Minggu, 15 Desember 2013

Ganapati Tattva

GANAPATI TATTWA
I.       PENDAHULUAN
Ajaran pokok dari Siwa Siddhanta adalah bahwa Siwa, merupakan realitas tertinggi, dan jiwa atau roh pribadi adalah dari intisari yang sama dengan Siwa, tetapi tidak identik.( Yayasan Sanatana, 2003:261). Realita tertinggi disebut Siwa, yang merupakan kesadaran tak terbatas, yang abadi, tanpa perubahan, tanpa wujud, merdeka, ada dimana-mana, maha kuasa, esa tiada duanya, tanpa awal, tanpa penyebab, tanpa noda, ada dengan sendirinya, selalu bebas, selalu murni dan sempurna. Ia tak dibatasi oleh waktu yang merupakan kebahagiaan dan kecerdasan yang tak terbatas, bebas dari cacat, maha pelaku dan maha mengetahui.
Sumber ajaran siva di Bali terdapat empat kelompok, yaitu weda, tattwa, etika, dan upacara. Kelompok Weda : Weda Parikrama, Weda Sanggraha, Surya Sevana dan Siva Pakarana. Kelompok Tattwa : Bhuwana Kosa, Bhuwana Sang Ksepa, Wrhaspati Tattwa, Siwa Gama, Siwatattwa Purana, Gong Besi, Purwa Bhumi Kamulan, Tantu Pagelaran, Usana Dewa, Ganapati Tattwa, Tattwa Jnana dan Jnana Siddhanta. Kelompok Etika : Siwa Sasana, Rsi Sasana, Wrti Sasana, Putra Sasana dan Slokantara. Kelompok Upacara : Upacara Dewa Yadnya (caturwedhya, wrhaspatikalpa, ddewatattwa dan sundarigama), Pitra Yadnya (yamatattwa, empulutukaben, kramaning atiwatiwa, indik maligya, dan puteru pasaji), Rsi Yadnya (kramaning madhiksa dan yajna samskara), Manusa Yadnya (dharma kahuripan, eka ratama, janamaprawrti, puja kalapati, puja kalib), Bhuta Yadnya (eka dasa ludra, pancawali karma, indik caru dan pujapalipala). Salah satu sumber yang akan dibahas adalah Ganapati Tattwa yang termasuk sumber Siwa Siddhanta ke dalam kelompok Tattwa. Ganapati Tattwa ini adalah mengisahkan bagaimana percakapan Dewa Siwa dengan putranya yaitu Ganesha atau Ganapati.


II.    PEMBAHASAN
2.1.      Ringkasan Singkat Ganapati Tattwa
Ganapati Tattwa adalah salah satu Lontar Tattwa, Lontar Filsafat Siwa, yang digubah dengan mempergunakan metode Tanya jawab. Tanya jawab ditulis di dalam 37 lembar daunt al yang disusun dalam 60 bait, menggunakan bahasa Sansekerta yang disertai dengan ulasan dalam bahasa Kawi.  Ganapati, putera Siwa, adalah Dewa penanya yang cerdas. Dan Siwa adalah Maheswara, yang menjabarkan ajaran Rahasia Jnana, menjelaskan tentang misteri alam semesta beserta isinya. Terutama tentang hakikat manusia : dari mana ia dilahirkan, untuk apa ia lahir, kemana ia akan kembali dan bagaimana caranya agar bisa mencapai kelepasan.
