Minggu, 15 Desember 2013

Kristalisasi Sekte Siva di Bali


KRISTALISASI SEKTE-SEKTE YANG ADA DI BALI MENJADI
SIVA SIDHANTHA DALAM BENTUK PANCA YADNYA

          Kristalisasi merupakan pembekuan atau penyatuan semua sekte-sekte yang ada di Bali menjadi Siva Siddhanta. Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX meliputi sekte Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha (Goris, 1974: 10-12). Dan diantara sekte-sekte tersebut yang paling besar pengaruhnya di Bali adalah sekte Siwa Sidhanta. Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuanakosa.

A.      Sekte Siwa Sidhanta
          Sekte ini memiliki banyak cabang antara lain sekte Pasupata, Kalamukha, Bhairawa Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini mengutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Paramasiwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda-beda. Siwa Sidhanta mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh), yang kemudian disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh Maharsi Agastya (Gunawan, 2012: 48).
          Di dalam buku-buku yang menjelaskan tentang Saiwisme, ada referensi tentang empat aliran filsafat yaitu Lakulisapasupata, Saiwa, Pratyabhijna dan Raseswara. Siwa Sidhanta adalah filsafat dari Saiwisme bagian Selatan. Ajaran pokok dari filsafat Siwa Sidhanta adalah bahwa Siwa merupakan realitas tertinggi, dan jiwa atau roh pribadi adalah dari intisari yang sama dengan Siwa, tetapi tidak identik. Pati (Tuhan), Pasu (roh) dan Pasa (pengikat) dan 36 Tattwa atau prinsip yang menyusun alam semesta nyata. System filsafat Siwa Siddhanta merupakan intisari saringan dari Wedanta. Sekte Siwa Sidhanta ini merupakan saingan dari aliran filsafat Waisnawisme (Sivananda, 2003:261).

B.      Sekte Pasupata
          Sekte ini merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai symbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibuat sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu (Gunawan, 2012:48).

C.      Sekte Waisnawa
          Sekte Waisnawa (Sri Sampradaya) yang diperkenalkan oleh Ramanuja Acarya, kira-kira pertengahan abad ke-12. Para pengikut Ramanuja memuliakan Wisnu dan Laksmi beserta inkarnasinya, mereka disebut pengikut Ramanuja atau Sri Sampradayin atau Sri Waisnawa. Para Guru mereka adalah kaum Brahmana dan siswa-siswanya boleh dari golongan manapun. Mereka semua mengulang-ulang Astaksara mantra “Om Namo Narayana”. Mereka menempatkan 2 garis putih dan satu garis merah di tengah pada dahinya.
          Wedanta Desika, seorang pengikut Ramanuja, membuat beberapa perubahan pada kepercayaan Waisnawa. Hal ini menimbulkan formasi dari 2 kelompok ramanuja yang saling bertentangan, yang satu disebut Kelompok Utara (Wedagalai) dan yang lainnya Kelompok Selatan (Tengalai). Para pengikut kelompok Tengalai menganggap Prapatti atau penyerahan diri sebagai satu-satunya cara pembebasan diri. Para pengikut Wedagalai berpendapat bahwa ada satu jalan pembebasan. Menurut mereka, para Bhakti atau pemuja seperti anak kera yang harus mengusahakannya sendiri dan bergantung pada induknya (Markata-Nyaya atau teori kera); sedangkan menurut kelompok Selatan Bhakta atau pemuja adalah seperti anak kucing yang dibawa induknya tanpa suatu usaha bagi dirinya sendiri (Marjara-Nyaya atau teori cengkeraman kucing). Kelompok Utara menerima naskah-naskah Sansekerta yaitu Weda, sedangkan kelompok Selatan sedang menyusun Weda bagi kelompok mereka yang disebut “Nalayira Prabandha” atau Empat Ribu Sloka dalam bahasa Tamil dan menganggap lebih tua dari pada Weda sanskreta. Sesungguhnya ke-4000 sloka mereka didasarkan pada Upanisad, bagian dari Weda.dalam semua pemujaannya mereka mengulang-ulang bagian dari sloka-sloka Tamil mereka.
          Para pengikut Wedanggalai menganggap Laksmi sebagai sakti dari Wisnu dan Laksmi sendiri tak terbatas, tak diciptakan dan layak dipuja sebagai satu cara (upaya) untuk pembebasan. Para pengikut Tengalai menganggap Laksmi sebagai seorang makhluk wanita yang diciptakan, walaupun bersifat Tuhan. Menurut mereka, beliau bertindak sebagai perantara atau menteri (Purusakara) dan bukan sebagai suatu saluran yang layak untuk pembebasan. Kedua sekte ini memiliki tanda-tanda wajah yang berbeda. Para Wadagalai membuat sebuah garis lengkung putih seperti huruf U untuk menyatakan satu-satunya kaki padma Wisnu yang kanan, sebagai sumber dari sugai Gangga. Mereka menambahkan tanda garis merah di tengah sebagai symbol Laksmi. Para Tengalai membuat tanda garis putih seperti huruf Y yang menyatakan kedua kaki padma Wisnu. Mereka menggambar sebuah garis putih separuh, menurun ke hidung.
          Kedua sekte tersebut bercirikan lambang Wisnu, yaitu cakra dan kerang, pada dada, bahu dan lengan mereka. Para pengikut Tengalai melarang para janda diantara mereka dari pencukuran rambut. Nama keluarga dari para Brahmana Ramanuja iasanya adalah Aiyangar, Acarya, Carlu dan acarlu (Sivananda, 2003:145-46).
          Wisnu adalah anggota kedua dari Trimurti yang termasuk di dalamnya adalah Brahma dan Siva. Wisnu juga dikenal dengan nama lain seperti Vasudewa dan Narayana. Sepuluh inkarnasi atau awatara dari Wisnu digambarkan dalam mitologi Hindu kemunculannya memberikan bantuan Tuhan pada berbagai tahap evolusi manusia. Adapun kesepuluh inkarnasi atau awatara dari Wisnu yaitu :
1)      Matsya (ikan); menyelamatkan Rsi Manu dari banjir dan mengembalikan Veda dari raksasa.
2)      Kurma (kura-kura); menjaga bumi di punggungnya.
3)      Varaha (babi hutan); yang membawa bumi kembali dari dasar lautan dimana ia telah diseret oleh raksasa, yang dikenal dengan nama Hiranyaksa; Varaha yang membunuh raksasa itu.
4)      Narasimha (manusia singa); yang membunuh raja Hiranyakasipu, yang berencana untuk membunuh anaknya sendir, seorang pemuja Wisnu.
5)      Vamana (orang cebol) membunuh raksasa Raja Mahabali, yang mengusir dewa dari tempat daerah kekuasaanya.
6)      Parasurama (prajurit dengan kapak); yang menyelamatkan Brahma dari tirani ksatria yang arogan.
7)      Rama; membunuh Ravana, Raja raksasa dari Lanka.
8)      Sri Krsna;inkarnasi yang paling terkenal; Krsna memberikan kontribusi selama hidupnya termasuk ajaran bhagavad Gita pada Arjuna.
9)      Buddha: Hindu menganggap bahwa Buddha adalah inkarnasi dari dewa Wisnu dan menerima ajarannya, tetapi tidak secara langsung memujanya.
10)    Kalkin (manusia yang mengendarai kuda putih); inkarnasi ini belum datag dan akan menandai akhir dari kejahaan di dunia (Pandit, 2006:206).
          Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti perkembangan sekte Waisnawa di Bali yakni dengan berkembanngnya warga Rsi Bujangga (Gunawan, 2012:49).

