Senin, 13 Januari 2014

Dadia Pasek Gaduh Lelateng




I.       PENDAHULUAN
          Terlahir sebagai manusia merupakan suatu kesempatan untuk penebusan karma yang terdahulu. Sejak kita lahir hingga sampai saatnya kita menemui ajal, kita memiliki hutang budi. Dalam kepercayaan umat Hindu mengenal suatu ajaran yang disebut dengan Tri Rnam yaitu yaitu Tiga Hutang. Tiga Hutang ini diantaranya: Kepada Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai pencipta yang telah memberi kesehatan dan keselamatan dengan segala kebutuhan hidup kita; Hutang kita kepada leluhur, terutama ibu dan bapak yang telah membesarkan kita hingga menjadi dewasa; Hutang kita kepada para Rsi yang telah berjasa mengajarkan kepada kita mengenai pengetahuan agama, kebudayaan, dan lain-lain. Juga mengenal dengan ajaran Catur Guru yaitu empat penuntun yang mengemban tugas berat, tetapi sangat mulia yang harus kita hormati sehari-hari. Keempat penuntun itu yaitu Guru Swadyaya (Tuhan), Guru Rupaka (bapak/ibu kandung yang melahirkan, memelihara, mendidik kita), Guru Pengajian (guru yang ada disekolah), Guru Wisesa (pemerintah).
          Berdasarkan konsep Tri Rnam dan Catur Guru diatas kita tidak hanya menghormati orang tua kita ketika mereka masih hidup saja, tetapi juga setelah mereka meninggalkan dunia ini hingga mereka mencapai tujuan yang tertinggi. Untuk itulah di dalam sebuah keluarga selalu dibangun suatu merajan/pelinggih untuk memuja leluhur. Meskipun demikian banyak juga umat Hindu khususnya di Bali kurang mengenal kawitan mereka. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah akibat pernah terjadinya peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang melanda pulau Bali yang membawa pergeseran-pergeseran dan perubahan-perubahan pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Hindu Bali. Pergeseran-pergeseran dan perubahan-perubahan itu bukan saja mempengaruhi masalah-masalah yang menyangkut sosial politik, ekonomi dan tatanan kehidupan sehari-hari, namun juga meliputi masalah-masalah yang ada sangkut pautnya dengan kebudayaan dan keagamaan, yang akhirnya membawa kecenderungan tidak serasinya pelaksanaan Agama Hindu secara murni dan kerangka dasar dan pelaksanaan yajna ikut terbawa oleh perubahan-perubahan itu, sehingga pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Agama itu menjadi kurang sesuai dengan sumbernya (Soebandi,1981:62).
          Oleh karena itu penulis bermaksud untuk mempelajari secara khusus merajan yang ada dalam suatu keluarga yaitu Dadia Pasek Gaduh, Desa Lelateng Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana.

II.      PEMBAHASAN
2.1     Landasan Konseptual
          Landasan konsep dimaksud dalam tulisan ini sebenarnya adalah pustaka untuk memecahkan masalah penelitian. Landasan konseptual dalam penelitian ini memuat uraian sistematis tentang pemikiran yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan penulis mencari pengertian-pengertian atau konsep-konsep yang relevan dengan variabel-variabel yang menjadi topik penelitian ini, sehingga diperoleh pemahaman yang konprehensif terhadap permasalahan-permasalahan yang dikemukakan secara berturut-turut.

2.1.1  Konsep Merajan
2.1.1.1   Landasan Konsepsional Pendirian Merajan
              Pendirian Pamerajan didasarkan pada adanya pengertian bahwa atma itu berproses untuk kembali pada asalnya yaitu Paramatma. Didalam berbagai prasasti di Bali ada disebutkan istilah “Sidha Dewata” yang berarti mencapai alam dewa atau berada pada alam Sang Hyang Widhi. Roh atau Atma yang telah suci ini dipuja di Pamerajan. Pada zaman Hindu di Jawa pada masa lampau roh raja yang telah dianggap suci distanakan di Candi atau juga disebut Sudharma. Hal ini terdapat pada prasasti Karang Tengah (842 M), yang menyebutkan adanya bangunan suci “Kamulan i bhumisambhara”. Bangunan ini diduga oleh para akhli sebagai candi Borobudur tempat pemujaan leluhur dinasti raja-raja Sailendra.
          Pendirian bangunan suci untuk roh suci raja yang telah memasuki alam Ketuhanan disebutkan pula dalam Prasasti Kintami A yang berbunyi : “................. sang ratu sang sidha dewata sang lumah diair madatu”. Artinya : Sang raja beliau yang telah memasuki alam dewata beliau dicandikan di air Madatu. Demikian pula pendirian Candi sebagai stana para raja yang telah suci rohnya atau mencapai sidha dewata disebutkan dalam prasasti-prarasti yang lainnya seperti prasasti Batuan, prasasti Terunyan, prasasti Gunung Kawi, dll. Juga disebutkan dalam naskah Negara Kertagama pupuh 40.5 disebutkan: “......................... kala niran mantuk ing swarga loka.......sang dhinarma dwaya ri kagenengan”. Artinya ........pada saat beliau (sang raja) kembali ke alam sorga, ........beliau didharmakan di kagenengan. Jadi raja yang dibuatkan candi atau Dharma adalah yang telah suci atau menswarga loka (alam Kedewaan).
          Setelah berkembangnya Agama Hindu di Indonesia, terjadilah perpaduan kebudayaan dimana kepercayaan akan gunung sebagai alam arwah tetap berlanjut dan juga dilambangkan sebagai alam dewa karena menurut kepercayaan Agama Hindu gunung itu dilambangkan sebagai alam dewa. Candi adalah bentuk tiruan dari pada gunung Mahameru, stana dari dewa-dewa. Karena itulah raja yang dicandikan adalah raja yang telah suci mencapai alam Dewa. Secara ritual roh sang raja dianggap suci setelah dilangsungkan upacara Sradha yang merupakan upacara kedua setelah sang raja wafat. Sehubungan dengan upacara Sradha dibuatlah “puspa sarira” sebagai simbolis dari badan roh sang raja. Puspa sarira dibakar dan abunya dihanyut.
          Adapun tujuan dari upacara Sradha untuk membebaskan atma atau roh sang raja dari ikatan keduniawian. Hal ini merupakan penjabaran dari konsepsi moksha atau bersatunya kembali Sang Hyang Atma dengan Paramatma.  Dalam Negara Kertagama ditegaskan bahwa Upacara Sradha berrtujuan mengantarkan roh sang raja mencapai Siwaloka atau Siwabuddha loka. Secara konspesional upacara Sradha identik dengan upacara “memukur” di Bali. Upacara “memukur” atau “atma wedana” menurut Lontar Siwa Tattwa Purana ada lima tingkatan dari yang kecil sampai yang paling besar yaitu “Ngangsen, Nyekah, Memukur, Maligia dan yang terbesar adalah Ngluwer”.
          Di masyarakat disebut juga upacara “Ngeroras” atau upacara “penileman”. Tujuan upacara Memukur, identik dengan tujuan upacara Sradha yaitu mengantarkan roh mencapai alam dewata. Kalau waktu ngaben roh itu disebut Pitra atau Pitara, setelah upacara Memukur roh atau Sang Hyang Atma disebut Dewa Pitara artinya Pitara yang telah mencapai alam dewa. Berdasarkan pemikiran tentang pendirian candi di Jawa yang diidentikan dengan upacara Dewa Pitra Pratista di Bali maka atma jelaslah bahwa yang diistanakan di Pamerajan seperti merajan Kemulan adalah roh suci yang telah mencapai Dewa Pitara. (Wiana, 1989:16-19)
          Ada beberapa sumber sastra/pustaka yang digunakan sebagai landasan/ pedoman didalam mendirikan merajan diantaranya adalah seperti yang termuat di dalam Bhagavadgita pada bagian Arjuna Visadha Yogha cloka 42 dinyatakan bahwa kalau keluarga sudah hancur, maka kewajiban keluarga terhadap tradisi dan agama tidak terurus lagi, seperti upacara sradha dimana dilakukan upacara mengenang jasa-jasa nenek moyang di pitraloka (tempat arwah mereka segera sesudah meninggal dunia sebelum mencapai sorga) dengan mempersembahkan sesajen yang terdiri dari makanan dan buah-buahan yang serba lezat. Tempat mengadakan persembahan tersebut adalah tempat suci untuk memuliakan dan meumuja arwah suci para leluhur yang sekarang oleh masyarakat Hindu di Bali dikenal dengan istilah atau sebutan merajan atau sanggah.
          Dalam Lontar Purwa Bhumi Kemulan juga dinyatakan bahwa apabila tidak dilakukan upacara ngunggahang (ditempat suci) dewapitra (leluhur), maka upacara dewapitra (leluhur) ini belumlah selesai, dengan kutukan bahwa keturunan yang hanya tahu merasakan enaknya rasa makanan dan minuman untuk diri sendiri, tanpa berbahakti kepada leluhur, antara lain dengan tanpa melakukan upacara ngunggahang dewapitra (leluhur), maka sang dewapitra (leluhur) bisa menimbulkan kesengsaraan bagi keturunan bersama sanak keluarganya. Juga Lontara Negarakrethagama dan Ciwagama dijadikan landasan untuk pendirian merajan. (Soebandi, 2008:26-27).