Kitab Ganapati Tattwa ini telah dikaji oleh Sudarshana Devi Singhal dan diterbitkan dalam Satapitaka Series No.4 oleh International Academy of Indian Culture, Nagpur, India (1958) terdiri dari 60 sloka dalam Chabda Anustubh Sansekerta. Isinya merupakan dialog antara Sang Hyang Siwa dengan Sang Hyang Ganapati, putranya sendiri. Secara ringkas isinya dapat diuraikan sebagai berikut: Omkara adalah wujud sabda sunya, nada Brahman, asal mula Pancadaivatma : Brahma, Wisnu, Iswara, Rudra dan Sang Hyang Sadasiva. Pancadivatma merupakan asal Panca Tan Matra yang terdiri dari Rupa (unsur bentuk), Gandha (unsur bau), Rasa (unsur rasa/kenikmatan), Sparsa (unsur sentuhan), dan Sabda (unsur suara). Dari Panca Tan Matra munculah Panca Mahabutha yang merupakan unsur materi (elemen alam semesta) yang terdiri dari : Apah (air/benda cair), Teja(panas), Vayu (angin), Prthivi (tanah) dan Akasa (ether). Dari Panca Mahabutha ini alam semesta beserta isinya diciptakan, dan Sang Hyang Sivatma menjadi sumber hidup yang menggerakkan segala ciptaannya (Ganapatitattwa dalam Buku Pasek Gunawan, 2012: 62).
Dijelaskan pula ajaran Sadangga Yoga yang terdiri dari Pratyaharayoga, Dhyanayoga, Pranayamayoga, Dharanayoga, Tarkayoga, dan juga Samadhi ebagai jalan spiritual untuk mencapai Moksa (Ganapatitattwa dalam Buku Pasek Gunawan, 2012:62). Juga diuraikan tentang eksistensi Padmahrdaya (Padmahati) sebagai Sang Hyang Sivalingga, Beliau harus direnungkan. Hanya ia yang bijaksana, berhati suci, dan penuh keyakinan yang dapat mengetahui beliau. Beliau hendaknya setiap saat dipuja dengan sarana Sang Hyang Caturdasaksara (14 buah huruf suci). Dilanjutkan dengan uraian tentang berbagai jenis Lingga (Ganapatitattwa dalam Buku Pasek Gunawan, 2012 :62).
Pada bagian lain diuraikan tentang anggapan orang bodoh dan sombong yang tidak memahami Atma, juga uraian tentang sthana Bhatara Brahma, Visnu dan Siva dalam tubuh manusia. Sang Hyang Bhedajnana adalah ajaran yang sangat rahasia tentang manusia. Yang berhak menerima ajaran Dharma. Berikutnya diuraikan tentang Moksa (kalepasan) dan orang-orang yang mencapai hal tersebut, yakni yang mengutamakan pengetahuan yang suci. Bagian terakhir menjelaskan upacara ruwatan (panglukatan) Ganapati, sarana upakara yang diperlukan, mantra yang digunakan, dan manfaat dari upacara ritual tersebut. Kitab ini ditutup dengan mantra pemujaan ditujukan kepada Sang Hyang Ganapati dan Dewi Saraswati (Ganapatitattwa dalam Buku Pasek Gunawan, 2012:63).

2.2.      Pokok-Pokok Ajaran Dalam Ganapati Tattwa
Sebagai salah satu sumber dari Siwa Sinddhanta, adapun pokok-pokok ajaran dalam Ganapati Tattwa, yaitu :
1.      Sang Hyang Siwatman Menciptakan Alam Semesta Dari Unsur Panca Mahabutha
Dalam bagian ini, akan di jelaskan bagaimana percakapan Sang Ganapati dengan Dewa Siwa. Dimana, Dewa Siwa memberikan wejangan bagaimana Sang Hyang SIwatman itu menciptakan alam semesta dari unsur Panca Maha Butha. Berawal dari perihal munculnya Panca Daiwatma, yang dijelaskan bahwa dari Omkara muncul Windu, bagaikan embun yang berada di ujung rambut/rumput, disinari matahari bening bagaikan dupa, sinarnya terang cemerlang berkilauan. Dari Windu itu muncullah Panca Daiwatma yaitu : Brahma, Wisnu, Rudra, Kami/daku dan Sang Hyang Sadasiwa. (Ganapati Tattwa,1.2)
Kemudian tentang hakikat alam semesta, dari Panca Daiwatma lahir Panca Tanmatra, yaitu : dari Brahma lahir bau, dari Wisnu muncul unsur kenikmatan, dari Rudra timbul mode/bentuk, dari Daku (Iswara) keluar unsur rabaan, dari Sang Hyang Sadasiwa nada/suara. (Ganapati Tattwa, 1.4). Kemudian dari sabda timbul ether, dari sparsa muncul angin, dari rupa keluar sinar, dari rasa lahir zat cair, dan  dari gandha timbul tanah. Dari perthiwi terwujudlah bumi, berkat apah muncul air, karena teja tercipta matahari, bulan dan bintang; karena wahyu adalah angin; dari akasa lahirlah tumbuh-tumbuhan seperti : rumput pohon kayu, tanaman melata, serba kulit kelopak dan inti serta segala makhluk yaitu : bianatang/ternak, burung, ikan makhluk halus; demikianlah keadaannya alam semesta itu.
