Minggu, 15 Desember 2013

Mapandes


UPACARA POTONG GIGI (Mapandes)

Uraian Upacara
Upacara ini dapat dijadikan satu dengan upacara meningkat dewasa, dan mapetik, dan penambahan upakaranya tidaklah begitu banyak. Upakara ini bertujuan untuk mengurangi “Sad Ripu” dari seseorang, dan sebagai simbulnya akan dipotong 4 buah gigi atas dan 2 buah taring (semua berjumlah 6 buah). Yang di maksud dengan “Sad Ripu” adalah 6 sifat manusia yang dianggap kurang baik, bahkan sering dianggap sebagai musuh di dalam diri sendiri. Keenam sifat tersebut adalah :
1.    Tamak / loba.
2.    Suka menipu.
3.    Suka dipuji (moha).
4.    Murka/ kroda (suka marah).
5.    Suka menyakiti sesama makhluk.
6.    Suka memfitnah.
Demikianlah upacara potong gigi itu bukanlah semata-mata mencari keindahan/ kecantikan belaka, melainkan mempunyai tujuan yang mulia.

Susunan Upakaranya.
1.    Upakara yang paling kecil
Banten pabyakalaan, prayascita, pengelukatan, dan tataban seadanya.
2.    Upakara yang lebih besar
Seperti diatas, tetapi tatabannya memakai pulagembal.

Catatan :
Disamping upakara-upakara tersebut, terdapat pula upakara/ perlengkapan lainnya yaitu :
a.    Upacara dilaksanakan pada sebuah bangunan yang biasa untuk upacara Manusa Yadnya, dilengkapi kasur, bantal, tikar bergambar Semara- Ratih; Bisa juga ditutupi dengan permadani/ yang sejenis.
b.    Bale Gading :
Bale gading ini dibuat dari bambu gading (yang lain) dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning, serta di dalamnya diisi banten peras, ajuman, daksina (kadang-kadang dapat dilengkapi dengan suci), canang buratwangi, canang sari dengan raka-raka : kekiping, pisang mas, nyahnyah gula kelapa dan periyuk/ sangku berisi air serta bunga 11 jenis. Bale- gading adalah sebagai tempat Sanghyang Semara-Ratih.
c.    Kelapa gading yang dikasturi, airnya dibuang dan ditulis “Ardanareswari” (gambar Semara Ratih). Kelapa gading ini akan dipakai sebagai tempat “ludah” dan “singgang-gigi” yang sudah dipakai. Setelah upacara, kelapa gading ini dipendam di tempat yang biasa untuk maksud tersebut.
d.   Untuk singgang gigi (pedangal), adalah tiga potong cabang dadap dan tiga potong tebu malem/ tebu ratu. Panjang pedangal ini kira-kira 1cm atau 1 setengah cm.
e.    “Pengilap” yaitu sebuah cincin bermata mirah.
f.     Untuk pengurip-urip, adalah empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih, dan kapur.
g.    Sebuah bokor yang berisi : kikir, cermin dan pahat. (Biasanya “pengilap” yang tersebut di atas ditaruh pada bokor ini, demikian pula pengurip-urip” nya.
h.    Sebuah tempat sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang, dan gambir (di dalam lekesan itu sudah berisi kapur).
i.      Banten “tetingkeb” yang akan diinjak waktu turun nanti (dapat diganti dengan segehan agung).

