Minggu, 15 Desember 2013

Bhuta Yajna


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Upacara Yadnya merupakan koraban suci yang tulus iklas serta langkah yang diyakini sebagai kegiatan beragama Hindu yang amat penting. Karena Yadnya merupakan salah satu penyangga bumi, karena alam semesta ini diciptakan dengan Yadnya. Dan Yadnya juga merupakan perputaran kehidupan yang dalam Bhagawad-Gita disebutkan Cakra Yadnya. Apabila cakra Yadnya ini tidak berputar maka kehidupan ini akan mengalami kehancuran.
Adapun bagian-bagian dari Yadnya yaitu: Dewa Yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada para Dewa / Ide Sang Hyang Widi, Bhuta Yadnya yaitu upacara yang ditujuka kepada mahluk bawahan nyata dan mahluk bawah yang tidak  dengan memeberikan penyupatan, Rsi Yadnya upacara seperti mediksa yang berkaitan dengan orang suci, Pitra Yadnya yaitu upacara untuk para leluhur atau yang umum dilakukan di Bali yaitu ngaben, dan Manusa Yadnya yaitu upacara pada manusi dari masih kandungan sampai dewasa. Dimasing-masing Yadnya yang diselenggarakan sudah barang tentu upakara atau bantennya berbeda-beda sesui dengan Yadnya yang diseleggarakan.
Bhuta Yadnya merupakan salah satu bagian dari Panca Yadnya, Bhuta Yadnya adalah koraban suci yang bertujuan untuk membersihkan tempat/alam beserta isinya/dan memelihara serta memberikan penyupatan kepada para Bhuta-kala agar menjadi Bhuta hita, serta mahluk-mahluk lainnya yang dianggap lebih rendah dari manusia.
            Dalam upacara Bhuta Yadnya terdapat Pembersihan terhadap tempat (alam), Pembersihan terhadap bhuta-kala. Dan upakara-upakara yang berfungsi sebagai pembersihan. Yaitu “byakala”, “prayascita”, “durmenggala”, “Upakara-upakara ini dapadipergunakan sebagai pendahuluan dari suatu yadnya, pembersihan terhadap suatu tempat, diri sendiri dan lain-lainnya. Dan upakara yang befungsi sebagai pemeliharaan dan penyupatan yaitu terhadap para bhuta kala dan makhluk-makhluk tersebut, misalnya ‘segehan kepel’, segehan cacahan’, ‘segehan agung’, ‘gelar sanga’, dan beberapa jenis caru.
Dalam makalah kami akan memebahas tentang tujuan upacara yadnya, alat perlengkapan dan beberapa upakara untuk Bhuta Yadnya. Yaitu beberapa jenis segehan, Gelar Sanga, Byakaonan, Prayascita-Sakti, Tetebasan Durmenggala, dan caru Ayam Brumbun.

1.2              Rumusan Masalah
1.2.1         Bagaimaan tujuan upacara Bhuta Yadnya?
1.2.2         Apa saja jenis-jenis “segehan”?
1.2.3         Bagainama banten Gelar Sanga?
1.2.4         Bagainama banten Byakaonan?
1.2.5         Bagainama banten Prayascita-Sakti?
1.2.6         Bagainama banten Tetebasan Durmangala?
1.2.7         Bagainama banten caru Ayam Brumbun?

1.3              Tujuan Penulisan
1.3.1         Ingin mengetahui tentang tujuan upacara Bhuta Yadnya
1.3.2         Ingin mengetahui tentang jenis-jenis “segehan
1.3.3         Ingin mengetahui tentang banten Gelar Sanga
1.3.4         Ingin mengetahui tentang banten Byakaonan
1.3.5         Ingin mengetahui tentang banten Prayascita-Sakti
1.3.6         Ingin mengetahui tentang banten Tetebasan Durmangala
1.3.7         Ingin mengetahui tentang banten caru Ayam Brumbun


BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Tujuan Upacara Bhuta Yadnya
            Bhuta Yadnya adalah suatu korban suci yang bertujuan untuk membersihkan tempat (alam beserta isinya), dan memelihara serta memberi “penyupatan” kepada para bhutakala dan makhluk-makhluk yang dianggap lebih rendah dari manusia. Pembersihan itu memepunyai dua sasaran yaitu:

2.1.1    Pembersihan terhadap tempat (alam).
            Yaitu pembersihan dari gangguan dan pengaruh-pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh para bhuta-kala dan makhluk yang dianggap lebih rendah dari manusia.
2.1.2    Pembersihan terhadap bhuta-kala
            Yaitu, pembersihan dengan maksud menghilangkan sifat-sifat buruk yang ada padanya, sehingga sifat baik dan kekuatan dapat berguna bagi kesejahteraan umat manusia dan alam.
            Pemeliharaan yang dimaksudkan disisni adalah untuk menjaga agar mereka tetap bersifat baik serta berada atau bergerak menurut jalan masing-masing, sehingga tidak menimbulkan gangguan kepada alam dan isinya. Misalnya pemeliharan terhadap para “binatang”, yaitu yang lebih bersifat “penyupatan”, kepadanya dengan menjelmanya dia sebagai manusia kelak, agar dapat berbuat kebajikan, sehingga dia dapat mencapai kesempurnaan hidupnya (memperbaiki karmanya).
            Yang dimaksud dengan “penyupatan” adalah untuk mengembalikan mereka ke tempat/kepada asalnya dan memberi penigkatan yang lebih sempurna kepadanya. Dalam beberapa lontar seperti Widi-sastra, Yama-tatwa,  Lebur gangsa, disebutkan bahwa salah satu yang menjadi bhuta-kala, peri, jin, setan dan yang lainnya, yang sejenis dengan itu adalah dewa-dewa atau roh-roh yang terkutuk karena dosa-dosanya, serrta ditrurunkan kedunia untuk mencari “penyupatan”
2.2.      Golongan Upacara Yadnya
2.2.1    Upakara-upakara yang berfungsi sebagai pembersihan.
            Misalnya: “byakala”, “prayascita”, “durmenggala”, “caru rsi gana”, “panca-kelud”. Upakara-upakara ini dapat dipergunakan sebagai pendahuluan dari suatu yadnya, pembersihan terhadap suatu tempat, diri sendiri dan lain-lainnya.

2.2.2    Upakara yang befungsi sebagai pemeliharaan dan penyupatan
Yaitu terhadap para bhuta kala dan makhluk-makhluk tersebut, misalnya ‘segehan kepel’, segehan cacahan’, ‘segehan agung’, ‘gelar sanga’, dan beberapa jenis caru. Upakara ini dapat dipergunakan sebagai persembahan biasa dan menyertai setiap yadnya. Pelaksanaannya dapat dilakukan bersamaan dengan yadnya yang bersangkutan atau setelah yadnya itu selesai. Dalam keadaan yang biasa upacara ini dilakukan pada: tiga tempat yaitu: Di halaman merajan, ditujukan ke hadapan sang bhuta bucari. Di halaman rumah, ditujukan kehadapan sang kala bucari. Di halaman luar ditujukan kepada sang durga bucari.
            Upacara-upacara ‘Bhuta Yadnya’ yang tersebut di atas adalah dalam arti yang umum, karena masih banyak jenis upacara dan upakara ‘Bhuta Yadnya’ yang dipergunakan pada waktu-waktu tempat-tempat yang tertentu misalnya: dibawah tempat tidur, di sawah, di dapur, dan sebagainya.  Dan Bhuta Yadnya itu berfaedah bagi yang dijadikan korban, karena ‘rohnya’ ditingkatkan, yang menerina koban, yaitu dapat berguna bagi kesejahtraan alam, atau kembali kepada asalnya dan bagi yang melakukan yadnnya itu sendirinya, karena dapat melakukan kewajiban sebagaimana yang ditunjukkan oleh ajaran agama. Yaitu berbuat demi kesejahtraan alam beserta isinya.
Di dalam Bhagad-Gita disebutkan:
            Niyatam kuru karma twam
            Karmajyayo hy akarmanah
            Sarirayatra pi ca te
            Na prasidhad akarmanah


Terjemahan:
            Lakukan pekerjaan yang diberikan kepadamu karena
            Melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya. Dari pada
            Tidak melakyukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara
            Dirimu tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja.
Artinya:
            Hanya dengan perbuatan Prabu Jantaka dan lain-lainya
mendapatkan kesempurnaan.
Jadi kami harus juga melakukan pekerjaan
dengan pandangan memelihara dunia.
           
2.3       Alat Perlengkapan dan Beberapa Upakara Untuk Bhuta Yadnya.
Dalam bhuta yadnya”sedapat mungkin ,mempergunakan api takep dan tetabohan. Api takep, adalah api yang di taruh pada dua kupak serabut yang letaknya sedemikian rupa  (bersilani) Disamping itu kalau diperhatikan bentuk api takep” itu akan mendekati bentuk tampak dara”(suastika yang netral). Sedangkan yang di maksud dengan “tetabuhan” adalah 5 jenis zat cair yaitu tuak,arak,berem dan air  penggunaan darah dalam hal ini sering juga disebut  “sabuh-rah. Di dalam pelaksanaannya masing-masing  zat cair itu akan dituangkan tiga kali, demikian pula halnya  dengan “tabur rah”, disebabkan agar darah itu terdapat tiga kali  cipratan. Ini biasanya darahini biasanya diperoleh dengan  jalan memotong  ayam kecil atau itik atau babi kecil yang belum dikeberi.
Secara sederhana “tetabuhan”, ini adalah merupakan minuman bagi para “buthakala”.peri, jin, setan,dan lain-lain yang sejenis. Menurut kepercayaan lauk-pauk, yang disukainyaoleh para “Bhuthakala" tersebut adalah yang berbau amis, seperti berambang jae,”jejeroan”yang mentah dan lain-lainnya.

