Minggu, 15 Desember 2013

Perjalanan Siva Sidhanta


BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
          Kehidupan kita selalu terkait dengan sejarah. Sejarah dapat diartikan sebagai gambaran tentang peristiwa-peristiwa atau kejadian masa lampau yang dialami manusia, disusun secara ilmiah, meliputi urutan waktu tertentu, diberi tafsiran dan analisa kritis sehingga mudah dimengerti dan dipahami. Begitu pula dengan sejarah perkembangan Śiva Siddhānta. Perjalanan sejarah Śiva Siddhānta sebelum ke India berawal dari datangnya bangsa Arya Endo Jerman. Pada Akhirnya perkembangan Siva Siddhanta berkembang pesat sampai ke India bahkan ke Bali.
          Perjalanan Siva Siddanta di India dapat dilihat melalui sumber - sumber ajarannya yaitu Weda, ajaran pokok dari filsafat Siva Siddhanta di India bahwa Siwa merupakan ajaran realitas tertinggi. Tempat pemujaan umat Hindu di India dinamakan dengan Mandir dan sebutan untuk orang suci di India yang disebut dengan Pandit. Penerapan ajaran Siva Siddhanta di India dapat dilihat secara sosiologis dan religius. Pengikut dari Siva Siddhanta adalah para bhakta Siva dan untuk pengikut lainnya adalah para Brahmana. Perayaan suci nampak ada persamaan dan sedikit perbedaan dengan di Indonesia dan di Bali seperti : Purnima atau  Purnama, Amavasya atau Tilem.
          Perkembangan Siva Siddhanta yang ada di Bali dikaji dari sumber ajarannya yaitu sama seperti di India yaitu Weda dan sumber sucinya dalam naskah tradisional dan ajaran-ajarannya berupa tattwam dan filsafat sedangkan tempat pemujaan/tempat sucinya disebut dengan Pura. Penerapan ajaran Siva Siddhanta di Bali lebih banyak nampak pada pelaksanaan Upacara agama disebut dengan Panca Yadnya. Para Pengikutnya segenap umat Hindu yang tinggal di Pulau Bali sedangkan hari suci yang di terapkan untuk pemujaan Hyang Widhi seperti : Galungan, Kuningan, Saraswati dan masih hari raya suci lainnya. Sebutan orang suci di Bali yaitu Rsi/Bhagawan/Mpu.

1.2     Rumusan Masalah
          Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan dapat kami rumuskan masalah sebagai berikut.
1.2.1  Bagaimanakah perjalanan Śiva Siddhanta sebelum di India?
1.2.2  Bagaimanakah perjalanan Śiva Siddhanta di India?
1.2.3 Bagaimanakah perjalanan Śiva Siddhanta di Bali?

1.3     Tujuan
          Tujuan yang ingin di capai dari rumusan masalah yang telah disampaikan yaitu sebagai berikut.
1.3.1  Untuk mengetahui perjalanan Śiva Siddhanta sebelum di India.
1.3.2  Untuk mengetahui perjalanan Śiva Siddhanta di India.
1.3.3  Untuk mengetahui perjalanan Śiva Siddhanta di Bali.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Perjalanan Śiva Siddhānta sebelum di India.
          Perkembangan mazab Śiva Siddhānta berawal dari datangnya  bangsa arya dari Endo Jerman 5000 SM di hulu Sungai Sindhu yaitu di Punjab dan sebagian berada di Iran. Di lembah inilah cikal bakal kehadiran paham Siwaisme pertama kali di India dan berkembang pesat ke seluruh India. Bangsa Dravida telah mengenal ajaran sivaisme yang tinggal di daerah Tambil nadu. Bangsa arya identik dengan Waisnawa karena sifat kepahlawanannya. Ajaran Śiva Siddhānta berkembang dari agama Siva yang sudah ada sejak zaman  Pra Sejarah atau Pra Veda bangsa Dravida. Dengan adanya dukungan dan kembangan dari bangsa Arya sehingga ajaran Siva Siddhanta berkembang menjadi ajaran sivaisme seperti saat ini (Gunawan, 2012:35).
          Arti kata Saiva Siddhanta : Kata Saiva disini bermakna paham Siva, Sedangkan kata Siddhanta bermakna ajaran agama. Jadi Saiva Siddhanta adalah paham yang berisikan ajaran – ajaran dari Tuhan Siva. Jadi dapat dikatakan bahwa (paksha atau Sampradaya) itu adalah paham yang berkembang pesat di daerah India selatan. Begitulah perkembangan Siwaisme sebagai pembangkit spiritual di negara asli asal agama Hindu. Adapun inti sari dari paham Saiva Siddhanta adalah Saiva sebagai realitas tertinggi, jiva atau roh pribadi adalah intisari yang sama dengan Saiva, walaupun tidak identik. Juga ada Pati (Tuhan), Pacea (pengikat), serta beberapa ajaran yang tersurat dalam tattva sebagai prinsip dalam kesemestaan yang realita. Siwaisme dalam paksha Saiva Siddhanta sangat taat dengan inti ajaran Wedanta .

2.2     Perjalanan Śiva Siddhānta di India.
2.2.1  Sumber Ajarannya
          Ada beberapa sumber ajaran Siva Siddhanta di India yaitu Veda, Saiva Agamas, serta sumber tertulis lainnya yang digunakan (Subagiasta, 2002:43). Jadi selain sumber tersebut bahwa da juga sumber yang penting lainnya berupa agamas, puranas, ithiasa, upanisad, yoga dan sebagainya.
          Saiva Siddhanta merupakan filsafat dari Saivaisme bagian selatan yang bersumber tidak dari penyusun tunggal, yang merupakan jalan tengah adwaita-nya Sankara dan Wasista-advaita-nya Ramanuja. Kepustakaannya terutama terdiri dari:
1.       28 buah tentang Saiwita Agama.
2.       Kumpulan dari puji-pujian Saiwaita yang dikenal sebagai Trimurti.
3.       Kumpulan tentang kehidupan orang-orang suci Saiwita, yang dikenal sebagai periyapurana.
4.       Siwajnanabodhamnya Meykandar.
5.       Siwajnanasiddhiyar-nya Arulandi  
6.       Karya-karya dari Umapati (Subagiasta, 2006:29).

