Senin, 16 Desember 2013

Upakara Yajna













I.       RANGKUMAN MAKNA FILOSOFIS UPAKARA YAJNYA
1.1     CANANG SARI
          Canangsari berasal dari bahasa jawa kuno yang pada berarti: “Sirih”, yang mana sirih ini disuguhkan kepada para Tamu (Uttama) yang dihormati. Di Bali kebiasaan bagi para tetua dalam memakan daun sirih  disebut dengan “Pecanagan”. (Pasek Swastika,2008:90). Canangsari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih Setelah Danghyang Markandeya moksah.
          Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak.
            Menurut Bagus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu dan salah satunya adalah Mpu Sangkulputih.
          Selain canangsari beliau juga menciptakan bentuk-bentuk canang yang lainya seperti: canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe. (http://balikasogatan.blogspot.com/2010/02/siwa-siddhanta.html diakses 9 April 2012).
          Setelah agama Hindu berkembang di Bali, sirih itupun menjadi unsur penting dalam upacara agama dan kegiatan lain. Di Bali, setiap pembuatan upacara dari yang paling besar sampai yang paling kecilpun selalu mempergunakan daun sirih. Namun daun sirih tidak di pakai begitu saja, daun sirih dibentuk sedemikian rupa diisi dengan kapur atau pamor dan pinang, selanjutnya dilipat kedalam lipatan janur kemudian ditusuk dengan semat. Rangakaian daun sirih, Pamor dan pinang ini di Bali disebut dengan porosan.
            Porosan merupakan unsur terpenting yang harus ada dalam sebuah canangsari tanpa adanya porosan maka canang belumlah memiliki nilai agama secara spiritual. Porosan inilah yang memberikan fungsi yang sangat penting pada canangsari. Canangsari ini dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap banten atau yadnya apa pun selalu berisi Canangsari.
Makna Filosofis Canangsari
          Canangsari sebagai salah satu sarana dalam upacara keagamaan agama Hindu di Bali terdiri dari beberapa bahan penting yang masing-masing bahan memiliki nilai-nilai filosofis. Bahan-bahan itu yaitu:
1.       Canangsari memakai alas berupa ceper, pembuatannya dilakukan dengan cara melipat janur sehingga berbentuk segi empat. Kemudian ditutup dengan dua potong janur yang dijahit melintang sperti tapak dara. Bentuk segi empat melambangkan Catur Loka Pala atau empat arah mata angin, dan setelah ditambahnya penututupnya akan memiliki makna delapan mata arah angina atau “astadala”.
2.       Porosan, seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Porosan itu terdiri dari janur, sirih, kapur dan pinang. Porosan biasanya diletakkan sebagai dasar dari Canang, adapun makna filosofis dari porosan ini adalah lambang pemujaan kepada Tuhan yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pinang lambang pemujaan pada Dewa Brahma, kapur lambang pemujaan pada Dewa Siwa, sirih lambang pemujaan pada Dewa Wisnu.
3.       Bunga, melambangkan ketulus iklasan dan kesucian di saat kita melakuakan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatiakan dalam pemakaian bunga yaitu; bunga yang dipakai disini adalah bunga yang masih segar dan berbau harum dan jangan sampai memakai bunga yang sudah di makan ulat dan terlebih lagi bunga yang tumbuh dikuburan.
          Penataan bunga juga harus berdasarkan warnanya diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran Panca Dewata. Untuk urutannya disini kita menggunakan patokan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke Selatan.
            Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala. Bunga berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan. Bunga berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi. Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga. Bunga Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa-Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha Maha mertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa) (http:// forum diskusi jaringan hindu nusantara.blogspot.com diakses 5 Oktober 2012).
4.       Tatuwesan atau Reringitan dan Plawa
          Tetuwasan atau reringgitan merupakan lambang keteguhan atau kelanggengan umat manusia. Pada zaman modern seperti ini, banyak sekali unsur-unsur yang dapat menggoyahkan pikiran umat manusia. Keteguhan dan kelanggengan pikiran hendaknya tetap dipertahankan untuk menuju kebaikan dan kebenaran. Pikiran yang teguh dan langgeng tetap dibutuhkan untuk menuju jalan suci dan kebenaran Tuhan karena godaan-godaan akan silih berganti datang menggoyahkan cita-cita suci tersebut (Sudirga, 2005:61).
5.         Urasari, bentuk urasari ini menyerupai tapak dara atau swastika yang masih netral. Dimana bentuk tapak dara ini merupakan ungkapan secara Vertikal dan Horisontal dari pikiran umat manusia dalam pemujaan kehadapan Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya. Kemudian setelah dihias dengan hiasan yang menyilang ke sudut-sudut menjadilah bentuk Padma Astadala. Padma Astadala merupakan lambang perputaran alam yang seimbang yang merupakan sumber kehidupan untuk menuju kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan.
            Padma Astadala juga merupakan simbol Dewata Nawa Sanga. Yang dalam Lontar Dasaksara disebutkan sebagai berikut:
1.             Timur, warna putih bersthana Dewa Iswara
2.             Tenggara, warna merah Muda bersthana Dewa Mahesora
3.              Selatan, warna merah bersthana Dewa Brahama
4.             Barat Daya, warna orange bersthana Dewa Rudra
5.             Barat, warna kuning bersthana Dewa Mahadewa
6.             Barat laut, warna hijau bersthana Dewa Sangkara
7.             Utara, warna hitam bersthana Dewa Wisnu
8.             Timur laut, wrana Abu/biru bersthana Dewa sambhu
9.             Tengah, warna manca warna bersthana Dewa Siwa (Swastika,2008:90).       
            Makna filosofis dari Urasari yang terdapat dalam canangsari adalah selain sebagai sthana dari para Dewata  Nawa Sanga juga merupakan permohonan kehadapan para dewa untuk berkenan memberikan Anugrahnya dalam kehidupan ini untuk menuju kehidupan tentram, bahagia, dan sejahtera. Selain itu konsep penyatuan sekte-sekte kedalam konsep Saiwa Shidanta secara jelas tampak terlihat dalam Urasari.
          Makna filosofis dari canangsari adalah secara teologis adalah tempat Sthana Ida Shang Hyang Widhi dalam prabawa-Nya sebagai dewata Nawa Sangga yang di mohon kehadirannya untuk memberiakan anugerah kepada manusia. Kemudian secara etika canangsari memiliki makna ketetapan hati dan bhakti kehadapan Ida Shang Hyang Widhi.

