Senin, 16 Desember 2013

Siva Siddhanta 1


Soal :
1.       Jelaskan tokoh-tokoh penyebar Siva Siddhanta dari India sampai di Bali!
2.       Jelaskan kenapa kristalisasi semua sekte di Bali dengan mengatasnamakan Siva Siddhanta!
3.       Jelaskan konsep kristalisasi yang dibuat oleh Mpu Kuturan!
4.       Jelaskan konsep penyatuan Siva Siddhanta atau sekte-sekte dalam merajan!
5.       Bagaimana anda menyikapi terhadap fenomena menyontek dalam ujian, korupsi, dan teroris dalam Siva Siddhanta?

Jawab :
1.       Tokoh-tokoh penyebar Siva Siddhanta dari India sampai di Bali, dimana sejarah Siva Siddhanta berawal dipimpin oleh kelompok atau keturunan Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India Tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang popular di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebutkan dalam lontar Eka Pratama. Di India wahyu Hyang Widhi dierima oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Veda. Pengawi dan ahli Weda I Gusti BAgus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maharsi yaitu:
          a.  Danghyang Markandeya
              Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsure-unsur emas, perak, tembaga, besi dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang-Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siva Siddhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual Surya Sewana, Bebali (banten) dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siva Siddhanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu: Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa dan Lempuyang.
          b.  Mpu Sangkulputih
              Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsure-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubungan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Disamping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuaan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.
          c.  Mpu Kuturan
              Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana Buddha dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Pada saat itu beliau mampu menyatukan berbagai macam aliran atau sekte yang berkembang di Bali. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud symbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu) dan Gelap (Siva), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).
          d.  Mpu Manik Angkeran
              Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.

          e.  Mpu Wijaya
              Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran tantric terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti WArmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.