2.3.1    Jenis-jenis “segehan”
1.      “Segehan kepal”
Sebagai alasnya dipakai sebuah “taledan”(tangkih) daun pisang. Diatasnya diisi dua kepal “nasi putih, ikannya bawang, jae, dan garam. Diatasnya dilengkapi dengan sebuah “canang genten”/”canang biasa”. Mengenai jumlah nasinya dapat dirubah-rubah, demikian pula warnannya sesuai dengan kepentingan atau kehendak seseorang, misalnya berewarna putih dan kuning, berwarna merah, hitam dan putih dan sebagainnya. 
2.      “Segehan Cacahan”
Sebagai alasnyadipakai sebuah “taledan” (daun) “tangkih”.  Di atasnya diisi 6/7 buah “tangkih” yaitu lima buah dari padanya diisi nasi putih yang satunya diisi “bija ratus”(5 jenis biji-bijian seperti jagung, jagung nasi, jawa, godem dan jali”), sedangkan “tangkih yang sebuah lagi diisi beras sedikit, base tampel”, benang putih dan uang. Bila mengambil 6 buah “tangkih” maka “bija ratus” dan lain-lainnya itu dijadikan satu”tangkih” sebagai lauk pauknya adalah bawang ,jae dan garam, kemudian dilengkapi dengan sebuah “canang gentan “?biasa. Seperti pada “Segehan kepel” maka nasi dari “segehan” ini dapat pula diwarnai sesuai dengan kepentingannya.
Penggunaannya
Kedua jenis “segehan” ini penggunaannya dapat dipilih oleh yang bersangkutan, untuk melaksanakan upakara”Bhuta-yadnya’ yang kecil /sederhana, seperti wakta “keliwon”,purnama, tilem,” piodalan betara Saraswati”,Pagerwesi”, Rahinan alit”,(ngebulan) di “sanggah? Di pura” sehabis otonan dan lainnya.
3.      Segehan agung 
Sebagai alasnya dipakai sebuah tempat yang agak besar ( di bali biasanya di pakai sebuah “nyiru”lempeh”) Diatasnya diisi 11atau 33 buah “tangkih”, masing-masing diisi nasi, lauk pauk dengan bawang, jae, dan garam, kemudian dilengkapi dengan sebuah “daksina” atau alat perlengkapan daksina itu ditaruh begitu saja pada tempat tersebut, tidak dialasi dengan bakul, dan kelapanya di kupas dengan bersih.”sesegehan” ini dilengkapi dengan sebuah “canang payasan”dan 11/33 buah canang ganten/biasa ditambah dengan “jinah sandangan” sedangkan untuk menghaturkan “segehan’ ini disertai dengan “penyambleh” ayam kecil, itik, babi, yang belum dikebiri (kucit butuan ) yang masih hidup. Pengunaan penyembleh itu disesuaikan dengan kepeentingan dan tenpatnya.
Penggunaannya
            “Segehan” ini  di pergunakan dalam upacara-upacara yang agak besaar, dan kadang-kadang mempunyai sifat yang kusus seperti”piodalan di pura, menurunkan atau”memendak ida Betara”pengukuran tempat untuk suatu bangunan lebih-lebih bangunan suci,pembongkaran? “peletakan”batu pertama, untuk bangunan suci dan selalu menyertai upakara”Bhuta yadnya” yang lebih ini adalah satu”puja”pengantar untuk “Segehan agung”
OM    Sang Hyang purusang kara,anugrah ring sang kala sakti,Sang Hyang Rudra anugrah ring sang Kala Wisesa,Sang Hyang Durga Dewi, anugraha ring sang  Dengan ameng-amengpadanira paduka Betara sakti anunggu ri bumi, ring pura parhayangan, natarpaumahan, di Dalem pasuguhan wates setra pabayangan, salwir lemah angker.manusa cweh tadah sajisira watekKala Bhutha kabe, iti tadah sajinnira sege iwaksambleh, asing kirang asing luput nyata pipis sambundel ,atukuna sira ring pasaragung, pilih kebelanira-ajaken sangkala nira kabeh,nyah kita saking kene, apan sira sampun sinaksenan, wehana manusa nira urip waras dirgayusa.
OM      Kala bhoktaya nama, Bhuta bhoktaya nama, hpisaca bhoktaya nama, Durga bhoktaya namah.
Ucapan waktu menuangkan “Tetabuhan”
OM ebek segara,bek danu ebek banyu pramanahingngulan.