Setelah itu juga dijelaskan bagaimana perihal penjelmaan (kelahiran) manusia. Kelahiran manusia tidaklah berbeda dengan manifestasinya Dewa. beserta dengan penciptaan alam semesta, sebab manusia lahir dari Windu, awal mulanya Omkara; bagaimana wujudnya, yakni : Brahma dan Wisnu menciptakan badan jasmani, yang terbentuk dari unsur tanah dan zat cair; Rudra menciptakan alat pelihat (mata), yang terwujud dari sinar; Daku (Iswara) membuat pernafasan, yang berbentuk raba sentuhan; Sang Hyang Sadasiwa menciptakan bunyi/suara, yang terwujud dari unsur ether. (Ganapati Tattwa, 1.6).

2.      Hubungan Gaib/Rahasia dari Sang Hyang Siwatma
Alam semesta dan badan jasmani manusia adalah tunggal. Sama seperti dalam hubungannya dengan keberadaan bhuana agung dan bhuana alit. Apa yang ada di alam semesta juga ada dalam tubuh jasmani manusia. Seperti halnya pada alam semesta, Brahma berstatus di selatan, memelihara tanah/bumi; Wisnu berstatus di utara memelihara zat cair/air; Rudra berstatus di barat, mengendalikan matahari, bulan dan bintang; Daku (Iswara) berstatus di timur mengatur udara/angin; Sang Hyang Sadasiwa berstatus di tengah, memelihara ether/atmosphere. Kalau dalam tubuh manusia, Brahma berstatus di muladhara, menghidupkan indra/jasmaniah, berhubungan dengan hidung, memerlukan bau; Wisnu berstatus di pusar/nawe, memelihara badan jasmani, berhubungan dengan lidah, memerlukan unsur kepuasan (rasa); Rudra berstatus di hati, mengatur kesadaran/tekad, berhubungan dengan pandangan mata, menentukan pikiran; Daku (Iswara) berstatus di kerongkongan/throat, mengendalikan ketiduran, berhubungan pada mulut, mengatur nada suara; Sang Hyang Sadasiwa berstatus di ujung lidah, menguasai segala pengetahuan, berhubungan dengan telinga, meneliti keadaan suara.(Ganapati Tattwa, 1.8). Begitulah keberadaan Daiwatma itu dalam tubuh jasmani dan alam semesta ini.
Dalam bagian ini juga dijelaskan tentang muladhara, yang tempatnya diantara lubang dubur dan alat kelamin. Tentang perpaduan serta pembentukan manusia baru yang dilahirkan melalui perantara sang ibu. Dikatakan pula perihal tentang yang menghidupkan bayi itu dalam kandungan hingga adalam usia tuanya. Seperti dalam Ganapati Tattwa, 1.15 dijelaskan bahwa yang menjadi penghidupannya

3.      Sadanggayoga, Jalan Untuk Mencapai Kelepasan
Adapun bagian dari Sadanggayoga, yaitu
3.1.            Pratyaharayoga
Segala tujuan kepuasan hawa nafsu yang dapat dikendalikan dengan ketenangan iman (pikiran) yang teguh, itulah yang dinyatakan Pratyahara. Pratyaharayoga artinya segala hubungan hawa nafsu itu terkekang, tiada dibbaskan pemuasannya, dikendalikan dengan kesadaran iman suci yang teguh, meskipun kurang mesra namun ada juga kejernihannya, surutnya pemuasan nafsu itulah yang disebut Pratyaharayoga. (Ganapati Tattwa, 4)
3.2.            Dhyanayoga