          e.  Danghyang Dwijendra
              Datang ke Bali pada abad ke-14 dari desa keeling di Jawa, beliau adalah keturunan Brahmana Buddha tetai beralih menjadi Brahmana Siva, ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana. Danghyang Dwijendra mempunyai Bhiseka lain: Mpu/Danghyang Nirarta dan dijuluki: Pedanda Saktu Wawu RAwuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem WAturenggong sang kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan). Beliau mendorong penciptaan karya-karya sastra seperti lontar, kidung atau kekawin dan yang terkenal adalah: Sebun BAngkung, Sara Kusuma, Legarang, Mahisa Langit, Dharma Pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk Menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran,dll. Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya: Purancak, Rambut Siwi, Pakendungan, Huluwatu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu,Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Puncak Tedung, dll. (Gunawan, 2012:39-43)
2.       Alasan mengapa krisalisasi semua sekte–sekte yang ada di Bali dengan mengatasnamakan Siva Siddhanta karena seperti yang disebutkan oleh R.Goris pada masa Bali Kuno berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuno antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siva Siddhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Siva Siddhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardhana, 1989:56). Pengikut sekte siva siddhanta yang paling banyak diantara sekte yang lain. Dilihat dari tata cara pelaksanaan upacara di Bali sekte Siva Siddhanta mampu menampung sekte-sekte yang lain. Sehingga kristalisasi semua sekte-sekte di Bali ditandai dengan adanya pelaksanaan Panca Yadnya dan mengatasnamakan Siva Siddhanta.
3.       Konsep kristalisasi yang dibuat oleh Mpu Kuturan.
          Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana Buddha dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Pada saat itu beliau mampu menyatukan berbagai macam aliran atau sekte yang berkembang di Bali. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud symbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu) dan Gelap (Siva), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider) (Gunawan, 2012:41). Biasanya bangunan Kahyangan Tiga yang merupakan galeng hulu sebagai utama mandala diatur sebagai berikut:
          a.  Pura Desa; dibangun dihulu atau ditengah-tengah Desa dan pada tempat yang dianggap baik.
          b.  Pura Puseh; pada umumnya dibangun dekat pantai dan pada tempat yang dianggap baik.
          c.  Pura Dalem; dibangun dihulun Setra dan tempatnya berada dipinggiran Desa.
          Dalam pembangunan Pura, Desa pakraman dan Setra yang merupakan symbol dari pada Bhuwana Agung, diatur berdasarkan Tri Angga, yaitu Utama Angga, Madya Angga, dan Nista Angga. Pada umumnya di Bali bila akan dibangun suatu perumahan keluarga terlebih dahulu diadakan pembuatan denah berdasarkan ketentuan Tri Mandala.
          a.  Utama Mandala; yang merupakan tempat untuk membangun Sanggah/ pemerajan.
          b.  Madya Mandala; sebagai tempat penghu7nian keluarga.
          c.  Nista Mandala sebagai tempat teba, kandang dan sebagainya yang terletak didaerah paling belakang.
          Mengenai tujuan dari pada pembangunan pura Kahyangan Tiga, tiada lain agar semua anggota Desa Adat dalam kehidupannya sehari-hari selalu mendekatkan diri dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa, dengan cara melakukan persembahyangan, berdoa seraya mohon ampun dan keselamatan serta berterima kasih atas segala rakhmat yang telah dilimpahkan-Nya (Soeka, 1993:8).
4.       Konsep Penyatuan Siva Siddhanta atau sekte-sekte dalam Merajan.
          a. Pengertian Merajan