2.3.2    “Gelar Sanga”
Gelar Sanga” ada dua macam, yaitu Gelar Sanga Alit dan Gelar Snga Angung
1.      Gelar Sanga Alit”
Sesuai dengan namanya yaitu; nasi yang digelar berjumblah 9 (Sembilan) diatas taledan kecil-kecil berjumblah 9 (Sembilan) yang diletakkan lagi diatas satu taledan  yang jauh lebih besar. Masing-masing taledan yang kecil-kecil itu disis sekebis raka-raka selengkapnya. Sampiyan plaus. Nasinya nasi putih sasahan/maurab yang berisi kacang saur. Ditengah-tengah tetandingan gelar sanga diletakan satu ituk-ituk yang berisi satu untek mecelek bawang jahe beralaskan selembar daun dapdap. Satu ikat batang kecil daun kelor dan daun jepun yang sudah dicelupkan air panas, satu kuali, adalah perlengkapan glar sanga dengan seluruh tetandingan glar sanga ditretesi uyah areng: diatsnya diisi 9 batang sate yang sudah diikat.  (Surayin.2003:17).
2.       “Gelar Sanga Agung”
Alas dari banten ini lebih besar dari bandingkan dengan gelar sanga alit. Alas ini diisi nsi, lauk pauk seperti “urab-urab/obat-obatan”, sayur-sayuran bawang, jae, masing-masing 9 “tangkih” dan sate 9 biji. Ditengah-tengahnya diisi sebuah daksina pengolan, lengkapi dengan sebuah kuali yang berisi sayur, daun kelor yang mentah, nira sagici, dan “tetabuhan”, “banten” ini dilengakapi dengan dengan 9 buah “canang genten”/biasa, nasi dialasi dengan bakul, “balung”, dan “karngan”. “Banten” ini dipujai seperlunya, lalu kelapa, telur dan perlengkapan-perlengkpan lainnyaseperti nasi, lauk-pauk, dan sebagainya dituangkan kedalam “kuwali” (telur dan kelapa dipechkan), kemudian diaduk dengan sate kemudin diciprat-cipratkan. Sete dari “banten ini hanya sebelahnnya (“lebeng asibak”) sedangkan yang sebelah lagi dibiarkan mentah. 
Penggunaannya
            Upakara ini dipakai dalam upacara yang agak basar seperti “piodalan” di “pur/sanggah (ditaruh didepan “sanggah  pasaksi”). Untuk “ngelebar Ida Bhatara” dan selalu menyertai upacara-upacara “Bhuta Yadnya” yang lebih besar.
“Mantra banten Gelar Sanga”
OM, indah ta kita Sang Bhuta Dengen, iringan ingon-ingon paduka Bhatara-Bhatari, Sang Bhuta Brahma turun, Sang Bhuta Putih, Sang Bhuta Janggitan, Sang Bhuta Langkir aranira, Sang Bhuta Kuning, Sang Bhuta Lembukenia aranira, Sang Bhuta Ireng, Sang Bhuta Taruna arunira, Sang Bhuta Amanca-warna, Angga-sakti aran sira, Sira ngilangken Bhuta Dengen, iti tadah bhuktinira sege sewakul, iwak karangan lan balung gegending, sinusunan antinganing sawung anyar, sajeng saguci, den pada amukti sari, sira awing-aweng menawi wenten kirang punike pamuputnia, jinah satak lima-likur lawe satukel, sampun tan anan sredah, sira ring sang adrewe karya. OM, ksama swamam paphebyo manadi Hyang namo, swaha.