1.2     DAKSINA
Daksina merupakan tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah dari yadnya.
Hal ini dapat kita lihat pada berbagai upacara yang besar, di mana kita lihat banyak sekali ada daksina. Kalau kita lihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang muput karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan tanda "terima kasih" baik sekala maupun niskala. Begitu pula kalau daksina itu kita haturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan sembah sujud kita atas semua karunia-Nya.
Selain fungsi di atas, daksina memiliki kegunaan lain dalam upacara yadnya diantaranya yaitu:
A.           Daksina sebagai simbol Hyang Tunggal/ Hyang Guru:
Membuat sarana perlengkapan daksina yang begitu lengkapnya sehingga dianggap cukup untuk mewakili isi seluruh alam semesta yang ada. Maka dengan demikian daksina diartikan sebagai satu kesatuan dan sekaligus sebagai simbol Hyang Tunggal atau Hyang Guru sebagai manifestasi dari Deva Siva sebagai penguasa alam semesta ini. Hal ini dinyatakan dalam lontar yajnaprakrti (Putra, 2003:28)
B.            Daksina sebagai sarana persembahan dalam upacara Yajna:
Daksina adalah sarana perlengkapan yang paling penting dari beberapa jenis upacara Yajna. Sebesar dan semegah apapun pelaksanaan upacara Dewa Yajna, tanpa menggunakan sarana daksina, maka upacara itu belum dianggap sempurna karena menggunakan daksina dianggap sebagai media untuk mendekatkan diri dan mewujudkan kuasa Tuhan, agar tercipta hubungan manusia sebagai bakta yang akan menyembah Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa yang akan disembah.
C.            Daksina sebagai cetusan rasa terima kasih:
          Daksina dipersembahkan oleh para baktanya, untuk menyampaikan rasa angayubagia kepada Hyang Widhi beserta manifestasiNya, karena apa yang dimohon bakta dalam melaksanakan dharmanya sehari-hari sebagai umat Hindu mendapatkan sesuai yang diinginkan. Fungsi lain dari daksina ini adalah sebagai sarana untuk media menyempaikan terima kasih kepada para sulinggih atau para pinandita yang ditugaskan untuk melaksanakan/memuput upacara, juga sebagai bukti rasa bhakti para umatnya disatu sisi merupakan bentuk pelayanan para pandita dan pinandita kepada umatnya.
D.           Daksina untuk memohon keselamatan
Sebagai manusia yang sangat menyadari bahwa jauh dari sempurna, sehingga manusia tidak akan luput dari kesalahan/hilaf serta segala kekurangan-kekurangan, kesalahan dan lupa karena keterbatasan pikiran maka perlu melaksanakan permohonan keselamatan. Khususnya bagi para tukang banten (Serati Banten) kehadiran banten daksina sebagai Sthana Hyang Widhi mutlak sangat diperlukan. Hyang Widhi sebagai manifestasiNya Sang Hyang Devi Tapeni/ Bhatari Tapeni (Devanya Serati Banten) untuk memohon bimbigan keselamatan, dalam melaksanakan pembuatan banten untuk upacara Deva Yajna tidak sampai melakukan kesalahan akibat keterbatasan pikiran seperti, kelupaan. Kebingungan dan lain sebagainya. Para Serati Banten biasanya jika akan membuat sarana bebantenan untuk upacara/upakara maka akan meletakkan daksina disertai perlengkapan banten yang lain diletakkan di mana sudah disiapkan tempat banten/ pelangkiran di mana para Serati Banten akan bekerja untuk membuat banten. Daksina tidak saja diperlukan oleh Serati Banten, tetapi juga bagi tukang-tukang lainnya seperti tukang unagi bangunan, tukang terang, tukang membuat gayah, tukang gamelan, tukang ukir dan lain-lain yang semua tujuannya untuk ngaturang piuning supaya dalam melaksanakan tugasnya mendapat bimbingan dan keselamatan oleh Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa.
E.            Daksina sebagai Upasaksi (Lambang Hyang Guru):
Pengertian upasaksi terdiri dari dua suku kata, yaitu upa dan saksi, upa dapat diartikan sebagai perantara dan saksi dapat berarti mengetahui. Jadi upasaksi dapat mengendung pengertian sebagai sarana untuk diketahui atau mempermaklumkan, dalam hal ini kepada Hyang Widhi dengan manifestasiNya. Tempat untuk menghaturkan banten upasaksi biasanya dibuat khusus yang diberi nama Sanggar Upasaksi, Sanggar Surya atau bisa juga Sanggar Tawang tergantung besar kecilnya upacara yang dilaksanakan. Sanggar Tawang bisa juga disebut Sanggar Agung biasanya dibentuk bangunan temporer dari bambu petung atau batang pinang yang sudah dikupas terlebih dahulu.
Bentuknya dibikin sederhana ruang atas yang dibagi menjadi tiga ruangan, apabila memakai satu ruangan maka disebut Sanggar Surya. Maka sesuai dengan namanya, maka Sanggar Tawang berarti sthana di angkasa, dan fungsinya adalah untuk mensthanakan Hyang Widhi sebagai aspeknya, sebagai Sang Hyang Catur Lokapala atau Hyang Tri Murti. Oleh umat Hindu sangat diyakini bahwa sthanaNya yang abadi berada di luhuring akasa (di atas angkasa).Setiap aktifitas ritual umat Hindu dari pelaksanaan upacara yang sederhana (nista) sampai ketingkatan upacara yang besar (utama) senantiasa dibuatkan Sanggar Surya atau Sanggar Tawang untuk memohon kehadiran Hyang Surya guna menyaksikan ketulusan hati umatnya yang sedang melaksanakan upacara/ Yajna.
Sebagai upasaksi, banten daksina dijadikan sthana Hyang Widhi, apabila banten daksina tersebut diletakkan pada Sanggar Surya atau Sanggar Tawang sebagai upasaksi, maka sudah jelaslah fungsinya. Biasanya banten daksina di Sanggar Surya atau di Sanggar Tawang tidak berdiri sendiri, tetapi melengkapi atau menyertai banten-banten yang lainnya, seperti banten pejati, banten peras, banten dewa-dewi, catur, suci dan banten lainnya.
F.             Daksina sebagai banten pelengkap.
Mengingat daksina sebagai pelengkap banten-banten lainnya seperti banten pejati, banten pebangkit, banten pulegembal, dan masih banyak lagi banten yang lainnya yang tidak penulis sebutkan satu-persatu. Hal ini disebabkan karena upakara atau banten yang digunakan dalam suatu upacara merupakan satu kumpulan dari beberapa jenis banten yang disebut soroh dan setiap soroh hampir selalu menggunakan daksina sebagai runtutannya. Adapun kedudukan daksina yang selalu menyertai banten-banten yang yang lain adalah karena memang unsur yang terdapat dalam daksina sangatlah lengkap, selain itu daksina merupakan kekuatan atau saktinya suatu Yajna. Dengan kata lain suatu upakara Yajna akan menjadi sempurna apabila ada daksinanya. Lebih jelas kita lihat pada upacara Deva Yajna, seperti melaspas, mecaru, Ngenteg Linggih, Upacara Pujawali, Panca Walikrama dan Eka Dasa Rudra. Adapun urut-urutan rangkaian upacara yang umum dilaksanakan adalah sebagai berikut:
          Upakara Ngatur Piuning memulai karya (Nuasin Karya), upakara Nuur (Mendak) Tirtha, upakara untuk Serati Banten (ngelinggihang Sang Hyang Tapini) yaitu Devanya Serati Banten, Upakara RsiBijana, Upakara Mapapada (pada Sanggar Pesaksi) yang ditujukan kehadapan Siwa Raditya dan Giripati, dan upakara di bale Pawedan. Adapun banten daksina yang digunakan disesuaikan dengan besar kecilnya upakara (nista, madya, utama). Namun umumnya pada upacara Deva Yajna dapat penulis sebutkan di atas masih kebanyakan menggunakan daksina gede atau daksina pemogpog di samping daksina pelinggih dan daksina alit.
G.           Daksina sebagai sarana penebusan :
Daksina juga berfungsi sebagai penebusan atas kekurangan alam upakara yang dilaksanakan, terletak pada sesari/ uang. Selain itu uang sesari yang mengandung juga makna simbol ketulusan hati/ sarining manah. Ada juga yang menyebut daksina pemogpog yang mengandung makna sebagai menutup bilamana dalam melaksanakan upakara yajna ada kekurangan, maknanya hampir sama yaitu untuk penebusan.
Berikut merupakan komponen-komponen pembentuk dari Daksina:
1.             Bedongan
Adalah sarana upacara yang dibuat dengan daun kelapa sehingga menyerupai suatu wadah seperti bakul yang dalam bahasa bali disebut wakul daksina. Nama lainnya dalah bedongan.