              Merajan atau sanggah dalam sebuah keluarga Hindu di Bali adalah sebuah tempat suci, yang berdasarkan konsep Tri Angga, Tri Mandala, dan juga Tri Hita Karana. Merupakan sebuah tempat untuk memuja Tuhan dan juga roh leluhur. Dasar dari Tri Angga, Mrajan adalah sebuah tempat utama seperti ibaratnya kepala manusia. Genah madyanya adalah rumah itu sendiri yang ibaratkan badan manusia, nista angganya adalah perkebunan aau pekarangan itu sendiri, dan juga tempat mandi itu juga seperti badan kita sendiri. Tri Angga itulah yang tidak boleh pisah dari struktur badan manusia, seperti kepala badan dan juga kaki.
              Dasar Tri Mandala itu sendiri adalah Mrajan sebagai utamanya, sedangkan keluarga adalah Madyanya, dan nistanya adalah pekarangan itu sendiri. Jika tempat suci, mesti mengikuti sebuah aturan dimana arahnya adalah timur maupun utara. Kaja kangin, timur laut. Jika arah timur laut dianggap kurang memadai untuk sebuah bangunan suci, karena alas an seperti tempatnya agak pendek, dihujani cucuran air tetangga, dan juga terdapat sebuah empat yang kurang enak dalam segi kebersaihan, maka tempat tersebut dapat ditinggikan menjadi merajan.
              Dasar Tri Hita Karana juga berbicara dalam mrajan ini. Mrajan adalah sebuah tempat dimana Prahyangan empat untuk memjua Tuhan dan juga roh leluhur menjadi satu. Selain dari satu keselarasan antara orang yang tinggal dan lingkungannya, juga diperlukan sebuah tempat untuk melakukan sebuah sinergisme ke atas yang daalam hal ini berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi Mrajan adalah sebuah tempat suci yang berada di setiap lingkungan keluarga untuk memuja kebesaran Tuhan dan juga roh leluhur (Anom,2002:1)
          b.  Fungsi Sanggah / Merajan
              Adapun beberapa fungsi sanggah / merajan diantaranya: sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dan para leluhur/kawitan, sebagai tempat berkumpul sanak keluarga dalam upaya mempererat tali kekeluargaan, sebagai tempat kegiatan social/pendidikan yang berkaitan dengan Agama (Soeka, 1993:16).
          c.  Pelinggih Pokok Yang Terdapat Dalam Merajan
              a)  Sanggah Kemulan / Penghulun Karang
                   Sanggah kemulan terdiri dari 2 kata yaitu “sanggah” dan “kamulan”. Sanggah adalah perubahan ucapan dari kata “sanggar”. Sanggar adalah tempat pemujaan (lontar keagamaan di Bali). Kamulan berasal dari kata “mula” (samkrit) yang berarti akar, umbi, dasar, permulaan, asal (Kamus Kecil Samkrit-Indonesia, 1983.180). Jadi Sanggah Kemulan adalah tempat pemujaan asal atau sumber (Wikarman,1998:2). Bangunan ini berupa palinggih dengan atap, dengan rong yang berjumlah tiga, ada juga yang menggunakan tiang (saka) namun ada juga dengan palinggih kemulan jajar, tanpa tiang. Jika diruntun dengan konsep Tri Angga, maka atap dari rong tiga adalah utamaning angga, sedangkan tiang adalah madyanya dan bataran palinggih itu sendiri adalah nistaning angganya. Menurut kayu yang digunakan untuk membuat palinggih adalah kayu cendana, kayu patih penengen, kayu cempaka kuning, majagau, taru pala, kayu sasih, kayu sabho, kayu bhujangga, kayubuni sari, kayu jampinis, kayu bayur, kayu gentawas, kayu cemara, kayu naga sari, dan jika untuk atapnya, menggunakan ilalang dan juga duk (Anom, 2002:14). Pada sanggah kamulan ruang sebelah kanan adalah linggih Dewa Brahma, ruang sebelah kiri adalah linggih Dewa Wisnu dan ditengah adalah linggih Dewa Siva. Pada ruang tengah biasanya diisi buah kelapa yang masih bertampuk dan bertangkai serta kulitnya tiada bercacat disebut “tahulan”. Tahulan ini dianggap sebagai simbol jiwa, tampuk sebagai lambing Siwadwara dan tangkai sebagai simbol rambut. Sedangkan ruang kanan dan kiri sebagai simbol mata (Soeka, 1993:9). Dasar hokum pendirian SAnggah Kamulan terdapat dalam lontar Sivagama (Lontar Sivagama, lembar 328) merupakan pustaka suci bagian Smrti dari seke Siva yang menyatakan bahwa setiap keluarga yang menempati karang perumahan tersendiri wajib membangun sanggah kamulan. Dalam lontar Gong Wesi, Usana Dewa, Tattwa Kepatian dan