2.1.1.2   Pengertian Merajan
               Bagi masayarakat Hindu di Bali, merajan atau sanggah adalah tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama ibu bapak yang sudah tiada dan berada di alam baka (sunia loka). Dilihat dari segi istilah kedua kata itu berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu raja ialah sebutan atau gelar kepala pemerintahan dari suatu sistem pemerintahan kerajaan dan merupakan jabatan yang mulai atau dimuliakan. Timbul tradisi dan kebiasaan bilamana menyebut seorang raja didahului dengan kata penghormatan seperti misalnya dengan kata yang mulia. Kata rajan dalam bahasa Sankerta kemudian memperoleh awalan ma lalu menjadi merajan yang bermakna tempat memuliakan dan memuja yang dalam hal ini untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama ibu bapak yang sudah tiada. Sedangkan kata sanggah berasal dari kata sanggar yang secara harfiah berarti kuil atau sangga dalam kaitan kata anangga yang berarti memegang tinggi-tinggi juga dapat bermakna menjungjung atau memuja. Jadi dengan demikian sanggah berarti tempat suci untuk menjunjung tinggi atau memuja leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai prabawa atau manifestasi Beliau (Soebandi, 2008:23-24).
              Oleh Bhagawan Dwija Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah artinya Sanggar = tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja= keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Merajan adalah tempat memuja atma yang telah mencapai “Sidha Dewata” (atma berproses untuk kembali kepada asalnya yaitu Brahman (Paramatma). Dalam pengelompokkannya, Pamerajan termasuk Pura Kawitan yaitu tempat ikatan “wit” atau tempat pemujaan yang “penyiwinya”/penyungsungnya ditentukan oleh ikatan “wit” turunan (geneologis) dari suatu keluarga tertentu (PHDI, 2005:3).
          Pamerajan memiliki tingkatan-tingkatan menurut besar kecilnya keluarga penyungsung dan bentuk serta kelengkapan dari palinggih-palinggih yang ada. Dalam lontar Siwagama ada disebutkan tingkatan-tingkatan pemujaan keluarga sebagai berikut.
          “........bhagawan menohari, Siwapaksa sira, kenedwa kinom desri-gondara-pati umarja nang sad kahyangan, manista madya motama, mamari wata swadharma ning mwang kabeh, lyan swadyaning wang saduluhing wang kawandasa kinon magawaya panti krama, mwang satengah bhaga rwang puluhing aduluk, ibu wangunanika, nistha sapuluhing saduluk, sanggar pratiwi wagunan ika, wwang kamulan pamanggalanya sowang”.

Artinya :
          Bhagawan manohari beliau beraliran Siwa dengan tugas disuruh oleh Sri Gondarapati, memelihara dengan baik Sad Kahyangan kecil, sedang dan besar, sebagai kewajiban semua orang, dan lainnya lagi ialah asal penjelmaan seseorang. Setiap 40 pekarangan rumah disuruh mendirian panti, adapun setengah bagian dari itu yakni 20 pakarnagan rumah supaya mendirikan palinggih ibu, kecilnya 10 pekarangan rumah palinggih Pratiwi supaya didirikan dan Kamulan palinggih pada masing-masing pakarangan rumah.
          Berdasarkan keterangan Lontar Siwagama tersebut kalau kita sesuaikan dengan kenyataan dimasyarakat maka yang disebut Pamerajan atau Sanggah adalah tempat pemujaan yang letaknya di “hulu rumah pakarangan” yang palinggih pokoknya adalah kamulan. Sedangkan pada tingkatan yang lebih tinggi dimana “Gedong Pratiwi” sebagai pelinggih utamanya sudah disebut dengan Pamerajan Agung, atau Sanggah Gede (Wiana, 1989:20-21).

2.1.1.3   Pengelompokkan Merajan
              Adapun pengelompokan merajan ini diantaranya adalah sanggah/pamerajan, pura ibu, dadia, pedharman, paibon, pura dadya, sanggar, pyra ciwa, dll. Pengelompokkan tempat memuja roh-roh suci  leluhur ada bermacam-macam antara lain: tempat memuja roh-roh suci leluhur/ yang telah dipandang suci; contohnya: paibon, sanggah/pameran panti, dadya, kawitan; tempat memuja roh suci para Rsi, contohnya Pura Ciwa; tempat suci leluhur bagi raja-raja, contohnya Pura Padharman. Dengan demikian pamerajan bukan merupakan tempat pemujaan umum yang berlaku bagi umat Hindu, pamerajan hanya untuk umat Hindu yang memiliki ikatan keluarga yang sama (PHDI: 2005:3-4).

2.1.1.4   Bentuk Merajan
Menurut bentuknya, Sanggah Merajan dibagi menjadi tiga yakni sebagai berikut.
a
Yang dibangun mengikuti konsep Mpu Kuturan
Trimurti
maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Kemulan (Rong Tiga, Dua, Satu), tidak mempunyai pelinggih Padmasana/ Padmasari.
b
Yang dibangun mengikuti konsep Danghyang Nirarta
Tripurusha
maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Padmasana/ Padmasari, sedangkan pelinggih Kemulan tidak berada di Utama Mandala
c
Kombinasi keduanya

biasanya dibangun setelah abad ke-14, maka pelinggih Padmasana/ Padmasari tetap di ‘hulu’, namun di sebelahnya ada pelinggih Kemulan

Trimurti, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, dimana Brahma di arah Daksina, Wisnu di Uttara, dan Siwa di Madya. Tripurusha, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, dimana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.
          Sanggah Pamerajan dibedakan menjadi 3 yaitu Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil); Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’ (garis keturunan); Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama).

2.1.1.5   Struktur Merajan
               Merajan atau sanggah dalam sebuah keluarga Hindu di Bali adalah sebuah tempat suci, yang berdasarkan konsep Tri Angga, Tri Mandala, dan juga Tri Hita Karana. Merupakan sebuah tempat untuk memuja Tuhan dan juga roh leluhur. Dasar dari Tri Angga, Mrajan adalah sebuah tempat utama seperti ibaratnya kepala manusia. Genah madyanya adalah rumah itu sendiri yang ibaratkan badan manusia, nista angganya adalah perkebunan atau pekarangan itu sendiri, dan juga tempat mandi itu juga seperti badan kita sendiri. Tri Angga itulah yang tidak boleh pisah dari struktur badan manusia, seperti kepala badan dan juga kaki.
              Dasar Tri Mandala itu sendiri adalah Mrajan sebagai utamanya, sedangkan keluarga adalah Madyanya, dan nistanya adalah pekarangan itu sendiri. Jika tempat suci, mesti mengikuti sebuah aturan dimana arahnya adalah timur maupun utara. Kaja kangin, timur laut. Jika arah timur laut dianggap kurang memadai untuk sebuah bangunan suci, karena alasan seperti tempatnya agak pendek, dihujani cucuran air tetangga, dan juga terdapat sebuah tempat yang kurang enak dalam segi kebersaihan, maka tempat tersebut dapat ditinggikan menjadi merajan.
              Dasar Tri Hita Karana juga berbicara dalam mrajan ini. Mrajan adalah sebuah tempat dimana Prahyangan tempat untuk memjua Tuhan dan juga roh leluhur menjadi satu. Selain dari satu keselarasan antara orang yang tinggal dan lingkungannya, juga diperlukan sebuah tempat untuk melakukan sebuah sinergisme ke atas yang daalam hal ini berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi Mrajan adalah sebuah tempat suci yang berada di setiap lingkungan keluarga untuk memuja kebesaran Tuhan dan juga roh leluhur (Anom,2002:1).

2.1.1.6   Pelinggih-Pelinggih Merajan
              Adapun pelinggih-pelinggih umum yang terdapat di Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut :
a
Sanggah Pamerajan Alit
·         Padmasari
·         Kemulan Rong Tiga
·         Taksu
b
Sanggah Pamerajan Dadia
·         Padmasana
·         Kemulan Rong Tiga
·         Limas Cari
·         Limas Catu
·         Manjangan Saluang
·         Pangrurah
·         Saptapetala
·         Taksu
·         Raja Dewata
c
Sanggah Pamerajan Panti
Sanggah Pamerajan Dadia ditambah dengan Meru atau Gedong palinggih Bhatara Kawitan

          Palinggih-palinggih lainnya yang tidak teridentifikasi seperti tersebut di atas, disebut ‘pelinggih wewidian’ yaitu pelinggih yang berhubungan dengan sejarah hidup leluhur di masa lampau, misalnya mendapat paica, atau kejumput oleh Ida Bhatara di Pura lain, misalnya dari Pura Pulaki, Penataran Ped, Bukit Sinunggal, dll, maka dibuatkanlah pelinggih khusus berbentuk limas atau sekepat sari. Pada beberapa Sanggah Pamerajan sering dijumpai pelinggih wewidian ini jumlahnya puluhan, berjejer. Namun disayangkan karena leluhur kita di masa lampau terkadang lupa menuliskan riwayat hidup beliau, sehingga keturunannya sekarang banyak yang tidak tahu, pelinggih apa saja yang ada di Sanggah Pamerajannya. Didalam lontar Siwàgama, disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih patut membuat pura panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan pura lbu, setiap 10 keluarga batih supaya membuat palinggih Påtiwì dan setiap keluarga batih membuat palinggih Kamulan yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci.