Tanpa pasangan, tiada perubahan agitasi, tanpa koneksi, dan tetap juga tenang, maka system konsentrasi renungan berpikir yang demikian itulah yang disebut Dhyana. Dhyanayoa artinya system pemikiran yang tiada mendua tanpa perubahan, (selalu) tenang juga dalam suka dukanya, tiada pernah gelisah, tetap teguh tanpa terpengaruhi, kesadaran pemikiran yang menunggal itulah jadi perilakunya, demikianlah yang dimaksud Dhyanayoga. (Ganapati Tattwa, 5)
3.3.            Pranayamayoga
Isaplah udara dengan segala lubang lain yang tertutup dan terus konsentrasi kemudian keluarkan udara itu perlahan-lahan, inilah yang disebut system pelaksanaan Pranayama. Pranayamayoga artinya: tutupilah segala lubang mata, hidung, telinga dan mulut, namun terlebih dahulu isaplah udara, konsentrasi/tembuskan pada ubun-ubun, bila sudah terasa tegang/penuh terkendali biarkanlah keluar melalui lubang hidung secara perlahan-lahan;itulah yang disebut konsentrasi pengaturan nafas (Pranayamayoga). (Ganapati Tattwa, 6)
3.4.            Dharanayoga
Statuskanlah Omkara itu dihati dan konsentrasikan Siwatma (Sunyatma) dengan Siwatma (Sunyatmaka/Sunyasiwa) bila tiada terdengar sesuatu, demikianlah yang disebut Dharana. Dharanayoga berarti : secara spirituilnya sebagai simbolik bahwa Omkara itu ada di hati, yaitu sebagai pusat pengendalian pengaruh unsure jasmaniah bila tenang tiada lagi terdengar sesuatu dalam saat beryoga, maka dalam status beginilah Bhatara (Atma) dalam perwujudan Sunyasiwatma (menunggal) dengan Sumber Jiwa Alam Semesta/Sadasiwa. Demikianlah yang dimaksud Dharanayoga. (Ganapati Tattwa, 7)
3.5.            Tarkayoga
Pikiran itu bagaikan tanpa suara diangkasa, terpisahnya suara dengan angkasa itulah sebenarnya tujuan pikiran yang suci (Paramartha), demikianlah Tarkayoga itu adanya. Tarkayoga artinya : bagaikan langit/angkasa kiranya pikiran suci (Paramartha) itu, yang tiada terpengaruhi sesuatu, sebab tak ada unsure suara padanya, begitulah simbulnya Paramartha, yang berlainan dengan angkasa udara, walaupun persamaannya sungguh serba jernih; demikianlah yang disebut Tarkayoga. (Ganapati Tattwa, 8)
3.6.            Semadhiyoga
Tiada lalai, tanpa aktivitas, tanpa keperluan, tanpa pengakuan, tanpa keinginan, tidak terpengaruh, tanpa harapan; itulah yang disebut Semadhi. Semadhiyoga artinya: bhatin yang tidak lalai, tiada berharap, tanpa keakuan, tiada sesuatu yang diinginkannya, tak ada yang diperlukan, tenang tiada terpengaruh; itulah yang dinamakan Semadhiyoga. (Ganapati Tattwa, 9).
4.      Catur Dasaksara
Untuk Caturdasaksara yang bagaikan bunga dengan keharuman tanpa surutnya, beliau bertahtah di hati, yang senantiasa daku sembah (seperti) Siwa. Di sana pada ulu hati keadaan Bhatara Siwa, pujalah beliau senantiasa dengan sarana Sang Hyang Caturdasaksara, bersimbolik seperti ini: SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG, YANG, ANG, UNG, MANG: OM, itulah beliau Sang hyang Caturdasaksara, diumpamakan sebagai bunga yang mekar, harum semerbak tiada selingan, demikianlah pemujaanmu yang tekun setiap waktu. Dari Niskala lahir Nada, dari Nada muncul Bindu, dari Bundu muncul Bulan (semi), dari Bulan itu ada Wisnu/ dunia berulang-ulang.