Purwa Bumi Kamulan adalah Sanghyang Triatma, yaitu Paratma yang diidentikkan sebagai ayah (Purusa), Sang Sivatma yang diidentikkan dengan ibu (Pradana) dan Sang Atma yang diidentikkan sebagai diri sendiri (roh individu). Yang hakekatnya Sang Hyang Triatma itu tidak lain dari pada Brahma atau Hyang Tunggal / Hyang Tuduh sebagai Pencipta. Dalam lontar Purwa Bumi Kamulan menyatakan bahwa yang berstana di sanggah kemulan adalah Dewa Pitara. Dan dalam Tattwa Kepatian, Sang Hyang Atma (roh) seelah mengalami proses upacara akan bersthana di Sanggah Kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang belum suci, hanya baru mendapat tirta pengentas pendem/upacara sementara (ngurug) (Wikarman, 1998:6-9). Siva adalah Tuhan dalam dimensi imanen (sekala). Sadasiva adalah Tuhan dalam dimensi sekala-niskala (Ardanareswara) sedangkan Paramasiva adalah Tuhan dalam dimensi niskala (transcendental). Siva dalam wujud 3 tersebut dalam Sivagama digelari sebagai Bhatara Guru, karena beliau (Siva) menjadi “Dang Guru ing Iswara”. Konon gelar bhatara Guru dihaturkan oleh murid beliau terpandai yakni Dewa Surya. Setelah Dewa Surya dianugrahi gelar Siva Raditya oelh Siva sendiri sebagai Dang Guru (Wiana, 1997:81). Oleh karena Siva beraspek tiga, sebagai Tri Purusa, maka guru pun ada 3 aspek yaitu Guru Purwam, Guru Madyam dan Guru Rupam. Guru Purwam (dimensi niskala), Guru Madyam (sekala-niskala) dan Guru Rupam (dimensi sekala/imanen). Yang dipuja/yang bersthana pada sanggah kamulan pada hakekatnya adalah Tuhan/Hyang Widhi baik sebagai Hyang Tri Atma, yang sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) yang Dewanya adalah Brahma, Wisnu dan Iswara yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal adalah Siva, Sadasiva, Parama Siva, aspek Tuhan dalam bentuk vertical (Tri Purusa /Guru Tiga/Bhatara Guru) (Wikarman, 1998:12). Berdasarkan aspek Jnana Kanda ngunggahan Dewa Pitara pada sanggah kamulan adalah mengandung maksud mempersatukan dewa pitara (roh leluhur yang sudah mati) kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Sivatma dan Paratma. Hal ini merupakan realisasi dari tujuan akhir Agama Hindu yakni mencapai moksa.
              b)  Palinggih Taksu
                   Palinggih ini dibangun dengan atap dan rong satu. Dengan empat tiang disetiap sudutnya. Kayu yang digunakan juga sama seperti diatas, dan posisinya berada di sebelah kanan kemulan. Menghadap kearah selatan, dan disanalah tempat stana Sang kala Raja yang memberikan sebuah kewibawaan. Taksu berarti daya magic/sakti. Sakti/wisesa/energi adalah simbil dari “bala” atau kekuatan (ajaran Tantrayana). Palinggih taksu berfungsi untuk memohon “kesidhian”/keberhasilan untuk semua jenis profesi seperti seniman, pedagang, petani, pemimpin masyarakat, dsb (Wikarman,1998:2)
              c)  Palinggih Ratu Ngurah
                   berupa bangunan seperti tugu dengan batu paras, atau batu bata, dengan rong satu. Tempatnya dikiri dari sanggah kemulan. Palinggih itu tiada lain adalah tempat stana dari Sang Hyang Catur Sanak. Dengan posisinya sebagai keamanan secara niskala (Anom, 2002:14).
                   Selain palinggih pokok tersebut, apabila di merajan dadia biasanya dibangun juga pelinggih-pelinggih yang lain yaitu: Sanggah Surya; yang merupakan tempat pemujaan terhadap Dewa Surya. Palinggih ini merupakan perwujudan dari sekta Sora. Kalau di merajan Pasek Gaduh terdapat pelinggih yang bernama gedong, pejenengan, pesaren dan menjangan seluang. Namun fungsi dari masing-masing pelinggih tersebut belum ditemukan sumbernya. Kemudian dalam merajan juga dibangun Bale Piasan yang digunakan sebagai linggih pemangku pada saat muput upacara. Kemudian Bale banten/bale peyadnyan digunakan sebagai tempat banten atau upakara. Dibangun juga gedong penyimpanan yang berfungsi untuk menyimpan perabotan-perabotan merajan, pratima, umbul-umbul dsb. Selain dibangunnya pelinggih-pelinggih tersebut, dibangun juga linggih pamedalan merajan yang merupakan pintu masuk merajan tersebut dan Penunggun Karang yang merupakan perwujudan dari sekta Ganapatya sebagai penjaga.
