Minggu, 15 Desember 2013

Gayatri Sadhana

Samadhi Gayatri dan Japa Yoga
( Japa Gayatri Mantra Cara Efektif, Mudah, Efisien dan Tidak Berbahaya Untuk Mencapai Sidhi dan Samadhi di Zaman Kaliyuga )


I. Pendahuluan
1.1  Latar Belakang
          Banyak cara yang yang dapat dilakukan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Di dalam Bhagawadgita disebutkan ada empat jalan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tertinggi, keempat jalan itu disebut dengan Catur Marga Yoga. Catur Marga Yoga terdiri dari Bhakti Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Jnana Marga Yoga, dan Raja Marga Yoga.  Bhakti Marga dan Karma Marga  Yoga mengajarkan kita untuk mencari Tuhan di luar diri. Sedangkan Jnana dan Raja Yoga megajarkan kita untuk mencari Tuhan didalam diri.
     Bhakti Marga mewujudkan Tuhan dengan simbol-simbol, patung, pratima di pura. Sedangkan Karma Marga mewujudkan Tuhan di dalam diri orang yang menderita, sakit, kelaparan (membantu orang yang menderita). Jnana Marga Yoga mengajarkan Tuhan ada di mana-mana. Sedangkan Raja Marga Yoga mengajarkan Tuhan ada dalam diri sendiri. Di manapun Tuhan dipuja Beliau akan ada, termasuk dalam diri sendiri.
          Keempat jalan spritual ini sebaiknya dipilih berdasarkan dari tingkat jnana atau pengetahuan spiritual yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang yang tingkat jnana-nya masih rendah sebaiknya menekuni ajaran Bhakti dan Karma Yoga. Sedangkan seseorang yang tingkat Jnana-nya sudah tinggi sebaiknya menekuni Jnana dan Raja Marga Yoga.
          Penganut Agama Hindu yang baik adalah orang yang bisa menghargai segala macam bentuk kepercayaan dan berbagai jalan yang kemungkinan ditempuh oleh setiap bhakta. Hal ini sesuai dengan ap yang disabdakan Sri Krishna dalam Bhagawadgita berikut ini:
          “ ye  yatha prampadyante
          Tams tathai bhajamy aham,
          Mama vartma nuvartante,
          Manushyah partha sarvasah”

Terjemahan:
Jalan manapun yang ditempuh manusia, ke arah-Ku, semua aku terima, dari mana-mana semua mereka, menuju jalan-Ku oh Partha
          Dari pemaparan sebelumnya dapat dicermati bahwa Veda memiliki sifat yang luwes atau lentur. Didalam Hinduisme, sebenarnya tidak ada keseragaman konsep. Tidak ada konsep yang jelek dan tidak ada konsep yang baik sekali ( Jendra, 2003 : 117 ). Setiap jalan spritual memiliki penghargaan yang sama. Kadar kebaikan suatu jalan spiritual sesungguhnya lebih banyak bergantung pada konsep desa, kala, patra atau lebih bersifat kontekstual artinya kebaikan suatu jalan spiritual ditentukan oleh siapa pelakunya, kapan dilakukan, dimana tempat melakukannya, dan bagaimana melakukannnya.
          Kemudian timbul pertanyaan jalan spiritual apakah yang tepat dilakukan dalam zaman Kaliyuga ini? Menurut maswinara setiap zaman memiliki sastra tersendiri, setiap zaman memiliki Avatara tersendiri, dan setiap jaman memiliki teknik oprasional cara bhakti tersendiri yang dianggam paling dominan. Dan teknik bhakti yang diyakini menurut sradha Veda, paling efektif, efesien dan tidak berbahaya dan sangat cocok digunakan pada zaman kali ini yakni Namasmaranam atau mengingat, menyebut berulang-ulang nama suci Tuhan ( Maswinara, 1998 : 53-54 ).
          Namasmaranam secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian yakni: Japa dan bhajan, namun dalam artikel ini penulis hanya membahas tentang Japa. Dalam artikel ini penulis juga membatasi pembahasan meliputi pengertian Japa dan cara pelaksanaan, manfaat Japa, dan keterkaitan pelaksanaan Japa guna pencapaian Samadhi.