Tegasnya, yang Niskala melahirkan Nada. Dari Nada melahirkan Bindu, dari Bindu melahirkan Ardhacandra, dari Ardhacandra melahirkan Wisnu/ alam semesta, berulang-ulang pelaksanaannya; Wiswa berarti Sang Hyang Pranawa, Sang Hyang Pranawa sesungguhnya adalah omkara. Wiswa (alam) berpadu dengan Candra (semi bulan), Bindu dengan Nada, dari perpaduan itu senantiasa mewujudkan Omkara.Wiswa itu berpadu  dengan Ardhacandra dan Bindu beserta Nada; energi hidup Ardhacandra dan Bindu serta Nada itu manunggal, selanjutnya menjadi Omkara.Wiswa melekat pada Candra, dan Candra menempel pada Bindu, serta Bindu kembali pada Nada, demikianlah perihal/ keadaan aktivitasnya.
Wiswa itu bergantung pada Ardhacandra, Ardhacandra itu lebur dalam Bindu, Bindu itulah bergantung pada Nada, demikianlah halnya ajaran Filsafat dan Nada itu kembali ke Niskala. Niskala itu disebut dengan Maya Tattwa, itulah Pradhana (materi), pengembaliannya pada Nada, dan Niskala itu kembali  ke Sunyantara, Sunyantara itu kembali ke Atyantasunya, sebagai pengembaliannya Niskala dan anakku Sang Ganadhipa, adapun yang dimaksud Utpatti (lahir), Sthiti (hidup) dan Pralina (lebur) itu ialah Sang Hyang Pranawa.
Dari Siwa lahir Atma, karena Atma maka dari Prakrti muncullah Rawi (matahari), dari Rawi lahir Agni (panas/api).
ING itulah disebut Siwa, dari siwa lahir Atma, BANG dari Atma lahir Pradhana/materiil, SANG dari Pradhana/Prakrti lahirlah matahari (Aditya), TANG, Aditya lahirlah Agni (api/panas),ANG. Demikianlah hal manifestasinya Sang Hyang Panca Brahma yaitu: ING, BANG, SANG, TANG, ANG. Prakrti itu dijiwai atma, dan karena Atma maka adalah matahari, adanya Agni menyusul setelah matahari; demikianlah ternyata Siwagni dalam keadaan Sthiti. Yang permulaan adalah SANG filsafatnya, selanjutnya BANG, kemudian TANG, terus ANG, dan akhirnya ING, inilah Sthitinya Sang Hyang Panca Brahma, urutannya adalah SANG, BANG, TANG, ANG, ING. (Ganapati Tattwa, 24-29).
Aksara Am itu disertai leh Aksara Tam, disertai oleh Aksara Sam, disertai Aksara Bam, disertai oleh Aksra Im. Demikianlah lahirnya Sang Hyang Panca Brahma urutannya adalah: Am, Tam, Sam, Bam, Im. Aksara Sam dan Bam lebur menjadi Aksara (aksara) A, sedangkan Aksara Tam dan Am lebur menjadi Uksara (aksara) U. Adapun aksara Im lebur mejadi Makara (aksara Ma). Dengan demikian Sang Hyang Panca Brahma (Am, Tam, Sam, Bam, Im) lebur menjadi Tyaksara (A, Um, Ma). Apabila Sang Hyang Tyaksara menyatu maka ia akn menjadi Omkara (aksara Om). Sesungguhnya aksara A itu berada di tengah, aksara Ma berada di atas, dan aksara U berada di bawah. Demikianlah pertemuan dari ketiga huruf itu membentuk aksara Om (Omkara).
Aksara Yam, Wam, Sim, dan Nam adalah utpatti Sang Hyang Pancaksara. Aksara Sim, Wam, Man dan Yam adalah Sthiti Sang Hyang Pancaksara. Sedangkan aksara Nam, Mam, Sim, Wam, Yam, adalah Pralina sang Hyang Pancaksara. (Ganapati Tattwa, 30-33)
5.      Lahirnya Tri Aksara, Dasaaksara dan Catur Dasaksara
Aksara Ya dihilangkan dimasukkan pada aksara A (Aksara) pada tahap pertama. Tahap kedua masukkan aksara Tang (Siwa) pada aksara U (Ukara).  Tahap ketiga aksara Ya (Yakara) dihilangkan menjadilah ia aksara Ma (Makara). Adapun aksara A (Aksara) dan aksara U (Ukara) apabila dilebur akan menjadi aksara O (Okara).