Pelaksanaan Upacara.
Seperti biasa dilakukan upacara mabyakala dan maprayascita, lalu bersembahyang kehadapan Batara Surya, dan Sang Hyang Semara Ratih, kemudian naik ke tempat upacara potong gigi (ke balai yang tersebut di depan) serta duduk menghadap ke hulu (ke luanan). Pimpinan upacara mengambil cincin yang akan dipakai untuk nga- “rajah” pada beberapa tempat yaitu :
Pada dahi (antara kedua kening) dengan huruf ()
Pada taring sebelah kanan dengan huruf ()
Pada gigi atas dengan huruf ()
Pada gigi bawah dengan huruf ()
Pada lidah bawah dengan huruf ()
Pada dada dengan huruf ()
Pada nabi puser dengan huruf ()
Pada paha kanan dan kiri dengan huruf ()
Penulisan “Rerajahan” tersebut sesuai dengan pilihan pimpinan upacara (Sangging) yang memimpin upacara Metatah tersebut. Setelah itu diperciki “tirtha pesangihan”, kemudian ditidurkan menengadah, ditutupi dengan kain/ rurub dan selanjutnya acara dipimpin oleh “sangging” yaitu orang yang bisa melaksanakan hal tersebut. Tiap kali “pedangal” diganti; Ludah serta pedangal yang sudah dipakai dibuang ke dalam “kelungah” kelapa gading. Bila dianggap sudah cukup rata, lalu diberi pengurip-urip (kunir), kemudian berkumur dengan air cendana, selanjutnya makan sirih (ludahnya ditelan tiga kali), dan sisanya dibuang ke dalam kelapa gading. Sore hari (setelah berganti pakaian) dilaksanakan acara natab/ ngayab dipimpin oleh sulinggih atau orang yang wajar untuk maksud tersebut.

Beberapa Mantra.
1.    Mantra kikir :
OM Sang Perigi Manik, aja sira geger lunga, antinen kakang nira Sri Kanaka teka kekeh pageh, tan katekaning lara wigena, teka awet-awet-awet.
2.    Mantra waktu pemotongan gigi yang pertama :
OM lunga ayu, teka ayu (diucapkan 3 kali).
3.    Mantra pangurip-urip :
OM urip uriping bayu, sabda idep, teka urip, Ang Ah.
4.    Mantra lekesan :
OM suruh mara, jambe mara, timiba pwa sira ring lidah, Sang Hyang Bumi Ratih ngaranira, tumiba pwa sira ring hati, Kunci Pepet arannira, katemu-temu delaha, samangkana lawan tembe, metu pwa sira ring wewadonan Sang Hyang Sumarasa arannira, wastu kedep mantranku.

Catatan :
Menurut Lontar Sastra Proktah (tutur Sang Hyang Yama) tidak wajar Sawa (mayat) itu ditadah “Ngeludin wangke ngaran”.


UPACARA MAWINTEN

Upacara ini bertujuan untuk mohon waranugraha akan mempelajari ilmu pengetahuan seperti kesusilaan, keagamaan, weda-weda dan sebagainya.
Pemujaan di sini diutamakan kehadapan tiga dewa yaitu : Betara Guru, sebagai pembimbing (guru), Betara Gana, sebagai pelindung serta pembebas dari segala rintangan/ kesukaran, dan Dewi Saraswati , sebagai Dewi/ penguasa ilmu pengetahuan.
Susunan upakaranya.
Sebagai pasaksi adalah : peras, ajuman, daksina, banten “Saraswati”, dan sebuah cakepan (pustaka). Di depan Sanggar Pasaksi : banten pawintenan serta perlengkapannya/ tataban. Untuk yang akan mewinten : dibuatkan byakala, prayascita dan untuk pengelebar adalah segehan serta peras.

Penjelasan beberapa buah banten :
1.    Banten Saraswati :
Sebuah tamas yang berisi pisang mas, bubur precet 22 takir, bubur dibungkus dengan daun beringin 22 biji (dibungkus dengan daun “keraras” 22 biji, air cendana, empehan, madu, nyahnyah gula kelapa, serta jajan-jajan yang lain, buah-buahan, canang mererepe, lengawangi, buratwangi, dan canang sari. Di samping itu pada tamas yang lain diisi bunga-bunga yang berwarna putih seperti : menuh, gambir, tunjung, selasih-miyik, kemerakan, cempaka, dan lain-lain yang berbau harum.
2.    Banten Pewintenan (yang kecil) :
Alasnya adalah kulit sesayut, di atasnya diisi sebuah tumpeng dengan puncaknya telur itik yang direbus, ikannya itik putih yang diguling, dilengkapi dengan buah-buahan, jajan, “jaja saraswati 11 buah” dan lain-lainnya.
Perlengkapan untuk “ngerajah” dahi serta bagian badan lainnya, adalah Lekesan yang ujungnya berisi tunjung biru.
Untuk ngerajah lidah : madu dan tangkai sirih sebanyak orang yang akan diwinten.
“Untal-untalan” (yang akan ditelan) : Lekesan 3 biji, ditulisi tri aksara (Ang, Ung, Mang); Sebaiknya menggunakan huruf Bali/ Jawa/ Sansekerta/ huruf daerah.
“Labahan” (dimakan seusai upacara) adalah : Lekesan, pinang serta tembakau, sebanyak orang yang akan diwinten (di dalam lekesan sudah berisi gambir).

