I. PENDAHULUAN
Terlahir
sebagai manusia merupakan suatu kesempatan untuk penebusan karma yang terdahulu.
Sejak kita lahir hingga sampai saatnya kita menemui ajal, kita memiliki hutang
budi. Dalam kepercayaan umat Hindu mengenal suatu ajaran yang disebut dengan
Tri Rnam yaitu yaitu Tiga Hutang. Tiga Hutang ini
diantaranya: Kepada Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai pencipta yang telah memberi
kesehatan dan keselamatan dengan segala kebutuhan hidup kita; Hutang kita
kepada leluhur, terutama ibu dan bapak yang telah membesarkan kita hingga
menjadi dewasa; Hutang kita kepada para Rsi yang telah berjasa mengajarkan
kepada kita mengenai pengetahuan agama, kebudayaan, dan lain-lain. Juga
mengenal dengan ajaran Catur Guru yaitu empat penuntun yang mengemban tugas
berat, tetapi sangat mulia yang harus kita hormati sehari-hari. Keempat
penuntun itu yaitu Guru Swadyaya
(Tuhan), Guru Rupaka (bapak/ibu
kandung yang melahirkan, memelihara, mendidik kita), Guru Pengajian (guru yang ada disekolah), Guru Wisesa (pemerintah).
Berdasarkan konsep Tri Rnam dan Catur
Guru diatas kita tidak hanya menghormati orang tua kita ketika mereka masih
hidup saja, tetapi juga setelah mereka meninggalkan dunia ini hingga mereka
mencapai tujuan yang tertinggi. Untuk itulah di dalam sebuah keluarga selalu
dibangun suatu merajan/pelinggih untuk memuja leluhur. Meskipun demikian banyak
juga umat Hindu khususnya di Bali kurang mengenal kawitan mereka. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah akibat
pernah terjadinya peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang melanda pulau
Bali yang membawa pergeseran-pergeseran dan perubahan-perubahan pada hampir
seluruh aspek kehidupan masyarakat Hindu Bali. Pergeseran-pergeseran dan
perubahan-perubahan itu bukan saja mempengaruhi masalah-masalah yang menyangkut
sosial politik, ekonomi dan tatanan kehidupan sehari-hari, namun juga meliputi
masalah-masalah yang ada sangkut pautnya dengan kebudayaan dan keagamaan, yang
akhirnya membawa kecenderungan tidak serasinya pelaksanaan Agama Hindu secara
murni dan kerangka dasar dan pelaksanaan yajna ikut terbawa oleh
perubahan-perubahan itu, sehingga pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran
Agama itu menjadi kurang sesuai dengan sumbernya (Soebandi,1981:62).
Oleh karena itu penulis bermaksud
untuk mempelajari secara khusus merajan yang ada dalam suatu keluarga yaitu
Dadia Pasek Gaduh, Desa Lelateng Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana.
II. PEMBAHASAN
2.1 Landasan Konseptual
Landasan konsep dimaksud dalam tulisan ini sebenarnya
adalah pustaka untuk memecahkan masalah penelitian. Landasan konseptual dalam
penelitian ini memuat uraian sistematis tentang pemikiran yang ada hubungannya
dengan penelitian yang dilakukan penulis mencari pengertian-pengertian atau
konsep-konsep yang relevan dengan variabel-variabel yang menjadi topik
penelitian ini, sehingga diperoleh pemahaman yang konprehensif terhadap
permasalahan-permasalahan yang dikemukakan secara berturut-turut.
2.1.1 Konsep Merajan
2.1.1.1 Landasan
Konsepsional Pendirian Merajan
Pendirian
Pamerajan didasarkan pada adanya pengertian bahwa atma itu berproses untuk
kembali pada asalnya yaitu Paramatma. Didalam berbagai prasasti di Bali ada
disebutkan istilah “Sidha Dewata”
yang berarti mencapai alam dewa atau berada pada alam Sang Hyang Widhi. Roh
atau Atma yang telah suci ini dipuja di Pamerajan. Pada zaman Hindu di Jawa
pada masa lampau roh raja yang telah dianggap suci distanakan di Candi atau
juga disebut Sudharma. Hal ini
terdapat pada prasasti Karang Tengah (842 M), yang menyebutkan adanya bangunan
suci “Kamulan i bhumisambhara”.