2.             Tapak Dara
Tapak dara merupakan simbol sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping menuju arah kehidupan alam sekitar.
3.             Beras merupakan simbul udara sebagai cerminan sang hyang bayu yang merupakan sumber pokok kehidupan, dan sebagai simbol benih yaitu benih-benih kehidupan
4.             Kelapa merupakan simbul matahari atau “windu” yakni cerminan sang hyang sadha siwa. buah yang serba guna (seluruh bagiannya dapat digunakan untuk kehidupan manusia) disimbulkan sebagai bumi dan juga sebagai kepala
5.             Telur merupakan simbul bulan atau “ardha chandra” yakni cerminan Sang Hyang Siwa. Telur yang digunakan dalam daksina diusahakan menggunakan telur itik karena itik mampu memilih makanan yang bisa atau yang tidak bisa dimakan, itik juga sangat rukun dengan sesamanya dan dapat menyesuaikan hidupnya baik di darat, air dan juga udara.
6.             Peselan
Peselan ini terdiri dari lima jenis dedaunan yang mewakili lima warna yaitu:
a.       Daun mangga mewakili warna hijau-hitam
b.      Daun durian mewakili warna putih,
c.       Daun langsat mewakili warna kuning,
d.      Daun manggis mewakili warna merah, dan
e.       Daun salak mewakili warna brumbun.
Kelima macam warna daun ini dipergunakan sebagai simbul dari Panca Dewata yaitu warna hitam adalah warna dari Dewa Wisnu, putih adalah Iswara, kuning adalah Mahadewa, merah adalah Brahma dan brumbun (Panca warna) adalah Siwa. Namun demikian, masih banyak yang mempergunakan jenis daun yang lain untuk mewakili kelima daun tersebut seperti daun rambutan, endongan dan sebagainya tanpa mengurangi makna simbolik yang terkandung didalamnya. Karena selain berpatokan pada tattwa setiap upacara juga selalu berpatokan pada Desa (tempat), Kala (waktu), dan Patra (Kondisi).
7.             Gantusan
Gantusan yaitu yang dibungkus daun pisang (2 bungkus). Yang masing-masing diisi dengan segala jenis ikan teri, bumbu (yang melambangkan isi darat dan laut) serta biji-bijian (5 macam) yang mempunyai warna (hitam, putih, merah, kuning dan campuran) sebagai cerminan adanya jiwatman (roh).
8.             Pangi merupakan simbul sarwa pala bungkah cerminan Sang Hyang Boma.
9.             Tingkih merupakan simbul bintang atau “ nata“ yakni cerminan Sang Hyang Parama Siwa.
10.         Uang kepeng bolong merupakan simbul “windu sunia” yakni cerminan “sangkan paran”.
11.         Porosan merupakan simbul silih asih, cerminan dari Sang Hyang Semarajaya Semara Ratih.
12.         Benang tatebus warna putih
Di atas kelapa diisi dengan benang tatebus warna putih. Penggunaan Benang dalam setiap pelaksanaan upcara keagamaan memiliki makna simbolik sebagai tali penghubung antara yang memuja dan yang dipuja, sebagai pengikat spiritualitas kita dan juga pada upakara-upakara tertentu benang melambangkan usus.
13.         Canang payasan yang sering juga disebut dengan pasucian/pangresikan. merupakan simbul asta aiswarya yaitu sang hyang dewata nawa sanga.
          Daksina juga diisi sasari/uang. Daksina secara utuh dalam penggunaannya biasanya dirangkaikan dengan jenis upakara/bebantenan yang lain seperti : peras, ajuman, raka, dan yang lainnya. Rangkaian banten ini biasanya disebut dengan pejati. Namun daksina juga bisa berdiri sendiri apabila daksina tersebut berfungsi sebagai daksina linggih. Namun dalam daksina linggih ini ditambahkan dengan chili yang bermakna sebagai simbol wajah. Ada beberapa jenis daksina yaitu : Daksina alit (isinya tiap/jenis satu biji/butir); Daksina pekala-kalaan (isinya dilipatkan dua kali); Daksina gede (isinya dilipatkan empat kali); Daksina krepa (isinya dilipatkan tiga kali); Daksina galahan (isinya dilipatkan 5 atau 10 kali) (Putra, 2003:28).