Pelaksanaan Upacara.
Upacara ini sedapat mungkin dipimpin oleh Sulinggih dan acaranya mengikuti petunjuk beliau. Hal ini disebabkan adanya acara “ngerajah”.

Bratan Pemangku.
1.    Diusahakan berambut panjang, kalau dipotong oleh sesama pemangku atau oleh diri sendiri.
2.    Pada waktu menjalankan swadarma hendaknya menurut bhusana pemangku.
3.    Tidak boleh makan daging sapi dan babi piaraan.
4.    Dalam hal kematian (kecuntakaan) hendaknya membatasi diri, tidak ikut ngarap sawa dan mengecap sesuatu yang berasal darinya. Dan kegiatannya hanya terbatas pada pelaksanaan upacara.


UPACARA PERKAWINAN

Uraian Upacara
Upacara perkawinan merupakan persaksian, baik kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maupun kepada masyarakat bahwa kedua orang tersebut mengikatkan diri sebagai suami-istri, dan segala akibat perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka bersama. Di samping itu upacara tersebut juga merupakan pembersihan terhadap “sukla swanita” (bibit) serta lahir bathinnya.
Hal ini dimaksud agar bibit dari kedua mempelai bebas dari pengaruh-pengaruh buruk (gangguan Bhuta Kala), sehingga kalau keduanya bertemu (terjadi pembuahan) akan terbentuklah sebuah “Manik” yang sudah bersih.
Dengan demikian diharapkan agar “Roh” yang akan menjiwai Manik itu adalah Roh yang baik/ suci, dan kemudian akan lahirlah seorang anak yang berguna di masyarakat (yang menjadi idaman orang tuanya). Lain daripada itu, dengan adanya upacara perkawinan secara Agama Hindu, berarti pula bahwa kedua mempelai telah memilih Agama Hindu sebagai pegangan hidup di dalam membina rumah tangganya. Selanjutnya menurut beberapa lontar seperti Kuno Dresthi, Eka Pertama dan lain-lainnya, dikemukakan bahwa hubungan sex (di dalam suatu perkawinan) yang tidak didahului dengan upakara “pedengen-dengenan”
( pekala-kalaan) di anggap tidak baik, dan disebut “Kamakeparagan”. Kalau kedua kama itu bertemu atau terjadi pembuahan, maka lahirlah anak yang disebut “Rare-diadiu”, yang tidak mau mendengarkan nasehat orang tua atau ajaran-ajaran Agama.
Hal ini mungkin ditujukan kepada perkawinan yang direstui/ disetujui oleh kedua belah pihak (pihak orang tua si gadis dan pihak orang tua si pemuda). Tetapi di Bali masih sering terjadi perkawinan secara “Ngerorod”, sehingga kemungkinan sekali segala upacara akan ditunda sampai tercapainya kata sepakat antara kedua belah pihak. Dan hubungan sex yang mungkin terjadi dalam hal ini, kiranya tidaklah dapat dianggap sebagai “Kamakeparagan”, karena perbuatannya dilakukan dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab atas segala akibatnya. Sebagai contoh dapatlah dikemukakan perkawinan antara Dewi Sakuntala dengan Prabu Duswanta, di mana menurut ceritanya perkawinan itu tidak disertai dengan sesuatu upakara/ upacara apapun.
Upacara-upacara di dalam perkawinan kiranya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1.    Upacara medengen-dengenan (mekala-kalaan) adalah upacara yang terpenting (pokok) di dalam perkawinan, karena dalam upacara inilah dilakukan pembersihan secara rokhaniah terhadap “bibit” kedua mempelai, dan pesaksian atas perkawinannya, baik kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan masyarakat. Oleh karena itu pelaksanaannya sedapat mungkin tidak tertunda.
2.    Upacara natab, dan mapejati (ngaba jaja), merupakan penyempurnaan di dalam perkawinan. Tujuannya untuk membersihkan lahir bathin kedua mempelai, memberi bimbingan hidup dan menentukan status salah satu pihak. Pelaksanaannya kadang-kadang tertunda beberapa hari tergantung pada keadaan.