Bangunan ini diduga oleh para akhli sebagai candi Borobudur tempat pemujaan
leluhur dinasti raja-raja Sailendra.
Pendirian bangunan suci untuk roh suci
raja yang telah memasuki alam Ketuhanan disebutkan pula dalam Prasasti Kintami
A yang berbunyi : “................. sang
ratu sang sidha dewata sang lumah diair madatu”. Artinya : Sang raja beliau
yang telah memasuki alam dewata beliau dicandikan di air Madatu. Demikian pula
pendirian Candi sebagai stana para raja yang telah suci rohnya atau mencapai
sidha dewata disebutkan dalam prasasti-prarasti yang lainnya seperti prasasti
Batuan, prasasti Terunyan, prasasti Gunung Kawi, dll. Juga disebutkan dalam
naskah Negara Kertagama pupuh 40.5
disebutkan: “......................... kala
niran mantuk ing swarga loka.......sang dhinarma dwaya ri kagenengan”.
Artinya ........pada saat beliau (sang raja) kembali ke alam sorga, ........beliau
didharmakan di kagenengan. Jadi raja yang dibuatkan candi atau Dharma adalah
yang telah suci atau menswarga loka (alam Kedewaan).
Setelah berkembangnya Agama Hindu di
Indonesia, terjadilah perpaduan kebudayaan dimana kepercayaan akan gunung sebagai
alam arwah tetap berlanjut dan juga dilambangkan sebagai alam dewa karena
menurut kepercayaan Agama Hindu gunung itu dilambangkan sebagai alam dewa.
Candi adalah bentuk tiruan dari pada gunung Mahameru, stana dari dewa-dewa.
Karena itulah raja yang dicandikan adalah raja yang telah suci mencapai alam
Dewa. Secara ritual roh sang raja dianggap suci setelah dilangsungkan upacara
Sradha yang merupakan upacara kedua setelah sang raja wafat. Sehubungan dengan
upacara Sradha dibuatlah “puspa sarira” sebagai simbolis dari badan roh sang
raja. Puspa sarira dibakar dan abunya dihanyut.
Adapun tujuan dari upacara Sradha
untuk membebaskan atma atau roh sang raja dari ikatan keduniawian. Hal ini
merupakan penjabaran dari konsepsi moksha atau bersatunya kembali Sang Hyang
Atma dengan Paramatma. Dalam Negara
Kertagama ditegaskan bahwa Upacara Sradha berrtujuan mengantarkan roh sang raja
mencapai Siwaloka atau Siwabuddha loka. Secara konspesional
upacara Sradha identik dengan upacara “memukur”
di Bali. Upacara “memukur” atau “atma wedana” menurut Lontar Siwa Tattwa
Purana ada lima tingkatan dari yang kecil sampai yang paling besar yaitu
“Ngangsen, Nyekah, Memukur, Maligia dan yang terbesar adalah Ngluwer”.
Di masyarakat disebut juga upacara “Ngeroras” atau upacara “penileman”. Tujuan upacara Memukur,
identik dengan tujuan upacara Sradha yaitu mengantarkan roh mencapai alam
dewata. Kalau waktu ngaben roh itu
disebut Pitra atau Pitara, setelah upacara Memukur roh atau Sang Hyang Atma
disebut Dewa Pitara artinya Pitara yang telah mencapai alam dewa. Berdasarkan
pemikiran tentang pendirian candi di Jawa yang diidentikan dengan upacara Dewa
Pitra Pratista di Bali maka atma jelaslah bahwa yang diistanakan di Pamerajan
seperti merajan Kemulan adalah roh suci yang telah mencapai Dewa Pitara.