1.3     PERAS
          Perlengkapan serta cara menyusunnya hampir sama dengan ajuman, tetapi nasinya berbentuk tumpeng (dua buah), alasnya ditempeli “kulit-peras” yaitu sejenis jejahitan yang khusus. Sedangkan sampiannya disebut sampian tupeng (sampian peras). Banten ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai banten-banten yang lain seperti: daksina, suci, tulung-sesayut, dan lainnya. Dalam beberapa hal, pada alasnya dilengkapi dengan sedikit beras, base tampel, uang yang jumlahnya disesuaikan dengan penggunaannya, dan benang-putih. Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka seseorang (umumnya pimpinan upacara) akan menarik lekukan pada “kulit peras”, dan menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada lontar Yajna-prakerti disebut bahwa peras melambangkan Hyang Triguna-Sakti.
          Kiranya kata “peras” dapat diartikan “sah” atau resmi, umpama: “meras anak” mengesahkan anak; “Banten pemerasan”, yang dimaksud adalah sesajen untuk mengesahkan anak/cucu; Dan bila suatu kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan peras, akan dikatakan penyelenggaraan upacaranya “tan perasida” yang mungkin dapat diartikan “tidak sah”. Oleh karena itu banten peras selalu menyertai sesajen-sesajen yang lain terutama yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu. (Putra, 2003:29).
Yang menjadi unsur-unsur Peras, yaitu:
          Alasnya Tamas/taledan/Ceper; Tamas lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). Ceper/Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga). Kemudian disusun di atasnya beras (makanan pokok – sifat rajah), uang kepeng/recehan (untuk mencari segala kesenangan-sifat tamas), benang (kesucian dan alat pengikat-sifat satwam) merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar. Dua buah tumpeng (simbol rwa bhineda baik-buruk); lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/ perempuan) harus disatuakan baru bisa berhasil (Prasidha), tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan. Base tampel/porosan (poros – pusat) yang merupakan lambang tri murti. Kojong Ragkat, tempat rerasmen/lauk pauk; memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani). Diisi buah-buahan, pisang, kue secukupnya-persembahan sebagai hasil kerja kita. Sampyan peras; terbuat dari empat potong janur dibentuk menyerupai parabola di atasnya, merupakan lambang dari kesiapan diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi, waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya akan kita pakai untuk melaksanakan Dharma. Canang sari;inti dari segala yadnya, merupakan simbol dari Ida Sang Hyang Widhi http://neztra.blogspot.com/2012/04/banten-peras-cara-membuat-beserta-makna.html
1.4     SESAYUT
          Sesayut atau ‘Sayut’ dalam Bahasa Kawi (Jawa Kuno) berasal dari kata ‘asayut’ artinya menahan, atau menguatkan Banten. Sesayut atau Banten tatebasan kalau disimak dari arti kata Sesayut, yang berakar dari kata “Sayut” atau nyayut memiliki arti mengharapkan, mendoakan, mensthanakan dan mengembalikan. Sedangkan Tatebasan yang berakar dari kata “Tebas” yang memiliki arti sama dengan Sesayut. Sesayut adalah banten-banten yang bertujuan untuk menguatkan rasa bhakti sekaligus menyampaikan permohonan kepada Sang Hyang Widhi untuk tujuan tertentu. Setiap upacara yang dilaksanakan oleh umat Hindu akan memakai Banten Sesayut atau Banten Tatebasan yang berbeda-beda sesuai dengan harapan dan tujuan upacara yang dilaksanakan, begitu juga dalam upacara Dewa-yadnya akan memakai Banten Sesayut sesuai dengan Ista Dewata yang akan di sthanakan atau di puja.
Beberapa Jenis Sesayut
A.      Sesayut Payascita Luwih
          Terdiri dari sebuah kulit sesayut (bentuknya bulat terbuat dari daun keapa). Diisi tulung agung (dibawahnya berbentuk tamas dan dibawahnya berbentuk cili). Didalamnya diisi nasi serta lauk pauk. Disusuni dengan sebuah tumpeng dan diisi dengan bunga teratai putih. Disekelelengnya diisi dengan buah penek kecil. 11 buah kuangen, 11 buah tupat kukur/ tipat gelantik, 11 buah tulung kecil atau peras kecil (alit) pasucian, panyeneng, kelungah kelapa gading, lis, tebu, sampian naga sari, canang burat wangi serta dilengkapi dengan jajan, buah-buahan dan lauk pauk.
B.      Sesayut Saraswati
          Terdiri dari sebuah kulit sesayut, diisi penek warna merah, penek warna putih, dan penek warna hitam. Masing-masing sebuah dan diisi dengan lauk-pauk, pisang, jajan,buah-buahan,tebu, sampian nagasari, penyeneng dan canang burat wabngi atau canang jenis lainnya.
C.      Sesayut Mertha Dewa
          Terdiri dari sebuah kulit sesayut, di atasnya diisi penek dan beras kuning, dialasi dengan takir (terbuat daridaun kelapa), dilengkapi dengan lauk-pauk,. Jajan, buah-buahan, sampian nagasari, penyeneng, dan canang genteng atau canang jenis lainnya.
D.      Sesayut Sida Karya
          Terdiri dari sebuah kulit sesayut diatasnya diisi nasi berbentuk segi empat bagian tengah-tengah nasi tersebut diisi sebuah tumpeng yang agak besar. Tumpeng tersebut diapit dengan tumpeng yang lebih kecil. Pada tumpeng yang paling besar puncaknya diisi terasi dan pada setiap sudutnya diisi sebuah kuangen. Dilengkpai pula dengan dua buah tulung dan perlengkapan lainnya yang pada dasarnya sama dengan sesayut Mertha Dewa tersebut diatas.
E.      Sesayut Sida Purna
          Terdiri dari sebuah kulit sesayut, diisi nasi berbentuk bulat. Disebelahnya diisi lima buah penek masing-masing disisipi pucuk dapdap. Dilengkapi dengan ketipat sida purna lima buah dan perlengkapan lain seperti tersebut diatas.
F.      Sesayut Langgeng Amukti Sakti
          Terdiri dari sebuah kulit sesayut yang diisi sebuah penek. Penek tersebut diisi sebuah kalpika dan muncuk dapdap (pucuk dapdap). Perlengkapan lainya sama dengan tersebut diatas.
G.      Sesayut Pasupati
          Banten sesayut ini digunakan pada saat upacara Tumpek Landep. Umat Hindu merayakan Tumpek Landep yaitu pada Saniscara Kliwon Wuku Landep. Ida Pedanda Made Gunung pernah menyampaikan, menurut filosofinya, Tumpek Landep merupakan tonggak penajaman citta, budhi dan manah (pikiran). Diharapkan, tingkah laku perbuatan umat selalu dilandasi atas kesucian pikiran sehingga bisa memilah mana yang baik maupun yang buruk. Sebab dari pikiran kebahagiaan itu datang dan dari pikiran juga kesedihan menggelayut di hati. Seperti tersurat dalam Sloka 81, Sarasamuscaya, “Pikiran itu sangatlah labil dan berubah-ubah, apabila seseorang dapat mengendalikan pikirannya, niscaya ia akan memperoleh surga di dunia dan surga di akhirat”.
          Teknologi canggih ada karena manusia menggunakan pikiran untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan menghasilkan karya yang bermanfaat. Terkait dengan hari Tumpek Landep ini umat melakukan pemujaan kepada Sanghyang Siwa Pasupati yang merupakan dewanya taksu dengan menghaturkan sesayut pasupati. Setelah memperingati hari Saraswati (turunnya ilmu pengetahuan) selanjutnya umat memohon pengetahuan tersebut bertuah dan memberi ketajaman pikiran.
          Adapun sarana/upakara yang dibutuhkan dalam Tumpek Landep, yang paling sederhana adalah canang sari, dupa, dan tirtha pasupati. Yang lebih besar dapat menggunakan upakara Peras, Daksina atau Pejati. Dan yang lebih besar biasanya dapat dilengkapi dengan jenis upakara yang tergolong sesayut, yaitu Sesayut Pasupati. Bahan-bahan untuk membuat sesayut pasupati adalah terdiri dari Tumpeng barak amusti, kulit tebasan antuk don andong 1 ring ajeng tumpange daksina, ring bilang samping tumpenge kulit peras medaging tumpeng barak dua, soda ajengan penek barak 2, tipat kelan, tipat tampulan asiki, sampeyan nagasari penyeneng peras canang antuk don andong. Maulam ayam biing (barak) jeroan megoreng wadah taku, takir keruh meserana kacang saur. matah apalet anggen ring segehan pasupati. Jika dianalisis bahan-bahan pembuatan sesayut pasupati ini yang lebih banyak menggunakan warna merah, merupakan ciri penghormatan terhadap Dewa Brahma sehingga demngan ketajaman pikiran yang dimiliki manusia mampu menciptakan besi-besi yang nantinya bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari http://yadnya-banten.blogspot.com/2012/07/tumpek-landep-dan-sesayut-pasupati.html.
          Jadi makna filosofi dari banten Sesayut Pasupati ini adalah sebagai stana dari Sang Hyang Siva sebagai Pasupati. Juga penyatuan siva siddhanta terdapat dalam rangkaian banten Tumpek Landep. Ini terlihat dari bahan-bahan pembuatan sesayut yang identik dengan warna merah (Brahma) juga dilengkapi dengan tirtha pasupati sebagai simbolis dari Visnu.