2.2.2 Ajarannya
          Ajaran pokok dari filsafat Saiva Siddhanta yaitu bahwa Siwa merupakan realitas tertinggi dan jiwa atau roh pribadi adalah intisari yang sama dengan Siwa, tetapi tidak identik. Pati (Tuhan), Pasu (roh) dan Pasa (pengikat) dan 36 tattwa atau prinsip yang menyusun alam semesta, kesemuanya nyata (Subagiasta, 2006:30).
          Siwa merupakan ciri realitas tertinggi, merupakan kesadaran yang tak terbatas, yang abadi, tanpa perubahan, tanpa wujud, merdeka maha kuasa, ada dimana-mana, maha tahu, tanpa awal, tanpa penyebab, selalu bebas, selalu murni dan sempurna. Ia tidak dibatasi oleh waktu yang merupakan kebahagian dan kecerdasan yang tak terbatas, bebas dari cacat, maha pelaku, dan maha mengetahui. Lima kegiatan Tuhan (Panca Krtya) adalah : srsti (penciptaan), sthiti (pemeliharaan), samhara (penghancuran), tirobhawa (menutupi) dan anugraha (karunia), yang secara terpisah dianggap sebagai kegiatan dari Brahma, Wisnu, Rudra, Maheswara, dan Sadasiwa.

2.2.3 Tempat Pemujaannya
          Tempat pemujaan umat Hindu di India termasuk bagi pengikut Saiwa Siddhanta dinamakan dengan Mandir. Istilah laninya bisa disebut dengan Dewalaya. Sebagai sentra pemujaan Siwa di India jika di daerah Uttra Pradesh dinamai kota Kasi. Para umat pada umumnya mengatakan dengan nama kita Siva. Oleh karena disana para umat Hindu memuja Bhatara Siwa, maka nama Mandirnya yaitu Visvanath Mandir. Ada juga trerdapat tempat suci yang sangat megah untuk pemujan Dewa Siwa yakni Golden Temple yang terletak di tengah-tengah kota Benares di dekat sungai Gangga.
  
(Gambar Visvanath Mandir)                           (Gambar Golden Tample)
          Dalam praktek kehidupan beragama Hindu bahwa pada setiap rumah tangga juga terdapat untuk pemujaan Dewa Siwa berupa altar atau sejenis pelangkiran bagi umat Hindu di Bali. Pada masing-masing altar itu juga disediakan tempat khusus untuk menempatkan sesaji, sarana pemujaan dan hal lain yang diperlukan. Umumnya disiapkan ruangan khusus yang memang disucikan (Subagiasta, 2006:30-31).

2.2.4 Penerapan Saiva Siddhanta di India
          Penerapan Saiva Siddhanta di India dapat dilihat dalam praktek nyata kehidupan beragama Hindu di India secara sosiologisnya nampak dengan jelas. Kemudian pada religiusnya terlihat dalam praktek pemujaan (upasana atau puja), yang paling rutin dilaksanakan yaitu di suatu Mandir, baik di tingkat perseorangan maupun di tingkat komunal. Ada dua cara penerapannya yaitu dengan cara sarana, sadhana, material, upakara, banten/bali, atau simbol-simbol tertentu yang dinamai pratika atau saguna upasana. Sedangkan cara penerapan yang lainnya adalah ahamgraha upasana atau nirguna upasana. Cara ini dilakukan dengan cara meditasi pada patung, arca, pratima, gambar/citra, dewa-dewi, aksara atau hal yang dapat meningkatkan kualitas meditasi menuju spiritual yang paramaartha serta paramisa.
          Penerapan agama Hindu di India ada yang dinamai sepuluh samskara meliputi: Garbhadana samskara (mensucikan kegiatan penciptaan), Pumsavana samskara (ucapan mantra-mantra kandungan berumur bulan ketiga bagi anak), Simantonnayana samskara (pengucapan mantra weda pada saat kandungan berumur tujuh bulan), Jatakarma samskara (upacara segera kelahiran anak), Namakarana samskara (upacara pemberian nama anak), Annaprasana samskara (pemberian makanan pertama kali saat berumur enam bulan), Cudakarana samskara (upacara pencukuran rambut pertama kali bagi anak), Upanayana samskara (upacara mendekatkan anak untuk belajar pada gurunya), Samavartana samskara (upacara mengakhiri masa belajar agama atau weda), dan Vivaha samskara (upacara perkawinan atau masa berumah tangga). Penerapan Saiva Siddhanta di Bali hamipr sama dengan di India seperti konsep Panca Yadnya untuk Homa untuk Dewa Yadnya, tarpana atau srddha untuk pitra yadnya, belajar weda atau brama untuk resi yadnya, bali untuk Bhuta Yadnya, dan penghormatan atau keramahtamahan untuk Manusa Yajnya (Subagiasta, 2006:31-33).