(Wiana, 1989:16-19)
Ada beberapa sumber sastra/pustaka
yang digunakan sebagai landasan/ pedoman didalam mendirikan merajan diantaranya
adalah seperti yang termuat di dalam Bhagavadgita pada bagian Arjuna Visadha
Yogha cloka 42 dinyatakan bahwa kalau keluarga sudah hancur, maka kewajiban
keluarga terhadap tradisi dan agama tidak terurus lagi, seperti upacara sradha
dimana dilakukan upacara mengenang jasa-jasa nenek moyang di pitraloka (tempat
arwah mereka segera sesudah meninggal dunia sebelum mencapai sorga) dengan
mempersembahkan sesajen yang terdiri dari makanan dan buah-buahan yang serba
lezat. Tempat mengadakan persembahan tersebut adalah tempat suci untuk
memuliakan dan meumuja arwah suci para leluhur yang sekarang oleh masyarakat
Hindu di Bali dikenal dengan istilah atau sebutan merajan atau sanggah.
Dalam Lontar Purwa Bhumi Kemulan juga
dinyatakan bahwa apabila tidak dilakukan upacara ngunggahang (ditempat suci) dewapitra
(leluhur), maka upacara dewapitra
(leluhur) ini belumlah selesai, dengan kutukan bahwa keturunan yang hanya tahu
merasakan enaknya rasa makanan dan minuman untuk diri sendiri, tanpa berbahakti
kepada leluhur, antara lain dengan tanpa melakukan upacara ngunggahang dewapitra (leluhur), maka sang dewapitra (leluhur) bisa menimbulkan kesengsaraan bagi keturunan
bersama sanak keluarganya. Juga Lontara Negarakrethagama dan Ciwagama dijadikan
landasan untuk pendirian merajan. (Soebandi, 2008:26-27).
2.1.1.2 Pengertian
Merajan
Bagi
masayarakat Hindu di Bali, merajan atau sanggah adalah tempat suci untuk
memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama ibu bapak yang sudah
tiada dan berada di alam baka (sunia loka).
Dilihat dari segi istilah kedua kata itu berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu raja ialah sebutan atau gelar kepala
pemerintahan dari suatu sistem pemerintahan kerajaan dan merupakan jabatan yang
mulai atau dimuliakan. Timbul tradisi dan kebiasaan bilamana menyebut seorang
raja didahului dengan kata penghormatan seperti misalnya dengan kata yang mulia. Kata rajan dalam bahasa Sankerta kemudian memperoleh awalan ma lalu menjadi merajan yang bermakna tempat memuliakan dan memuja yang dalam hal
ini untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama ibu bapak yang
sudah tiada. Sedangkan kata sanggah
berasal dari kata sanggar yang secara
harfiah berarti kuil atau sangga dalam kaitan kata anangga yang berarti memegang
tinggi-tinggi juga dapat bermakna menjungjung atau memuja. Jadi dengan demikian
sanggah berarti tempat suci untuk
menjunjung tinggi atau memuja leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam
berbagai prabawa atau manifestasi
Beliau (Soebandi, 2008:23-24).
Oleh Bhagawan
Dwija Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah
artinya Sanggar = tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja= keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan
artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang
menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Merajan
adalah tempat memuja atma yang telah mencapai “Sidha Dewata” (atma berproses
untuk kembali kepada asalnya yaitu Brahman (Paramatma). Dalam
pengelompokkannya, Pamerajan termasuk Pura Kawitan yaitu tempat ikatan “wit”
atau tempat pemujaan yang “penyiwinya”/penyungsungnya ditentukan oleh ikatan
“wit” turunan (geneologis) dari suatu keluarga tertentu (PHDI, 2005:3).
Pamerajan memiliki tingkatan-tingkatan
menurut besar kecilnya keluarga penyungsung dan bentuk serta kelengkapan dari
palinggih-palinggih yang ada. Dalam lontar Siwagama ada disebutkan
tingkatan-tingkatan pemujaan keluarga sebagai berikut.
“........bhagawan
menohari, Siwapaksa sira, kenedwa kinom desri-gondara-pati umarja nang sad
kahyangan, manista madya motama, mamari wata swadharma ning mwang kabeh, lyan
swadyaning wang saduluhing wang kawandasa kinon magawaya panti krama, mwang
satengah bhaga rwang puluhing aduluk, ibu wangunanika, nistha sapuluhing
saduluk, sanggar pratiwi wagunan ika, wwang kamulan pamanggalanya sowang”.