D.      Sekte Boddha dan Sogatha
          Adanya sekte ini di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mantra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti ini banyak diketahui di daerah Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr.W.F. Stutterheim mantra Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke-8 Masehi. Terbukti dengan adanya arca Buddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah dan di tempat lain (Gunawan, 202:49).

E.      Sekte Brahmana
          Menurut Dr.R. Goris sekte ini seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmaa. Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari wangsa (golongan) Brahmana. Istilah Dewarsi atau Rajarsi pada orang Hindu merupakan orang suci diantara raja-raja dari Wangsa Ksatria (Gunawan, 2012:49).

F.      Sekte Sora
          Sekte ini merupakan sekte yang pemujaannya dihadapkan kepada Dewa Surya sebagai Dewa Utama. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya.

G.     Sekte Ganapatya
          Sekte ini adalah kelompok pemuja Dewa Ganesha. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesha baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada berbahan batu padas atau darilogam yang biasanya tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung Ganesa dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lainnya. Namun dalam pemikiran Hindu dinyatakan bahwa dengan memuja Ganesa untuk dapat mencapai keberhasilan yang diinginkan dalam dunia fisik dan juga untuk selanjutnya mencapai kesempurnaan. Karena keberhasilan sempurna dalam semua tindakan yang religius sama haknya dengan hubungan di dunia yang merupakan tujuan dari semua manusia. Hindu memuja Ganesa untuk mencari berkah Tuhan sebelum memulai sebuah kegiatan. Untuk alasan inilah, Ganesa dipuja terlebih dahulu sebelum melakukan perayaan atau fungsi keagamaan lainnya. Dalam mitologi Hindu, dewa Ganesa adalah putra dari Dewa Siva dan Dewi Parvati (Pandit, 2006:198).