2.1.1.7   Fungsi Merajan
              Adapun beberapa fungsi sanggah / merajan diantaranya: sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dan para leluhur/kawitan, sebagai tempat berkumpul sanak keluarga dalam upaya mempererat tali kekeluargaan, sebagai tempat kegiatan social/pendidikan yang berkaitan dengan Agama (Soeka, 1993:16). Selain itu fungsi merajan adalah sebagai monument peringatan dari para leluhur atau kawitan atau para Dewa atau Bhatara-Bhatari yang telah berjasa terhadap umat atau pretisantana (keturunannya) (Soebandi, 1981:64).              
          Menurut Ida Padanda Putra Kamenuh (alm), ada 4 fungsi merajan diantaranya:
1.       Sebagai tempat beribadat, tempat manusia mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi dan leluhur.
2.       Tempat berkumpul dikala piodalan. Tempat membicarakan persoalan hidup yang menyangkut kepentingan bersama.
3.       Sebagai tempat mempelai mengikrarkan sumpahnya di atas persaksian Hyang Widhi untuk memasuki hidup baru (PHDI, 2005:4).
4.       Sebagai tempat kegiatan sosial/pendidikan yang berkaitan dengan Agama (Soeka dalam Gunawan, 2012:19).

2.1.1.8   Tata Cara Pendirian Merajan
              Sebelum membahas mengenai tata cara pendirian merajan, ada baiknya terlebih dahulu untuk mengetahui dewasa baik untuk membangun suatu merajan. Dewasa ayu sesuai dengan aturan padewasan dan juga kekeran yang sudah lumrah dan dipastikan. Sekarang sudah banyak kalender Bali yang mencantumkan dewasa baik secara langsung maupun secara terperinci. Dan juga dilengkapi dengan tata cara mencarinya sesuai dengan baik dan buruknya hari.
              Tingkatan untuk mencari dewasa yang baik tersebut adalah sesuai dengan tanggal, panglong, wuku, wawaran, hari, dan juga sesuai dengan rasa yang memiliki niat untuk membangun tempat suci tersebut. Bulan yang baik membangun prahyangan adalah sasik kedasa. Tanggal dan juga panglong yang baik untuk mrajan adalah pananggal sukla paksa, panglong bernama Krsna Paksa. Penanggal atau panglong yang baik adalah 1 semuanya baik. Tanggal atau panglong 2 semuanya baik. Panglong 5 adalah semuanya baik, dan tanggal atau panglong 7 semuanya rahayu. Tanggal 10 semuanya biak. Tanggal 11 dapat bahagia. Tanggal 13 rahayu. Tanggal atau panglong 15 semuanya suka, dan bahagia. Dewasa sesuai dengan tanggal/panglong (wewaran) Amerta Bhuana: Redite, soma, anggara, tgl 15/purnama; Amerta dadi: Soma tanggal 15/purnama; Amerta Akasa: Anggara tanggal 15/purnama; Amerta sari: budha tanggal 15/purnama; Amerta Masa: sukra tanggal 15/purnama; Amerta pageh: Saniscara tanggal 15/purnama; Ayu Nulus: Redite tanggal 6, soma tanggal 3, anggara tanggal 7, budha tanggal 12 dan 13, wrspati tanggal 5, sukra tanggal 11, dan saniscara tanggal 5; Amerta Jiwa: wrspati tanggal 15; Amerta Dewa: sukra tgl 12; Amerta Dewajaya: Soma tgl 3&8; Ayu badra: Redite tgl 3, soma tgl 7&10, anggara tgl 3, budha tgl 12, wrspati tgl 10, saniscara tgl 11; Amerta Dewa: Redite panglong 6, soma tgl 7, anggara tgl 3, budha tgl 2, wrspati tgl 5, sukra tgl 1 dan saniscara tgl/panglong 4; Amerta Yoga: Wrspati tgl 4 dan saniscara tgl 5; Derman bagia: soma tgl 2,3,5,12; Dewa Nglayang: redite tgl 6, soma tgl 3, anggara tgl 3 dan 7, budha tgl 1,13,15 dan wrspati tgl 5, sukra tgl 1 dan saniscara tgl 4 dan 5; Dewasa Nglayang: redite tgl 10, soma tgl 9, anggara tgl 6, budha tgl 8, wrspati tgl 7, sukra tgl 10, saniscara tgl 10. Dewasa menurut wuku yang dilarang untuk membangun yaitu Wuku tidak terdapat Guru: Gumbreg, Kuningan, Medangsya, Klawu; Wuku Pegatwakan :Dungulan, Kuningan, Langkir, Pujut; Kala Ngeruda: Senin sungsang, senin menail, minggu dukut; guntur Graha: Rabu Landep, rabu Taulu, Kamis Medangsia, Kamis Merakih, Sabtu medangkungan, sabtu Ugu (Anom, 2002:37-42).
              Adapun tata cara pendirian sebuah merajan itu berpedoman pada Asta Kosala Kosali dan Asta Bumi. Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Menurut Ida Pandita Dukuh Samyaga, perkembangan arsitektur bangunan Bali, tak lepas dari peran beberapa tokoh sejarah Bali Aga berikut zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang hidup pada abad ke 11, atau zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali banyak mewarisi landasan pembangunan arsitektur Bali.
Lebih jauh dikemukakan bahwa, Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya merupakan tokoh dalam cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerjaan barunya. Dalam kisah tersebut, hanya Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna. Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai dewa arsitektur. Karenanya, tiap bangunan di bali selalu disertai dengan upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma. Upacara demikian dilakukan mulai dari pemilihan lokasi, membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai. Hal ini bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos) sedangkan manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari buana alit (mikrokosmos). Antara manusia (mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati harus harmonis, agar bisa mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam tersebut. Karena itu,mebuat bagunan harus sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atsta Kosala-kosali sebagai fengsui Hindu Bali.









         
          Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan. Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih. Tujuan Asta Bumi adalah diantaranya: memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi, mendapat vibrasi kesucian serta menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi. Mengukur Luas Halaman yaitu dengan cara :
·                Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran “depa” (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/klian/Jro Mangku atau orang suci lainnya): 2,3,4,5,6,7,11,12,14, 15,19. Lebar dalam ukuran depa: 1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total luas dalam depa: 2×1,3×2, 4×3, 5×4, 6×5, 7×6, 11×7, 12×11, 14×12, 15×14, 19×15.
·                Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran depa: 4,5,6,13,18. Lebar dalam ukuran depa: 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa: 6×5, 13×6, 18×13
Kemudian menentukan arah yaitu hulu atau teben. Arah hulu biasanya digunakan arah Timur atau “Kaja”. Sesuai dengan Asta Bumi, bentuk halaman merajan adalah persegi empat.
            Jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu “depa”, kelipatan satu depa, “telung tapak nyirang”, atau kelipatan telung tapak nyirang. “depa” , yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. “telung tampak nyirang” adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Jarak antar pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke “Piasan” dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa.
              Mendirikan bangunan suci atau tempat pemujaan syarat-syaratnya lebih rumit dibandingkan mendirikan bangunan rumah tempat tinggal. Pertama-tama tentang letak arealnya di dalam pekarangan rumah. Pamerajan sebagai “ulun karang”. Di dalam pakarangan rumah letak areal pamerajan adalah bagian “ulu” atau keluan (uuranus) daripada tempat rumah pakarangan. Menurut keyakinan Hindu yang dimaksud keluwan/keulu adalah arah matahari terbit atau gunung. Matahari terbit dan gunung dianggap arah yang suci karena kedua sumer alam itu diciptakan oleh Tuhan sebagai sumber kehidupan semua makhluk. Sinar Matahari penuh dengan unsur-unsur energi yang dapat memberikan kehidupan kepada semua makhluk. Demikian juga gunung sumber penampungan air dan hutan. Air digunung mengalir, membentuk sungai sampai ke sawah dan ladang-ladang. Tanpa matahari dan air tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia tidak bisa hidup. Untuk di Bali elatan arah keluwan itu adalah arah di Ersanya di sudut timur laut daripada pakarnagan rumah. Setelah menemukan area atau denah tempat merajan, barulah dilaksanakan bangunan Pamerajan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1.       Ngeruwak Karang
          Upacara ini berfungsi melakukan wisudha bhumi dan merobah status tanah yang diupacarai, dari tanah tegalan atau tanah sawah dijadikan tanah tempat pemujaan atau pamerajan. Upacara ngeruwak termasuk upacara Bhutayadnya. Urutan upacaranya adalah sebagai berikut : pertama melangsungkan upacara caru pangruak yaitu caru ayam brumbun lengkap dengan runtutannya dengan urip 33 (tiga puluh tiga) yang letaknya sesuai dengan urip bhuwana (amanca desa). Kedua melangsungkan byakala, durmenggala dan prayascita. Dilengkapi dengan segehan agung dan penyambeh.
2.       Nyukat Karang
          Nyukat karang adalah mengukur dan menentukan dengan pasti letak tiap-tiap pelinggih sesuai dengan ketentuan lontar Asta Dewa. Misalnya meletakkan kamulan ada yang menggunakan hitungan tiga dari batas pakarangan. Kalau hal itu dipergunakan berarti menggunakan perhitungan “guru” dari dasa wara.
3.       Nasarin
          Yaitu upacara meletakkan beberapa jenis upakara sebagai dasar daripada bangunan suci itu. Contoh upakaranya: banten tumpeng merah dua buah, dilengkapi dengan jajan, buah-buahan, lauk pauk, dengan daging ayam biying yangdipanggang sampian tangga, banten ini dialasi dengan peras. Canang pendeman ialah canang burat wangi, pengeraos, canang tubungan, pasucian. Alat penyugjug terdiri dari cabang dapdap bercabang tiga, sebuah mangkuk kecil, cincin bermata mirah dan kalau mungkin sebuah keris. Sebuah bata merah dengan gambar bedawang nala dengan ditulis orngkara dipunggung bedawang nala tersebut. Sebuah bata merah yang lain diisi gambar padma dengan tulisan dasaksara, sebuah batu bulitan (batu hitam) diisi tulisan Tri Aksara. Sebuah kelungah, kelapa gading berisi tulisan omkara, kelungah itu dikasturi airnya dibuang dan diganti dengan wangi-wangian seperti: burat wangi, menyan dan sebuah kwangen, kekaras berisi uang 11 kepeng, kelungah dan perlengkapannya dibungkus dengan kain putih, diikat dengan benang merah, hitam, putih dan kuning dipuncaknya diisi sebuah kwangen berisi uang kepeng 33 kepeng, sebuah kwangen yang berisi tulisan “Ongkara merta” dengan uang 11 kepeng. Semua upakara ini dimasukkan ke dalam lubang dasar palinggih.
d.       Memakuh/melaspas
          Tujuan upacara melaspas adalah untuk mensucikan bangunan setelah terbentuk pada waktu upacara pemakuhan. Kalau bangunan sudah suci secara spiritual, maka diharapkan Ida Bhatara menurunkan wara nugraha dan berstana di tempat pemujaan tersebut. Umumnya setiap 10 tahun sekali mependam pedagingan diulangi untuk tetap menjaga kesucian Pamerajan tersebut dan dilanjutkan dengan upacara Ngenteg Linggih (Wiana, 1989:30-33).