Susunan Upakara.
1.    Upakara yang kecil :
Untuk penyemputan, di muka rumah si suami.
Segehan cacahan warna lima, api takep dan tetabuhan.
Untuk peresmian perkawinan.
Banten pedengen-dengen (pekala-kalaan), tataban seadanya dan pejati.
2.    Upakara yang lebih besar :
Untuk penyemputan di muka rumah si suami.
Seperti di atas, dilengkapi dengan carun-patemon.
Untuk peresmian perkawinan.
Seperti di atas, dilengkapi dengan carun-patemon dan tataban pulagembal, serta sesayut nganten.

Penjelasan berapa buah banten.
1.    Banten pedengen-dengenan (pekala-kalaan), yang terdiri dari :
Peras, ajuman, daksina, suci dengan ikannya telur itik yang direbus, tipat kelanan, sesayut, pengambyan, penyeneng, tulung, sanggah urip, pamugbug (tumpeng kecil 5 buah dialasi dengan kulit sesayut, raka-raka dan lauk-pauk); Untek 7 buah (dialasi dengan taledan dilengkapi dengan raka-raka dan lauk pauk), solasan 22 tanding (nasi yang dialasi taledan kecil), dilengkapi dengan lauk-pauk, ikannya sesate, dan lekesan/sirih selengkapnya, bayuan (penek warna 5 dialasi daun telujungan ikannya “olahan” ayam brumbun, dan kulit dari ayam tersebut ditaruh di atasnya dilengkapi kewangen; jika tidak mungkin membuat olahan/sesate, maka ayam itu dapat pula dipanggang). Kemudian dilengkapi dengan pabyakalaan, prayascita, lis, gelar sanga, tetabuhan, dan beberapa perlengkapan seperti :
a.       Tikeh dadakan : adalah sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang masih hijau. Ini merupakan simbul kesucian si gadis.
b.      Kala Sepetan, adalah sebuah bakul bambu berisi sebutir telur ayam mentah, ditutupi sebuah serabut kelapa belah tiga (sambuk kupak telu) diikat dengan benang putih, hitam dan merah, di atasnya diisi ujung cabang dapdap, serta lidi masing-masing 3 biji. Ada juga yang tidak memakai bakul bambu sedangkan telur ayam dimasukkan ke dalam serabut kelapa.
c.       Tegen-tegenan, terdiri dari : cangkul, sebatang tebu, dan cabang dadap. Pada salah satu ujungnya digantungi periyuk yang berisi tutup, dan ujungnya yang lain digantungi bakul berisi uang.
d.      Sok padagangan : adalah sebuah bakul yang berisi beras, kain, bumbu-bumbuan, rempah-rempah, pohon kunir, keladi, andong serta kapas.
e.       Penegtegan : biasanya dipakai tiang daripada Sanggah Kamulan yang disebelah kanan, yaitu diisi sebuah keris lengkap dengan pakaiannya.
f.       Pepegatan : dibuat dari dua buah cabang dadap, yang ditancapkan agak berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan benang putih.
g.      Tetimpug : dibuat dari beberapa potong bambu yang masih kedua ruasnya. Dalam upacara nanti bambu ini dibakar sampai mengeluarkan bunyi (meletus).
2.    Carun patemon yang terletak di jalan.
Nasi dialasi bakul, ikannya karangan babi (atau yang lain), nasi yang digulung dengan “upih” (daun) (ikannya hati), dilengkapi dengan bunga cempaka 2 buah canang buratwangi, sesari 25 dan tetabuhan. Banten ini dihaturkan kehadapan Sang Bhuta Hulu Lembu, Sang Bhuta Harta dan Sang Bhuta Kilang-Kilung.
3.    Carun patemon yang terletak di atas pintu.
Nasi takilan ikannya darah mentah dialasi limas (tangkih), bawang, jahe, dan garam. Banten ini dihaturkan kehadapan : Sang Bhuta Pila-Pilu, Sanghyang Sasarudira, Sanghyang Muladrawa, Sanghyang Ragapanguwus, Kaki Rangga- ulung, dan Kaki Rangga tan kewuh.
4.    Banten pejati (jauman)
Peras, ajuman, daksina, suci ikannya itik diguling, tipat kelanan, bantal, jaja kuskus, dan beberapa jenis jajan lainnya, dilengkapi dengan sirih, pinang, tembakau, gambir, rantasan-saparadeg (pakaian 1 stel), kadang-kadang dilengkapi dengan 2 buah tumpeng lengkap dengan guling babi. Banten ini dihaturkan di Sanggah Kamulan, kemudian diserahkan kepada orang tua si gadis.