H.      Sekte Bhairawa
          Sekte ini adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaannya terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di setiap desa pakraman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu juga pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang beranfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini. (Gunawan, 2012:50)
          Sumber lain menyatakan Bhairawi yaitu dewi sebagai fenomena spiritual selalu melibatkan 2 kategori eksklusif; keindahan/kecantikan (beaut) disatu sisi dan kemurkaan/ketakutan (dangerous) pada sisi lainnya. Kecantikan/keindahan spiritual adalah pesona yang menarik kita untuk mendekatinya. Kemurkaan/ketakutan adalah bahaya yang membuat kita cepat-cepat menyingkir dan menjauh. Bhairawi adalah penampilan murka ilahi yang powerful dan energetic. Ia mewakil unsur tejas/agni (api, panas/cahaya) sebuah energi pembakar yang apabila murka akan mengancam segala sesuatu. Api yang berkobar dalam spirit Bhairawi akan membakar dan menghanguskan rasa kakuan kita. Karena itu Bhairawi digambarkan sebagai Dewi yang berwajah seram dan menakutkan. Ia sangat mengerikan bagi orang yang mencintai kesenangan material dan mereka yang terikat kecenderungan egoistiknya (egsentric existence). Pengaruh ego didalam diri kita identik dengan kekaburan batin/kekotoran (mala) seperti “gumpalan sampah” dari negative force pikiran kita. Bhairawi dengan api spiritualnya yang dahsyat menolong para aspiran spiritual mengobarkan api kesucian hati untuk menyingkikan energi negative. Inilah pesona beauty tersembunyi yang ditampilkan Sang Ibu yang penampilannya menyeramkan (Yudhiantara, 2003:55-56).
          Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai. Lama-lama justru sering terjadi persaingan. Bahkan takjarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat mengganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga). Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga. Sekte Siwa Siddhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India Tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyaradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, hari Candana, Kalasaja dan Trinawindu. Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama. Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali antara lain: Wrhaspati Tattwa. Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.
          Masing-masing sekte memuja Dewa-dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertntu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya diangga lebih rendah. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga. Oleh karena hal ini Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersepakatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
1)      Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari Jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan engan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (1999M) lalu berparhyangan di Besakih
2)      Mpu Ghana, penganut aliran Ganapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel.
3)      Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padangbai)
4)      Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala muka dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang).
          Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yang terdri dari berbagai aliran. Kemudian disepakati untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma, Wisnu, Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari sang Hyang Widhi Wasa. Konsensus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang dsebut CIWA BUDHA sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang widhi Wasa dala perwujudannya yang masing-masing bernama:
1)      Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan).
2)      Pura Puseh untuk memuja kemuliaan Wisnu sebagai perwujudan dar Sang Hyang Widhi Wasa.
3)      Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu saktinya Dewa Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa.
          Dalam Trimurti Tattwa dinyatakan bahwa biasanya bangunan Kahyangan Tiga yang merupakan galeng hulu dan sebagai utama mandala diatur sebagai berikut:
1)      Pura Desa dibangun dihulu atau ditengan-tengah Desa dan pada tempat yang dianggap baik.
2)      Pura Puseh pada umumnya dibangun dkat pantai dan pada tempat yang dianggap baik.
3)      Pura Dalem dibangun dihulun setra dan tempatnya berada dipinggiran Desa.
(Soeka, 1993:8)
          Ketiga pura tersebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal sbagai “Desa Adat”. Mpu Kuturan memiliki pemikiran-pemikiran untuk mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Tri Murti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan. Sanggah Kemulan ini berbentuk segi empat panjang bertiang empat dengan 3 buah ruangan (rongan). Ruag sebelah kanan adalah linggih Dewa Brahma, ruang sebelah kiri adalah Linggih dewa Wisnu dan ruang sebelah tengah adalah linggih Dewa Ciwa. Pada ruang tengah biasanya diisi buah kelapa yang masih bertampuk dan betangkai serta kulitnya tada bercacat disebut “Tahulan”. Tahulan merupakan simbol jiwa, tampuk sebagai lambang Ciwadwara dan tangkai sebagai simbol rambut. Sedangkan ruang kiri dan kanan sebagai simbol mata (Soeka, 1993:9). Kemudian mendirikan Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-Pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu) dan Gelap (Siwa) serta Padma Tiga di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangier-ider). Di bidang ritual ciri khas Hindu-Bali yang terpenting adalah adanya bebali atau banten yang dikembangkan oleh Danghyang Markandeya dan Mpu Sangkulputih (Gunawan, 2012:50-54).