2.1.2  Sejarah dan Silsilah Keturunan Pasek Gaduh
          Pada masa pemerintahan raja suami istri yaitu Gunaprya Dharmapatni yang juga disebut Mahendradatta berasal dari Jawa Timur putri dari Raja Makutawangsawardhana keturunan Mpu Sendok, dengan Raja Udayana Warmadewa pada Icaka 910 sampai dengan 933 atau tahun 988 sampai dengan 1011 M di Bali berkembang banyak sekte atau aliran yang saling bersaing dan berselisih sehingga membuat situasi masyarakat saat itu tidak kondusif. Situasi ini membuat raja sangat resah sehingga beliau mendatangkan Brahmana dari Jawa yang terkenal dengan sebutan Panca Pandita atau Panca Tirtha yaitu Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah. Panca Pandita ini diajak untuk mencari jalan keluar atas permasalahan tersebut.
          Suatu hari digelar sebuah pertemuan besar atau pesamuan agung di Bataanyar yang diikuti oleh seluruh sekte yang berkembang saat itu yang dibagi menjadi tiga kelompok besar, dibawah pimpinan dan koordinasi Mpu Kuturan. Dari pesamuan agung tersebut dihasilkan sebuah piagam yang disebut dengan Piagam Samuantiga yang isinya penyatuan semua aliran ke dalam satu paham yang disebut dengan paham Tri Murti yang implementasinya di masyarakat adalah membangun kahyangan tiga di setiap desa pakraman dan setiap keluarga membangun sanggah atau merajan dengan pelinggih utama rong tiga.
          Atas dasar tersebut akhirnya semua aliran atau sekte melebur menjadi satu menjadi agama Hindu Bali Siwa Budha berdasarkan atas paham Tri Murti. Dari sanalah kemudian berdiri kahyangan tiga di seluruh Bali, dan disetiap rumah tangga membuat pelinggih yang disebut dengan sanggah atau merajan, sebagai tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasi-Nya berdasarkan konsep Tri Murti, serta untuk memuja leluhur. Jadi kahyangan tiga dan merajan mencerminkan berbagai macam aliran yang pernah berkembang di masyarakat Bali. Merajan adalah sebuah kesatuan sekte yang ada (Soebandi, 2008).
          Berbicara mengenai silsilah keturunan Pasek Gaduh yang bermula dari pernikahan Mpu Gni Jaya dengan Bhatari dewi Manik Geni yang memiliki tujuh (7) orang putra yaitu Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Witha Dharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka dan Mpu Dangka. Pasek Gaduh adalah sebuah nama dari keturunan Mpu Dangka yang merupakan putra bungsu dari Brahmana Pandita (Mpu Gni Jaya) dengan Bhatari Dewi Manik Geni. Beliau bertempat tinggal di Kerajaan Daha, Jawa Timur, lalu kawin dengan putrinya Mpu Sumedang. Dari perkawinan itu, beliau berputra seorang laki-laki yang sesudah pudgala bergelar Mpu Wiradangkya. Kemudian Mpu Wiradangkya kawin dengan Ni Dewi Sukerthi, menurunkan tiga orang putra laki-perempuan. Yang sulung bernama Sang Wira Dangka, yang kedua perempuan bernama Ni Ayu Dangki, dan yang bungsu perempuan bernama Ni Ayu Dangka. Mereka tinggal di Kerajaan Daha, Jawa Timur. Selanjutnya Sang Wira Dangka kawin dengan Ni Ayu Kamareka lalu pindah ke Bali dan akhirnya menurunkan tiga orang putra masing-masing bernama De Pasek Lurah Gaduh di Banjar Paminggir, Desa Gelgel, Klungkung, De Pasek Lurah Ngukuhin di Banjar Pengukuh Peraupan, Desa Peguyangan, Badung, dan De Pasek Lurah Kadangkan di Banjar Kawan, Desa Selisihan Klungkung. Adapun De Pasek Lurah Gaduh di Banjar Peminggir, Desa Gelgel menurunkan lima anak laki-laki. Yang sulung bernama Pasek Gaduh di Banjar Peminggir, Desa Gelgel, Klungkung. Yang kedua Pasek Gaduh di Banjar Watugiling, Desa Dukuh, Karangasem. Yang ketiga Pasek Gaduh di Banjar Pucangan, Desa Kayubihi, Bangli. Yang keempat Pasek Gaduh di Banjar Tengah, Desa Belahbatuh Gianyar, dan yang bungsu Pasek Gaduh di Desa Abang, Karangasem (Soebandi, 2003:329).
          Merajan Dadia Pasek Gaduh yang ada di Desa Lelateng, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana ini merupakan sanggah pucuk yaitu sanggah yang dipindah ke desa lain. Karena jumlah keluarga (KK) yang ada di sanggah pokok (sanggah kawitan) yang berada di Banjar Paminggir, Desa Gelgel, Klungkung sudah terlalu banyak. Adapun jumlah KK yang menyungsung merajan Dadia Pasek Gaduh yang ada di Desa Lelateng ini pada tahun 2012 adalah 25 KK.
          Mengenai sejarah dan proses pendirian merajan Dadia Pasek Gaduh yang ada di Desa Lelateng ini tidak diketahui secara pasti. Para keluarga penyungsung merajan dadia, mengaku bahwa merajan ini sudah ada dan sudah dibangun di Desa Lelateng ini semenjak mereka lahir. Dan sampai saat ini, belum ada pembugaran atau perbaikan. Yang menjadi pemangku dadia dipilih langsung oleh para keluarga penyungsung merajan dan dibantu oleh beberapa orang sadeg terutama pada pada saat piodalan. Para keluraga penyungsung merajan Dadia Pasek Gaduh di Lelateng ini memiliki kebiasaan bahwasanya setelah upacara piodalan yaitu setiap Umanis Anggara Kasih Prangbakat, mereka melakukan sangkep (musyawarah) untuk mempersiapkan perbaikan atau pembugaran merajan.

2.1.3  Struktur Merajan Dadia Pasek Gaduh di Desa Lelateng Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana
2.1.3.1   Tembok Penyengker
               Kita ketahui bahwa struktur tempat suci biasanya berdasarkan konsep Tri Mandala yaitu Utama Mandala, Madya Mandala, dan Nista Mandala. Adapun struktur merajan Dadia Pasek Gaduh di Desa Lelateng Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana ini terbagi menjadi 2 bagian yaitu Jabaan dan Jeroan. Hal ini didasari oleh konsep alam atas dan alam bawah atau akasa dan pertiwi (purusa dan pradana).

          Sebelum memasuki merajan, kita akan menemui Tembok Penyengker. Ditinjau dari namanya tembok yaitu dinding yang terbuat dari bahan-bahan alam. Sedangkan penyengker artinya batas. Batas yang dimaksud disini tiada lain adalah membatasi alam suci dengan yang tidak suci. Disamping sebagai pembatas, tembok penyengker juga mempunyai fungsi, sebagai pembagi wilayah tempat suci yaitu :
a.       Jaba Pisan/Nista Mandala
b.       Jaba Tengah.Madya Mandala
c.       Jeroan/Utama Mandala
Pembagian wilayah ini berdasarkan konsep Tri Loka yaitu Bhur Loka, Bwah Loka dan Swah Loka. Ada juga konsep eka bhuwana, yaitu penunggalan alam atas dan alam bawah (PHDI, 2005:7).
         
2.1.3.2   Candi Bentar
Sebelum memasuki jeroan, pada merajan dadia Pasek Gaduh Desa Lelateng Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana ini, kita akan menemui suatu bangunan yang bernama Candi Bentar. Menurut Ida Pedanda Putra Kamenuh (Alm) menyebutkan “Candi Bentar” adalah merupakan bangunan peninggalan kerajaan Majapahit. Mula-mula candi bentar, adalah merupakan bangunan biasa, namun karena pergeseran nilai maka terjadilah perubahan bentuk dan fungsi. Candi bentar itu tiada lain Paduraksa yang dibelah. Hal ini didasari oleh adanya hurup Ardacandra pada kedua bangunan itu. Menurut lontar Tatwaning Aksara diketemukan penjelasan bahwa “Arda candra, brahma jatinya, windu, Wisnu jatinya, Nada, Iswara jatinya”. Jadi Candi bentar itu merupakan simbolis positif dan negatif yang dalam aksara masuk dalam aksara Rwa Bhineda “Ang, Ah”. Dengan adanya pertemuan ini, timbullah suatu ciptaan (PHDI, 2005:8).
          Di depan Candi Bentar sebelah kanan terdapat linggih pamedalan merajan yang letaknya didepan gapura/candi bentar merajan sebelah kanan yang juga ditulis identitas Dadia Pasek Gaduh. Linggihnya sederhana, tidak memiliki ruang diberikan wastra putih. Berikut fotonya.