                   Dengan dibangunnya pelinggih-pelinggih tersebut dalam satu merajan, sudah menandakan atau mencirikan penyatuan atau kristalisasi semua sekte-sekte yang ada di Bali. Sesuai dengan adat tradisi di Bali selalu ada upacara yadnya (Panca Yadnya) dan semua sekte sudah menyatu didalamnya yang ditandai dengan dibuatnya banten. Terlebih lagi sesuai dengan kepercayaan adat dan tradisi di Bali proses pembangunan suatu merajan tidak terlepas dari suatu upacara yang bertujuan untuk menyucikan prahyangan semoga Ida Bhatara berkenan untuk berstana di pelinggih-pelinggih tersebut. Demikianlah penyatuan/kristalisasi sekte-sekte yang ada di dalam suatu merajan.
5.       Menyikapi fenomena menyontek dalam ujian, korupsi dan teroris dalam Siva Siddhanta.
                    Siva Siddhanta adalah suatu ajaran yang paling dominan di Bali yang berarti akhir dari kebenaran tertinggi untuk mencapai Siva. Ajarannya bersifat sanatana (kebenaran yang kekal) namun cara untuk mencapainya bersifat nutana sesuai dengan kondisi zaman.
                   Di zaman kaliyuga ini banyak sekali terjadi fenomena-fenomena yang mulai tidak mengindahkan ajaran-ajaran agama. Diantaranya adalah fenomena menyontek dalam ujian, korupsi dan teroris. Ketiga fenomena tersebut sudah tidak menerapkan ajaran Panca Sradha dan juga swadharma (kewajiban) masing-masing. Seperti kita ketahui bahwa salah satu ajaran dari Panca Sradha adalah meyakini adanya hokum karma phala. Orang-orang yang menyontek dalam ujian, melakukan korupsi dan teroris ini sudah tidak mempedulikan hokum karma phala. Sifat egoism atau mementingkan diri sendiri disini lebih dominan. Fenomena menyontek dalam ujian biasanya dilakukan oleh siswa atau pelajar. Fenomena ini terjadi karena adanya beberapa factor diantaranya yaitu siswa tidak melaksanakan swadharmanya yaitu belajar sebelum ujian dimulai, kurangnnya pemahaman pada saat proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah, dan juga tenaga pengajar yang kurang professional. Factor-faktor itulah yang kerapkali menyebabkan siswa menyontek dalam ujian. Fenomena ini juga termasuk kiamat dalam diri sendiri yaitu pada diri siswa tersebut dan juga kiamat dalam kelompok belajar di sekol;ah. Sehingga nantinya sulit untuk mencetak generasi yang berkualitas.
                   Kemudian fenomena korupsi juga seperti itu. Orang-orang yang melakukan korupsi sebagaian besar adalah para pejabat-pejabat tinggi negara. Dia tidak melaksanakan swadharmaning agama dan swadharmaning negara. Tidak hanya pejabat tinggi negara, sebagai pelajar pun kita sering korupsi waktu, sulit sekali menerapkan disiplin waktu sehingga kita sering korupsi waktu (terlambat). Apabila sebagai insan manusia yang tergabung dalam masyarakat selalu melakukan korupsi, kehidupan manusia tidak akan tentram. Terjadilah kiamat dalam masyarakat. Begitu juga halnya dengan orang-orang yang menjadi teroris. Dia sudah berani menentang hokum karma, berbuat dosa kepada umat manusia, tidak menjalankan swadharmaning agama lan swadharmaning negara.
                   Apabila semua orang menjadi teroris, kiamatlah dunia ini. Kalau kita kaitkan dengan konsep Tri Murti, dimana Siva sebagai pelebur, apabila fenomena-fenomena tersebut terjadi pada seluruh lapisan umat manusia, maka dunia akan mengalami pralaya yang akan dilebur oleh Siva.


DAFTAR PUSTAKA


Anom, IB. 2002. Tentang Membangun Merajan. Denpasar: CV. Kayumas Agung.

Gunawan, Pasek I Ketut. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta I. Denpasar: IHDN.

Soeka, Gde. 1993. Tri Murti Tattwa. Denpasar: CV Kayumas.

Wikarman, Singgin I Nyoman. 1998. Sanggah Kamulan, Fungsi dan Pengertiannya. Surabaya: Paramita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...