Apabila aksara Ma (Makara) dihilangkan ia akan menjadi Bindu (Windu = titik) yang terletak diatas O (Okara). Demikianlah tatacara lahir (Utpati), pemeliharaan (Sthiti), dan peleburan (Pralina). Sang Hyang Panca Brahma dan Pancaksara. Pertama-tama aksara Ma (Makara) diikuti oleh aksara A dan selanjutnya diikuti oleh aksara U sebagai kelahiran Sang H yang Tri Aksara Mam, Am dam Um. Itulah tatacara sehingga menyebebkan mencapai sorga.
Apabila aksara A dipakai permulaan kemudian diikuti oleh aksara U dan aksara Ma, sebagai pemeliharaannya Sang Hyang Tri Aksara Am, Um dan Mam. Itulah tatacara yang jiga dapat menyebabkan mencapai sorga. Adapun apabila dimulai dengan aksara U (Ukara) selanjutnya diikuti oleh aksara A dan terakhir aksara Ma, sebagai pelebur Sang Hyang Tryaksara Um, Am, dan Mam (akan mencapai) Sorga. Adapun aksara U lebur pada Bindu (windu=titik) dan Ardacandra. Sedangkan aksara Ma (Makura) lebur pada Nada. Nada itu terletak pada alam kosong. Demikianlah tatacaranya. Sampai pada hati Caturdasaksara.
Inilah Sang Hyang Bhedajnana kuajarkan kepadamu anakku, oleh karena teramat rahasia sifatnya, karena itu tidak diketahui oleh dunia (masyarakat), apa sebabnya? Karena ia adalah rahasia tentang diri (kita), seandainya rahasia itu tidak diketahui mustahil akan dapat mencapai (dunianya) Siwa. Sesungguhnya asal diri manusia adalag Dewa (Dewa sarira) dan ia yang selalu menjaga Sang diri. Hal itu diketahui oleh Sang Pendeta yang merupakan pengetahuan rahasia tentang manusia, dari awal, pertengahan dan akhir, habis olehku mengajarkan kepadamu, oleh karena teramat sangat penting untuk diketahui. (Ganapati Tattwa, 34-41)

6.      Pengetahuan tentang Sang Hyang Bheda Jnana
Adapun murid yang dapat diberikan pengetahuan tentang Sang Hyang Bhedajnana adalah murid yang punya imam terhadap Dana ( sedekah), orang yang dapat mengendalikan nafsunya, dan mereka yang bersungguh-sungguh hendak melaksanakan Dharma, melaksanakan Bratha (mengurangi kepentingan hidup di dunia ini), dan pada murid yang berbakthi berguru. Umpamanya : adalah yoga yang di ajarkan oleh Sang Hyang Bhedajnana. Adapun tatacaranya demikian (lihat sloka 43).
Ada tiga prilaku bagi orang yang mengutamakan (purusa) kebebasan seperti : ada yang mengikuti prilaku Sakala, Kawalasuddha dan Malinatwa. Ketiganya dijelaskan demikian. Sakala artinya berbadan tri guna (satwam, rajas, tamas). Kewalasuddha artinya melepaskan diri dari kebahagiaan (duniawi). Malinatwa artinya bebas dari sifat tri guna. Manowijnana badannya, artinya suci badannya. Jiwanya badan suci, dari sana menuju kesangsian, itulah yoga namanya. Sinyakara kaiwalya artinya orang yang tak ternoda oleh kebahagiaan duniawi aialah yang dianggap Siwa Suci.