(foto pelinggih depan gapura)                   (foto identitas Dadia Pasek Gaduh)

2.2     Pelinggih-Pelinggih Yang Ada di Merajan Dadia Pasek Gaduh di Desa Lelateng, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana
2.2.1  Sanggah Kamulan / Rong Tiga
Merupakan Sthana Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Atma (Atma, Ciwatma dan Paramatma) sebagai asal mula adanya makhluk kehidupan khususnya manusia di dunia ini. Sthana Ida Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva) sebagai Jiwatman (rokh) Bhuana Agung. Sebagai Sthana, Hyang Tri Purusa (Siwa, Sadasiwa, Parasiwa) sebagai Guru tiga (Guru Purwam, Guru Madyam dan Guru Rupam) juga sebagai linggih roh suci Leluhur yang telah mencapai Dewa Pitara.
          Sanggah Kemulan berfungsi sebagai tempat pemujaan, untuk dipuja oleh keturunannya, guna memohon perlindungan, bimbingan dan waranugrahanya. Juga sebagai tempat ngaturan piuning waktu upacara Manusa Yadnya, serta Pitra Yadnya khususnya. Kemudian pada waktu akan bepergian jauh, lebih-lebih akan menetap di suatu daerah atau tempat tertentu. Kata sanggah kamulan, berasal dari 2 kata yaitu sanggah dan kamulan. Kata sanggah adalah perubahan kata sanggar yang artinya tempat keagamaan, sedangkan kata kamulan berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu dari kata mula yang artinya akar, dasar, permulaan. Awalan ka dan akhiran an menunjukkan tempat. Jadi Sanggah Kamulan itu berarti tempat pemujaan untuk menghormati tempat permulaan manusia/umat itu ada.
          Landasan Konsepsional dari Sanggah Kamulan ini adalah dengan adanya Pitra Yadnya yaitu memukur atau upacara Atma Wedana yang tujuannya adalah mengantar rokh mencapai alam dewata. Kalau pada Upacara Ngaben rokh itu masih disebut Pitra atau Pitara, setelah upacara “memukur” rokh itu telah berganti nama yaitu disebut “Dewa Pitara” yang artinya Pitara yang telah mencapai Alam Dewa. Pada Lontar Ligia menyebutkan bahwa Sang Dewa Pitara melayang menuju alam acintya. Sedangkan pada Lontar Purwa Bumi Kemulan menyebutkan bahwa disana Atma manunggal dengan Dewa Hyang Leluhur.
          Bangunan ini berupa palinggih dengan atap, dengan rong yang berjumlah tiga, ada juga yang menggunakan tiang (saka) namun ada juga dengan palinggih kemulan jajar, tanpa tiang. Jika diruntun dengan konsep Tri Angga, maka atap dari rong tiga adalah utamaning angga, sedangkan tiang adalah madyanya dan bataran palinggih itu sendiri adalah nistaning angganya. Menurut kayu yang digunakan untuk membuat palinggih adalah kayu cendana, kayu patih penengen, kayu cempaka kuning, majagau, taru pala, kayu sasih, kayu sabho, kayu bhujangga, kayubuni sari, kayu jampinis, kayu bayur, kayu gentawas, kayu cemara, kayu naga sari, dan jika untuk atapnya, menggunakan ilalang dan juga duk (Anom, 2002:14).
          Pada sanggah kamulan ruang sebelah kanan adalah linggih Dewa Brahma, ruang sebelah kiri adalah linggih Dewa Wisnu dan ditengah adalah linggih Dewa Siva. Pada ruang tengah biasanya diisi buah kelapa yang masih bertampuk dan bertangkai serta kulitnya tiada bercacat disebut “tahulan”. Tahulan ini dianggap sebagai simbol jiwa, tampuk sebagai lambing Siwadwara dan tangkai sebagai simbol rambut. Sedangkan ruang kanan dan kiri sebagai simbol mata (Soeka, 1993:9).
          Dasar hukum pendirian Sanggah Kamulan terdapat dalam lontar Sivagama (Lontar Sivagama, lembar 328) merupakan pustaka suci bagian Smrti dari seke Siva yang menyatakan bahwa setiap keluarga yang menempati karang perumahan tersendiri wajib membangun sanggah kamulan. Dalam lontar Gong Wesi, Usana Dewa, Tattwa Kepatian dan Purwa Bumi Kamulan adalah Sanghyang Triatma, yaitu Paratma yang diidentikkan sebagai ayah (Purusa), Sang Sivatma yang diidentikkan dengan ibu (Pradana) dan Sang Atma yang diidentikkan sebagai diri sendiri (roh individu). Yang hakekatnya Sang Hyang Triatma itu tidak lain dari pada Brahma atau Hyang Tunggal / Hyang Tuduh sebagai Pencipta. Dalam lontar Purwa Bumi Kamulan menyatakan bahwa yang berstana di sanggah kemulan adalah Dewa Pitara. Dan dalam Tattwa Kepatian, Sang Hyang Atma (roh) seelah mengalami proses upacara akan bersthana di Sanggah Kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang belum suci, hanya baru mendapat tirta pengentas pendem/upacara sementara (ngurug) (Wikarman, 1998:6-9).
          Siva adalah Tuhan dalam dimensi imanen (sekala). Sadasiva adalah Tuhan dalam dimensi sekala-niskala (Ardanareswara) sedangkan Paramasiva adalah Tuhan dalam dimensi niskala (transcendental). Siva dalam wujud 3 tersebut dalam Sivagama digelari sebagai Bhatara Guru, karena beliau (Siva) menjadi “Dang Guru ing Iswara”. Konon gelar bhatara Guru dihaturkan oleh murid beliau terpandai yakni Dewa Surya. Setelah Dewa Surya dianugrahi gelar Siva Raditya oelh Siva sendiri sebagai Dang Guru (Wiana, 1997:81).
          Oleh karena Siva beraspek tiga, sebagai Tri Purusa, maka guru pun ada 3 aspek yaitu Guru Purwam, Guru Madyam dan Guru Rupam. Guru Purwam (dimensi niskala), Guru Madyam (sekala-niskala) dan Guru Rupam (dimensi sekala/imanen). Yang dipuja/yang bersthana pada sanggah kamulan pada hakekatnya adalah Tuhan/Hyang Widhi baik sebagai Hyang Tri Atma, yang sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) yang Dewanya adalah Brahma, Wisnu dan Iswara yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal adalah Siva, Sadasiva, Parama Siva, aspek Tuhan dalam bentuk vertical (Tri Purusa /Guru Tiga/Bhatara Guru) (Wikarman, 1998:12). Berdasarkan aspek Jnana Kanda ngunggahan Dewa Pitara pada sanggah kamulan adalah mengandung maksud mempersatukan dewa pitara (roh leluhur yang sudah mati) kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Sivatma dan Paratma. Hal ini merupakan realisasi dari tujuan akhir Agama Hindu yakni mencapai moksa.
          Maksud dari pada pembangunan pelinggih Rong tiga dalam lingkungan keluarga tiada lain agar kita selalu ingat dan memuja kebesaran Sang Hyang Widhi dalam kaitannya dengan hutang yang disebut dengan Tri Rnam. Yang dimaksud dengan Tri Rnam yaitu Tiga Hutang. Tiga Hutang ini diantaranya :
1.       Kepada Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai pencipta yang telah memberi kesehatan dan keselamatan dengan segala kebutuhan hidup kita.
2.       Hutang kita kepada leluhur, terutama ibu dan bapak yang telah membesarkan kita hingga menjadi dewasa.
3.       Hutang kita kepada para Rsi yang telah berjasa mengajarkan kepada kita mengenai agama, kebudayaan, dan lain-lain.
Demikian maksud dari pembuatan pelinggih Rong Tiga dalam lingkungan keluarga sebagai anggota masyarakat terkecil agar kita selalu ingat kepada Tri Rnam itu, yang merupakan Yajna dalam kehidupan sehari-hari (Soeka dalam Gunawan, 2012:20).
          Biasanya Sanggah Kamulan ini berbusana Sarwa Putih dan Payung Putih. Adapun banten/upakaranya pada waktu piodalan terdiri dari suci, pras, penyeneng, rayunan, prangkatan, canang raka dan canang sari. Dan mantra pemujaannya adalah
          Om dewi dewi tri dewanam
          Tri murti tri langgatmanam
          Tri purusa suddha nityam
          Sarwa klesa winasanam
                   Om guru dewa guru rupam
                   Guru madya guru purwam
                   Guru pantara dewam
                   Guru dewa sudha nityam
          Om brahma wisnu iswara dewah
          Jiwatmanam tri lokanam
          Sarwa jagat pratistanam
          Suddha klesa winasanam
                   Sarwa roga winurcitam
                   Sarwa wighna winasanam
                   Wighna dosa winasanam
          Om sri guru paduka bhyo namah.
(Tim Penyusun, 2003:47)