II Pembahasan
2.1 Pengertian Japa
          Japa adalah pengulangan setiap mantra atau nama tuhan dengan terus-menerus ( Sivananda, 1998 : 3 ).  Japa berasal dari dua kata yaitu: Ja yang artinya menghancurkan siklus kelahiran dan kematian atau samsara atau punarbawa. Pa artinya menghancurkan segala dosa ( Putra, 2010 : 9 ). Selain itu Japa juga dapat berarti mengucapakan nama Tuhan dengan Genetri yang terdiri dari 108 butiran yang terbuat dari rudsaka, aksamala, buah tulasi,  kayu cendana, emas, rumput kusa (ambengan,alang-alang) yang dirangkai dengan benang katun (kapas) .
          Ada dua macam japa yakni: vacika (oral) dan manasika ( mental/pikiran ). Vacika dibagi menjadi 2 macam yakni: 1) upamsu ( mantra yang di ulang-ulang dengan gerakan bibir tanpa mengeluarkan suara),   2) Oral ( gerakan bibir disertai dengan suara ) ( Keshavadas, 1999 : 12 ).
Jumlah 108 butir Genitri merupakan jumlah yang unik. 108 jika dijumlahkan (1+0+8) akan berjumlah 9. Angka 9 merupakan angka tertingi dan menunjukan kedudukan Hyang Widhi disembilan penjuru mata angin. Secara mithologi genitri yang berjumlah 108 dikaitkan dengan cerita Bhagawan Walmiki yang semasa walaka bernama Ratnakara pernah merampok 108 pendeta, namun ketika akan  membunuh pendeta yang ke 108 yang ternyata penjelmaan dewa Siva. Ratnakara menjadi sadar dan bertobat kemudian ia disuruh ber-Japa selama 100 tahun dan akhirnya Ratnakara berhasil menjadi Bhagawan Valmiki.
2.2 Pengertian Mantra
Mantra adalah  Nyasa atau sadana dalam laku spiritual Hindu. Kata mantra terdiri dari akar kata man dan Trana. Dari akar kata man muncul kata manana yang artinya pikiran atau berpikir. Sedangkan Trana artinya mengendalikan atau pembebasan dari iktan sengsara. Dengan demikian secara etimologis Mantra berate alat untuk mngendalikan yang dapat menyebabkan orang bebas dari kesengsaraan ( Dahyanashakti dalam Yasa, dkk, 2006 : 46 ).
Secara spiritual mantra di identikan dengan sabda Brahman. Walau semua Bunyi, kata-kata, dan aksara berasal dari tuhan namun tidak semua bunyi dapat dikatakan suatu Mantra. Mantra merupakan kumpulan kata-kata dan nada terpilih. Untuk mendapatkan manfaat religus magisnya yang maksimal maka mantra dengan cara yang tepat sehingga dapat mewujudkan istadewata atau kekuatan tertentu yang menjadi roh mantra yang dirafal.
Menurut Keshavadas arti lain mantra adalah rumus okultis untuk mengusir berbagai macam gangguan atupun bertujuan untuk menjadi jalan bagi memenuhi beberapa keinginan duniawi, tergantung dari motif untuk apa mantra diucapkan. Mantra adalah jampi yang kalau diucapkan dengan tekanan yang benar akan memberikan hasil melalui kekuatan alam, dewata atau bidadari yang dipuja seseorang, yang tembangnya diucapkan seseorang. Matra adalah kekuatan kata yang bisa dipakai untuk realisasi rohani atau keinginan keduniawian; bisa digunakan untuk kesejahteraan maupun kehancuran seseorang ( Keshavadas, 1999 : 5 ).
Ada beberapa macam mantra. Secara umum mantra dapat dibagi  menjadi mantra veda, mantra tantrika dan mantra purana. Dari ketiga jenis mantra terkantung sifat mantra yakni :
1.    Satwika Mantra yang diucapkan untuk penyinaran, kebijakan, kasih sayang yang tertinggi dan realisasi Tuhan.
2.    Rajasika Mantra adalah mantra yang diucapkan untuk memperoleh keturunan dan kesejahteraan duniawi.
3.    Tamasika mantra yang diucapkan untuk menyenangkan roh jahat guna kepentingan menghancurkan orang lain atau tindakan buruk lainnya adalah mantra tamasika ( Keshavadas, 1999 : 8 )
          Dalam tradisi Hindu bali dikenal istilah Dharmagita atau nyanyian-nyayian suci. Bagi penekun yoga di Bali dia anjurkan untuk belajar mengucapkan mantra melalui metoda Dharmagita, asumsinya adalah dengan belajar Dharmagita maka seseorang secara tidak langsung belajar mengkondisikan suaranya, sehingga mempermudah ketika kita belajar melagukan mantra.
          Selain dengan pengucapan dan nada yang tepat, perlu diperhatikan sebelum mengucapkan mantra sebaiknya didahului dengan mencuci mulut, menyiapkan mental dengan membayangkan istadewata yang akan kita puja, dan dalam pengucapanya haruslah dengan penuh rasa bakti.

