut untuk mencernanya akan membawa penyakit.
2.12.10  Apramada : artinya tidak bersifat ingkar atau mengabaikan kewajiban. Dapat pula diartikan taat tanpa ketakaburan mempelajari dan mengamalkan ajaran suci.
              Dari bagian 1 sampai bagian 5 disebut dengan Panca Yamabrata sedangkan bagian 6 sampai 10 disebut dengan Panca Niyamabrata. Perlu ditambahakan bahwa orang harus mengabdikan hidupnya dalam melaksanakan Yoga Samadhi. Orang harus siap melaksanakan Sadhana. Sadhana artinya bersifat Yogi yang mempunyai pengaruh terhadap Dasa Sila. Dasa Sila menunjang yoga. Jika diperoleh pengetahuan yang tidak bersifat jasmaniah, tidak bersifat Maya Tattwa ini dinamakan Turyantapada. Maka ia dinamakan Jiwanmukta, mendapat pembebasan atau Moksa semasih hidup. Niskala telah dicapai melalui Samadhi, tetapi jasmaninya belum binasa karena ia menyadari bahwa Karma Wasana belum binasa, maka ia memusnahkannya dengan api yoga. Dengan cara ini ia membersihkan kotoran. Jagrapada bertemu dengan Turyapada melahirkan Saptangga, Saptagni dan Saptamrta.
Tanah (Prthiwi), air (Apah), cahaya (Teja), udara (Wayu), ether (Akasa), akal (Budhi) dan pikiran (Manah) itulah yang disebut Saptangga. Yang disebut Saptagni. Adapun bagian-bagiannya yakni : Ghrata artinya alat penciuman, Rasayita artinya alat perasa enam jenis rasa. Drasta artinya alat penglihatan, Sprasta artinya yang digunakan merasakan sentuhan. Srota artinya alat pendengar. Manta artinya alat untuk berpikir. Bodha artinya alat untuk mengetahui. Itulah yang disebut Saptagni. Jenis-jenis Tattwa yang sepatutnya diketahui oleh Sang Yogiswara, sehingga dapat membakar kekotoran yang ada dalam badannya. Inilah yang disebut Saptamrta. Suara didengar, Sentuhan dirasakan, Bentuk dilihat, Rasa dikecap, Bau dicium, Gagasan dipertimbangkan dan Pengetahuan dipelajari. Inilah yang disebut Saptamrta. Usahakanlah semua itu, kesemuanya dan Karma Wasana itu diketahui oleh Sang Yogiswara.