2.2.5 Pengikutnya
          Pengikut dari Siva Siddhanta pada umumnya adalah para bhakta Siva. Terutama umat Hindu di berbagai pelosok di negara bagian India. Pengikut lainnya adalah para Brahmana  dan Tamil Nadu. Di Tamil Nadu sebutan pengikut Siva Siddhanta  dinamai Gurukkal. Ada juga dinamai pengikut dalam sebutan dasnama sannyasin, tetapi pengikut ini tidak semua pemuja dan pengikut Siwa. Ada sebagaian yang memuja visnu atau dari paksa vaisnawa. Sisanya lagi dari para bhakta yang ada di India. Jadi yang dinamai dasanama sannyasin itu adalah para bhakta atau umat Hindu India yang memiliki kepercayaan yang sangat kuat baik terhadap Dewa Siwa, sebagian lagi kepada Dewa Visnu, pemuja Rama, pemuja Anomana, serta pemuja lainnya sesuai ista dewata dalam agama hindu (Subagiasta, 2006: 33-35).

2.2.6 Hari Sucinya
          Di Indonesia dan juga di Bali bahwa perayaan suci agama Hindu nampak ada persamaan dan sedikit perbedaan. Ada yang sama dalam sebutan perayaan sucinya seperti : perayaan Siwaratri, perayaan Saraswati, Purnima atau  Purnama, Amavasya atau Tilem. Cara yang lazim dilakukan ada saat perayaan suci adalah dengan melakukan upawasa selama sehari penuh bahkan lebih dari sehari bhakta yang telah mampu melaksanakannya. Setiap perayaan suci diikuti dengan upawasa tersebut.
          Bilamana pada saat Siwaratri dan Maha Siwaratri yang dipuja adalah Dewa Siwa. Pada saat itu para bhakta melakukan pemujaan kehadapan Dewa Siwa. Kalau di India perayaan Siwaratri dilakukan sekitar bulan kapitu atau dinamai Sasi Marga sekitar bulan Januari dan Februari pada setiap tahunnya.Saat itulah umat hindu datang ketempat suci seperti mandir, ada yang ke campuan yakni tempat suci berupa pertemuan sungai . Disanalah umat Hindu atau pengikut Siva Siddhanta melakukan penyucian diri (kalau di Bali melukat, mesiram, melasti). Tempat suci sangam merupakan pertemuan dari tiga sungai suci Hindu yang bernama sungai Gangga, sungai Yamuna, dan sungai Saraswati, jadi ketiga sungai suci itu dinamai triveni atau trinadhi.
Hari suci yang lainnya lagi adalah pemujaan kehadapan sakti Siwa yang dinamai Durga Puja yakni hari suci untuk memuja Dewi Durga sebagai ibu suci dan ibu niskala yang memberikan kekuatan lahir batin terhadap umat Hindu. Dalam tradisi india ada yang disebut nawaratripuja yaitu pemujaan selama Sembilan hatri sembilan malam terhadap Dewa Siwa dan Dewi Durga. Praktek pemujaannya adalah dengan vrata/brata, yang dalam bahasa Hindinya dinamai ‘bret’ artinya tidak makan dalam kurun waktu yang diingini oleh para bhakta (Subagiasta, 2006:35-38).

2.2.7 Orang Sucinya
          Orang suci umat Hindu yang ada di India ada yang dinamai pandit. Kata pandit (bahasa Hindi) sedangkan dalam bahasa Sansekerta disebut pandita. Kalau di Indonesia disebut “Pendeta” yakni orang suci yang memimpin suatu upacara keagamaan Hindu. Tidak saja itu juga diagama non Hindu juga menamai ‘Pendeta’. Dalam kenyataan masyarakat Hindu di Bharatiya bahwa peran orang suci adalah sangat menentukan oleh kalangan Brahmin, maka peran para orang suci sangat menentukan orang suci kalau di Bharatiya sangat dihormati dan disucikan oleh umat Hindu. Terutama bagi pengikut Saiva Siddhanta bahwa para pemuja Siva dan bhakta Siva begitu berbakti kepada orang suci.  Sesuai kepercayaan umat Hindu yang bersumber pada ajaran Veda bahwa orang suci Hindu ada dikenal dengan nama sapta resi. Ketujuh resi penerima wahyu yaitu Gratsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasistha, dan Maha Resi Kanwa.
Menurut tradisi Hindu. Maharesi terbesar dan sangat banyak jasanya dalam menghimpun dan mengkodifikasi Weda adalah Maharesi Wyasa. Selain itu juga ada dinamai maharesi penyusun catur veda samitha yakni Maharesi Paila (Pulaha) sebagai penyusun Rgweda samitha, Maharesi Waisampayana sebagai penyusun Yajurweda samitha, Maharesi Jamini sebagai penyusun Samaweda samitha, dan Maharesi Sumantu sebagai penyusun Atharwaweda samitha (Subagiasta, 2006:38-39).

2.3     Perjalanan Śiva Siddhānta di Bali.
2.3.1  Sumber Ajarannya
          Sebagian sumber ajaran dari pada Śiva Siddhānta di Bali adalah bersumber pada ajaran Weda dan sumber suci dalam naskah tradisional. Sebagaimana dijelaskan dalam buku Siwa Sasana ada dikelompokkan beberapa naskah tradisional Bali. Kelompok yang dimaksud ada empat, yaitu :
1.       Kelompok weda, misalnya: weda parikrama, weda sanggraha, surya sevana, siva pakarana.
2.       Kelompok tattwa, meliputi: bhuana kosa, bhuana sang ksepa, wrhaspati tattwa, siva gama, sivatattwapurana, gong besi, purwa bumi kamulan, tantu panggelaran, usaha dewa, ganapati tattwa, tattwa jnana, dan jnana sidhanta.
3.       Kelompok ethica, adalah siva sasana, rsi sasana, wrti sesana, putra sesana dan slokantara.