2.3  Pengertian Gayatri
          Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan pengetian dari Japa yakni: pengulangan setiap mantra atau nama tuhan dengan terus-menerus. Yang ditekankan disini adalah mantra. Lalu mantra apakah yang dipilih? Gayatri mantra adalah jawabannya. Dalam memilih mantra dalam ber-Japa apalagi untuk tujuan mencapai Samadhi hendaknya memilih mantra yang berasal dari Veda, dan bersifat satvika dan Gayatri mantra memenuhi semua persyaratan itu.
          Gayatri adalah mantra yang terdapat dalam Rg. Weda  sebagai mantra yang ke-10 dalam sukta yang ke-62 pada mandala ketiga. Gayatri Mantra adalah ibu dari segala mantra hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Atharvaveda sebagai berikut:
Stuta maya varada vedamanta pracodayantam pawamani dvijanam.
Ayuh Pranam Prajanam pasum kirtim dravinam brahmavarcasam, mahyam dattva vrajata brahmalokam.
                                                                           (Atharvaveda: 19.71.1)

Terjemahannya:                                                  
Gayatri Mantra yang diakhiri kata pracodayat ( pra codayantam ) adalah ‘ ibunya’ seluruh Veda (veda mata) dan menyucikan (pavamanim) segala dosa para dvija (dvijanam). Untuk itu saya selalu (maya) memuja (stuta) Gayatri Mantra tersebut. Karena Gayatri Mantra memberikan panjang umur (ayuh), napas, (pranam), keluarga yang mempunyai keturunan baik-baik (prajanam), selalu melindungi binatang kami (pasum) memberikan kemasyuran (kirtim), memberikan kekayaan (dravinam), teja dai cahaya Tuhan (brahmavarcasam). Oh Tuhan, berikanlah (dattva) jalan moksa (vrajata brahmalokam) padaku (mahyam) ( Somvir,2001:1 ).

          Dalam mantra ini dijelaskan bahwa Gayatri Mantra yang diakhiri  dengan kata pracodayat adalah ibunya empat Veda (Rg veda, Yajurveda, Samaveda, Atharvaveda) dan yang menyucikan segala dosa pada dvija. Oleh karena itu saya (manusia) selalu mengucapkan dan memuja mantra tersebut. Gayatri Mantra ini pemberi panjang umur, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, dan pemberi cahaya yang sempurna. Dan semoga Tuhan berikanlah jalan moksa manusia.
          Selain itu Gayatri Mantra juga disebut Guru Mantra , Savita Mantra, dan Maha Mantra. Selain Atharvaveda,  Upanisad, Purana, dan Bhagavadgita juga selalu mengatakan bahwa Gayatri Mantra adalah paling suci dan penting. Mantra ini perlu dan harus diucapkap setiap orang yang ingin mendapatkan kebahagiaan dunia dan moksa. Begitu pentingnya Gayatri mantra, sehingga Tuhan sendiri menurunkan mantra dalam Atharvaveda untuk penjelasan Gayatri.
          Gayatri Mantra itu terdiri atas lima baris sebagi berikut:
Om
Pranawa Mantra, yakni suku kata inti ( simbol ) Brahman. Di dalam pranawa Om ini terkandung tiga kekuatan ilahi yakni Brahma sebagai pencipta , Wisnu sebagai pemelihara, dan Rudra sebagai pelebur.
Bhur
Alam bawah, bumi, yakni alam yang bersifat ragawati yang tersusun atas lima unsur Prakrti yang lebih  kasar yang disebut panca mahabhuta.
Bhuwah
Alam tengah, langit, yakni alam prana “daya vital”.
Swah
Alam atas yakni alam ilahi atau alam para dewa.
Tat
Itu, paramatma, Tuhan atau Brahman
Savitur
Savita, Tuhan, dialah itu dari mana semua ini lahir
Varenyam
Yang amat  mulia, maka pantas untuk dipuja
Bhargo Devasya
Sinar, cahaya cermelang, cahaya spiritual, cahaya kebijaksanaan, realitas ilahi dewa
Dhimahi
(Kepadanyalah kita) bermeditasi mari memusatkan dhi “pikiran”
Dhiyo Yo
(Semoga) budi, inteleks, pikiran
Yo
Ia, yang
Nah
kita punya
Pracodayat
mendapat pencerahan; semoga ia memberi semangat
( Diadaptasi dari Yasa, 2006 : 54 )