Artinya :
Bhagawan
manohari beliau beraliran Siwa dengan tugas disuruh oleh Sri Gondarapati,
memelihara dengan baik Sad Kahyangan kecil, sedang dan besar, sebagai kewajiban
semua orang, dan lainnya lagi ialah asal penjelmaan seseorang. Setiap 40
pekarangan rumah disuruh mendirian panti, adapun setengah bagian dari itu yakni
20 pakarnagan rumah supaya mendirikan palinggih ibu, kecilnya 10 pekarangan
rumah palinggih Pratiwi supaya didirikan dan Kamulan palinggih pada
masing-masing pakarangan rumah.
Berdasarkan keterangan Lontar Siwagama
tersebut kalau kita sesuaikan dengan kenyataan dimasyarakat maka yang disebut
Pamerajan atau Sanggah adalah tempat pemujaan yang letaknya di “hulu rumah
pakarangan” yang palinggih pokoknya adalah kamulan. Sedangkan pada tingkatan
yang lebih tinggi dimana “Gedong Pratiwi” sebagai pelinggih utamanya sudah
disebut dengan Pamerajan Agung, atau Sanggah Gede (Wiana, 1989:20-21).
2.1.1.3 Pengelompokkan
Merajan
Adapun
pengelompokan merajan ini diantaranya adalah sanggah/pamerajan, pura ibu,
dadia, pedharman, paibon, pura dadya, sanggar, pyra ciwa, dll. Pengelompokkan
tempat memuja roh-roh suci leluhur ada
bermacam-macam antara lain: tempat memuja roh-roh suci leluhur/ yang telah
dipandang suci; contohnya: paibon, sanggah/pameran panti, dadya, kawitan;
tempat memuja roh suci para Rsi, contohnya Pura Ciwa; tempat suci leluhur bagi
raja-raja, contohnya Pura Padharman. Dengan demikian pamerajan bukan merupakan
tempat pemujaan umum yang berlaku bagi umat Hindu, pamerajan hanya untuk umat
Hindu yang memiliki ikatan keluarga yang sama (PHDI: 2005:3-4).
2.1.1.4 Bentuk
Merajan
Menurut
bentuknya, Sanggah Merajan dibagi menjadi tiga yakni sebagai berikut.
a
|
Yang
dibangun mengikuti konsep Mpu Kuturan
|
Trimurti
|
maka
pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Kemulan
(Rong Tiga, Dua, Satu), tidak mempunyai pelinggih Padmasana/ Padmasari.
|
b
|
Yang
dibangun mengikuti konsep Danghyang Nirarta
|
Tripurusha
|
maka
pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Padmasana/
Padmasari, sedangkan pelinggih Kemulan tidak berada di Utama Mandala
|
c
|
Kombinasi
keduanya
|
biasanya
dibangun setelah abad ke-14, maka pelinggih Padmasana/ Padmasari tetap di
‘hulu’, namun di sebelahnya ada pelinggih Kemulan
|
Trimurti, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi
sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah
kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, dimana Brahma di arah
Daksina, Wisnu di Uttara, dan Siwa di Madya. Tripurusha, adalah keyakinan stana
Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan
Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, dimana Parama Siwa yang tertinggi
kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.
Sanggah
Pamerajan dibedakan menjadi 3 yaitu Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga
kecil); Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’
(garis keturunan); Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari
beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama).
2.1.1.5 Struktur Merajan
Merajan
atau sanggah dalam sebuah keluarga Hindu di Bali adalah sebuah tempat suci,
yang berdasarkan konsep Tri Angga, Tri Mandala, dan juga Tri Hita Karana.
Merupakan sebuah tempat untuk memuja Tuhan dan juga roh leluhur. Dasar dari Tri
Angga, Mrajan adalah sebuah tempat utama seperti ibaratnya kepala manusia.
Genah madyanya adalah rumah itu sendiri yang ibaratkan badan manusia, nista
angganya adalah perkebunan atau pekarangan itu sendiri, dan juga tempat mandi
itu juga seperti badan kita sendiri. Tri Angga itulah yang tidak boleh pisah
dari struktur badan manusia, seperti kepala badan dan juga kaki.