4.       Kategori upakara agama, meliputi:
1)      Upakara Dewa Yadnya, antara lain: caturwedhya, wrhaspattikalpa, dewatattwa, sundari gama.
2)      Upakara Pitra Yadnya, meliputi: yamatattwa, empu lutuk aben, kramaning atiwatiwa, indik maligya, dan puteru pasaji.
          3)      Upacara Rsi Yadnya, antara lain: kramaning madiksa, yadnya samkara.
4)      Upacara Manusa Yadnya, meliputi: dharma kahuripan, eka ratama, janmaprawerti, puja kala pati, puja kalib.
5)      Upacara Butha Yadnya, meliputi: eka dasa rudra, panca wali krama, indik caru, puja pali-pali.
          Beberapa naskah tradisional lainnya yang dikoleksi ada dalam pustaka guna dharma (Subagiasta, 2006 : 40-41)   

2.3.2  Ajarannya
          Tattwan dan filsafat memiliki kesamaan makna, yakni sama-sama menekankan pada hakikat dan kebenaran. Juga sama-sama mengkaji hal atau objek yang kongkrit serta segala hakikat yang ada. Terkait dengan materi tattwam, bahwa ada beberapa sumber yang dijadikan dasar acuan materinya.
          Beberapa sumber lontar, seperti : Bhuwanan Kosa, Tattwa Jnana, Mahajnana, Ganapatitattwa, Wrhaspatitattwa, Jnansiddhanta, dan beberapa puja bercorak monism (Tim Penyusun , 1999 :1). Semua lontar diatas, adalah berisikan tentang ajaran mengenai paham Siwaistis.
          Bhuwana Kosa terdiri atas beberapa bab dan empat ratus delapan puluh tujuh sloka. Sumber teksnya bebrahasa Sangsekerta dalam bentuk sloka. Tahap penciptaan (utpeti) oleh Bhatara Siwa, seperti : Bhatara Siwa, Purusa, Awyakta, Budhi, Ahangkara, Pancatanmatra, Manah, Akasa, Bayu,Agni, Apah, dan Prthiwi. Sebaliknya proses peleburan (pralina) oleh Bhatara Siwa, meliputi : prthiwi, apah, agni, bayu, akasa, pancatanmatra, ahangkara, budhi, awyakta, purusa, dan kembali kehadapan Bhatara Siwa.
          Sedangkan Wrhaspatitattwa terdiri atas tujuh puluh sloka yang berbahasa Sansekerta. Dengan terjemahannya berbahasa kawi. Isi utama dalam naskah ini adalah dialog antara Bhatara Siwa dengan Bhagawan Wrhaspati mengenai cetana sebagai unsur kesadaran dan acetana sebagai unsur ketidaksadaran. Wrhaspati Tattwa mengajarkan tentang Yoga, cetana telu (Paramasiwa atau Nirguna Brahman, Sadasiwa, Siwatma Tattwa, maya, sakti, guna, swabhawa, aksara OM atau AUM, Saguna Brahman, atma, catur iswarya, panca yama brata, panca niyama brata, dan astasiddhi.
          Selanjutnya tentang Ganapati Tattwa berisikan ajaran agama Hindu secara dialog dengan Dewa Siwa dengan Sang Hyang Ganapati. Isi naskah berbahasa Sangsekerta dan Jawa Kuna. Dalam pemujaan kepada Hyang Siwa digunakan empat aksara suci (caturdasaaksara), yakni : sang, bang, tang, ang, ing, nang, mang, sing, wang, yang, ang, ung, mang, ong. Bagaimana proses penciptaan ini menurut Ganapati Tattwa, yaitu : “ tentang hakikat alam semesta, dimana diciptakan oleh Panca Dewata dari unsur yang paling halus sampai dengan tingkatan yang mempunyai wujud nyata” (Tim Penyusun, 1999:11). Setelah panca dewata ( Brahma, Wisnu, Rudra, Iswara, Sadasiwa) menciptakan pancatanmatra (gandha, rasa, rupa, sparsa, sabda tanmatra), kemudian tercipta panca maha butha (akasa=unsur suara, bayu=unsur angin, teja= unsur matahari, bintang, bulan, apah = unsur air, pertiwi=unsur bumi dan tanah). Demikian sekilas isi Wrahaspatitattwa.
          Adapun isi Sang Hyang Mahajnana adalah mengenai ajaran kelepasan yang bersifat Siwaistis yakni memuliakan Hyang Siwa. Naskah ini terdiri atas delapan puluh tujuh sloka dalam bahasa Sangsekerta yang terjemahannya dalam bahasa Kawi. Inti dari ajaran Sang Hyang Mahajnana yaitu bagaimana mencapai kelepasan dan bisa menyatu dengan Hyang Siwa. Ada tiga komponen utama yang dibicarakan yakni purusa (unsur kesadaran), pradhana (unsur ketidaksadaran), dan atma (unsur kebijaksanaan).
          Jadi tujuan utama berbakti kepada Hyang Siwa adalah untuk dapat menyatu dan mencapai tujuan hidup yang tertinggi yaitu moksa. Selanjutnya dalam Tattwajnana mengandung ajaran ketuhanan hindu terutama memuliakan Hyang Siwa. Ajaran Tattwajnana menguraikan dua unsur universal yakni cetana dan acetana. Unsur cetana merupakan komponen kesadaran yang disebut Siwatattwa dan unsur acetana merupakan unsur ketidaksadaran yang dinamai Mayatattwa. Unsur cetana bersifat tutur (sadar) dan acetana bersifat tan patutur (lupa). Unsur cetana atau Siwatattwa meliputi tiga komponen yakni Paramasiwatattwa  (Bhatara Siwameraga Niskala). Sadasiwatattwa ( Bhatara Siwa sudah tersentuh sarvajna, sarvakaryakarta, cadusakti, dan jnanasakti) sehingga beliau disebut Bhatara Jagatnhata, Bhatara Guru, dan sebutan yang lainnya, dan atmikatattwa (Bhatara Siwa, dalam keadaan gaib atau utaprota, seperti api ada dalam kayu, atau sebagai Bhatara Dharma yang tanpa pilih kasih bagai sinar matahari.