          Hubungan/kaitan sekte-sekte yang ada di Bali dengan Panca Yadnya dimana pada pembahasan diatas sudah dijelaskan sekte-sekte yang pernah ada di Bali dan penyatuannya yaitu menjadi Ciwa Budha. Apabila dikaitkan dengan pelaksanaan Panca Yadnya di Bali, simbolisasi dari sekte-sekte tersebut masih memiliki pengaruh. Pelaksanaan Panca Yadnya atas dasar catur marga dalam bentuk sesajen atau banten yang mana bentuk dan caranya disesuaikan dengan Drsta dan Sadacara. Dalam realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan perpaduan dari unsur-unsur kepercayaan nenk moyang, Wariga, Rerahinan (hari raya) da upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan sebuah satu kesatuan yang bulat dan utuh. Maka agama Hindu di Bali memiliki sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani orang Bali dari jaman dahulu hingga sekarang. Warisan tersebut perlu kita jaga, rawat dan menyempurnakan pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umat (Gunawan, 2012:38).
          Panca Yadnya adalah lima macam korban suci yang patut dipersembahkan oleh umat Hindu ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasinya. Tujuannya adalah untuk mewujudkan sradha atau keyakinan, menyampaikan rasa hormat, memohon kesucian, perlindungan dan menyampaikan rasa syukur atas rahmat, memohon kesucian, perlindungan dan menyampaikan rasa syukur atas rahmat yang dianugrahkan-Nya. Pelaksanaan Panca Yadnya merupakan realisasi dari ajaran Tri Rna yaitu tiga macam hutang yang kita miliki dalam hidup dan kehidupan ini. Umat manusia akan merasa berdosa dalam hidup ini wajib kita bayar. Cara atau upaya untuk membayar Rna (hutang-hutang) tersebut dirumuskan dalam Panca Yadnya (Sudirga,2004:97). Dewa Yadnya adalah yadnya yang ditujukan kepada Tuhan dan manifestasi-Nya. Pitra Yadnya adalah yadnya yang ditujukan kepada orang tua atau leluhur secara sekala dan niskala. Rsi Yadnya adalah yadnya yang ditujukan kepada orang suci atau mahaguru. Bhuta Yadnya adalah yadnya yang ditujukan kepada semua makhluk ciptaan Tuhan. Manusia Yadnya yaitu yadnya kepada sesama manusia (Surayin, 1993:3).
          Sesuai dengan kepercayaan umat Hindu di Bali, yang merayakan hari raya Sivalatri, Saraswati, Purnama, Tilem dan Manggala Wara yang merupakan hari suci untuk menasehati diri dimana diyakini sebagai perayaan hari Siva (Gunawan, 2012:36). Dalam hal ini sekte Siwa masih memiliki pengaruh.
          Kristalisasi sekte Brahmana di Bali  adalah seperti yanng sudah disebutkan diatas bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang berasal dari golongan brahmana. Setiap pelaksanaan upacara Panca Yadnya di Bali memerlukan seorang Brahmana yang sering disebut dengan pemangku, pandita, pinandita, sri mpu, sulinggih. Dimana kewajiban seorang sulinggih terhadap masyarakat yaitu memimpin dan memuput upacara yadnya atau upacara keagamaan, memberikan dewasa (menunjukkan hari-hari baik) untuk melaksanakan upacara yadnya (Sukartha, 202:24).
          Kemudian pada sekte Sora dimana pemujaannya terhadap Dewa Surya yag disimbolisasikan sebagai penguasa Matahari. Dimana matahari menyinari dunia beserta isinya, merupakan sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup di dunia. Karena hal inilah di Bali di setiap rumah kepala keluarga dibuatkan Sanggah Surya sebagai saksi bahwa seseorang sudah melakukan upacara yadnya. Pada saat persembahyangan dewa yang pertama dipuja adalah Dewa Surya.
          Pada Sekte Waisnawa, karena pemujaannya terhadap Dewa Wisnu dan Dewi Laksmi dimana disimbolisasikan bahwa Dewa Wisnu itu sebagai penguasa air dan Dewi Laksmi sebagai penguasa padi/beras. Apabila dikaitkan dengan setiap pelaksanaan Panca Yadnya selalu menggunakan air dan beras yang kemudian dijadikan tirtha dan bija. Tirtha atau air suci dibedakan menjadi 2 jenis. Yaitu tirtha yang didapat dengan cara memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasinya, dan tirtha yang dibuat oleh para sulinggih melalui pujanya.
          Menurut ajaran agama Hindu tirtha memiliki fungsi sebagai sarana untuk membersihkan menyucikan lahir dan bathin umat manusia dari kotoran maupun kecemaran atau leteh. Adapun cara penggunaannya adalah dipercikkan di kepala diminum dan diraupkan pada muka, masing-masing tiga kali. Hal ini merupakan simbolis pembersihan dan peyucian dari sabda, bayu, dan idep yang ada pada diri umat manusia. Selain menggunakan tirtha sebagai sarana peyucian dalam persembahyangan juga digunakan wija atau bija dan bhasma yang juga disebut gandhaksta. Bija adalah biji beras yang direndam dengan air cendana. Cara penggunaannya adalah ditempelkan diantara kedua kening (tengahing lelata) dan pada tempat lainnya. Bija adalah simbol atau lambang kehidupan sebagai benih dari Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan bhasma adalah lambang peleburan dosa atau kekotoran yang terdapat pada tubuh manusia.
          Adapun jenis-jenis tirtha berdasarkan fungsinya dalam pelaksanaan upacara Panca Yadnya secara umum dapat dibedakan sebagai berikut:
a)       Tirtha Pembersihan
          Merupakan tirtha yang difungsikan untuk membersihkan dan menyucikan para umat yang akan melaksanakan persembahyangan dan juga membersihkan serta menyucikan berbagai macam upakara persembahan.
b)      Tirtha Pengelukatan
          Merupakan tirtha yang difungsikan untuk membersihkan dan menyucikan para umat yang akan sembahyang dan upakara yang akan dipersembahkan, agar segala kotoran dan letehnya menjadi suci.
c)       Tirtha Wangsuhpada
          Merupakan tirtha sebagai lambang amartha yang merupakan anugerah dari Tuhan dan Para Dewata, yang dapat dimohon oleh umat. Pada saat menerima tirtha wangsuhpada sikap tangan tengadah dengan telapak tangan kanan diatas telapak tangan kiri, siap untuk menerima tirtha yang dipercikkan tiga kali di ubun-ubun, diminum tiga kali dan diraupkan tiga kali. Dengan tujuan untuk menyucikan pikiran, perkataan dan perbuatan yang disebabkan oleh sthula, suksma dan antahkarana sarira.
d)      Tirtha Pemanah
          Merupakan tirtha yang dimohon oleh umat pada sumber mata air, seperti campuhan, yang biasanya dipergunakan dalam rangka upacara Pitra Yadnya.
e)       Tirtha Penembak
          Merupakan tirtha yang dibuat oleh Sang Sulinggih, Pendeta atau Sang Dwijati yang difungsikan dalam rangka upacara Pitra Yadnya.
f)       Tirtha Pengentas
          Merupakan tirtha yang dibuat oleh para Sulinggih yang difungsikan dalam rangka upacara kematian, Pitra Yadnya.