2.2.2  Gedong Kawitan
          Pelinggih Gedong Kawitan ini adalah pengayatan kepada kawitan Ratu Pasek. Sebagai penghormatan kepada Mpu Gnijaya yang merupakan Leluhur dari warga Pasek. Biasanya pelinggih Gedong Kawitan ini berbusana Sarwa Putih-Kuning. Adapun banten/upakaranya pada waktu piodalan hampir sama seperti yang dihaturkan di sanggah kamulan yaitu terdiri dari suci, pras, canang raka dan canang sari. Dan mantra pemujaan untuk di pelinggih gedong kawitan (Ratu Pasek) adalah sebagai berikut.
Om Siwa Rsi maha Tirtham,
          Panca rsi panca tirtham
          Sapta Rsi catur Yogam
          Lingga Rsi mahalinggam
Om Ang Gong Gnijaya namah swaha
Om Ang Gnijaya jagat patya namah
Om Ung Manik  Jayas ca, sumerus ca, sa Ghanas ca
          De Kuturan Baradah ca ya namu namah swaha
Om Om Panca Rsi Sapta Rsi paduka guru bhyo namah swaha.
(Wijayananda, 2003:27)

2.2.3  Catu Mujung/Sanggar Maprucut
          Pelinggih ini adalah penghayatan/linggih/stana dari Bhatara Agni Manajaya/ Bhatara Limas Cari. Ciri khas bangunan ini yaitu pada ujung atap bagian atasnya diprucut, seperti segitiga sama kaki. Dibeberapa tempat, tempat pemujaan ini, disebut sebagai tempat pemujaan Gunung Agung, namun menurut Lontar Kusumadewa, Bhatara Agni Manajaya kedudukannya berada di Pura Uluwatu. Ditinjau dari segi kebahasaannya, Catu mujung terdiri dari 2 kata, yaitu catu dan mujung. Catu itu berarti alat penggunaan beras, sedangkan kata mujung, itu merupakan Bahasa Bali yang artinya lebih dari meres. Jadi secara filsafatnya Catu Mujung artinya suatu sarana untuk dapat para umat lebih meningkatkan rasa ketakwaannya pada Hyang Widhi. Upakara atau banten yang dihaturkan pada waktu piodalan adalah ajuman, canang raka, penyeneng dan canang sari. Pada pelinggih ini, biasanya busana yang dipasang adalah berwarna Putih dan Payung Putih (PHDI, 2005:16-17).
Mantram pada pelinggih ini adalah sebagai berikut:
Om Ang Geng Gnijaya ya namah
Om Ang Dewa Dewi maha siddhi
Sarwa karya siddha tuwi
Siddha ya dirghayu namah swaha
(Suhardana, 2006:290).




2.2.4  Catu Meres
          Pelinggih ini adalah penghayatan /linggih/stana dari Limas Catu/Bhatara Mahadewa di Gunung Batukaru. Dibeberapa tempat, disebut tempat pemujaan dari Dewi Danuh (Gunung Batur). Ada juga yang menyebutkan bahwa pelinggih ini merupakan sthana dari Dewi Sri dengan Bhiseka Sri Sedana yaitu sakti (kekuatan) dari dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia (Gunawan, 2012:23).
          Ditinjau dari namanya Catu Meres; catu itu berarti alat penggunaan beras, meres berarti seimbang/dalam keadaan penuh. Arti filsafatnya adalah simbolis keseimbangan lahir dan bathin. Ditinjau daripada Bhatara yang melinggih, yaitu Dewa Mahadewa. Beliau dalam kiblat Panca Dewata, menguasai kiblat barat, senjata Nagapasa, aksara sucinya TA dan warna kuning. Dengan demikian, beliau adalah manifestasi Hyang Widhi yang menguasai arah bagian Barat. Adapun upacara/banten yang dihaturkan pada waktu piodalan adalah ajuman, canang raka dan canang sari.  Busana pelinggih ini adalah biasanya Sarwa Kuning dan Tedung Kuning (PHDI, 2005:18-19).
Mantra untuk pelinggih Catu Meres adalah sebagai berikut :
Om Ang Brahma pagniya namah
Om Ung Wisnu antaratma paibho sajnani namah
Om Mang Iswara paratma Siwa mona ya namah
Om Ang Pradana Purusa sang yoga ya
Wisnu Dewa ya
Bhoktra jagatnatha Dewa Dewa ya dini
Sang yoga ya Paramasiwa ya (Suhardana, 2006:276).


          Kemudian karena yang bersthana pada pelinggih ini adalah Mahadewa dan ada juga yang menyebutkan sebagai sthana dari Dewi Sri Sedana maka mantram pemujaannya adalah sebagai berikut :
(Mahadewa Stawa)
          Om Mahadewa pascima desanca
              Teja pita maha rupham
              Amrtha pita sampurnam
              Sarwa jagat prathistanam
          Om Om Padmasana ya namah
              Upti Mang Ung, Ang namah
          Om Om dewa prathista ya namah
              Sthiti Ang Ung Mang namah
              Tumurun....Tang Mahadewa pita warna ya namah swaha.
(Sri Sedana Stawa)
Om Brahma Wisnu Iswara Rudra
          Rudra dewa jawe  nama
          Rudra Sangkara bupatiyam
          Dewa dewi namo namah
Karam sada Siwa dewam
Jagatam sarwa pujanam
Upanam sadanam mretham
Suci dewa Sri Sedanam
          Kawatam nugraham mretham
          Kania wati Siwa rupam
          Dando upadrawa sampurnam
          Kretha bhuwanam sada samretham
(Tim Penyusun, 2003: 46,53)
          Karena itu tempat pemujaan keluarga seperti Merajan Gede dengan Pelinggih Gedong Pertiwi umumnya dilengkapi dengan dua bentuk pelinggih yang disebut Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung. Dua pelinggih ini umumnya dibangun di sebelah kanan Pelinggih Gedong Pertiwi berjejer menghadap ke barat. Pelinggih Gedong Pertiwi adalah tempat memuja leluhur yang telah mencapai Dewa Pitara. Dalam Lontar Siwagama dinyatakan bahwa kalau keluarga itu sudah berkembang menjadi lebih dari sepuluh pekarangan tempat tinggal, maka untuk menyatukan keluarga tersebut memiliki Merajan Gede dengan pelinggih utamanya Gedong Pertiwi. Ini artinya Gedong Pertiwi itu sebagai Atma Pratista, sedangkan dua Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung sebagai Dewa Pratista.
          Bentuk Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung itu seperti Meru Tumpang Satu, hanya atapnya berbeda-besa. Pelinggih Limas Catu bentuk atapnya ditutup dengan ''paso'' yang dihias indah berukir sampai ke ujungnya sehingga tidak sama dengan paso yang digunakan untuk keperluan dalam rumah tangga. Sedangkan Limas Mujung atapnya dari serat ijuk dibuat lancip mengerucut ke atas seperti berkuncir. Pelinggih Gedong dan dua Pelinggih Limas tersebut berbeda jenis padagingan-nya saat upacara sakralisasinya. Padagingan Gedong menggunakan padagingan Atma Pratista, sedangkan padagingan Limas Catu dan Limas Mujung menggunakan padagingan Dewa Pratista. Sistem pemujaan tersebut amat sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Manawa Dharmasastra III.205 tersebut. Dengan sistem pelinggih utama dan ada pelinggih yang disebut pelinggih ''jajar kemiri'' sebagai pelengkap suatu tempat pemujaan maka tata cara pemujaan bertahap dapat dilakukan oleh umat dalam segala tingkatannya.
          Pemujaan bertahap itu adalah sistem pemujaan yang disebut Apara Bhakti. Dalam Agni Purana ada dua cara bakti pada Tuhan yaitu dengan Para Bhakti dan dengan Apara Bhakti. Para Bhakti adalah cara pemujaan yang tertinggi hanya bakti kepada Tuhan. Bakti seperti itu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki tingkat kerohanian yang tinggi seperti para resi. Karena itu ajaran Hindu memberikan jalan kepada mereka yang masih dalam tingkatan ekajati untuk melakukan bakti kepada Tuhan dengan cara yang disebut Apara Bhakti. Pemujaan Tuhan dalam tingkatan Apara Bhakti ini umat melakukan bakti bagaikan hubungan anak yang masih kecil kepada orangtuanya. Anak kecil merengek minta berbagai keperluannya kepada orangtuanya bukan karena pamerih, tetapi karena hubungan bakti dan kasih pada orangtua. Dalam Apara Bhakti umat bisa saja memuja Tuhan dengan menyampaikan berbagai permohonan. Hal itu bukanlah bakti yang rendah, sepanjang yang dimohon kepada Tuhan hal-hal yang benar dan wajar. Sedangkan kalau sudah pada tingkat Para Bhakti pemuja Tuhan hanyalah memuja kebesaran dan kemahakuasaan Tuhan.
          Adanya Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung di sebelah kanan Pelinggih Gedong Pertiwi itu sebagai media pemujaan Tuhan dalam fungsinya sebagai pencipta kesejahteraan material dan spiritual. Dua pelinggih tersebut disebut dengan berbagai istilah oleh umat Hindu di Bali. Ada yang menyebutnya sebagai Pasimpangan Ida Batara di Gunung Lebah. Sedangkan Limas Mujung Pasimpangan Ida Batara di Gunung Agung.
          Pemujaan dengan sarana Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung itu adalah untuk memuja Tuhan sebagai pencipta jiwa dan raga atau Purusa dan Pradana. Manusia tercipta oleh Tuhan dari Purusa dan Pradana. Bertemunya Purusa dan Pradana itulah yang menyebabkan adanya hidup ini. Menurut ajaran Hindu memuja Tuhan itu bukan sekadar memuja. Memuja Tuhan Yang Mahakuasa itu untuk dapat didayagunakan menguatkan kehidupan lahir batin.
          Demikian juga pemujaan Tuhan dalam fungsi-Nya sebagai pencipta Purusa dan Pradana dipuja untuk mengingatkan umat manusia agar selalu membangun hidup yang seimbang. Dengan sistem pemujaan yang demikian itu berarti ajaran Hindu tidak semata-mata mengajarkan tentang kerohanian saja, tetapi mengajarkan kehidupan yang seimbang antara kehidupan duniawi dan rohani. Penderitaan itu terjadi kalau kehidupan jasmani dan rohani tidak seimbang.