          Pertemuan sadar dan tak sadar dinamai Purusapradhana, yang melahirkan citta dan guna (sattwa, rajas, tamas). Dari triguna dan citta lahir buddhi, kemudian lahir ahangkara (ahangkara waikerta, taijasa, dan bhutadi). Ahangkara waikerta melahirkan manah dan dasendriya, taijasa melahirkan pancatanmatra serta pancamahabutha, dan bhutadi saling membantu dalam proses pencintaan untuk mempertemukan pancamahabhuta sehingga melahirkan andhabhuwana, misalnya sapta loka atau alam atas dan sdapta patala atau alam bawah, sehingga Bhatara Siwa menyusup di alam ini maka lahirlah ciptaan manusia. Untuk penyatuan atma dengan Bhatara Siwa maka ada jalan dinamai Prayogasandhi ( asana, pranayama, pratyahara, dharana, dyana, tarka, dan samadhi). Kemudian Jnanasiddhanta merupakan naskah yang berbahasa Sangsekerta dan Jawa Kuna yang terdiri atas dua puluh tujuh bab yang inti ajarannya tentang kelepasan (moksa) untuk menyatunya atma dengan pencipta (Hyang Siwa). Manusia diciptakan oleh hyang siwa yang digambarkan seperti Omkara atau Pranava, yakni dada, lengan, kepala, dan rambut (ongkara, ardhacandra, vindu, nada), sedang tubuh bagian dalam yakni paru-paru, limpah, jantung, empedu, ati (ongkara, ardhacandra, vindu, nada, matra). Untuk mencapai kelepasan dapat ditempuh dengan enam jalan yoga yakni pratyahara, dhyana, pranayama, dharana, taka, dan semadhi.
          Dalam melaksanakan yoga, maka ia harus mewujudkan atmalingga dalam dirinya. Atmalingga adalah mewujudkan Sang Hyang Ongkara dan Tri Aksara dalam diri berstana dalam batin. Dalam meditasi ada tujuh yang harus diperhatikan yaitu :
1.       Semua tingkah laku dipusatkan pada Bhatara Siwa.
2.       Batin dipusatkan pada Bhatara Siwa.
3.       Pendengaran dipusatkan pada Bhatara Siwa.
4.       Pengelihatan dipusatkan pada Bhatara Siwa.
5.       Kata-kata dipusatkan pada Bhatara Siwa.
6.       Jadikan kedipan mata itu kepada Bhatara Siwa.
7.       Jadikanlah Bhatara Siwa sebagai nafasmu.
          Ketujuh pemusatan pikiran ini disebut Sapta bddhyanggamarga (Tim Penyusun, 2000: 24). Kemudian ada tiga jalan utama saat peleburan, yaitu melalui ubun-ubun (nistha), melalui hidung (madhya), dan melalui mulut (uttama). Ketiga jalan itulah menuju kelepasan atau moksa.
          Dalam ajaran yoga ada dikenal dengan delapan tahap penting dalam bertata susila atau pengendalian diri. Kedelapan tahapan itu dinamai Astanggayoga. Adapun bagiannya yaitu :
1.       Yama iyalah pengendalian diri tahap pertama. Yaitu :
          1)      Ahimsa artinya tidak membunuh-bunuh.
          2)      Satya artinya setia, benar.
          3)      Asteya artinya tidak mencuri.
          4)      Brahmacari artinya pantang hubungan kelamin.
          5.       Aparigraha artinya tidak menerima, tidak loba (ibid, 50).
2.       Nyama iyalah pengendalian diri lebih lanjut. Pengendalian diri tahap kedua, antara lain :
          1)      Sauca artinya suci lahir batin.
          2)      Santosa artinya kepuasan.
          3)      Tapa artinya pengekangan diri.
          4)      Swadhayaya artinya belajar
          5)      Iswarapranidhana artinya bhakti kepada Tuhan (ibid, 54).
3.    Asana iyalah sikap duduk. dalam tahap asana diperlukan adanya sikap yang baik dan tenang seperti : padmasana, wajrasana, swastikasana, sukhasana, silasana,  
4.    Pranayama ialah pengendalian prana. dalam tahap Pranayama atau teknik pengaturan nafas/ pengendalian prana, dibedakan dalam tiga cara yakni puraka artinya menarik atau memasukkan nafas yang bersih, kumbaka yaitu menahan nafas, dan recaka mengeluarkan nafas yang kotor.
5.    Pratyahara ialah penarikan pikiran dari objeknya. pratyahara yakni penarikan pikiran dari objeknya, yang harapannya agar pikiran tidak kacau. Pikiran perlu tenang dan nyaman
6.    Dharana ialah pemusatan pikiran. Setelah ketenangan pikiran muncul dan       pikiran tertuju pada satu objek, maka pikiran selanjutnya untuk dipusatkan sesuai sasaran yang dituju (Dharana).
7.    Dhyana ialah meditasi. Bilamana hal ini telah dilakukan, maka dilanjutkan dengan dhyana yaitu melakukan meditasi, sehingga tahapan yang terakhir adalah dapat dilaksanakan samadhi
8.       Samadhi ialah luluhnya pikiran dengan atma (Sura, 1985:49)