1.5     AJUMAN (SODAAN)
          Bahan perlengakapan yang diperlukan untuk membuat ajuman adalah: nasi yang disebut “penek/telompokan”, beberapa jenis jajan, buah-buahan, lauk-pauk berupa serundeng (sesaur), kacang-kacang, ikan teri, telur/lainnya, lalab seperti trung, timun, tauge (kecai), daun kemangi (kecarum), garam, sambel dan lainnya. Sebagai alasnya dapat dipergunakan taledan atau yang lain; Diatasnya diisi dua buah penek, lauk-pauk, dialasi dengan tangkih, berbentuk segitiga, jajan, buah-buahan, dan sebuah sampian soda (sampian ajuman) berbentuk tangkih; kadang-kadang bagian atasnya dibuat agak indah seperti kipas disebut “sampian-kepet kepetan”. Dapat pula dilengkapi dengan canang genten/canang sari/canang burat-wangi.
          Ajuman disebut pula soda (sodaan), dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina, suci dan lainnya. Bila ditujukan kehadapan para Leluhur, salah satu penek-nya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “ajuman putih-kuning”. Ada pula yang disebut “perangkat/ perayuan” yaitu jajan serta buah-buahannya dialasi tersendiri, demikian pula lauk-pauknya masing-masing dialasi ceper/ituk-ituk, kemudian diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Diatasnya diisi sebuah canang-pesucian, canang buratwangi atau yang lain. Ada juga yang melengkapi dengan sampian kepet-kepetan.
          Rayunan bisa ditambahakan beberapa jenis sate, serta”urab-uraban” dialasi tersendiri dengan aled. Bahkan dalam beberapa hal tidak mempergunakan lauk-pauk seperti serundeng, kacang-kacang dan lainnya tetapi cukup dengan sate dan urab-uraban. Dalam hal ini jumlah sate yang digunakan akan menentukan nama serta besar kecilnya penek, umpama ada yang disebut “japit” atau “pajeg”; Baik japit maupun pajeg dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan desa, kala, patra. Walaupun cara mengatur serta lauk-pauk yangdipergunakan agak berbeda-beda tetapi penggunaannya hampir sama dengan ajuman yaitu sebagai persembahan atau melengkapi sesajen-sesajen yang lain (Putra, 2003:28-29).