Tak lama kemudian, setelah senang terdiam hening pada badan yang suci, bebas dari nafsu keduniawian tanpa keraguan wujud yang kosong (itulah yang dimaksud) lenyapnya segala keinginan. Itulah yang disebut kesucian tertinggi (Paramisudha) karena lenyapnya (segala keinginan) lalu menggaib tanpa ragu-ragu. Kerjakanlah hal itu oleh dirimu sendiri. Kesimpulannya, pengetahuan suci yang tak ternodai (adalah) sarana untuk mencapai penyatuan diri dengan Sang Roh Yang Maha Agung. Tidak ada yang melebihi keinginan-keinginan yang tak ternoda oleh kesenangan duniawi. Orang demikian pasa saat mati rohnya (Sang Roh Yang Mempribadi) akan memperoleh kebahagiaan. Inilah yang dikatakan Purwadhakoti (awal dari sejuta kegelapan ) namanya, oleh karena tak terikat oleh karma dan penikmatan hasil perbuatan, karenanya mencapai nirwana ujar para Pendeta. Apa sarananya agar mencapai (nirwana) itu ? ada tiga sarana utama bagi orang yang mengutamakan kebebasan batin dimana sarana itu dapat mengantar kepada suatu keberhasilan.
Ketiga sarana dimaksud adalah Wairagyaditraya, Pararogya dan Dhyanaditraya. Wairagyaditraya adalah mengadakan Bahyawairagya Parawairagya, Iswarapranindhana. Bahyawairagya artinya kawiratin . kawiratin artinya pendeta yang berilmu tinggi di masyarakat. Parawairagya artinya pendeta witaraga. Pendeta witaraga adalah pendeta ynang meninggalkan kesenangan hidup (keduniawian). Iswarapranindhana artinya sang pendeta ynang taat ayogaprawrtti. Ayogaprawrtti artinya pendeta yang taat melaksanakan pemujaan kepada tuhan. Dhyanaditraya artinya melakukan pranayama, dharana san samadhi. Pranayama artinya pemusatan dan pengaturan nafas. Dharana artinya pranawajnana artinya pemusatan bathin. Samadhi adalag Nirwyaparajnana yang artinya ingat pada tuntutan yang tampak. Itulah sarana untk menemukan Sang Hyang Bhedajnana. (Ganapati Tattwa, 42-44)

7.      Proses Kembalinya Sang Roh ke Dasangulasthana
Keberadaan Sang Hyang Sadhubhranti kelepasan, Sang Hyang Wyudbhranti disuruh menjelma kedunia, kemudian ada mantra pemisahnya. Hendaknya Tri Aksara itu teguh dilaksanakan olehmu (pasti) dicapai Sang Hyang Sadhubhranti, janganlah keliru (pasti) Sang Hyang Wyudbhranti ketemu. Banyak pertandanya, tetapi satu maksudnya, umpama : apabila engkau mendengar suara Ardhacandra Bindu Nada sekaranglah tiba saatnya kematianmu, janganlah engkau ragu-ragu , lepaskanlah segala kesetiaanmu dan hubungan dengan keluargamu lalu tutup pangkal nadi (pangkal peredaran darah), ineban (kerongkongan) dan semua lubang yang ada pada badan sambil melakukan pemusatan batin, dan pengaturan nafas artinya tutuplah pikiranmu. Janganlah berbuat sesuatu, apabila engkau bisa melaksanakannya dengan baik maka sang roh yang bersemayam pada dirimu akan meninggalkan badanmu. Sebagai jalan sang hyang pranawa ( sang roh yang mempribadi =atma) menuju Dwadasangulasthana (tempat yang terlettak jauh di atas 12 (jari) tingkatan), yang disebut tempat tak terlihat (niskala), tempat Bhatara Paramasiwa. Terbanglah ia sang roh yang mempribadi dari sana (sang diri), itulah yang disebut moksa.