2.4 Samadhi
2.4.1 Pengertian Samadhi
          Sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Rsi Patanjali dalam Yogasutra yang dimaksud Samadhi adalah:
          Tadevartha matra nirbhanam svarupa sunyam iva Samadhi
                                                                                    ( Yogasutra, III: 3 )
Terjemahan:
          Renungan mendalam itu sesunguhnya samadhi
          Adapun yang dimaksud disini adalah suatu keadaan bilamana seseorang yang bermeditasi telah terserap kedalam pikirannya. Antara orang yang merenung ( pemikir ), aktivitas merenungnya ( pemikirannya ), dan yang direnungkan ( Objek yang dipikirkan ) telah menjadi satu terserap secara sempurna ( Saraswati dalam Yasa, dkk, 2006 : 28 ).
          Samadhi adalah tahap tertinggi di dalam tangga kerohanian. Samadhi membawa kita kepada pengetahuan, pengetahuan membawa kita kepada kasih sayang, kasih sayang membawa kita bersatu dengan Tuhan ( Keshavadas, 1999 : 30 ).
          Samadhi (konsentrasi) ialah terus menerus merenungkan-Nya sebagai yang mutlak, tidak dapat dijelaskan, tanpa nafsu, tenang, tak berubah dan tanpa ciri. Jnana (pengetahuan) itu mutlak, tak dapat dijelaskan, tanpa nafsu, tanpa tujuan, suci, tak berselubung, dan tidak terbinasakan.Cetana ini tidak bertujuan.Ia tidak memiliki kesadaran fisik. Ia bebas dari catur kalpana. Catur  kalpana artinya pengetahuan dan yang diketahui, sarana untuk mengetahui dan orang yang mengetahui. Itulah keempat kalpana.Semua ini tidak ada pada yogisvara. Inilah yang dinamakan samadhiyoga. Sadangayoga ini harus dimiliki oleh seorang pandita. Dengan demikian orang akan mencapai visesa. Sifat yogisvara ini harus ditunjang oleh kesepuluh kebajikan (Putra, dkk, 1998 : 63).
          Samadhi sangat berbeda dengan meditasi, meditasi berasal dari bahsa inggris ( meditation ) yang dalam bahasa Indonesia diucapkan dengan meditasi. Dalam bahasa sansekerta padana istilah ini adalah Dhyana yakni pemusatan terus menerus pada suatu objek. Sedangkan istilah Samadhi berasal dari Bahasa sansekerta dari urat kata Sam yang berate kumpulan, persamaan, gundukan, timbunan, dan dhi yang berarti pikiran, ide-ide, budi, dengan demikian secar etimologi kata samadhii berarti pemusatan atau kumpulan pikiran yang ditujukan pada suatu objek tertentu. Dalam konteks yoga objek sasaranya adalah Tuhan ( Jendra, 2003 : 4 ).