Dasar Tri Mandala itu sendiri
adalah Mrajan sebagai utamanya, sedangkan keluarga adalah Madyanya, dan
nistanya adalah pekarangan itu sendiri. Jika tempat suci, mesti mengikuti
sebuah aturan dimana arahnya adalah timur maupun utara. Kaja kangin, timur
laut. Jika arah timur laut dianggap kurang memadai untuk sebuah bangunan suci,
karena alasan seperti tempatnya agak pendek, dihujani cucuran air tetangga, dan
juga terdapat sebuah tempat yang kurang enak dalam segi kebersaihan, maka
tempat tersebut dapat ditinggikan menjadi merajan.
Dasar Tri Hita Karana juga
berbicara dalam mrajan ini. Mrajan adalah sebuah tempat dimana Prahyangan
tempat untuk memjua Tuhan dan juga roh leluhur menjadi satu. Selain dari satu
keselarasan antara orang yang tinggal dan lingkungannya, juga diperlukan sebuah
tempat untuk melakukan sebuah sinergisme ke atas yang daalam hal ini
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi Mrajan adalah sebuah tempat suci
yang berada di setiap lingkungan keluarga untuk memuja kebesaran Tuhan dan juga
roh leluhur (Anom,2002:1).
2.1.1.6 Pelinggih-Pelinggih
Merajan
Adapun pelinggih-pelinggih
umum yang terdapat di Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut :
a
|
Sanggah Pamerajan Alit
|
·
Padmasari
·
Kemulan Rong Tiga
·
Taksu
|
b
|
Sanggah Pamerajan Dadia
|
·
Padmasana
·
Kemulan Rong Tiga
·
Limas Cari
·
Limas Catu
·
Manjangan Saluang
·
Pangrurah
·
Saptapetala
·
Taksu
·
Raja Dewata
|
c
|
Sanggah Pamerajan Panti
|
Sanggah Pamerajan Dadia ditambah dengan Meru atau
Gedong palinggih Bhatara Kawitan
|
Palinggih-palinggih
lainnya yang tidak teridentifikasi seperti tersebut di atas, disebut ‘pelinggih
wewidian’ yaitu pelinggih yang berhubungan dengan sejarah hidup leluhur di masa
lampau, misalnya mendapat paica, atau kejumput oleh Ida Bhatara di Pura lain,
misalnya dari Pura Pulaki, Penataran Ped, Bukit Sinunggal, dll, maka
dibuatkanlah pelinggih khusus berbentuk limas atau sekepat sari. Pada beberapa
Sanggah Pamerajan sering dijumpai pelinggih wewidian ini jumlahnya puluhan,
berjejer. Namun disayangkan karena leluhur kita di masa lampau terkadang lupa
menuliskan riwayat hidup beliau, sehingga keturunannya sekarang banyak yang
tidak tahu, pelinggih apa saja yang ada di Sanggah Pamerajannya. Didalam lontar Siwàgama, disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih
patut membuat pura panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan
pura lbu, setiap 10 keluarga batih supaya membuat palinggih Påtiwì
dan setiap keluarga batih membuat palinggih Kamulan yang kesemuanya itu
untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci.
2.1.1.7 Fungsi Merajan
Adapun beberapa fungsi sanggah /
merajan diantaranya: sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dan
para leluhur/kawitan, sebagai tempat berkumpul sanak keluarga dalam upaya
mempererat tali kekeluargaan, sebagai tempat kegiatan social/pendidikan yang
berkaitan dengan Agama (Soeka, 1993:16). Selain itu fungsi merajan adalah
sebagai monument peringatan dari para leluhur atau kawitan atau para Dewa atau
Bhatara-Bhatari yang telah berjasa terhadap umat atau pretisantana
(keturunannya) (Soebandi, 1981:64).
Menurut Ida Padanda Putra Kamenuh (alm),
ada 4 fungsi merajan diantaranya:
1.
Sebagai tempat beribadat, tempat manusia mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang
Widhi dan leluhur.