2.2.5  Sekaulu Gempel
          Pelinggih ini merupakan pengayatan/sthana dari Dewa Ayu Pesaren Sari Saking Gunung Majapahit. Ditinjau dari namanya Sakaulu Gempel, artinya Sekaulu berarti tiang panjang yang berjumlah 8 (delapan). Gempel berarti bersatu. Jadi Sekaulu Gempel berarti bangunan suci yang ditopang oleh 8 tiang penyangga, satu tiang-ke tiang yang lainnya merupakan satu kesatuan yang kukuh. Sekaulu Gempel juga disebut Asta Punarbawa. Secara harfiah Asta Punarbhawa berarti 8 penitisan kembali. Yang melinggih pada Sekaulu Gempel adalah Dewa Ayu Pesaren Sari. Ditinjau dari unsur katanya yaitu: Pesaren – Sari. Pesaren kalau diuraikan pe + sari + an awalan pe disini berarti tempat, sedangkan sari berarti bunga. Secara arti katanya Pesaren Sari itu berarti tempat pemujaan bunga-bunga. Bunga yang dimaksud disini adalah para deha, truna-truni yang belum berumah tangga, yang sedang menginjak masa perkembangannya. Dengan demikian melalui tempat pemujaan ini diharapkan para kembangnya atau bunga-bunga yang memiliki pemerajan itu mampu mengharumkan: pemerajan dan keluarga serta setelah berumah tangga imannya kuat (gempel) dan bisa menurunkan keturunan dari masa ke masa (Sekaulu) yang baik pula, lewat nunas waranugrahanya Dewa Ayu Pesaren Sari.
          Adapun upakara/banten yang dihaturkan waktu piodalan adalah ajuman, canang raka dan canang sari. Memakai busana Sarwa Putih dan Tedung Putih.



2.2.6  Taksu
Biasanya Pelinggih Taksu dibagun di sebelah kanan/disamping Palinggih Kamulan Rong Tiga, namun dalam Merajan Dadia Pasek Gaduh Desa Lelateng, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana pelinggih taksu dibangun disebelah kanan pelinggih Sekaulu Gempel.
Bangunan Taksu ini merupakan pengayatan /palinggih/ stana dari Bhagawan Penyarikan/ Ratu Ngurah Penyarikan/Dewa Indra. Kata taksu mempunyai padanan dengan kata caksu. Caksu artinya mata. Mata dalam pancaindra itu adalah indra penglihatan. Dengan demikian fungsi taksu adalah sebagai pengawas dan penentu siapa dan dimana tempat/linggih/stana yang akan turun/datang pada waktu menurunkan Bhatara Kabeh. Kalau dikaitkan dengan pemerintahan taksu itu adalah Setwilda yaitu sebagai tangan kanannya Bupati. Menurut Ida Padanda Putra Kamenuh (alm) menyebutkan Taksu mempunyai fungsi mengatur jalannya upacara keagamaan. Taksu juga kadang-kadang disebut pecalang yang khusus menerima, mengatur dan menempatkan para dewa yang dianggap sebagai tamu (undangan) yang turut menyaksikan jalannya upacara/upakara piodalan.
          Palinggih ini dibangun dengan atap dan rong satu. Dengan empat tiang disetiap sudutnya. Kayu yang digunakan juga sama seperti diatas, dan posisinya berada di sebelah kanan kemulan. Menghadap kearah selatan, dan disanalah tempat stana Sang kala Raja yang memberikan sebuah kewibawaan. Taksu berarti daya magic/sakti. Sakti/wisesa/energi adalah simbil dari “bala” atau kekuatan (ajaran Tantrayana). Palinggih taksu berfungsi untuk memohon “kesidhian”/keberhasilan untuk semua jenis profesi seperti seniman, pedagang, petani, pemimpin masyarakat, dsb (Wikarman,1998:2)
          Upakara/banten yang dihaturkan dalam pelinggih taksu adalah ajuman dan canang sari. Busananya kain hitam tanpa tedung (PHDI, 2005:14-15). Mantramnya adalah
          Om Ang Ah Mahadewi jagatpati
          Ya Namo namah swaha
          Om Ung Prajapati ya namah
          Om Mang Mataya namah
Om Tang Prapita ya namah
Om Ing Prapita ya namah
Om Mang Mataya namah
Om Ing Paramataya namah. (Suhardana, 2006:329)

2.2.7  Piasan / Balai Paruman
          Fungsi dari bangunan piasan ini adalah sebagai genah paruman, pesamuhan Para Dewa. Ditinjau dari segi kebahasaannya, kata piasan berasal dari kata pa + iasan. Kata iasan berarti sanyasin. Awalan pa menunjukkan tempat. Iasan (sanyasin) adalah orang-orang suci, Dewa, Bhatara, Hyang, dsb. Jadi piasan berarti tempat pertemuan/musyawarah para Dewa, Bhatara; tempat linggih bagi orang suci, termasuk Ida Sang Mraga Sulinggih/Ida Pranda; Tempat bale berhias untuk pada dewa, Bhatara sebelum katur bhaktine majeng ring Dewa lan Bhatara (amukti sarining bebanten). Upakara/bantennya adalah saji putih kuning perangkatan putih kuning dengan itik gulung, tapakan pelinggih, tegasan/rantasan, pesucian dengan perlengkapannya dan toya anyar (PHDI, 2005:20). Bhusana yang biasa digunakan untuk menghias balai piasan biasanya terbuat dari kain Prada. Adapun mantranya adalah sebagai berikut.
          Om Om Dewa Pratistha ya namah
Artinya:
          Ya, Hyang Widhi, hamba sujud pada Hyang Widhi hadirnya para dewa, bhatara dan bhatari.




2.2.8  Balai Banten
Balai banten ini merupakan balai yang disediakan khusus untuk menempatkan upakara/banten pada saat piodalan. Balai ini juga dihias juga sedemikian rupa sama seperti balai paruman.




2.2.9  Gedong Simpen
          Suatu merajan yang memiliki halaman yang luas, bisa dibangun ruangan untuk menyimpan barang-barang milik keluarga dadia yang diperlukan untuk upacara piodalan, ngenteg linggih maupun upacara yang lain. Barang-barang yang disimpan di ruangan ini antara lain: perabotan-perabotan seperti wastra pelinggih-pelinggih beserta tedungnya.

2.2.10    Jun
Jun merupakan tempat yang biasanya digunakan untuk tempat tirta pada setiap persembahyangan. Ini merupakan pengaruh sekta Vaisnawa (Visnu) yang terdapat dalam merajan.




2.2.11    Jro Gede
          Pada umumnya Pelinggih Jro Gede terletek di depan gapura dari sanggah/ merajan. Di Bali Jro Gede yang merupakan kristalisasi sekta Ganaptya atau disebut dengan Dewa Ganesha yang merupakan tempat berstananya Dewa Gana. Jro Gede berfungsi sebagai penjaga karang rumah atau sebagai pelindung terhadap makhluk-makhluk yang berusaha untuk mengganggu kita. Selain itu pakaian saput dari Jro Gede biasanya hitam putih itu menandakan keseimbangan yang ada di alam ini. (Gunawan, 2012:19). Namun ada juga yang memakai wastra putih kuning. Adapun banten/upakara yang dihaturkan saat piodalan adalah ajuman, canang tipat dan canang sari.
Mantranya adalah sebagai berikut.
Om Gana-parama twam-guhyam,
          Gana-tattwa-parayanah,
          Gana-pranata-labhanam,
          Sukha Gana namo’stu te.
Om Asuci-sarwa-pawitram,
Sarwa-karya suci-mukti,
Bhukti gana mahottama,
Dewa-sukha paripurnam
          Om Tesu-karti maha-gana,
          Mataras te sukha-karyam,
          Etana sarwa apunyat,
          Suddhha Dewa paripurnam.
Om Tesu-karti maha-trepti,
Mataras te Bhatarakah,
Etasam sarwa-dewanam,
Treptayuyam bhawantu te.


2.2.13    Surya                                          
          Pelinggih Surya sebuah bangunan untuk memuja Sang Hyang Surya Raditya sebagai saksi segala kegiatan manusia khususnya ritual yadnya. Dalam Lontar Siwagama, gelar surya Raditya adalah gelar dari Dewa Surya atas anugrah dari Dang Guru (Dewa Siwa) karena bhakti dan kepandaian beliau. Hyang Surya diberikan anugrah juga sebagai Upa Saksi segala kegiatan manusia dan pemberi cahaya, pemusnah segala kegelapan. (Wiana dalam Wikarman, 1998:12). Pendirian pelinggih Surya adanya pengaruh sekte Sora (Surya). (Gunawan, 2012: 21-22). Adapun upakara yang dihaturkan di pelinggih surya saat piodalan adalah Pras, Daksina, suci sorohan, canang dan sodahan.  Dengan adanya Sanggar Surya dengan segala kelengkapannya itu umat merasa yakin bahwa segala yadnya yang dilakukan telah disaksikan oleh Hyang Widhi. Dengan sarana tersebut umat pada umumnya akan merasa semakin dengan Hyang Widhi. Rasa dekat pada Hyang Widhi salah satu hal yang dapat berfungsi untuk meningkatkan kwalitas moral dan daya tahan mental dalam menghadapi tantangan dan godaan hidup. Kwalitas moral dan daya tahan mental tersebut akan meningkatkan kwalitas kebahagiaan individu dan keharmonisan dalam hidup bersama dalam masyarakat. (Wiana, 2001:108) Bhusana yang digunakan untuk pelinggih Surya adalah Wastra Putih-Kuning dan Tedung Putih. Adapun mantra untuk di pelinggih surya adalah sebagai berikut.
Om Adhityasya paramjyoti,
Rakta teja namostute
Sweta pangkaja madhyastha,
Bhaskara ya namostute
          Om Aditya garbha pawana,
          Aditya-dewa raja-twam,
          Aditya-twam-gatir-asi,
          Aditya caksur ewa ca.
Om Aditya jata-wedasah,
Aditya janopa Suryah,
Surya-rasmir Hrsi-kesa,
Surya-sattwam maha-wiryam
Om, Hrang, Hring sah parama Siwaditya ya namah.