2.4.2 Tahapan Samadhi
2.4.2.1 Tahapan Samadhi dari Perspektif Yoga Sutra
          Menurut Rsi patanjali dalam Yoga Sutra II:29 menjelaskan delapan tahapan untuk mencapai Samadhi yaitu:
1)   Yama adalah pengendalian diri yang harus dilakukan oleh setiap orang dalam usaha meningkatkan kualitasa hidup yang lebih baik.
2)   Nyama adalah pengendalian rohani dengan tujuan agar rohani menjadi suci dan bersih sehingga membantu mempermudah dalam melaukan Samadhi atau pemujaan kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa.
3)   Asana adalah sikap duduk yang sempurna menurut system yoga
4)   Pranayama adalah latihan system pernafasan meliputi Puraka (menarik nafas), kumbhaka menahan nafas dan recaka menghembuskan nafas.
5)   Pratyahara (penarikan diri) artinya indriya dari obyeknya, dengan upaya dan pikiran yang tenang.
6)   Dharanayoga artinya menguasai indria dibawah pengawasan manah ‘pikiran’ dan memusatkan pikiran pada objek meditasi
7)   Dhyana (meditasi) adalah yoga yang terus menerus memusatkan pikiran kepada suatu bentuk yang tak berpasangan, tak berubah damai dan tidak bergerak.
8)   Samadhi (konsentrasi) ialah terus menerus merenungkan-Nya sebagai yang mutlak, tidak dapat dijelaskan, tanpa nafsu, tenang, tak berubah dan tanpa ciri.


2.4.2.2 Samadhi dari Perspektif Keabstrakan Objek Sasaran
          Umumnya objek pemusatan Samadhi adalah tuhan namun karna pengaruh awidya, karma wasana, dan jnana maka objek Samadhi dibedakan menjadi 2 yaitu:
1)   Pemusatan kepada Tuhan yang bersifat Nirguna, Acintya, atau Tuhan yang tanpa sifat.
2)   Pemusatan kepada Tuhan yang bersifat Saguna, Sakara Brahman atau Tuhan yang bersifat, biasanya di puja dalam bentuk ista dewata.
          Dimasyarakat pemusatan pikiran kepad Tuhan yang bersifat saguna jarang dilakukan karena tinggkat kesulitannya yang tinggi.

2.4.2.2 Samadhi dari Perspektif Media Objek Sasaran
1) Samadhi Svarupa adalah Samadhi yang memakai rupa Tuhan sebagi objek sasaranya. Di depan bhakta yang akn melakukan Samadhi telah terpasang salah satu rupa dari istadewata yang di pujanya.
2)  Samadhi Nama dalam Samadhi Nama yang dijadikan objek sasaran adalah nama-nama Tuhan, tanpa memakai Swarupa. Bhakta dalam tahapan Dharana dan Dhyana berulang-ulang menyebutkan salah satu nama suci Tuhan atau mantra yang mengangungkan Tuhan.
3)  Samadhi Sinar atau Jyotir adalah Samadhi dengan menggunakan bantuan sinar, kemudian sinar tersebut di pusatkan pada cakra-cakara yang ada pada tubuh manusia.

2.5 Persiapan Melaksanakan Japa Gayatri Mantra
2.5.1 Pembersihan Diri
          Persiapan awal ini sama seperti layaknya kita melakukan persembahyangan puja Trisandhya: mandi membasuh muka, berkumur, siapkan kembang dan dupa untuk membantu menciptakan suasana yang nyaman, siapkan genitri. Selain itu kita juga mempersiapkan mental dengan cara memulai perlahan-lahan memusatkan perhatian kepada Istadewata. Kemudian lanjutkan dengan Trisandhya.