2.13       Astaiswarya
Dalam Wrhaspati Tattwa dinyatakan apabila sang Yogiswara telah telah mantap dalam yoga, dalam artian Karma Wasana-nya telah terbakar musnah oleh Siwagni, konsentrasinya menjadi kokoh dan kuat. Tuhan selalu ada dalam dirinya. Karena itu ia dikatakan Cintamani (segala yang ia inginkan terpenuhi). Sebagai manifestasinya ia mendapat delapan Aiswarya. Yang meliputi Anima, Laghima, Mahima, Prapti, Prakamya, Isitwa, Wasitwa, Yatrakamawasayitwa. Dalam tataran ini, sang Yogiswara telah memiliki kekuatan sama dengan Tuhan/Iswara.
2.13.1    Anima
              Badan seperti yang diinginkan, meninggalkan wujud kasanya, dan menjadi sangat halus dan disebut dengan Anima. Badan kasarnya berubah menjadi sangat halus. Halus artinya bahwa ia mampu datang dan pergi tanpa diketahui oleh orang yang tak berpengetahuan, seperti anak kecil masuk dalam air. Begitu pula seorang Yogiswara masuk dan keluar dari tanah. Tiada yang menghalangi dalam geraknya. Yang mempu menembus gunung atau batu besar. Tak ada yang tertingga. Badannya lenyap begitu saja. Inilah yang disebut Anima.
2.13.2    Lagima
              Badan yang dahulu berat tiba-tiba menjadi sangat ringan seperti kapas. Oleh karena itu Yogiswara melakukan apa yang dikehendaki.semua mungkin baginya, apakah  pergi kesurga atau ketujuh alam atau ketujuh Bhuwana. Juga mungkin berkeliling dalam jagat raya ini. Ia mempunyai kekuatan untuk pergi kemanapun ia suka. Itulah yang disebut dengan Lagima (sangat ringan).
2.13.3    Mahima
              Kemana saja ia bisa pergi sesuka hatinya, disana ia bisa tinggal sesuka hatinya. dan karena dimana-mana ia dihormati ia dinamakan Mahima. Ia berkeliling diberbagai tempat. Di tempat itu ia disambut, dihormati, dan diberi segala yang menyenangkan, makanan dan hadiah. Itulah yang dinamakan Mahima.
2.13.4    Prapti
              Segala yang diinginkan oleh Yogiswara ia dapatkan tanpa mencari ataupun meminta. Apa saja yang diinginkan bahkan sejumlah besar karma wasana ia berhasil mendapatkan untuk kebahagiaannya. Bila ia mendapat kebahagiaan itu untuk segera menghentikan Karma Phala, ia merubah dirinya menjadi Sahasradeha yaitu mempunyai seribu badan untuk menikmati surga. Ia menikmati segala-galanya seperti wanita cantik yang ada disana, Bhoga, Upabhoga dan Paribhoga. Bila telah selesai menikmati semuanya ia merasa puas, ia pun tidak memikul beban Karma Phala, itulah Prapti.
2.13.5    Prakamya
              Jika wujud itu diciptakan oleh dirinya sendiri, juga dicapai oleh dirinya sendiri, maka wujud yang diciptakan sekehendak hatinya itu dinamakan prakamya. Yathetccha Yogiswara yaitu wujud apa saja yang diinginkan, apakah Tuhan, manusia, atau binatang, wujud itu diberikan kepadanya dan berfungsi sebagai wadahnya. Itulah Prakamya.
2.13.6    Isitwa
              Bila ia pergi ke surga untuk menyenangkan hatinya, ia mempunyai kekuasaaan untuk menundukkan Brahma, Wisnu, Indra, dan Surya di surga juga para Dewa, karena Tuhan ada dalam Yogiswara. Karena itu Yogiswara mempunyai kekuasaan untuk mengendalikan semua Dewa. Itulah Isitwa.
2.13.7    Wasitwa
              Ia mempunyai kekuasaan untuk memberi perintah kepada para Dewa jika mereka tidak para Dewa tidak patuh Sang Yogiswara memiliki kekuasaan untuk menyerang mereka. Karena sebenarnya sang yogiswara pemilik seluruh jagat raya ini. Itulah Wasitwa.
2.13.8    Yatrakarmawasayitwa
              Yatrakarmawasayitwa adalah keinginan untuk mempunyai wujud sedemikian rupa sehingga dapat menghukumpara Dewa, manusia, dan binatang, bila ia melanggar perintahnya. Itulah Yatrakarmawasayitwa

2.14     Kajian ajaran Siwa Siddhanta dalam Wrhaspati Tattwa
            Ajaran Siva Siddhanta di Bali sebagai sebuah kristalisasi dari semua paksa yang pernah berkembang di Bali memiliki sumber-sumber ajaran salah satu sumber ajarannya adalah Wrhaspati Tatwa. Wrhaspati Tattwa sebagai pustaka suci tradisional Bali memiliki nilai-nilai suci yang sarat dengan religius ajaran siwa (siwaistik). Siwaistik adalah sebuah personifikasi azas yang disebut Siwa-Sakti. Siwa adalah simbol Purusa atau Iswara atau disimbolkan dengan kiblat Timur warna putih. Sakti  adalah simbol Prakerti yang disimbolkan juga sebagai kiblat utara warna hitam. Siwa-sakti inilah pasangan dewata yang paling dimuliakan oleh penganut paham Siwa  (Yasa dkk, 2008 : 31).
            Dari pemaparan diatas terkait dengan ajaran-ajaran inti Siva Siddhanta yang terkandung dalam Wrhaspati Tattwa, secara garis besar dapat penulis kaji nilai-nilai ajarannya sebagai berikut :
Wrhaspati Tattwa menyebutkan bahwa ada dua elemen tertinggi yang menjadi sumber adanya segala sesuatu yakni Cetana dan Acetana. Cetana merupakan unsur kesadaran (consciousnees) yang terdiri atas Paramasiwa Tattwa, Sadasiwa Tattwa dan Siwa Tattwa dan acetana merupakan unsur ketidaksadaran (unconsciousnees). Cetana Telu yakni tiga tingkat kesadaran. Paramasiwa memiliki tingkat kesadaran tertinggi, Sadasiwa menengah dan Siwatma terendah. Tinggi rendahnya tingkat kesadaran tergantung pada frekuensi pengaruh Maya (Pudja, 1983 : 7). 
Lebih lanjut, hal senada disampaikan Gunawan (2012 : 109) bahwa dari sudut pandang filsafat dengan banyak sedikitnya pengaruh Maya terhadap Cetana maka ia digolongkan menjadi tiga wujud Tri Purusha yaitu : (1) Parama Siwa atau Tuhan dalam keadaan Nirguna Brahman; (2) Sada Siwa atau Saguna Brahman;  (3) Siwatma Tuhan dalam keadaan Maya yang menjadi jiwa semua mahkluk. Perbedaan wujud seperti diatas bukanlah mengandung arti Polytheis karena pokok atau sumbernya tetaplah satu. Namun digolongkan menjadi tiga wujud yang didasarkan atas sifat, fungsi, dan aktifitas tertentu sebagai akibat adanya pengaruh Maya.
Analogi dari Tri Purusa bisa dicontohkan seperti seseorang yang mengajar mata kuliah Siwa Siddhanta, ketika mengajar di kampus maka orang tersebut disebut dosen, jika orang tersebut pulang ke rumah maka ia menjadi suami bagi istrinya, dan ayah bagi anaknya, jika orang itu berbaur dengan warga lainnya disebut anggota masyarakat, jika sedang bertani di sawah disebut petani. Dari semua sebutan nama tadi sebenarnya orangnya adalah satu tetapi karena pekerjaannya banyak, maka orang tersebut mempunyai banyak nama sesuai dengan pekerjaan, sifat, tempat dan tanggung jawabnya. Demikian juga Tuhan yang memiliki tiga fungsi yang pada dasarnya Tuhan hanya satu. (Gunawan, 2012 : 109).