2.2.14    Penunggun Karang / Lebuh
              Fungsi dari pelinggih ini adalah tempat untuk memuja yang memiliki pekarangan yang ditempat tinggali dalam tataran niskala. Secara kepercayaan masyarakat Hindu, yang berstana di pelinggih Penunggun Karang/Lebuh adalah Hyang Ibu Pertiwi (Dewi Sri) juga Ratu Nyoman Sakti Pegadangan, raja dari segala bhuta, dalam mitologi Hindu beliau tiada lain adalah Ganapati (Dewa Ganesha).Busana yang digunakan biasanya Sarwa Putih dan Tedung Putih. Upakara yang dihaturkan adalah ajuman/soda. Pada pelinggih ini yang bersthana adalah Dewi Sri, maka mant ramnya adalah Sri Stawa sebagai berikut.
Om Sri-dewi maha waktram,
Catur-warna catur-bhujam,
Pradnya-wiryam saro-jneyah,
Cinta-manir-uru-smertham.
          Om Sri Tandhuli Mahadewi,
          Sri-mati komala sobhitah,
          Dadasi-me maha-bhogam,
          Sarwa drawya hiam-labham
Om Sri-Wrihi makuta jiwam,
Twam sarwa bhuwanandhari,
Dadasi-me sukha nityam,
Jiwitam dhatu-kancanam
          Om Dhana-rajni-twam-dewi,
          Pradnya tanduli samjnikah,
          Mani-ratnasana nityam,
          Sarwa ratna gunanwita.
Om, Sri-dewi ya namah swaha.

2.2     Konsep Penyatuan Siva Siddhanta Dalam Merajan Dadia Pasek Gaduh di Desa Lelateng, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana
          Seperti yang sudah dijelaskan diatas, dalam merajan dadia Pasek Gaduh ini merupakan sanggah pucuk terdiri dari beberapa pelinggih diantaranya yaitu pelinggih/sanggah kamulan/rong tiga, gedong kawitan, catu mujung/sanggah maprucut, catu meres, sekaulu gempel, taksu, pelinggih surya, jro gde dan penunggun karang/lebuh. Pada pelinggih rong tiga yang bersthana adalah manifestasi Tuhan dalam wujud sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur (Brahma, Visnu, Siva) yang sering disebut Tri Murti. Dewa Brahma berstana diruang kanan, Dewa Wisnu di ruang kiri dan di tengah bersthana Dewa Siva (Nurkancana dan Wikarma dalam Gunawan, 2012:19). Dewa Siva distanakan ditengah-tengah hal ini menunjukkan bahwa Dewa Sivalah yang tertinggi sesuai dengan paham Siva Siddhanta.
          Pada pelinggih Catu Mujung yang bersthana adalah Dewa Agni, ini menunjukkan adanya pengaruh dari Sekta Sora yang identik juga dengan pemujaan yang bersthana pada pelinggih Surya. Sedangkan yang bersthana pada pelinggih Catu Meres yaitu Devi Sri merupakan simbol kemakmuran, sakti dari Deva Visnu menunjukkan adanya pengaruh Sekta Vaisnawa. Terkait dengan pengaruh sekte, ada kemiripan fungsi Pelinggih Taksu dengan Ista Devata dari sekta Sakta di India, sekte yang memuja aspek feminim Tuhan (Sakti/Kekuatan). Dari aspek yang dipuja pada Pelinggih Penunggun Karang/Lebuh dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh Sekte Ganapatya karena adanya pemujaan kepada Ratu Nyoman Sakti Pegadangan dan pengaruh sekte Waisnawa karena adanya pemujaan kepada Hyang Ibu Pertiwi (Dewi Sri) sebagai sakti dari Dewa Wisnu (Gunawan, 2012:22). Dan yang terakhir yang bersthana di Jro Gde  adalah Dewa Ganesha yang merupakan kristalisasi dari Sekta Ganapatya.
          Dengan dibangunnya pelinggih-pelinggih tersebut dalam suatu merajan, sudah menandakan atau mencirikan penyatuan atau kristalisasi semua sekte-sekte yang ada di Bali. Sesuai dengan adat tradisi di Bali selalu ada upacara yadnya (Panca Yadnya) dan semua sekte sudah menyatu didalamnya yang ditandai dengan dibuatnya banten. Terlebih lagi sesuai dengan kepercayaan adat dan tradisi di Bali proses pembangunan suatu merajan tidak terlepas dari suatu upacara yang bertujuan untuk menyucikan prahyangan semoga Ida Bhatara berkenan untuk berstana di pelinggih-pelinggih tersebut. Demikianlah penyatuan/kristalisasi sekte-sekte yang ada di dalam suatu merajan.

III.    PENUTUP
3.1     Simpulan
          Pembangunan suatu merajan/pelinggih untuk memuja leluhur berdasarkan adanya konsep Tri Rnam dan Catur Guru. Merajan atau sanggah dalam sebuah keluarga Hindu di Bali adalah sebuah tempat suci, yang terstruktur berdasarkan konsep Tri Angga, Tri Mandala, dan juga Tri Hita Karana. Dalam pendirian merajan harus memperhatikan Dewasa Ayu dan letak atau pemilihan tempat juga menggunakan pedoman Asta Kosala-Kosali dan Asta Bumi. Pasek Gaduh merupakan nama dari salah satu keturunan Mpu Dangka yang merupakan putra bungsu dari Mpu Gnijaya dengan Bhatari Dewi Manik Geni. Merajan Dadia Pasek Gaduh di Desa Lelateng, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana ini merupakan sanggah pucuk dari sanggah pokok (sanggah kawitan) yang berada di Banjar Paminggir, Desa Gelgel, Klungkung.
          Pelinggih-pelinggih yang ada di merajan Dadia Pasek Gaduh ini diantaranya: pelinggih/sanggah kamulan/rong tiga, gedong kawitan, catu mujung/sanggah maprucut, catu meres, sekaulu gempel, taksu, pelinggih surya, jro gde dan penunggun karang/lebuh. Yang bersthana di sanggah kamulan adalah manifestasi Tuhan sebagai Brahma,Visnu dan Siva (Tri Murti). Dibangunnya Gedong Kawitan merupakan penghormatan terhadap leluhur Pasek yaitu Mpu Gnijaya. Catu Mujung yang bersthana adalah Dewa Agni, ini menunjukkan adanya pengaruh dari Sekta Sora yang identik juga dengan pemujaan yang bersthana pada pelinggih Surya. Catu Meres sthana Devi Sri merupakan simbol kemakmuran, pengaruh Sekta Vaisnawa. Sekaulu Gempel juga dipengaruhi oleh sekte Vaisnawa. Terkait dengan pengaruh sekte, ada kemiripan fungsi Pelinggih Taksu dengan Ista Devata dari sekta Sakta di India, sekte yang memuja aspek feminim Tuhan (Sakti/Kekuatan). Pelinggih Penunggun Karang/Lebuh pengaruh Sekte Ganapatya dan sekte Waisnawa. Di Jro Gde  adalah Dewa Ganesha yang merupakan kristalisasi dari Sekta Ganapatya.




DAFTAR PUSTAKA

Anom, IB. 2002. Tentang Membangun Merajan. Denpasar: CV. Kayumas Agung.

Gunawan, Pasek I Ketut. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta II. Denpasar: IHDN.

Soebandi, Ketut. 2003. Babad Pasek (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi). Denpasar : Pustaka Manikgeni.

Soebandi, Ketut. 1981. Pura Kawitan/Padharman dan Penyungsung Jagat. Denpasar: CV. Kayumas Agung.

Soebandi, Ketut. 2008. Riwayat Merajan di Bali. Denpasar: CV. Kayumas Agung.

Soeka, Gde. 1993. Tri Murti Tattwa. Denpasar: CV Kayumas.

Suhardana, K.M. Drs. 2006. Dasar-Dasar Kepemangkuan. Surabaya : Paramita.

Tim Penyusun. 2003. Materi Penataran Pemangku dan Tukang Banten. Singaraja: Pemerintah Kabupaten Buleleng, Bagian Perekonomian dan Sosial.

Tonjaya, I Nym.Gd.Bandesa K. 1992. Lintasan Asta Kosali. Denpasar: Penerbit dan Toko Buku RIA.

Wiana, I Ketut. 1989. Palinggih di Pamerajan. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Wiana, I Ketut. 2001. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Wijayananda, Jaya. 2003. Agem-Ageman Kepemangkuan. Surabaya : Paramita.

Wikarman, Singgin I Nyoman. 1998. Sanggah Kamulan, Fungsi dan Pengertiannya. Surabaya: Paramita.

----------------, 2005. Jajaran Pelinggih Merajan atau Sanggah. Singaraja : PHDI Kecamatan Buleleng.




 

LAMPIRAN FOTO
Para Sadeg
Para Keluarga Penyungsung Merajan Dadia Pasek Gaduh, Lelateng-Negara
Pemangku Dadia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...