2.5.2 Waktu dan Tempat yang Nyaman
            Waktu yang dianjurkan untuk bersamahii adalah saat Brahmamurta yakni dari waktu di sekitar pukul 03.00 sampai pukul 06.00 atau 08.00. adapun alasan waktu ini dikarenakan pada saat itu kondisi fisik manusia masih segar dan keadaan masih dalam keadaan tenang, sehingga sangat membantu dalam pemusatan pikiran ( Jendra, 2003 : 22 ).
Menurut tantrasara, japa pikiran bisa dilakukan di mana saja sedangkan Lingga purana menekankan pentingnya lingkungan tertentu untuk memberikan manfaat yang besar: apabila melakukan japa dirumah manfaatnya hanya akan sama dengan jumlah 108. Apabila melakukan japa di kandang sapi maka manfaatnya 100 kali lebih besar. Jika japa dilakukan di pinggir sungai suci maka pahalanya akan menjadi seratus ribu kali dibandingkan kedua hal yang pertama.  Jika japa yang sama dilakukan di depan pratimanya dewata maka pahalanya sudah tidak bisa dihitung lagi ( Keshavadas, 1999:14 ).
Di dalam bhagawad Gita, Sri Krisna mewejangkan aturan-aturan berikut untuk meditasi:
Suchau dese pratishthapya,
Stiram asanam atmanah,
Na tyuchhhritam na tinicham,
Chailajina kusottaram
                                       ( Bhagavadgita, VI.II )
Terjemahan:
            Dengan duduk teguh di tempat yang bersih, tidak tinggi tidak juga rendah ditumbuhi oleh rumput suci kusa, diatasnya kulit rusa dan kain silih berganti ( Jendra, 2003 : 9-10 ).
Yang dimaksud disini adalah tempat yang bersih di atas tempat duduk yang kukuh dengan rumput kusa (dharbasana), kulit menjangan dan kain yang di tempatkan tersusun satu di atas yang lainnya kusa yang dibawah, kulit menjangan yang di tengah dan kain yang paling atas), jangan terlalu tinggi dan jangan terlalu rendah, seorang seharusnya duduk.
Guna  alas dalam melakukan Samadhi adalah mengurangi gaya gravitasi bumi yang dapat menyerap energi yang ada pada tubuh kita.
Tempat untuk melakukan japa hendaknya ditempat yang bersih, nyaman, jauh dari gangguan-gangguan, seperti gangguan binatang-binatang. tidak bising oleh suara binatang atau suara lainnya. Duduk pada tempat yang sama setiap hari akan memberikan ketenangan sehingga membantu menenangkan pikiran dan pemusatan pikiran pada suatu objek.

2.5.3 Sikap Tubuh
          Untuk pemilihan sikap tubuh sebenar dapat dilakukan oleh seseorang berdasarkan dari kenyamanan seseorang yang melaksanakanya ( Sukhasana ). Sebab Samadhi dapat dilakukan dalam dalam sikap apa saja semisal sambil tidur, sambil santai, sampai bergelayutan di pohon seperti kelelawar.  Namun untuk pemula para yogi menganjurkan mempergunakan padmasana untuk meditasi. Duduklah dilantai, tempatkanlah kaki di atas paha kiri dan kaki kiri di atas paha kanan. Kedua tumit harus menekan ke arah bagian bawah perut. Inilah yang disebut asana teratai (padmasana) jagalah supaya punggung, kepala, leher tetap tagak dan tetaplah demikian. Ambillah napas panjang dan tetaplah waspada untuk tidak tegak. Asana dalam samadhi memiliki peranan penting, sebab hal ini yang menyebabkan kekuatan dan ketekunan. Selain mudra atau postur dari tubuh dan lambang-lambang membawa keteguhan hati. Disamping hanya melakukan latihan ini, kita harus memahami arti asana-asana ini yang akan secara cepat memberikan kekuatan pikiran, penyinaran dan ketenangan. Didalam melaksanakan japa hendaknya punggung, kepala, dan leher dan tetap seperti itu serta menatap ujung hidung dan tidak melihat kejurusan yang lain.
          Sikap tangan ditaruh sejajar dengan badan dan meletaknya di atas lutut. Tangan kanan diatas lutut kanan dan tangan kiri diatas lutut kiri. Tangan dan kanan dalam keadaan tenggadah, ibu jari dan jari telunjuk saling bersentuhan. Jika memakai genitri maka genitri dipegang oleh tangan kanan, kemudian genitri diletakan melingkari jari tengah, manis dan kelingking dan di putar kearah dalam dengan ibu jari.
            Adapun makna filosofis dari sikap jari-jari ini adalah: Ibu jari sebagai Paramaatman ( Tuhan ) harus senantiasa dekat dengan jari telunjuk sebagai symbol atman. Selain itu telunjuk dilambangkan sebagai ahamkara ( ego ) yang tinggi karena itu ego harus ditekan. Kemudian ketiga jari lainya adalah sebagi lambing Triguna. Ketiga guna tersebut harus dipisahkan dari atman dan paraatman oleh sebab itulah antar ibu jari, telunjuk, jari tengah, manis dan kelingking tidak disatukan ( Jendra, 2003 : 14-16 ).