1.6     BANTEN PEJATI
          Pejati berasal bahasa Bali, dari kata jati” mendapat awalan pa-”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh. Jadi, Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.
          Banten Pejati sering juga disebut “Banten Peras Daksina”. Ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat suci, begitu pula jika seseorang memohon jasa Pemangku atau Pedanda, “meluasang” kepada seorang balian/seliran, atau untuk melengkapi upakara, banten pejati sering dibuat. Oleh karena itu, pejati dipandang sebagai banten yang utama, maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja.
Unsur Dan Makna Filosofi Banten Pejati
Adapun unsur-unsur banten pejati, yaitu:
1.             Daksina
2.             Banten Peras,
3.             Banten Ajuman Rayunan/Sodaan
4.             Ketupat Kelanan
5.             Penyeneng/Tehenan/Pabuat
6.             Pesucian
7.             Segehan alit
Sarana yang Lain
·                Daun/Plawa; lambang kesejukan.
·                Bunga; lambang cetusan perasaan
·                Bija; lambang benih-benih kesucian.
·                Air; lambang pawitra, amertha
·                Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.
Daksina terdiri atas:
1.             bakul/serembeng, simbol arda candra
2.             kelapa dengan sambuk maperucut, simbol brahma dan nada
3.             bedogan, simbol swastika
4.             kojong pesel-peselan, simbol ardanareswari
5.             kojong gegantusan, simbul akasa/ pertiwi
6.             telur bebek simbol windu dan satyam
7.             tampelan, simbol trimurti
8.             irisan pisang, simbol dharma
9.             irisan tebu, simbol smara-ratih
10.         benang putih, simbol siwa
          Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan menyelimuti manusia. Alasnya tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari.
          Penyeneng/Tehenan/Pabuat Yang membentuk Penyeneng: Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat ntuk nuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Baliau berkenan hadir dalam upacara yang diselenggarakan. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk membangun hidup yang seimbang sejak dari baru lahir hingga meninggal. Ruang 1, berisi Nasi aon adalah lambang dari dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta ini dan merupakan sarana untuk menghilangkan semua kotoran (dasa mala). Ruang 2 berisi beras benang dan uang, lambang dari dewa Visnu yang memelihara alam semesta ini, beras adalah sumber makanan manusia, uang adalah alat transaksi untuk melangsungkan kehidupan, benang sebagai penghubung antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Hyang Widhi. Ruang 3 berisi bunga, daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk dengan kunir dan beras, melambangkan dewa Siva dalam prabhawaNya sebaga Isvara dan Mahadeva yang senantiasa mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar, meniadakan (pralina) Adharma dan kembali ke jalan Dharma. Bagian atas dari Penyeneng ini ada jejahitan yang menyerupai Ardhacandra = Bulan, Windu = Matahari, dan Titik = bintang dan teranggana (planet yang lain).
          Pesucian terdiri dari sebuah ceper /taledan yang berisi tujuh bua tangkih kecil yang masing-masing tangkih berisi: Bedak (dari tepung), Bedak warna kuning (dari tepung berwarna kuning), Ambuh (kelapa diparut/ daun kembang sepatu dirajang), Kakosok (rengginang yang dibakar hingga gosong), Pasta (asem/jeruk nipis), Minyak Wangi, Beras. Di atasnya disusun sebuah jejahitan yang disebut payasan (cermin, sisir dan petat) terbuat dari janur. Pada intinya pesucian merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara dalam suatu upacara keagamaan. Secara instrinsik mengandung makana filosofis bahwa sebagai manusia harus senantiasa menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa), karena Hyang Widhi itu maha suci maka hanya dengan kesucian manusia dapat mendekati dan menerima karunia Beliau.
Secara etimologi Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan. Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional. Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek). Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin). Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati.
Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu
·                Daksina kepada Sanghyang Brahma
·                Peras kepada Sanghyang Isvara
·                Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
·                Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva
          Adapun bahan dan alat-alat untuk membuat banten pejati ini diataranya terdiri dari tatakan dari keben, nampan, nare atau nyiru; aled, tape gede; pisang, tebu, buah-buahan (Salak, Anggur, Apel, Manggis, Jambu, dan sebagainya); Jajan uli, begina, apem, pasung, jongkong; daksina dan perlengkapannya; tipat kelanan dan telur rebus; tumpeng 2 buah dari kojong daun; kulit peras diatas tatakan ituk-ituk; sampian sodaan dan sampian peras. Cara menatanya adalah sebagai berikut :
-        Pisang dan tebu ditaruh di luanan, di tengah-tengahnya disusuni Tape Gede. Selanjutnya disusuni pula dengan jajan Bagina dan jajan Uli. Disamping dan dibelakangnnya juga diisi jajan-jajan yang lain dan buah-buahan. Daksina yang terdiri dari: bedogan, beras, pangi, kemudian disusuni dengan kelapa yang telah dikupas kulitnya, telur yang dibungkus dengan daun atau janur, tangkih dan benang tetebus di atas kelapa, ditaruh ditebenan (di belakangnya).
-        Selanjutnya Tipat Nasi Kelanan yang telah disusun diatas Ceper Bungkulan diatasnya berisi telur rebus dan Kojong Janur berisi bunga ditaruh di sampingnya.
-        Kulit Peras diisi Tumpeng Kojong dari daun pisang, diisi Tampelan, Beras dan Benang Tetebusan.
-        Paling atas adalah Sampian Sodan dan Sampian Peras
(Raras, 2006:210)