2.3.3  Tempat Pemujaannya
          Tempat pemujaan atau tempat suci umat Hindu Indonesia disebut Pura. Sering pula umat Hindu menyebutnya dengan nama Kahyangan atau Parahyangan Pura berasal dari bahasa Sansekerta (Pur) artinya benteng, kota, tempat yang dikelilingi oleh tembok. Pura adalah tempat suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi wasa/ Tuhan Yang Maha Esa atau para Dewa sebagai manifestasi Tuhan. Dalam hal ini dinamai pula Dewalaya atau Mandiram (bahasa Sansekerta) dan juga dinamai Mandir (bahasa Hindi). Tempat suci dapat digolongkan berdasarkan karakternya yaitu, a) pura keluarga, b)pura teritorial, c) pura fungsional, dan pura umum. Palemahan pura umumnya terdiri dari tiga yaitu jeroan (utama mandala) melambangkan alam atas (swah loka), jaba tengah (madhyana mandala) melambangkan alam tengah (bhwah loka), dan jaba sisi (kanista mandala) yang melambangkan alam bawah (bhur loka).
          Adapun tempat pemujaan bagi umat Hindu, antara lain :
1. Pura Keluarga adalah pura yang khusus bagi umat Hindu yang masih ada ikatan satu keluarga atau wit. Pura Keluarga juga dinamai Pura Kawitan, Pamerajan, Dadia, Panit, Ibu, Padarman, dan lain-lainnya. Bertempat di Pura Keluarga bahwa umat Hindu memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta roh suci leluhur atau atma sidha dewata. Pelinggih uatama pada Pura Keluarga biasanya berupa Gedong, Pelinggih Rong Tiga, atau ada pula berupa Meru serta Pelinggih Padmasana.
           
          (Gambar pamerajan)

2. Pura Teritorial yang dimaksudkan adalah Pura Kahyangan Desa. Jenis pura ini juga dinamai Tri Kahyangan atau Kahyangan Tiga. nama-nama Pura Kahyangan Tiga adalah a) Pura Baleagung sebagai tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Brahma (Pencipta/Utpatti), b) Pura Puseh sebagai tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Wisnu (Pemelihara/Sthiti), c) Pura Dalem sebagai tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Siwa (Mengembalikan ke asalnya/ Pralina).
3. Pura Fungsional merupakan tempat suci dalam kaitannya dengan kekaryaan umat Hindu, Pura ini juga dinamai Pura Swagina. Jenis pura fungsional, seperti Pura Subak merupakan tempat suci umat Hindu yang memiliki ikatan kerja dalam pertanian. Pura Subak juga dinamai Pura Bedugul atau Ulun Suwi atau Pura Ulun Subak. Kalau kaitannya dengan ikatan profesi bagi para pedagang disekitar pasar atau di tempat tertentu untuk berjualan disebut Pura Melanting. Keempat, Pura Umum, Pura Umum adalah pura yang tergolong kahyangan jagat sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta segenap manifestasi-Nya. Yang tergolong sebagai Pura Umum adalah Pura Sad Kahyangan Jagat, Pura Dang Kahyangan Jagat, Pura Jagatnatha di sekitar perkotaan maupun pura yang dibangun di wilayah Indonesia yang dapat dijadikan tempat sembahyang oleh umat Hindu.
         
          (Gambar pura Melanting)
          Kalau di Bali bahwa Pura Kahyangan Jagat diklasifikasikan berdasarkan atas :
1. Konsep rwa bhinneda yaitu Pura Besakih sebagai Purusa dan Pura Batur sebagai unsur Pradhana.                                                                          
(Gambar Pura Ulun Danu Batur)
 
(Gambar Pura Besakih)
2.  Kalau berdasarkan konsep Cadu Sakti atau Caturlokapala (empat penjuru mata angin) maka yang tergolong Pura Kahyangan Jagat adalah Pura Lempuyang di arah timur (Purwa) sebagai tempat memuja Dewa Iswara, Pura Andakasa diarah selatan (Daksina) sebagai tempat memuja Dewa Brahma, Pura Batukaru di arah barat (Pascima) sebagai tempat memuja Dewa Mahadewa, dan Pura Batur diarah utara (Uttara) sebagai tempat memuja Dewa Wisnu.
3.       Berdasarkan konsep sadwinayaka, yang tergolong pura umum yaitu Kahyangan Gunung Agung (Pura Besakih) di daerah Kab. Karangasem, Kahyangan Lempuyang Luhur juga didaerah Kab. Karangasem, Kahyangan Goa Lawah di daerah Kabupaten Klungkung, Kahyangan Uluwatu di daerah Kab. Badung, Kahyangan Batukaru di daerah Kab. Tabanan, dan Kahyangan Pusering Tasik/ Pusering Jagat didaerah Kab. Gianyar (Subagiasta, 2006 : 52-55)

2.3.4 Penerapan Saiva Siddhanta di Bali
          Penerapan Saiva Siddhanta di Bali lebih banyak yang nampak melalui pelaksanaan upacara agama hindu yang dikelompokkan ke dalam lima bagian besar yang dinamai panca yajna, yakni : pertama, Dewa Yajna yakni persembahan kepada Tuhang Hyang Maha Esa beserta dengan semua manifestasi-Nya, dengan pelaksanaan upacara agama berupa piodalan di pura, persembahyangan, perayaan hari suci agama Hindu seperti : Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Kuningan, Siwaratri, Nyepi, Purnama, Tilem, dan sebagainya; kedua, Manusa Yajna yakni persembahan kehadapan manusia yang dimulai sejak dalam kandungan sampai menjelang meninggal dengan berbagai jenis upacaranya bertujuan untuk melakukan penyucian diri serta peningkatan kualitas hidup manusia, yang pelaksanaannya dengan melakukan penghormatan terhadap sesama manusia, melakukan upacara agama seperti upacara megedong-gedongan, dapetan, tutug kambuhan, telu bulanan, ngotonin, ngeraja wala, matatah, mavivaha, pawintenan dan sebagainya; ketiga, Pitra Yajna yaitu persembahan kehadapan para pitara-pitara guna mendapatkan kerahayuan hidup di dunia ini dan di akhirat, cara pelaksanaannya dengan melakukan penghormatan kepada orang tua, berbakti kepada orang tua, melakukan upacara pitra yajna, dan lain-lainnya; keempat, Resi Yajna yakni persembahan kehadapan para orang suci, para resi yang telah berjasa dalam pembinaan, pengembangan, serta menuntun umat, yang pelaksanaannya dengan mentaati ajaran para resi, berbakti kepada para resi, berdana punia kepada para resi, memberkan pelayanan kepada para resi dan sebagainya; dan kelima, Bhuta Yajna yakni persembahan kehadapan para bhuta kala atau mahkluk bawahan, oleh karena para bhuta kala itu turut memberikan kekuatan kehidupan di alam semesta ini sehingga semua kehidupan menjadi harmonis. Pelaksanaannya dengan melakukan masegeh, macaru, dan pelaksanaan tawur.( Subagiasta, 2006 : 55-57)