2.5.4 Mantra Pembuka
Adapun mantra pembukaan sebelum melakukan Gayatri Mantram adalah sebagai berikut: Setelah sembahyang Trisadya masih dalam sikap padmasana diteruskan ber-japa. Sebelum ber-japa dalam sikap asana mengucapkan mantra pembukaan sebagai berikut:
Om sandya mandalagata, Trimurti svarupini,
Sarasvati ya savitri, tan vande Veda mataram.

Terjemahannya:
Ya dewi Gayatri yang berada pada lingkaran sinarnya matahari
Engkau yang diberi gelar Trimurti
Engkau pula yang disebut dengan sarasvati dan savitri
Engkau yang dipuja sebagai Dewi Gayatri ibu dari segala Veda.

          Makna mantra ini menjelaskan bahwa Dewi Gayatri yang berada pada lingkaran sinarnya matahari atau “Surya” dimana di dalam Veda “Surya” adalah Brahman, sedangkan dalam Purana “Surya” disebutkan sebagai Siva sebagai Deva dari segala Deva. Di dalam Gayatri-lah ada Tri-murti atau Tri-murti ada di dalam Brahman = Tuhan. Didalam Gayatri ada Sarasvati sebagai Dewi Kebijaksanaan dan Savitri sebagai sumber dari segala cahaya yang pada akhirnya memberikan kehidupan maka Savitri menjadilah Devi kemakmuran.

2.5.3 Tehnik Membangkitkan Kundalini Melalui Gayatri Mantra
Ada tujuh vyahrti atau wirama dalam gayatri-mantra. Ketujuhnya adalah: Om. Bhuh, om. Bhuva, om. Maha, om janah, om tapah, om satyam. Penyembah harus menjalankan disiplin berikut untuk membangunkan sakti: duduklah dalam posisi padmasana atau siddhasana menghadap ketimur atau ke utara.
1.    Tutuplah mata dan semedhi kepada muladhara cakra pada dasar tulang belakang dan tariklah napas. Bayangkan teratai berdaun empat ketika anda menahan napas. Ketika anda mengeluarkan napas, ucapkanlah om bhuh.
2.    Rasakanlah bahwa sakti talah terbangun dan mencapai svadhisthana cakra, pada pusat kemaluan. Tariklah napas dan ketika anda menahan napas di dalam, semedhilah pada teratai berdaun enam. Ketika anda mengeluarkan napas, ucapkanlah om bhuvah
3.    Sekarang rasakanlah bahwa sakti telah memasuki manipura cakra, pada pusar. Ketika anda menarik nafas dan kemudian menahannya, pusatkanlah pikiran pada teratai dengan sepuluh daun. Dan ketika anda mengeluarkan napas ucapkan om svah.
4.    Sekarang skti itu menembus cakra keempat yang bernama anahata cakra, pada pusat jantung. Tariklah napas dalam dan pusatkanlah pikiran atas teratai berdaun dua belas ketika anda menahan napas dan ucapkanlah om mahah ketika napas keluar.
5.    Ketika sakti memasuki visudha cakra yang terdiri dari enam belas daun, tariklah napas dan semedhi kepada cakra tersebut ketika sedang menahan napas dan ucapkanlah om janah ketika mengeluarkan napas.
6.    Sekarang pusatkanlah pikiran anda ada pada pertemuan kedua alias yang disebut ajna cakra, teratai dengan dua buah daun. Dialah pusat dari mata yang ketiga. pusatkanlah pikiran kepada sakti pada cakra ini ketika anda menarik napas dan menahannya. Ketika mengeluarkan napas ucapkan om tapah.
7.    Tarik dan tahanlah napas pusatkanlah pikiran seperti di atas dan ketika anda mengeluarkan napas, ucapkanlah dhiyo yo nah procodayat (sinarilah buddhi ku).
          Duduklah dengan diam didalam meditasi untuk beberapa waktu, kemudian rasakanlah bahwa Anda membawa kembali sakti dewi kembali ke tempat persemayamannya yaitu pada dasar tulang belakang. Ucapkanlah Om dan rasakanlah bahwa dia kembali kepada pertemuan kedua alis dari cakra seribu daun. Sekarang ucapkanlah ham dan rasakan kembali ke cakra di leher. Yam adalah mantra yang harus anda ucapkan ketika dia kembali ke anahata cakra. Dengan mantra ram, anda harus mengembalikinnya ke manipura cakra. Sakti devi memercikkan amerta keseluruh tubuh ketika dia kembali kepersemayamannya. Ucapkanklah vam ketika dia kembali ke svaddhisthana cakra. Akhirnya ucapkanlah lam ketika dia kembali ke muladhara cakra.