III          Simpulan
              Wrhaspati Tattwa termasuk kedalam salah satu pustaka suci yang didalamnya terkandung nilai-nilai ajaran suci yang sarat dengan religius tentang ajaran kebenaran tertinggi yakni Siwa (Siwaistik). Sumber ajaran ini merupakan hasil dialog antara Bhatara Siwa dengan Bhagawan Wrhaspati mengenai cetana dan acetana sebagai pasangan beroposisi yakni Siwa-Sakti, Siwa-Maya, vidya-avidya, siang-malam, suka-duka dsb.
              Wrhaspati Tattwa mengajarkan cara untuk mencapai kelepasan atau kebebasan dari ikatan keduniawian melalui Sadanggayoga yakni enam jalan menghubungkan diri denganNya yang dilandasi atas etika moralitas disebut dengan Dasa Yama Brata terdiri dari Yama dan Niyama Brata. Naskah ini juga mengajarkan menemukan Tuhan dalam dirinya sendiri.
Dengan mempelajari segala Tattwa (Jnana Bhyudreka), tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu (Indriya Yoga Marga) dan tidak terikat pada pahala-pahala perbuatan baik atau perbuatan buruk (Trsna Dosa Ksaya). Sebagai persyaratan untuk memperoleh kelepasan atau Moksa. Berkenaan dengan itu juga, harapan penulis dalam tulisan ini dikemukakan berdasarkan pertimbangan berikut. Perbuatan bukanlah kebaikan, apabila makna (kebaikan) teks Wrhaspati Tattwa dibiarkan berhenti pada terminal normatif, tanpa membawanya ke wilayah aplikatif, kedalam dunia fenomena (manusia). Artinya kebaikan itu lebih sebagai bukti daripada menjadi saksi. Perbuatan bukanlah kebaikan, jikalau manusia hanya baik dalam pikiran dan tidak dalam  tindakan. Swami Rama menegaskan bahwa pelaksanaan dalam bentuk perbuatan lebih baik daripada meyimpannya dalam bentuk pengetahuan hapalan yang hanya eksis dalam pikiran dan ucapan. Hal itu selaras dengan filsafat tindakan bahwa tindakan tanpa pengetahuan akan berbahaya dan sebaliknya pengetahuan tanpa tindakan akan sia-sia. Jadi, antara pengetahuan dengan tindakan harus seimbang adanya. Inilah semangat utama yang mengalirkan tulisan ini hendak memasuki wilayah-wilayah dunia praksis kehidupan.

Daftar Pustaka
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta I. Singaraja : Tanpa Penerbit.

Pudja, G, dkk. 1983. Tatwa Darsana. TKP : Proyek Pembinaan Mutu Pendidikan Agama Hindu dan Buddha Departemen Agama.

Putra, I.G.A.G dkk. 1998. Wrhaspati Tattwa. Surabaya : Paramita.

Tim Penyusun. 2003. Siwa Tattwa. Denpasar : Pemerintah Prov. Bali Kegiatan Peningkatan Sarana Prasarana Kehidupan Beragama.

Watra, I Wayan. 2007. Pengantar Filsafat Hindu ( Tattwa I). Surabaya: Paramita.

Yasa, I Wayan Suka, dkk. 2008. Siwaratri (Wacana Perburuan Spiritual Dulu dan Kini). Denpasar : Fakultas Ilmu Agama UNHI Bekerjasama Dengan Penerbit Widya Dharma



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...