Beberapa Mantra.
1.    Mantra pengelukatan
OM Sanghyang Kama jaya-Kama ratih, sira ta maka uriping carmaning ngulun, yan sira angawe manusa, aja sira amiruda, amrisakiti, wehana pangalukatan luputa ring lara roga, sanut sangkala, sebel kandel, ring awak sariran ipun. OM siddhi rastu, OM. çri, çriambawane sarwa roga winasaya, sarwa papa winasanem, sarwa klesa winasa ya namo namah.
2.    Mantra natab banten “pedengen-dengenan”.
OM indah ta kita Sang Kala-Kali, puniki pabyakala kalane si anu katur ring sang Kala-Kali sadoyo, sira reka pakulun angelu waraken sakwehing Kala Kacarik, Kala Patti, Kala Karapan, Kala Karogan, Kala Mujar, Kala Kapepengan, Kala Sepetan, Kala Kapepek, Kala Cangkingan, Kala Durbala-Durbali, Kala Brahma makadi sakwehing Kala haneng ring awak sariran ipun si anu, sami pada kaluwarane de nira Betara Siwa wruh ya sira ring Hyang Hyangganing awak sariranira, kajenengana denira Sanghyang Tripurusangkara, kasaksenan denira Sanghyang Triodasa-saksi, lah ya maruwaten sang Kala-Kali mundura dulurane rahayu den nutugang tuwuh ipun si anu, tunggunen dening bayu pramana, mwang wreddhi putra listu ayu, (kadang-kadang dilanjutkan dengan : “ Ayu wreddhi.......).

Tata Upacara Medengen-dengenan.
Seperti biasa terlebih dahulu mabyakala, dan maprayascita, kemudian mempelai disuruh duduk menghadap Sanggah Kamulan serta banten pedengen-dengenan. Setelah banten tersebut dipujai seperlunya lalu kedua mempelai bersembahyang, kemudian di upakarai dengan alat-alat yang ada pada pebersihan seperti : sisig, keramas, segau, tepung tawar dan sebagainya, lalu diberi pengelukatan, dan kemudian natab banten pedengen-dengenan. Selanjutnya kedua mempelai berjalan mengelilingi Sanggah Kamulan, Sanggar Pasaksi, tiap kali melewati Kala Sepetan kakinya disentuhkan sebagai simbul pembersihan sukla-swanita dan dirinya. Setelah tiga kali, lalu penganten yang laki berbelanja, sedangkan yang perempuan menjual segala yang ada pada “sok bebelanjaan” (waktu berjalan pengantin yang laki memikul tegen-tegenan dan yang perempuan menjungjung sok bebelanjan).
Upacara jual beli ini mungkin sebagai simbul tercapainya kata sepakat untuk memperoleh keturunan. Kemudian dilanjutkan dengan “merobek tikar” (tikeh dadakan), dimana pengantin yang perempuan memegang tikar tersebut, dan yang laki merobek dengan keris yang berada pada Penegtegan. Hal ini merupakan simbul “ pemecahan selaput gadis”. Setelah itu kedua mempelai memutuskan benang yang terlentang pada cabang dadap (pepegatan), sebagai tanda bahwa mereka telah melampaui masa remajanya, dan kini berada pada fase yang baru sebagai suami-istri. Kemudian bersama-sama menanam pohon kunir, andong dan keladi di belakang Sanggah Kamulan, dilanjutkan dengan mandi/ berganti pakaian.
Sore harinya dilakukan upacara melukat, mejaya-jaya dan natab dapetan seadanya, dan akhirnya mapejati (ngaba jaja). Upacara mepejati ini bertujuan untuk menyatakan bahwa mulai saat itu si gadis tidak masih menjadi tanggung jawab dan hak waris keluarganya.
Dengan demikian upacara perkawinan dianggap selesai.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...