2.3.3    “Byakaonan”
            Alas yang dipakai untuk banten ini sebuah “asyakan” (“sidi” dari bambu), kemudian diatasnya diisi “jejahitan” yang disebut “kulit sesayut”, “kulit peras”, dari daun pandan yang berduri, dan selanjutnnya berturut-turut diisi nasi yang dibungkus dengan daun pisang, ada yang berbentuk segi empat ada yang berbentuk segi tiga “penek” yang disisipi bawang, jae dan tersi mentah(“penenk hamong”). Di sekitar diisi lauk-pauk, “jaja”, buah-buahan, “sampian nagasari”, dari daun andong, “ canang genten”/biasa dan beberapa perlengkapan lainnya seperti:
1.      “Pebersihan/pengeresik” : sebuah “ceper” yang berisi “sisig”, “kekesok” (dari tepung beras), “tepung-tawar, (dari daun dadap, kunir dan beras yang ditumbuk), minyak dan “wija/sesari”, serta sebuah “sampian payasan”.
2.      “Isuh-isuh”, sebuah “ ceper” yang berisi sebutir telur ayam yang mentah, (kadang-kadang diganti dengan bawang yang dikupas sampai halus), sapu lidi, serabut ayam dijepit, (sabet), “ngad”, “base tulak” (“porosan”) yang ujung sirih nya berlawanan, dan sebuah “tangkih” yang berisis ramuan dari daun “kayu tulak”, “kayu sisih”, “kemurugan”, “padang lepas”, daun alang-alang dan daun dadap.
3.      ‘Amel-amel : sebuah limas (tangkih) diisi daun dadap ujung dadap “padang lepaas” masing-masing 3 buah, lalu diikat dengan benang merah, putih dan hitam (benang “tri datu”). Kemudian dilengkaapi dengan sebuat “seet mingmang”.
4.      “Sasak mentah”, sebuah limas yang berisi tiga keel nasi yang disirami dengan darah mentah dilengkapi dengan bambu-bambu yang “di Rajang” (“basa Rajang”).
5.      “Seroan alit”, terdiri dari sebuah “peras”,” tulung”, dan “sesayut”.
6.      “Padma”, (sejenis jejaitan dari janur, untuk menciptakan tirta)
7.      Sebuah” Lis” “pabyakalaan”, “ Lis ageng” ini terdiri dari beberapa buah jejahitan atau anyaman dari janur. Yang diikat sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti “base tampel”, serta digantungkan sebuah “tipat kukur” dan dua kepeng uang”,. Waktu upacara “lis” dipotong dengan tangan kiri dan ikatnya dibuka. Didalam upacara-upacara yang  biasa dapat dipergunakan “lis” yang kecil (“lis alit”, “lis padma”).
8.      “penyeneng”: sebuah “jejahitan”, yang berpetak tiga dan diisi “tepung tawar”, nasi “sagau”, “wija/sesarik” dan “tetebu” darai benang, serta “porosan” dan “bunga”.
Untuk melaksanakan upacara “mebyakala” diperlukan perlengkapan seperti “kekeb” yang berisi “tapak dara kapur”, dan “tetimpug”, yang dibuat dari 5/7/9 potong bambu yang masih kedua ruasnya, sehingga kalau dibakar akan menimbulkan suara/meletus. Dan upacara ini dipergunakan sebagai pendahuluan dari setiap “yadnya” “penampahan galunagan”, menyertai “banten” “pedengen-dengen”, “caru” dan yang lainnya.
Terlebih dahulu “tetimpugan” itu dibakar diatas sebuah tungku sehingga berbunyi/meletus tiga kali, secara rohaniah hal ini adalah untuk memanggil para “Bhuta-kala”, sedangkan secara lahiriah, hal itu merupakan suatu syrat/tanda bahwa upacara akan segera dimulai. Kemudian dijalankan (diciptakan air biasa dengan bunga, selanjutnya menyalakan alat perlengkapan yang ada pada “pembersihan” dan “penyeneng” seperti “kekosok”(tepung), nasi “segau”, “tepung tawar”, lalu mencipratkan air lagi sekali dengan “bebuu”, kemudian dilanjutkan dengan menyapu (“mengayabkan”) dengan sapu, sabet, dan telur ayam yang mentah. Setelah itu mencipratkan air dengan “lis pabyakalan”, kemudian “tirta pabyakalan dengan padma”, dan pengelukatan/pebersihan” dengan bunga akhirnya “mengayabkan” “banten” disertai dengan “metetabuh”. Apa bila upakara ini dipakai dalam upacara “Manusa Yadnya”, maka setelah dihaturkan seperti diatas, orang yang bersangkutan diupacarai seperti diatas dan waktu “natab” “banten” tangan di arahkan ke belakang/ ke samping.
Upacara ini dilakukan di halaman rumah atau halaman “merajan” menghadap pintu masuk (“pemesuan”). Dan beberapa buah-buah “mantra” .
1.       “Kekosok”.
Om Trena taru lata kebaretan kelinusan dening angin angampuhang mala wigna. Om siddhir astu ya namah swaha.

2.       “Puja segau” dan “tepung tawar”.
Om sajnana asta sastra empu sarining wisesa, tepung tawar amunahaken, segau angeluaraken sakwening sebel kandel lara-roga bhaktanmu.




3.         Wija/sesarik”).
Di dahi : OM Sri, Sri, Sri ya namo namah svaha. Di bahu kanan : anengen bhagia pulakerti asasangon ; di bahu kiri : angiwakaken panca baya ; di punggung : anguduraken satrumusuh ; dibawah kerongkongan : angarepaken phalabhoga ; di hati : angati-ngati sabda rahayu ; pada kedua belah tangan, anangga pana sri sedana; dikakki anandungana mas-pirak,
OM Hrang, Hring, Sah Parama Siwa ditiaya namah svaha.

4. “Puja tetebus”.
Om raga wetan, anagapusaken balung pil-pilu, dan kadi langge ning Sanghyang Surya, mangkana  langgengning angapusaken kang tinebas-tebas,
            OM. Sampurna ya namah svaha.

5. “mengahaturkan air (“yeh coblong”).
            OM. Gangga pawitrani svaha.

6. “Puja dari isuh-isuh”.
       OM Sanghyang Taya tan panetra, tan pa cangkem, tan pakarna, sanghyang Tayajati suklanirmala, sira angisuh-isuhing sarwa dewata, angilangaken sarwa Bhuta, Dengen, Kala ring sarwa ta kabeh, Undur Doh, kita sarwa Bhuta, kala Dengen, ring pada Betara Kabeh, aja kira masenetan ring manusa kabeh, nyah ta kita saking kulit, ring daging, ring walung, ring sumsum, mantuk ta kita ring Jamur jipang Sabrang Melayu.
            OM. AM. MAM, nama Sivaya svaha.