1.7     BANTEN UNTUK NGELINGGIHANG SANGGAH SURYA
          Tujuan dari upacara adalah untuk menyucikan prahayangan semoga Ida Bhatara berkenan untuk bersthana di pelinggih tersebut. Begitu juga ketika kita melinggihkan sanggah surya diperlukan suatu upakara yang akan dipersembahkan. Yang namanya membangun suatu tempat suci ada beberapa urutan upacara dan upakaranya pun berbeda-beda. Khusus untuk di sanggah surya, adapun banten/upakara yang digunakan adalah sebagai berikut :
-        Banten untuk Nyakap pekarangan dan ngeruak bhuana yang dihaturkan kehadapan Surya untuk menghormati Surya sebagai saksi dengan sarana pejati, suci alit, ajuman putih kuning, canang genten, dan juga sesuai dengan aturan desa setempat.
-        Banten Nyukat Karang atau mengukur pekarangan untuk merajan yang dihaturkan kehadapan Surya adalah peras daksina dan juga canang.
-        Pada Upacara Menanam Dasar Bangunan didirikan sanggah cucuk sebagai tempat pemujaan kehadapan Surya Raditya dengan sarana upakara Daksina dengan uang kepeng 127, peras, soda putih dan juga kuning, dengan ayam di ketim, buah-buahan, dan wangian serta banten penyeneng.
-        Pada upacara Plaspas Alit, banten untuk di pelinggih Surya adalah Peras, daksina pelinggih, banten unggahan, daksina,suci satu, soda sanang dengan dihaturkan menurut kemampuan.
(Anom, 2002)