2.
Tempat berkumpul dikala piodalan. Tempat membicarakan persoalan hidup yang
menyangkut kepentingan bersama.
3. Sebagai
tempat mempelai mengikrarkan sumpahnya di atas persaksian Hyang Widhi untuk
memasuki hidup baru (PHDI, 2005:4).
4. Sebagai
tempat kegiatan sosial/pendidikan yang berkaitan dengan Agama (Soeka dalam
Gunawan, 2012:19).
2.1.1.8 Tata Cara Pendirian Merajan
Sebelum membahas mengenai tata
cara pendirian merajan, ada baiknya terlebih dahulu untuk mengetahui dewasa
baik untuk membangun suatu merajan. Dewasa ayu sesuai dengan aturan padewasan
dan juga kekeran yang sudah lumrah dan dipastikan. Sekarang sudah banyak
kalender Bali yang mencantumkan dewasa baik secara langsung maupun secara
terperinci. Dan juga dilengkapi dengan tata cara mencarinya sesuai dengan baik
dan buruknya hari.
Tingkatan untuk mencari dewasa
yang baik tersebut adalah sesuai dengan tanggal, panglong, wuku, wawaran, hari,
dan juga sesuai dengan rasa yang memiliki niat untuk membangun tempat suci
tersebut. Bulan yang baik membangun prahyangan adalah sasik kedasa. Tanggal dan
juga panglong yang baik untuk mrajan adalah pananggal sukla paksa, panglong
bernama Krsna Paksa. Penanggal atau panglong yang baik adalah 1 semuanya baik.
Tanggal atau panglong 2 semuanya baik. Panglong 5 adalah semuanya baik, dan
tanggal atau panglong 7 semuanya rahayu. Tanggal 10 semuanya biak. Tanggal 11
dapat bahagia. Tanggal 13 rahayu. Tanggal atau panglong 15 semuanya suka, dan
bahagia. Dewasa sesuai dengan tanggal/panglong (wewaran) Amerta Bhuana: Redite,
soma, anggara, tgl 15/purnama; Amerta dadi: Soma tanggal 15/purnama; Amerta
Akasa: Anggara tanggal 15/purnama; Amerta sari: budha tanggal 15/purnama;
Amerta Masa: sukra tanggal 15/purnama; Amerta pageh: Saniscara tanggal
15/purnama; Ayu Nulus: Redite tanggal 6, soma tanggal 3, anggara tanggal 7,
budha tanggal 12 dan 13, wrspati tanggal 5, sukra tanggal 11, dan saniscara
tanggal 5; Amerta Jiwa: wrspati tanggal 15; Amerta Dewa: sukra tgl 12; Amerta
Dewajaya: Soma tgl 3&8; Ayu badra: Redite tgl 3, soma tgl 7&10, anggara
tgl 3, budha tgl 12, wrspati tgl 10, saniscara tgl 11; Amerta Dewa: Redite
panglong 6, soma tgl 7, anggara tgl 3, budha tgl 2, wrspati tgl 5, sukra tgl 1
dan saniscara tgl/panglong 4; Amerta Yoga: Wrspati tgl 4 dan saniscara tgl 5; Derman
bagia: soma tgl 2,3,5,12; Dewa Nglayang: redite tgl 6, soma tgl 3, anggara tgl
3 dan 7, budha tgl 1,13,15 dan wrspati tgl 5, sukra tgl 1 dan saniscara tgl 4
dan 5; Dewasa Nglayang: redite tgl 10, soma tgl 9, anggara tgl 6, budha tgl 8,
wrspati tgl 7, sukra tgl 10, saniscara tgl 10. Dewasa menurut wuku yang
dilarang untuk membangun yaitu Wuku tidak terdapat Guru: Gumbreg, Kuningan,
Medangsya, Klawu; Wuku Pegatwakan :Dungulan, Kuningan, Langkir, Pujut; Kala
Ngeruda: Senin sungsang, senin menail, minggu dukut; guntur Graha: Rabu Landep,
rabu Taulu, Kamis Medangsia, Kamis Merakih, Sabtu medangkungan, sabtu Ugu
(Anom, 2002:37-42).