7. “Telur pada Isuh-isuh”.
Om antiganing sawung, pangawaking Sanghyang Gala Candu Sagilingan, kalisakna lara-rogha mala petaka kabeh, OM SAH Osat namah. OM Bham Bhamadewaya, Betara angiberaken lrrogha papa klesa mala namo namah svaha.

8. “Mantra Lis”.
       Pukulun ngadeg sira Sang janur-Kuning, tumurun Bhatara Siwa, ulun angaturaken busung reka, busung ringgit, ron sarwa laluwes, mas awarona kumala-wintwn, angilangana sakwehing dasa-mala, sebel-kandel, awigna sudh, tutuga ring sapta wredah. OM Sriyawenamu namah svaha.

9. “MenciptakanTirtan Pabyakaonan”.
       Pukulun Hyang Bhatara Kali, Bhatara Hyang Sakti, Sang Kala Putih, Sang Kala Pita, Sang Kala Ireng, Sang Kala Amanca Warna, Sang Kala Anggapati, Sang Kala Karogan-rogan, Sang Kala Pepedan, Sang Kala Sri, Sang Kala Patti, Sang Kala Sedahankala, aja sira anyangkalen manusanira ngastuti Hyang Dewa Bhatara ring Parhyangan Sakti, reh ingsun anagaturaken tadah sajinira. Bhatara Kala punika bhuktinen redanira kabeh. OM Kala-Kalibhoyo bhuktaya namah. OM. Ksama sampurnaya namah, OM sarwa Kala laksana ksamam ya namah svaha.


2.3.4. “Prayascita-sakti”.
Sebagai alasnya adalah sebuah “kulit sesayut” dan kadang-kadang berbentuk “tamas” kemudian di atasnya berturut-turut diisi : “Kulit peras” dari janur (“busung”) yanag bentuknya bulat daun “tabiabun” (mungkin dapat diganti dengan daun “tabia/lombok biasa), 8 lembar yang dijahit menjadi satu serta bentuknya bundar (seperti padma), lalu di atasnya diisi nasi yang berbentuk juga bundar. Diatas nasi itu diisi lauk paukserta 5 iris telur dadar, yang diletakkan sedemikian rupa sehigga menunjukkan kelima arah mata angin. Di beberapa tempat ada kalanya di lengkapi dengan 8 biji bawang putih (kesuna) yang dialasi dengan “kukun kambing”, (sejenis anyam-anyaman dari busung). Selanjutnya “banten ini dilengkapi pula dengan buah-buahan, jajan, lauk-pauk, “sampian-nagasari”, “canang genten”/”burat wangi”, “penyen eng”, “pesucian/ pengeresikan”, “babuu”, “padma”, “lis senjata” (lis, yang melukiskan 5/9/11 jenis senjata “nawa-dewata”. Kelapa gading yang masih muda (“kelungah”) “di Kasturi” ( dibuka dengan bukaan yang berbentuk segi tiga), dan sebuah “banten” “peras kecil” (tumpengnya kecil”)
Penggunaannya:
Banten ini dapat dipergunakan sebagai pembersihan terhadap bangunan yang baru selesai/diperbaiki, sehabis “kecuntakaan” (“kesebelasan”) seperti sehabis melahirrkan melahirkan (setelah berumur 42 hari) sehabis kematian. Serta jenis-jenis caru. Bila menyertai “banteni byakaonan atau “durmengala maka “banten:” dipakai setelah menghaturkan kedua jenis “banten “ tersebut.
“mantra banten prayascita”
OM. Hrim, Srim, Nam, Swam, Yam, sarwa rogha wighna satru winasaya Rang OM Phat.
OM,Hrim, Srim, Am, Tam, Sam, Bam,Im, sarwa danda mala papa-klesa winasaya Rah Um, Phat.
OM. Hrim,Srim, Am, Um, Mam, sarwa wighna winayasaRah Um Phat.
Om siddhi Guru Srom sah Osat, OM, sarwa wighna winasaya.
Sarwa klesa winasaya, sarwa rogha winasaya, sarwa satru winasaya, sarwa dusta winasaya, sarwa papa winasaya, astu ya namah svaha.