II.      MANTRA / PUJA STAWA BEBERAPA UPAKARA YAJNA

2.1     Mantra Untuk Menghaturkan Canang Sari
          Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
          Oṁ tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha
          Oṁ shri Deva Devi Sukla ya namah svaha

2.2     Puja Untuk Menghaturkan Daksina
Om Brahma daksina desanca
          Teja rakta maha rupam
          Amrtha rakta sampurna
          Sarwa jagat prathistanam
Om Om Padma sana ya namah
          Utpti Mang. Ung. Ang namah
Om Om Dewa prathista ya namah
          Sthiti Ang Ung Mang namah
          Tumurun....Brahma dewa rakta warna ya namah swaha        

2.3     Puja Untuk Menghaturkan Peras
Om Ekawara Dwiwara Triwara Caturwara Pancawara Purwa pras prasiddha rahayu.
Om Panca ware bhawet brahma
          Wisnu saptawara waca
          Sad wareswaro dewasca
          Asta ware siwo jneyah
Om karam ucyate sarwa pras. Pras-parisuddhaya nama swaha.
Om sapta ware te warna karana
          Aditya tu Mahadewa
          Soma Waisrawana tatha.
          Anggara tu punah Sukra
Budha Wisnu tathaiwa ca
Brahma Wraspati Caiwa
Sukra Waruna ewa ca
Saniscara Yamas caiwa
          Wraspati pinaka wit
          Soma pinaka bungkah
          Anggara pinaka godong
          Buda pinaka kembang
          Sukra pinaka who
          Saniscara pinaka kulit
          Aditya pinaka warna
(Tim Penyusun, 2003:34-35)

2.4     Mantra Untuk Menghaturkan Sesayut
Om Sangkepaning premanta,
          Nagara sya muniwantam
          Dewa samsthita yogante,
          Brahma Wisnu, Maheswara,
Om Pujasya mantrasya,
          Tri-Aksara maha kodratam,
          Brahmangga murcage yuktam,
          Siwangga mantra matmakam
Om Panca Bhuwana tattwan ca,
          Asta dewa dalan bhawet
          Dewa samsthita yogante,
          Brahma Wisnu Maheswaram
          Siwa Sadasiwa tattwa ya namah swaha.

2.5     Mantra Pejati ( Daksina, Ajuman, Katipat Kelanan)
Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ Siva sutram yajna pavitram paramam pavitram
          Prajapatir yogayusyam
          Balam astu teja paranam
          Guhyanam triganam trigunatmakam
Oṁ namaste bhagavan Agni
          Namaste bhagavan Harih
          Namaste bhagavan Isa
          Sarva bhaksa utasanam
          Tri varna bhagavan Agni Brahma Visnu Mahesvara
          Saktikam pastikanca raksananca saiva bhicarukam.
Oṁ Paramasiva Tanggohyam Siva Tattva Parayanah
          Sivasya Pranata Nityam Candhisaya Namostute

Oṁ Naividyam Brahma Visnuca
Bhoktam Deva Mahesvaram
Sarva Vyadi Na Labhate
Sarva Karyanta Siddhantam.

Oṁ Jayarte Jaya mapnuyap
Ya Sakti Yasa Apnoti
Siddhi Sakalam Apnuyap
Paramasiva Labhate ya namah svaha


DAFTAR PUSTAKA


Anom, Ida Bagus. 2002. Tentang Membangun Merajan. Denpasar: CV. Kayumas Agung.

Pasek Swastika, I Ketut, 2008. Arti Dan Makna Puja Tri Sandhya-Panca Sembah (Bunga, Api, Air, Kwangen, Canang Sari, Pejati). Denpasar: CV. Kayumas Agung.

Putra, Mas.Ny.I.Gst.Ag. 2003. Upakara – Yadnya. Denpasar: Parisadha Hindu Dharma.

Raras, Niken Tambang. 2006. Mejejahitan dan Metanding Edisi I. Surabaya: Paramita.

Tim Penyusun. 2003. Materi Penataran Pemangku dan Tukang Banten. Singaraja: Pemerintah Kabupaten Buleleng, Bagian Perekonomian dan Sosial.

Agung (http:// forum diskusi jaringan hindu nusantara.blogspot.com diakses 5 Oktober 2012)
(http:// Stiti Dharma Online.com/2012/02//Lis _ Stiti Dharma Online.htm diakses 5 Oktober 2012)


LAMPIRAN FOTO
Daksina
Pejati
Sesayut Pasupati
Peras
Canang sari tatakan dulang
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...