Tak lama kemudian setelah Sang Roh Yang Mempribadi terbang dari  Dwadasangulasthana, patutlah sang roh yang mempribadi menjadi paramasiwa tatwa, kembali sebagai roh (roh yang maha agung), apa sebabnya demikian ? yang berasal dari sunya akan kembali pada paramasunya. Itulah sebabnya ketahuilah kelakuan itu oleh orang yang ingin mencapai kebebasan. Itulah sarananya untuk menemukan pengetahuan utama. (Ganapati Tattwa, 45-48)

8.      Panglukatan Sang Ganapati, Sarana Upakara beserta Mantranya
Masyarakat Hindu di Bali mengenal upacara ngelukat atau melukat., yakni ritual pembersihan diri secara lahir dan bhatin atau sekala dan niskala. Upacara ini disebut melukat karena di dalamnya menggunakan tirtha atau air suci pangelukatan yang khusus dibuat untuk tujuan tersebut (Pudja dalam Buku Bawa Atmaja, 1999 : 90). Seperti dikemukakan dalam Ganapati Tattwa maka Ganesa atau Ganapati bisa dipuja untuk kepentingan pengelukatan. Tata cara upacara beserta mantram yang diucapkan oleh pemimpin ritual yang menyelenggarakan pengelukatan Ganapati, adalah sama dengan pelaksanaan ritual pengendalian hama dan penyakit tanaman maupun manusia. Inilah penglukatan (pembersihan) Ganapati, boleh digunakan di sekeliling (yang hendak dibersihkan), bahannya bambu Ampel Gading digambari Gana, tangan kirinya memegang Cakra, tangan kanan memegang Gada. Disertai dengan upakara : ajuman putih kuning, suci satu, dagingnya bebek (itik) putih jambul, airnya ditempatkan pada sangku tembaga yang diisi kembang Sudamala serta peras sesantun diisi uang (sesari) 1.100, samsam daun Katima. Bambu Ampel Gading yang telah digambari Gana itu dimasukkan pada sangku yang berisi air. Setelah dipuja gunakanlah pada tempat yang terserang hama.     
III. PENUTUP
Setelah membahas tentang Ganapati Tattwa, maka sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa Ganapati Tattwa mengisahkan bagaimana percakapan Dewa Siwa dengan putranya yaitu Ganesha atau Ganapati.  Ganapati Tattwa adalah salah satu Lontar Tattwa, Lontar Filsafat Siwa, yang digubah dengan mempergunakan metode Tanya jawab. Tanya jawab ditulis di dalam 37 lembar daun tal yang disusun dalam 60 bait, menggunakan bahasa Sansekerta yang disertai dengan ulasan dalam bahasa Kawi.
 Ganapati, putera Siwa, adalah Dewa penanya yang cerdas. Dan Siwa adalah Maheswara, yang menjabarkan ajaran Rahasia Jnana, menjelaskan tentang misteri alam semesta beserta isinya. Terutama tentang hakikat manusia : dari mana ia dilahirkan, untuk apa ia lahir, kemana ia akan kembali dan bagaimana caranya agar bisa mencapai kelepasan. Dalam lontar ini juga di sampaikan tentang Catur Dasaaksara dan Tri Aksara. Selain itu adapula tentang Sadanggayoga yaitu jalan untuk mencapai kelepasan, yang bagian-bagiannya yaitu Pratyaharayoga, Dhyanayoga, Pranayamayoga, Dharanayoga, Tarkayoga dan Semadhiyoga.
Dalam Ganapati Tattwa Ganesa atau Ganapati bisa dipuja untuk kepentingan pengelukatan. Tata cara upacara beserta mantram yang diucapkan oleh pemimpin ritual yang menyelenggarakan pengelukatan Ganapati, adalah sama dengan pelaksanaan ritual pengendalian hama dan penyakit tanaman maupun manusia. Masyarakat Hindu di Bali mengenal upacara ngelukat atau melukat., yakni ritual pembersihan diri secara lahir dan bhatin atau sekala dan niskala. Upacara ini disebut melukat karena di dalamnya menggunakan tirtha atau air suci pangelukatan yang khusus dibuat untuk tujuan tersebut (Pudja dalam Buku Bawa Atmaja, 1999 : 90).

DAFTAR PUSTAKA

Atmadja, Nengah Bawa. 1999. Ganesa sebagai Avighnesvara, Vinayaka dan Pengelukatan. Surabaya : Paramita
Gunawan, Pasek. 2012. Siva Siddhanta I. Singaraja
____________________Siva Siddhanta II._______
Rai Mirsha, dkk. 1995. Ganapati Tattwa Kajian Teks dan Terjemahannya. Denpasar : Upada Sastra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...