2.3.5 Pengikutnya
          Sebagai pengikut filsafat dan ajaran Saiva Siddhanta adalah segenap umat Hindu yang tinggal di Pulau Bali. Dalam perkembangan agama Hindu belakangan ini bahwa awalnya agama Hindu dengan paham Saiva Siddhanta tersebut yang berasal dari India terutama dari India Selatan tepatnya didaerah Tamil Nadu, bahwa pengikut Saiva Siddhanta selain umat Hindu yang berasal dari tanah bharatiya, maka filsafat Saiva Siddhanta tersebut juga diikuti oleh para sadharma atau umat Hindu yang asli Indonesia, di antaranya : umat Hindu di Sumatra, umat Hindu di Bali, umat Hindu di lombok, umat Hindu di Jawa, umat Hindu di Sumbawa, di Sumba, di Papua dan sebagainya di wilayah kepulauan Nusantara ini.
          Kemudian kalau di Pulau Dewata bahwa pengikut Saiva Siddhanta adalah umat Hindu pada umumnya, oleh karena kalau di Bali tidak ada perbedaan yang menjolok walaupun dari para bhakta adalah pengikut Vaisnawa dan yang lainnya, tetapi sama sebagai penyembah dan pemuja Hyang Siwa. Beliau Hyang Siwa sangat dimuliakan dan dihormati melalui pelaksanaan semabh bakti oleh segenap umat Hindu. Tidak adanya perbedaan yang mencolok dalam pemujaannya, juga dalam melakukan bhakti ke tempat suci atau di Pura, oleh karena dalam pelaksanaan pemujaan telah diakomodir melalui sembah, melalui doa, serta melalui penempatan para dewata dalam tempat suci itu sendiri (Subagiasta, 2006 : 56-57).

2.3.6 Hari Sucinya
          Hari suci merupakan hari baik bagi umat Hindu untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Beberapa hari suci Hindu antara lain :
1.       Hari raya Galungan yang pelaksanaannya setiap enam bulan sekali, yaitu pada Budha Kliwon Dungulan. Pada hari raya Galungan umat Hindu melakukan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, terutama dilakukan di Pura Keluarga (Pamerajan, Sanggah Gede, Dadia, Kawitan, Kamulan, Taksu, dan lain-lainnya), Pura Kahyangan Desa, serta Kahyangan jagat lainnya. Saat hari raya ini juga dinyatakan sebagai hari kemenangan kebenaran (Dharma) atas ketidakbenaran (Adharma). Perayaan Galungan dimulai pada Sabtu Kliwon Wariga sampai dengan rangkaian terakhir pada Budha Kliwon Pahang. Adapun rangkaian utama perayaan Galungan adalah penyekeban/penyajaan, pengejukan, penampahan, puncak perayaan Galunan, dan umanis Galungan.
2.       Hari raya Kuningan yang dirayakan pada hari Sabtu Kliwon Kuningan, sepuluh hari setelah perayaan Galungan. Hari Raya Kuningan juga diawali dengan rangkaian Penampahan Kuningan, Puncak perayaan Kuningan dan Ulihan.
3.       Hari raya Saraswati yang dilaksanakan pada Sabtu Umanis Watugunung. Umumnya perayaan ini dikenal dengan nama Piodalan Sang Hyang Aji Saraswati atau piodalan Sang Hyang Pengeweruh. Makna yang dikandung dari perayaan Saraswati adalah betapa pentingnya ilmu pengetahuan suci Weda dan sains lainnya untuk memajuan dan kesejahteraan umat manusia.
4.       Hari raya Pagerwesi adalah sebagai hari pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Hyang Paramesti Guru) yang dirayakan setiap Budha Kliwon Sinta. Perayaan hari raya ini bermakna untuk memohon kekuatan hidup baik secara fisik dan non fisik (wahya adhyatmika). Jadi perayaan Pagerwesi bertujuan untuk memohon kekuatan dan kemantapan sraddha dan bhakti umat Hindu.
5.       Hari raya Nyepi yang perayaannya dilaksanakan setiap penanggal pisan sasih kadasa. Rangkaian upacara hari raya Nyepi diawali dengan pelaksanaan melasti ke segara/samudra untuk memohon tirtha amertha atau air suci kehidupan serta untuk mengahyutkan segala mala pataka/dosa/papa, kemudian dilanjutkan dengan pengerupukan/mebuu-buu serta pelaksanaan Upacara Tawur Kasanga di setiap lingkungan desa terutama bertempat diperempatan jalan (catus pata) yang jatuh pada Tilem Sasih Kasanga.
6.       Hari Siwaratri yang berarti malam siwa. Siwa adalah sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang memiliki kekuasaan untuk pameralina. Dalam naskah Siwaratrikalpa dijelaskan bahwa Bhattara Siwa melakukan yoga untuk keselamatan denia beserta segenap isisnya beretapatan dengan caturdasi kresnapaksa atau pangelong ping patbelas sasih kapitu. Saat itu dipilih oleh Bhattara Siwa untuk beryoga, karena merupakan malam yang tergelap dan saat yang terbaik melakukan pemujaan kehadapan Bhattara Siwa. Saat Siwaratri, maka umat Hindu melakukan tapa brata yoga dan samadhi. Waktu pelaksanaannya selama 36 jam. Jenis brata dapat dilakukan berupa upawasa (tidak makan dan tidak minum), monabrata (tidak berbicara/selalu hening), dan jagra (tidak tidur) (Subagiasta, 2006 : 58-60)