          Jenis-jenis tirtha sebagai lambang atau simbol upacara agama dapat dibedakan, sebagai berikut:
a)      Tirtha berfungsi sebagai lambang penyucian dan pembersihan
          Upacara atau banten yang akan dipersembahkan dalam rangka upacara agama, seperti panca yadnya sebelum dipersembahkan hendaknya dibershkan dan disucikan dengan memergunakan tirtha pembersihan dan penyucian ebagai lambang atau simbol yang dibuat oleh pendeta atau sulinggih. Kewajiban untuk menyucikan upakara atau banten yang akan dipersembahkan kehadpan Tuhan beserta manifestasinya. Disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa Gong Wesi,
          “Salwir bebanten yajna matirtha karyan
          Pedanda Putus tan katampi aturannya”.

Artinya :
          Segala sajian atau bebanten bila tidak disuckan dengan tirtha yang dibuat oleh Pendeta utama, tidak akan diterima persembahannya.
b)      Tirtha yang berfungsi sebagai Pengurip atau Pencipta
          Tirtha yang dipergunakan untuk membersihkan dan menyucikan upakara atau bebanten juga berfungsi sebagai sarana untuk menjiwai upakara yang akan dipersembahkan oleh umat ke hadapan Tuhan beserta manifestasinya. Dengan demikian banten yang dibuat dari kumpulan rangkaian bunga, buah, daun dan jajan setelah diperciki tirtha pengurip secara resmi menjadi sarana agama yang bernilai sakral dan memiliki jiwa secara spiritual. Tirtha penguripbiasanya juga dipergunakan oleh para undagi atau tukang bangunan untuk melaspas atau menghidupkan bangunan yang sudah selesai dibangun. Tirtha pengurip ini adalah permohonan ke hadapan sang Hyang Paramasiwa agar sudi menjiwai secara spiritual banten atau bangunan yang baru selesai dibuat.
c)       Tirtha yang berfungsi sebagai Pemelihara
          Tirtha juga befungsi sebagai pemelhara. Dalam pelaksanaan Yadnya tirtha berfungsi sebagai lambang berkah uci atau anugrah dari Ia Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya kepada umatNya. Pada saat dilaksanakannya upacara Puja Wali atau Patithan di suatu tempat suci setelah dilangsungkannya persembahyangan dilanjutkan engan pemercikan tirtha, untuk diminum an diraupkan pada wajah masing-masing umat. Tirtha dam hal ini dijiwai oleh Dewa Wisnu sebagai lambang sthiti atau kehidupan (Sudirga, 2004:73-77). Jadi sudah jelas, bahwa penyatuan dari sekte Waisnawa dalam pelaksanaan Panca Yadnya di Bali ditandai dengan ada tirtha dan bija di setiap pelaksanaannya.
          Kemudian Sekte Bhairawa seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa sekte ini memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaannya terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di setiap desa pakraman di Bali. Kalau di dalam Panca Yadnya pengaruh dari sekte bhairawa ini adalah dilaksanakannya Bhuta Yadnya. Oleh masyarakat Hindu butha kala sering dibayangkan sebagai makhluk halus dengan rupa yang menakutkan dan sering menimbulkan gangguan serta bencana, tetapi bila dierhatikan (diberi korban) mereka akan membantu serta melindungi.
          Di dalam kitab Purwaka bumi Kemulan djelaskan bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa telah menciptakan:
a)       Sang Kursika berwarna putih, kemudian menjadi Bhuta Dengen berwujud Yaksa bertempat di Timur.
b)      Sang Garga berwarna merah kmudian menjadi Bhuta Abang berwujud Mong bertempat di Selatan.
c)       Sang Metri berwarna kuning, menjadi Bhuta Kuning berwujud ular bertempat di Barat.
d)      Sang Kurusya berwarna hitam, menjadi Bhuta Hireng, erwujud buaya bertempat di Utara.
e)       Sang Pretanjala berwarna brumbun (wiswa warna) bertempat di arah tengah bersama dengan Bhatari Uma dan berwujud bhuta disebut Durga Dewi.
Setelah mendapat penyucan Beliau berubah menjadi Dewa seperti:
a)       Sang Kursika menjadi Dewa Iswara
b)      Sang Garga menjadi Dewa Brahma
c)       Sang Metri menjad Dewa Maha Dewa
d)      Sang Kurusya menjadi Dewa Wisnu
e)       Sang Uma retanjala menjadi Dewa Siwa