2.5.4 Mantra Penutup
Setelah selesai berjapa maka ucapkanlah mantra penutup yang di ambil dari sloka: Bharadaranyaka Upanisad 1.3.28 sebagai mantra untuk memohon bimbingan spiritual yang isinya sebagai berikut:
Om asato ma sad gamaya,
 tamaso ma jyoitir gamaya,
martyor ma amrtam gamaya,
Om Santih, Santih, Santih Om

Terjemahanya :
Ya tuhan, bimbinglah kami menuju kebenaran,
Bimbinglah kami dari kegelapan ( pikiran ) menuju cahaya terang,
Bimbinglah kami dari kematian menuju kehidupan yang abadi,
Semoga tercipta kedamaian di ketiga dunia.
          Gayatri mantra yang dilaksanakan dengan tekun penuh keyakinan dan kedisiplinan yang dilandasi dengan hati tulus iklas, dan jiwa yang suci akan membakar semua pikiran-pikiran kotor, memusnahkan semua perbuatan-perbuatan tidak baik, menuntun kejalan yang benar memberikan lindungan agar tidak terjatuh dalam perbuatan-perbuatan tidak baik.

2.6 Simpulan
          Japa adalah pengulangan setiap mantra atau nama Tuhan dengan terus-menerus. Di jaman besi atau Kali Yuga ini saat kebanyakan tubuh orang tidak baik, pelaksanaan hatha yoga secara kaku sangatlah sulit, sehingga japa merupakan jalan yang mudah menuju realisasi Tuhan.
          Salah satu mantra yang dapat digunakan dalam ber-japa untuk mencapai Samadhi adalah Gayatri mantra karena Gayatri mantra bersuber dari Veda (Rg. Veda  mantra ke-10 sukta ke-62 ) dan merupakan mantra yang bersifat satvika.
          Selain untuk mencapai Samadhi, Gayatri mantra juga dapat digunakan untuk memperoleh sakti atau sidhi. Seseorang akan memperoleh jika ia mampu memusatkan pikiran pada cakra-cakra yang terdapat dalam tubuhnya. Kemudian menggerakan devi kundalini yang ada di muladhara cakra menuju sahasrara cakra.
Daftar Pustaka
Jendra, I Wayan, 1998, Cara Mencapai Moksa di Jaman Kali. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.
Jendra, I Wayan, 2003, Samadhi Hening Tanpa Kata. Denpasar: Pustaka Manik Geni.
Keshavadas, Sant, 1999, Gayatri, Semedhi Maha Tinggi (Alih Bahasa oleh Agus S. Mantik). Denpasar: Pustaka Manik Geni.
Putra, I Nyoman, 2010, Dasyatnya Mantra Gayatri Menghancurkan Batu Cadas Ahamkara. Surabaya: Paramita Surabaya.
Putra, I.G.A.G dan Sadia, I Wayan.2009. Vrhaspati Tatwa. Alih Bahasa. Surabaya: Paramita Surabaya.
Sivananda, Svami, 1998, Japa Yoga Cara Paling Efesien dan Efektif Untuk Mencapai Dharma, Artha, Kama dan Moksha Pada Jaman Kali (Alih Bahasa Oleh Made Aripta Wibawa). Surabaya: Paramita Surabaya.
Somvir, 2001, 108 Mutiara Veda Untuk Kehidupan Sehari-hari. Surabaya: Paramita Surabaya.
Suka Yasa, I wayan, dkk.2006. Yoga Marga Rahayu. Denpasar: Penerbit Widya Dharma dan Tim PIA Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia.

2 komentar:

  1. keren tulisannya, izin share ya. buat refern d blog saya di arya-bhairava.blogspot.com baru belar nie..hehe

    BalasHapus
  2. Tulisan yg bagus, semoga menginspirasi anak muda hindu melineal yg lain. Teruslah berkarya subhakarma, om tat sat swaha om

    BalasHapus

Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...