2.3.7  Orang sucinya
          Orang suci adalah sangat besar jasanya terhadap perkembangan dan penyebaran agama hindu kepada umat di dunia ini. Tanpa orang suci, maka agama hindu sulit untuk berkembang. Orang suci umat hindu secara umum disebut dengan nama Rsi. Ada beberapa orang suci antara lain:
1.       Bhagawan Bhrigu merupakan orang suci Hindu yang namanya banyak disebut-sebut dalam kitab purana. Beliau sebaga pendiri keluarga/warga Bhargawa.
2.       Bhagawan Bharadwaja sebagai orang suci Hindu yang ada kaitannya dengan cerita Ramayana yang ditulis oleh Bhagawan Walmiki. Bhagawan Bharadwaja juga sebagai penerima wahyu suci dari Tuhan Yang Maha Esa. Beliau sebagai guru suci pada sebuah ashram kenamaan Hindu di kota prayoga yang kini dikenal dengan nama kota Aalahabad. Pada kota prayoga ini adalah sebagai tempat suci Hindu, oleh karena disana terdapat campuhan (sangam) dari pada sungai Ganga, sungai Yamuna, dan sungai Saraswati (yang saat ini tidak nampak).
3.       Rsi Agastya sebagai oranmg suci lahir dikota Khasi atau Benares-India Utara (Uttara Pradesh). Beliau telah menyebarkan agama Hindu di india dab termasuk sampai di Indonesia dan Bali.
4.       Bhagawab Brihaspati adalah seorang putra dari Bhagawan Angira yang merupakan orang suci yang terkenal bagi umat Hindu.
5.       Mpu Tantular sebagai pujangga besar agama Hindu. Beliau telah menulis kekawin Sutasoma. Beliau memiliki empat putra yaitu: Mpu Kanawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu Shidimantra, Mpu Kepakisan.
6.       Mpu Kuturan sebagai orang suci yang telah berjasa menyebarkan ajaran agama Hindu di Indonesia dan di Bali khususnya. Beliau mengajarkan ajaran Tri Murti dan mengjarkan  konsep Tri Kahyangan di setiap desa adat dan desa pakraman di Bali.
7.       Mpu Bharadah sebagai oranh suci Hindu merupakan adik dari Mpu Kuturan. Kebesaran nama Mpu Bharadah sangat terkenal di bali dan Mpu Bharadah ada di muliakan di salah satu pura di kompleks pura Besakih.
8.       Rsi Markandeya adalah orang suci Hindu yang pertama kali dating ke Bali untuk menyebarkan ajaran agama Hindu. Beliau datang dari tanah jawa menuju Bali beserta dengan beberapa pengikutnya untuk merabas hutan Bali di jadikan lahan pertanian dan sekaligus menata kehidupan beraga Hindu di Bali.
9.       Dang Hyang Dwi Jendra nama lain beliau adalah Dang Hyang Nirathga. Jikalau di bali beliau bergelar pedanda Sakti Wawu Rawuh. Kalau di Lombok beliau bergelar Tuan Semeru dan di Sumatra bergelar Pangeran Sangupati. Banyak tempat suci yang telah beliau bangub di pulau Bali, seperti ; Pura Puruncak, Pura Rambut Siwi, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Tanah Lot, Pura Prti Tenget, Pura Uluwaru , Pura Air Jeruk dan lain-lain.
10.     Dang Hyang Astapaka merupakan salah satu orang suci dari Bhuda Mahayana dan Majapahit dan di Bali belai mendirikan Pura Sakenan di daerah Serangan Denpasar Selatan. Keturunan beliau di Bali kini menetap di daerah Karangasem yaitu Dsesa Budekeling (Subagiasta, 2006 : 61-63)

BAB III
PENUTUP
3.1     Simpulan
          Dari materi yang telah di uraikan, dapat kami simpulkan bahwa perkembangan sejarah Siva Siddhanta sebelum di India yang diwali dari mazab Śiva Siddhānta berawal dari datangnya  bangsa arya dari Endo Jerman di Sungai Sindhu. Perjalanan Siva Siddhanta sampai ke India dapat dikaji dari sumber-sumber dan ajarannya, tempat pemujaan, hari suci, orang suci, pengikut-pengikut dari ajaran Siva Siddhanta, dan penerapan ajaran Siva Siddhanta.
          Ajaran Siva Siddhanta di India hampir sama dengan di Bali hanya sedikit perbedaan. Maknanya hampir sama hanya membedakan nama dan cara upacara yang dilaksanakan dalam pemujaan-pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi. Seperti tempat sucinya di Bali dinamakan dengan Pura sedangkan di India dinamakan dengan Mandir.

3.2     Kritik dan Saran
          Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini. Karena kita sebagai calon pendidik agama sangat perlu mempelajari tentang sejarah perkembangan Śiva Siddhānta sebelum di India, Śiva Siddhānta di India dan Śiva Siddhānta di Bali.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...