Adapun tata cara pendirian sebuah
merajan itu berpedoman pada Asta Kosala Kosali dan Asta Bumi. Aturan tentang
Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan
Panyarikan. Menurut Ida Pandita Dukuh Samyaga, perkembangan arsitektur
bangunan Bali, tak lepas dari peran beberapa tokoh sejarah Bali Aga berikut
zaman Majapahit. Tokoh Kebo Iwa dan Mpu Kuturan yang hidup pada abad ke 11,
atau zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali banyak mewarisi landasan
pembangunan arsitektur Bali.
Lebih jauh
dikemukakan bahwa, Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, sebetulnya
merupakan tokoh dalam cerita Mahabharata yang dimintai bantuan oleh Krisna
untuk membangun kerjaan barunya. Dalam kisah tersebut, hanya Wismakarma yang
bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan
untuk Krisna. Kemudian secara turun-temurun oleh umat Hindu diangap sebagai
dewa arsitektur. Karenanya, tiap bangunan di bali selalu disertai dengan
upacara pemujaan terhadap Bhagawan Wiswakarma. Upacara demikian dilakukan mulai
dari pemilihan lokasi, membuat dasar bagunan sampai bangunan selesai. Hal ini
bertujuan minta restu kepada Bhagawan Wiswakarma agar bangunan itu hidup dan
memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya. Menurut kepercayaan masyarakat
Hindu Bali, bangunan memiliki jiwa bhuana agung (alam makrokosmos) sedangkan
manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari buana alit (mikrokosmos). Antara
manusia (mikrokosmos) dan bangunan yang ditempati harus harmonis, agar bisa
mendapatkan keseimbangan anatara kedua alam tersebut. Karena itu,mebuat bagunan
harus sesuai dengan tatacara yang ditulis dalam sastra Asta Bhumi dan Atsta
Kosala-kosali sebagai fengsui Hindu Bali.
Asta Kosala adalah aturan
tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar,
tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan. Asta Bumi adalah aturan tentang
luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih. Tujuan
Asta Bumi adalah diantaranya: memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas
lindungan Hyang Widhi, mendapat vibrasi kesucian serta menguatkan bhakti kepada
Hyang Widhi. Mengukur Luas Halaman yaitu dengan cara :
·
Memanjang dari Timur ke Barat ukuran
yang baik adalah: Panjang dalam ukuran “depa” (bentangan tangan lurus dari kiri
ke kanan dari pimpinan/klian/Jro Mangku atau orang suci lainnya):
2,3,4,5,6,7,11,12,14, 15,19. Lebar dalam ukuran depa:
1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total luas dalam depa: 2×1,3×2, 4×3, 5×4,
6×5, 7×6, 11×7, 12×11, 14×12, 15×14, 19×15.
·
Memanjang dari Utara ke Selatan
ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran depa: 4,5,6,13,18. Lebar dalam
ukuran depa: 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa: 6×5, 13×6, 18×13
Kemudian menentukan arah yaitu hulu atau teben. Arah hulu biasanya
digunakan arah Timur atau “Kaja”. Sesuai dengan Asta Bumi, bentuk halaman
merajan adalah persegi empat.
Jarak
antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu “depa”,
kelipatan satu depa, “telung tapak nyirang”, atau kelipatan telung tapak
nyirang. “depa” , yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari
tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. “telung tampak nyirang”
adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan
satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Jarak antar
pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari
harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar
pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih.
Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar
pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke “Piasan” dan Pemedal (gerbang)
menggunakan depa.
Mendirikan bangunan suci atau
tempat pemujaan syarat-syaratnya lebih rumit dibandingkan mendirikan bangunan
rumah tempat tinggal. Pertama-tama tentang letak arealnya di dalam pekarangan
rumah. Pamerajan sebagai “ulun karang”.