2.3.5. “Tebasan Durmengala”.
            Sebagai alasannya adalah “kulit sesayut”, kemudian diisi sebuah “tumpeng” yang disisipi” “berambang”, jae dan terasi yang merah sertamentah. Mengenai “tumpengnya” ini ada lontar yang menyebutkan berwarna hitam dan putih tetapi ada pula yang menyebutkan putih.
Kemudian dilengkapi dengan lauk-pauk, ikannya “telur bekasem (telur asin), “rujak” 1 takir, kacang 3 “tangkih”, jajan, buah-buahan masing-masing jenis 5 biji/iris “sampian nagasari” “pescian/pengeresikan”, penyeneng”, “canang genten/”burat wangi”/sari”, “Lis” (dari janur kelapa hijau) “padma”dan sebuah “daksina” yang berisi benang satu “tukel”, wang 225 dan lain-lain selengkapnya. (untuk demikian pula “duwegannya” adalah “kelungah” kelapa hijau yang di “kasturi”).
Penggunaannya:
Upakara ini dapat dipergunakan kalau ada kerusakan yang besar atau perbaikan yang agak besr, terjadi kelainan-kelainan di rumah atau tempat suci, (terjadi ke “durmengala”an seperti “pura” terbakar, dihanyutkan oleh air, dirubuhkan oleh angin, ditimpa pohon-pohonan, ada “lulut”/ meenyertai upakara “Bhuta-yadnya” yang agak besar.
“Mantra Tebasan Durmenggala”.
Pkulun Sang Kala Purwa, sang Kala sakti, Sang Kala Brajamuka, sang Kala Ngulaleng, Sang Kala Suksma aja sira pati panyinga aja sira pati paprotongi iti tadah sajinira, penek lawan bawang, jae mwang terasi bang, iwak antig, jinah satak lima likur, lawe satukel, manawi kurang tadahan nira, aywasira usil silih gawe, tukunen sira ring pasar-agung, iki jinah satak lima likur, lawe satukel, wehenta, senak raninnira mwang putunnira, ndah sira lungha amarah desa, aja maring kene, den pada siddhir astu. OM. Kala bhyo bhokte hama svaha.
“Prayascita” dan “tebasan Durmenggala” pelaksanaannya b ersama. Cuma “banten” “tebasan durmengala” terlebih dahulu di “ayabkan”, baru kemudian “prayascita”

2.3.6.      Caru Ayam Brumbun” (satu ekor).
Caru dalam kamus kecil sansekerta, dijumpai arti kata caru itu adalah bagus, canti, harmonis. Mecaru (bhs. Bali) artinya menyelenggarakan Caru, yang mempunyai maksud mempercantik, memperbagus dan mengharmoniskan. Kalau caru itu caru palemahan, maka yang diharmoniskan adalah waktu atau musim atau masa. Sedangkan caru oton, yang diharmoniskan adalah Prilaku manusia yang antara lain di akibatkan oleh pengaruh kelahiran atau otonan.
Untuk upakara caru ayam brukmbun ini diperlukan seekor ayam “brumbun” yaitu ayam yang bulunya berwarna merah, putih, kuning dan hitam. Setelah ayam itu dipotong (bulunya tidak dicabut) lalu dikuliti sedemikian rupa sehingga kepala, sayap dan kakinya masih melekat yang satu dengan yang lainnya. Dagingnya di “olah”dijadikan 3 jenis “uraban” (urab-barak, urab-putih) dan gegecok)dan 3 jenis sate (“sate Lembat, sate asem, dan sate calon”) ketiga jenis “uraban “ dan sate itu disebut “trinayaka” sebagai simbul jasmani ayam tersebut dan “aksara” nya adalah ANG, UNG, MANG. Kemudian setelah semuanya masuk lalu dibagi (“ditanding”)  menjadi beberapa bagian sebagai berikut :
1.      Sebuah “karangan” (= “taledan” yang berisi “urab-uraban” tadi dan sate tiap jenis 2 biji, serta dilengkapi dengan garam dan sambel). Nasi dialasi dengan sebuah bakul (nasi “sokan” dilengkapi dengan sirih “lekesan” pinang dan “susur”). “Sampiannya” disebut “sampian nagasari”.
2.      “Kawisan”, sebuah taledan yang isinya seperti diatas, tetapi nasinya berbentuk “pangkonan”, diisi sebuah “canang genten/biasa”.
3.      “Banyuhan”, “taledan” yang berisi “urab-uraban” dan sate setiap jenis satu biji. Membuat 8 “tanding”. Nasinya adalah “ tumpeng brumbun” 8 “danan” lengkap dengan jajan, buah-buahan, lauk-pauk/”sambel”, dan “ sampian tangga” (satu danan berisi 2 buah “tumpeng”)
4.      “Ketengan” , “taledan” berisi “urab-uraban” dan sate setiap jenis satu biji. Membuat 8 “tanding” dab masing-masing dilengkapi dengan “canang genten”.
5.      “Segehan Cacahan brumbun” 8 “tanding”.
6.      “Caru –dandan” 8 buah berisi nasi “brumbun”, serta dilengkapi dengan lauk-pauk bentuknya seperti “kapu-kapu” yang digandengkan.
7.      “Tulung sangkur” (“tulung” kecil) 8 buah, berisi nasi berumbun dan lauk-pauk.
8.      “Takep-takepan” (dua buah “ceper” kecil yang dikatupkan ; didalamnya berisi beras, “base tempel”, “benang putih dan uang”).
“Banten-banten” tersebut dilengkapi dengan “peras”, “penyeneng”, “sanggah urip”, “sesayut”, “pengambean”, “soroan”, “pengulapan”, ajuman”, “daksina ponggolan” (= “daksina ponggolan”), “ tipat kelanan”, “suci alit, “segehan agung”, “sesayut durmengala”, “prayascita-sakti”, “byakaonan”, lengkap dengan “Lis Pabyakaonan”. Semua upakara-upakara yang tersebut diatas semua dilandasi dengan “sengkwi” yaitu jenis anyaman dari pelepah kelapa, banyak anyaman 8 biji.
Kulit ayam tadi dialasi dengan dua lembar daun “telujuangan”, letak kuliat ayam itu sedemikian sehingga kepalanya berada di ujung daun itu, sedangkan sayap dan kakinya direntangkan.  Diatasnya di isi secarik kain yang berwarna-warna, sebuah “kwangen” yang berisi uang 8 kepeng, selanjutnya ditarung diatas upakara-upakara yg tersebut diatas (kalau mungkin daun “telunjungan” itu dialasi dengan “kelatkat sudhamala”). Di hulu dari upakara tersebut diisi sebuah sanggah “cukcuk” yang dilengkapi dengan gantung-gantung, lamak dari “busung” dan daun “telunjungan”. Upakara yang di taruh pada “sanggah” itu  adalah dua buah “tumpeng” dengan “ceper” dilengkapi dengan lauk-pauk “sampian tangga”, “canag burat wangi” dan “tadah sukla”.
Disamping itu untuk menghaturkan upakara ini membuat pula ”sanggah” pesaksian (sanggah surya) yang berisi “banten”:  “peras”, “ajuman”, “daksina”, “suci”, dan lain selengkapnya.
Dan sebagai tempat “tetabuhannya” disebut ‘canang” yaitu bamboo kecil yang dipotong miring, lalu diisi “tetabuhan” seperti di depan. Dan penggunaannya :
“Caru ayam brumbun” ini disebut pula “caru pengeruak”, dan pengunaanya hampir sama dengan “segehan agung”, tetapi didalam upacara yang lebih besar, misalnya piodalan di “sanggah/pura”, baik sebagai pembersihan maupun menyertai piodalan tersebut, untuk perabasan atau peombakan suatu tempat/hutan, pembongkaran atau peletakan batu pertama untuk suatu bangunan suci, permulaan mempergunakan suatu bangunan seperti rumah, “pura”,”bale banjar”, dan lain-lainya.
Beberapa mantra:
1.      Mantra “Caru ayam Brumbun”.
OM, indah ta kita Sang Bhuta Tiga Sakti ring madya desanira, Kliwon pancawaranira, Bhatara Siwa, Dewatania, iki tadah sajinira, penek mancawarna, meiwak ayam brumbun, ingolah winangun urip ketekang saruntu tan ipun, ajak sawadwabalanira ulung siki, menawi wentwn luput kakirangan ipun denageng sampuranen sang adrewa caru. ONG ING namah.