Sarana yang biasa digunakan dalam upacara Bhuta Yadnya yaitu banten caru dan juga api. Api ini memiliki banyak fungsi. Tidak hanya digunakan dalam upacara bhuta yadnya tetapi digunakan dalam semua jenis yadnya. Adapun jenis-jenis upacara Bhuta Yadnya diantaranya:
a.       Segehan serta banten yang setingkat
1)      Segehan kepelan dan segehan cacahan
          Kedua jenis segehan ini dapat digunakan untuk menyertai upacara Panca Yadnya seperti Kliwon, Saraswati, Galungan, Kuningan, Otonan memujung ke setra dan upacara-upacara bhuta yadnya.
2)      Segehan Agung
          Segehan ini digunakan agak khusus misalnya memendak membuka tanah baru baik untuk perumahan maupun untuk pura dan  digunakan pula dalam upacara-upacara besar seperti caru dan tawur.
3)      Gelar Sanga
          Banten ini selalu ditaruh dibawah sanggar pesaksi dalam upacara caru atau tawur, misalnya untuk memendak, ngelebar dan lainnya.
4)      Banten Prayascita
          Banten ini berfungsi sebagai pembersihan terhadap tempat atau bangunan terutama yang baru diperbaiki, pada diri seorang yang sehabis kecuntakaan, dan lainnya.
b.      Caru
          Adapun beberapa jenis caru yang biasa digunakan oleh umat Hindu dalam pelaksanaan yadnya, diantaranya:
1)      Caru Ayam Brumbun
          Caru ini disebut pula caru pengruak dan caru ini dipergunakan ada waktu piodalan di pura serta merajan baik sebagai pendahuluan, sebelum mulai bekerja maupun menyertai piodalan tersebut. Adapun tujuan dari caru ayam brumbun ini adalah untuk menyucikan tempat-tempat dalam arti membebaskan dari pengaruh buruk yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan para Bhuta Kala sehingga keharmonisan dapat diwujudkan.
2)      Caru Panca Sata
          Caru ini adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam yang disesuaikan dengan arah pengider-ider (arah mata angin). Penggunaan caru Panca Sata ini adalah untuk upacara melaspas di pura atau di sanggar perumahan serta sebagai dasar dalam penggunaan biatang-binatang lainnya seperti penggunaan itik, asu bang bungkem, kerbau, kambing dan lainnya sehingga cara Panca Sata ini dianggap sebagai dasar caru berikutnya.
3)      Caru Panca Kelud
          Caru ini mempergunakan lima ekor ayam ditambah dengan seekor itik belang kalung dan seekor asu bang bungkem. Caru ini dipergunakan sebagai dasar dalam upacara-upacara Mapedanan, ngenteg linggih, odalan, baik disanggar perumahan, di kahyangan bila terjadi hal-hal yang dianggap kurang baik ada tempat-tempat tersebut.
4)      Caru Rsi Gana
          Caru ini tidak digunakan secara umum melainkan pada tempat-tempat dan bila ada kejadian-kejadian tertentu misalnya, tempat dianggap angker, sering menimbulkan bencana, penyakit, dan lainnya.

c.       Tawur / Caru Kesanga (untuk Menyambut Tahun Baru Caka)
          salah satu contoh Tawur adalah Tawur ke Sanga. Tawur ke Sanga adalah upacara Bhuta Yadnya yang bertujuan untuk menyucikan buana agung (alam semesta) dengan sarana utama api (ngerupuk) dan tirtha. Sedangkan hari Nyepi adalah penyucian buana alit (diri manusia) dengan pengendalian diri dan pemusatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Widhi (Supartha, 1994:66-69).

          Dalam persembahyangan api itu diwujudkan dengan dhupa (dupa) dan dipa. Dupa adalah sejenis ramuan yang dibakar sehingga berbau wangi. Dupa dengan nyala apinya lambang Dewa Agni yang berfungsi sebagai pendeta pemimpin upacara, sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dan yang dipuja, sebagai pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jaha dan sebagai saksi upacara yadnya. Penggunaan api dalam kehidupan beragama Hindu memiliki dasar yang bersumber dari kitab-kitab suci Wedangga yang terdiri dari kitab Siksa, Wyakarana, Chandra, Nirukta, Jyotisa dan Kalpa. Api dalam istilah agama Hindu disebut Apuy, Agni, Wahn. Api sebagai sumber kehidupan dewanya Brahma. Sifat api adalah menerangi atau menyinari dan “dharmanya” membakar. Adapun fungsi api di dalam pelaksanaan upacara yadnya di Bali:
a)      Api sebagai pendeta pemimpin upacara
          Dhupa dan dipa adalah sarana pendeta dalam memimpin upacara. Dhupa adalah wangi-wangian yang dipakai dalam upacara. Sarana ini disamping dpakai oleh pendeta, umat yang akan mengikuti persembahyangan pun harus menyiapkan dhupa. Sedangkan dipa adalah lampu yang memakai minyak kelapa dengan bentuk tertentu, di masyarakat oleh umat sering disebut Pedamaran Ida Pendanda. Sarana ini hanya boleh dipakai oleh Pendeta dalam memimpin upacara. Dhupa adalah lambang akasa tattwa dan dipa merupakan lambang sakti tattwa.
b)      Api sebagai perantara pemuja dan yang dipuja
          Fungsi api sebagai perantara yang meghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja yang dipentingkan adalah asap yang berbau harum itu berhembus ke atas, terus luluh beersatu dengan angkasa.
c)       Api sebagai pembasmi kotoran dan pengusir roh jahat
          Karena sifat api yang sarwa bhaksa yaitu memakan segala macam benda, dalam upacara-upacara agama Hindu di Bali digunakan sebagai lambag pengusir atau pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat. Dalam hal ini api diwujudkan dalam beberapa upacara agama dengan berbagai bentuk diantaranya:
(a)     Api Takep
          Dibuat dari dua belahan serabut kelapa bagian luar dari kulit kelapa, dibentuk bertumpuk menyilang seperti bentuk tamda tambah atau bentuk dasar dari swastika, di dalamnya diisi api. Api ini digunakan untuk menghantarkan upacara segehan di lebuh atau di pintu gerbang rumah. Dihaturkan di bawah pada pintu keluar masuk rumah. Api ini merupakan lambang dari swastika yaitu lambang keseimbangan, sedangkan api yang didalamya adalah lambang kekuatan jiwatman yang dapat menumbuhkan ketahanan diri dalam menghadapi godaan-godaan yang bersifat negatif.
(b)     Api Prakpak
          Api ini yaitu beberapa helai daun janur yang sudah kering (danyuh) diikat pada ujungnya, kemudian dibakar sehingga berupa obor. Api digunakan pada hari “Hari Tawur Kesanga” pada sore harinya setelah menghaturkan upacara segehan di halaman “sanggah atau merajan” dan dipintu halaman masuk pekarangan rumah lalu dilanjutkan dengan mengelilingi rumah tiga kali dengan membawa api obor dari daun kelapa yang kering itu.
(c)     Api Tetimpug
          Api ini dibuat dari tiga potong bambu yang masih muda dan hijau lalu diikat menjadi satu diisi “sampaian sasap” yaitu sampaian yang dibuat dari sepotong janur yang bentuknya sedemikian rupa, sehingga berisi mata dua. Sampaian ini bermaksud untuk memberikan jiwa secara simbolis kepada ketiga potong bambu itu. Lalu bambu itu diletakkan dibawah masing-masing ujungnya dialasi dengan batu atau bata dan dibawahnya lalu dibakar. Api ini digunakan pada upacara perkawinan tahap pertama yaitu waktu upacara “mabia kawon” atau “pekala-kalaan”, upacara “makekelud” upacara ini adalah upacara bhuta yadnya untuk menghilangkan “cuntaka atau sebel” akibat kematian salah satu anggota keluarga. Biasanya dilangsungkan setelah penguburan jenasah sudah lewat 12 hari. Fungsinya adalah untuk melenyapkan rasa duka atau bela sungkawa atas kematian salah satu anggota keluarga.

(d)     Api Tabunan
          Bentuknya mirip dengan api unggun. Apabila ada umat Hindu yang tertimpa kecelakaan sampai ada darah yang tercecer di tanah atau di jalan, maka darah yang tercecer itu dapat mendatangkan roh jahat. Darah yang tercecer itu harus disucikan. Api ini juga berfungsi untuk melepaskan ikatan roh atau jiwa orang yang mengalami kecelakaan itu, pada darah yang merupakan bagian tubuhnya yang amat penting. Karena keterikatan roh orang yang kcelakaan itu, baik orangnya masih hidup maupun meninggal, diyakini akan membawa pengaruh buruk pada orang tersebut.
5)      Api Citagni
          Api juga berfungsi pada upacara Ngaben dimana unsur-unsur Panca Maha Bhuta dibakar oleh api. Menurut kepercayaan Hindu api ini berfungsi untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Maha Bhuta pada asalnya di Bhuwan Agung, agar Sang Hyang Atma semakin dekat dengan penciptanya.
          Kemudian dalam upacara Manusa Yadnya, ketika bayi baru lahir, ari-arinya (placenta) ditanam di atas gundukan tanaman. Di atas gundukan itu setiap sore diisi dengan api dalam bentuk lilin atau lampu tradisinal. Maka api dalam upacara penanaman ari-ari (placenta) tersebut adalah untuk melindungi ari-ari itu dari gangguan roh jahat. Penggunaan api sebagai pembasmi kotoran dalam upacara Manusa Yadnya juga lihat pada upacara si bayi berumur tiga bulan wuku atau 105 hari. Bentuk api dalam upacara ini adalah berbentuk linting.
d)      Api sebagai saksi upacara dalam kehidupan
          Dupalah yang berfungsi sebagai saksi persembahyangan. Api dupa lambang api saksi, sedangkan asapnya lambang gerakan rohani menuju angkasa, lambang stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan dewa-dewa manifestasiNya. Api dupa adalah angga sarira Hyang Agni. Api dengan sinarnya adalah penerangan dalam alam ini. Ini berarti bahwa Hyang Agni adalah maha melihat atau saksi dari segala perbuatan manusia (Wiana, 2005)
          Dari kedua sarana upacara bhuta yadnya yaitu banten caru dan juga api disini menunjukkan bahwa sarana-sarana tersebut saling melengkapi satu sama lain. Dipembahasan diatas dinyatakan bahwa sekte Bhairawa ini identik dengan kekuatan magic. Biasanya sarana yang digunakan adalah menyukai darah atau daging mentah. Hal ini masih diwarisi dalam masyarakat Bali sekarang dimana biasanya disetiap akan melaksanakan suatu yadnya masyarakat biasa ngelawar. Ngelawar ini adalah realisasi dari sekte Bhairawa.
          Selain sarana upacara yang telah disebutkan diatas didalam melaksanakan upacara Panca Yadnya juga tidak terlepas dengan menggunakan sarana bunga. Bunga sebagai simbol Siwa atau Tuhan dalam sembahyang, bunga diletakkan tersembul pada puncak cakupan kedua telapak tangan disaat sembahyang. Setelah selesai sembahyang, bunga tadi biasanya diselipkan diatas kepala atau disumpangkan pada kedua daun telinga. Bunga berfungsi sebagai sarana persembahan sehingga bunga dipakai untuk mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Para Dewata, Bhatara-Bhatari, dan roh suci leluhur. Bunga merupakan simbol persembahan yang tulus dan ikhlas, kesucian dan sifat maha kasih.
          Dalam sarana sembahyang bunga dirangkai dalam bentuk canang yang didalamnya terdiri dari:
1)      Porosan
          Merupakan unsur sarana pokok dalam canang. Posoran dibuat dengan sarana sirih, kapur, da buah yang dijepit atau dibungkus dengan bentuk lancip dari potongan janur. Lontar Yajna Prakerti menyebutkan bahwa porosan adalah lambang untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Tri Murti. Pinang atau buah sebagai lambang pemujaan kepada Dewa Brahma, siri sebagai lambang pemujaan kepada Dewa Wisnu, dan kapur sebagai lambang pemujaan kepada Dewa Siwa.