2.      Mantra mengayabkan benten caru
OM bhuktiantu Durga katarah, bhutiantu, kalam ewaca, bhuktiantu sarwa Bhutanem, bhuktiantu pisaca sanggyem.
 

BAB III
PENUTUP

3.1       Simpulan
             Dari materi diatas dapat kami simpulkan bahwa tujuan dari pada Bhuta Yadnya itu adalah pembersihan terhadap tempat (alam), dan Pembersihan terhadap bhuta-kala. Serta mampu memeberikan penyupatan kepada mahluk yang lebih rendah dari pada manusia dan para Bhuta-kala agar menjadi Bhuta hita. Dan upakara-upakara yang befungsi sebagai pemeliharaan dan penyupatan Yaitu terhadap para bhuta kala dan makhluk-makhluk tersebut, yaitu ‘segehan kepel’, segehan cacahan’, ‘segehan agung’, ‘gelar sanga’, dan beberapa jenis caru. Upakara ini dapat dipergunakan sebagai persembahan biasa dan menyertai setiap yadnya. Serta upakara  yang berfungsi sebagai pembersihan. yaitu “byakala”, “prayascita”, “durmenggala”. Upakara-upakara ini dapat dipergunakan sebagai pendahuluan dari suatu yadnya, pembersihan terhadap suatu tempat, diri sendiri dan lain-lainnya.
           
3.2       Saran
            Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun  ini masih jauh dari sempurna, maka demi penyempuranaan makalah kami ini kritik dan saran dari para pembaca sangat kami perlukan dan kekurangan-kekurang materi yang kami sampaikan  perlu ditinjau lebih jauh lagi. Semoga makalah kami ini ada manfaatnya bagi pembaca. 








2 komentar:

  1. kenapa hindu bali ribet bgt
    seharusnya bisa dibuat sederhana

    BalasHapus
  2. Terima kasih menambah wawasan. Sangat setuju dengan isi blog ini, BerTuhan diwujudkan dengan tindakan, bukan hanya berkata kata.

    BalasHapus

Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...