2)      Plawa
          Plawa juga disebut daun-daunan. Berdasarkan penjelasan lontar Yajna Prakerti, plawa melambangkan tumbuhnya pikiran yang hening dan suci. Umat Hindu di dalam memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai Sang Tri Murti hendaknya berusaha menumbuhkan pikiran yang suci dan hening. Pikiran yang tumbuh dengan suci dan hening akan dapat menangkal atau mengendalikan umat manusia dari pengaruh-pengaruh yang buruk atau jahat. Tuhan Yang Maha Esa akan menganugrahkan rahmatNya kepada umatNya yang berpikiran suci dan hening.
3)      Bunga
          Bunga yang terdapat dalam canang melambangkan keikhlasan.
4)      Tetuwasan, reringgitan dan jejahitan
          Tetuwasan, reringggitan dan jejahitan merupakan lambang keteguhan atau kelanggengan umat manusia. Pada zaman modern seperti ini, banyak sekali unsur-unsur yang dapat menggoyahkan pikrian umat manusia. Keteguhan dan kelanggengan pikiran hendaknya tetap dipertahankan untuk menuju kebaikan dan kebenaran. Pikiran yang teguh dan langgeng tetap dibutuhkan untuk menuju jalan suci dan kebenaran Tuhan karena godaan-godaan akan silih berganti datang menggoyahkan cita-cita suci tersebut.
5)      Urassari
          Dibuat dari garis silang yang menyerupai tampak dara yaitu sebagai bentuk sederhana dari Swastka. Hiasan urassari dalam bentuk lingkaran menjadikanya menyerupai bentuk cakra. Urassari yang tersusun dengan jejahitan tetuwasan dan reringgitan tertata sedemikian rupa menjadikan bentuk lingkaran menyerupai bentuk Padma Astadala. Ini merupakan lambang sthana Ida Sang Hyang Widhi Wasa degan delapan penjuru mata anginnya. Berdasarkan ajaran Hindu alam semesta ini tercipta oleh Tuhan melalui tiga proses, antara lain: pertama, Srati adalah proses penciptaan alam semesta beserta isinya melalui evolusi dua unsur seperti purusa dan predana. Kedua, Swastika adalah proses ketika alam mencapai puncak keseimbangan yang bersifat dinamis. Kondisi seperti ini yang dilambangkan dengan jejahitan urassari. Dasar pembuatan dari garis silang atau tampak dara adalah ujung-ujung dari urassari menunjukkan arah catur loka pala dan hiasan yang melingkar menjadi bentuk swastika serta menjadi bentuk Padma Astadala. Padma Astadala adalah lambang perputaran alam yang dinamis dan seimbang sebagai sumber kehidupan menuju kebahagiaan. Ketiga, Pralaya adalah proses alam semesta lebur kembali menuju asalnya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa sebagai Pencipta (Sudirga, 2005:59-62).
          Demikianlah kristalisasi sekte-sekte di Bali yang menyatu dengan sebutan “CIWA BUDHA” yang pelaksanaan upacaranya disebut dengan Panca Yadnya dengan berbagai sarana upakaranya yang diadopsi dari sekte-sekte yang pernah ada di Bali tersebut.
DAFTAR PUSTAKA


Gunawan, Pasek I Ketut. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta I. IHDN Denpasar.

Pandit, Bansi. 2006. Pemikiran Hindu. Surabaya: Paramita.

Sivananda, Sri Swami. 2003. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita.

Soeka, Gde. 1993. Tri Murti Tattwa. Denpasar: CV. Kayumas.

Sudirga, IB. 2005. Widya Dharma Agama Hindu XI. Denpasar: Ganeca Exact.

Sudirga, IB. 2005. Widya Dharma Agama Hindu X. Denpasar: Ganeca Exact.

Sukartha, I Ketut. 2002. Agama Hindu. Denpasar: Ganeca Exact.

Supartha, Suda I Nyoman. 1994. Penuntun Belajar Agama Hindu. Denpasar: Ganeca Exact.

Wiana, Ketut. 2005. Sembahyang Menurut Hindu. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.

Yudhiantara, Kadek. 2003. Rahasia Pemujaan Sakti Durga Bhairawi. Surabaya: Paramita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...