Di dalam pakarangan rumah letak areal pamerajan adalah bagian “ulu” atau keluan (uuranus) daripada tempat rumah pakarangan. Menurut keyakinan Hindu
yang dimaksud keluwan/keulu adalah arah matahari terbit atau gunung. Matahari
terbit dan gunung dianggap arah yang suci karena kedua sumer alam itu
diciptakan oleh Tuhan sebagai sumber kehidupan semua makhluk. Sinar Matahari
penuh dengan unsur-unsur energi yang dapat memberikan kehidupan kepada semua
makhluk. Demikian juga gunung sumber penampungan air dan hutan. Air digunung
mengalir, membentuk sungai sampai ke sawah dan ladang-ladang. Tanpa matahari
dan air tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia tidak bisa hidup. Untuk di Bali
elatan arah keluwan itu adalah arah di Ersanya di sudut timur laut daripada
pakarnagan rumah. Setelah menemukan area atau denah tempat merajan, barulah
dilaksanakan bangunan Pamerajan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Ngeruwak Karang
Upacara ini berfungsi melakukan
wisudha bhumi dan merobah status tanah yang diupacarai, dari tanah tegalan atau
tanah sawah dijadikan tanah tempat pemujaan atau pamerajan. Upacara ngeruwak
termasuk upacara Bhutayadnya. Urutan upacaranya adalah sebagai berikut :
pertama melangsungkan upacara caru pangruak yaitu caru ayam brumbun lengkap
dengan runtutannya dengan urip 33 (tiga puluh tiga) yang letaknya sesuai dengan
urip bhuwana (amanca desa). Kedua melangsungkan byakala, durmenggala dan
prayascita. Dilengkapi dengan segehan agung dan penyambeh.
2. Nyukat Karang
Nyukat
karang adalah mengukur dan menentukan dengan pasti letak tiap-tiap pelinggih
sesuai dengan ketentuan lontar Asta Dewa. Misalnya meletakkan kamulan ada yang
menggunakan hitungan tiga dari batas pakarangan. Kalau hal itu dipergunakan
berarti menggunakan perhitungan “guru”
dari dasa wara.
3. Nasarin
Yaitu upacara meletakkan beberapa
jenis upakara sebagai dasar daripada bangunan suci itu. Contoh upakaranya:
banten tumpeng merah dua buah, dilengkapi dengan jajan, buah-buahan, lauk pauk,
dengan daging ayam biying yangdipanggang sampian tangga, banten ini dialasi
dengan peras. Canang pendeman ialah canang burat wangi, pengeraos, canang
tubungan, pasucian. Alat penyugjug terdiri dari cabang dapdap bercabang tiga,
sebuah mangkuk kecil, cincin bermata mirah dan kalau mungkin sebuah keris.
Sebuah bata merah dengan gambar bedawang nala dengan ditulis orngkara
dipunggung bedawang nala tersebut. Sebuah bata merah yang lain diisi gambar
padma dengan tulisan dasaksara, sebuah batu bulitan (batu hitam) diisi tulisan
Tri Aksara. Sebuah kelungah, kelapa gading berisi tulisan omkara, kelungah itu
dikasturi airnya dibuang dan diganti dengan wangi-wangian seperti: burat wangi,
menyan dan sebuah kwangen, kekaras berisi uang 11 kepeng, kelungah dan
perlengkapannya dibungkus dengan kain putih, diikat dengan benang merah, hitam,
putih dan kuning dipuncaknya diisi sebuah kwangen berisi uang kepeng 33 kepeng,
sebuah kwangen yang berisi tulisan “Ongkara merta” dengan uang 11 kepeng. Semua
upakara ini dimasukkan ke dalam lubang dasar palinggih.
d. Memakuh/melaspas
Tujuan
upacara melaspas adalah untuk mensucikan bangunan setelah terbentuk pada waktu
upacara pemakuhan. Kalau bangunan sudah suci secara spiritual, maka diharapkan
Ida Bhatara menurunkan wara nugraha dan berstana di tempat pemujaan tersebut.
Umumnya setiap 10 tahun sekali mependam pedagingan diulangi untuk tetap menjaga
kesucian Pamerajan tersebut dan dilanjutkan dengan upacara Ngenteg Linggih (Wiana, 1989:30-33).
2.1.2 Sejarah dan Silsilah Keturunan Pasek
Gaduh
Pada masa
pemerintahan raja suami istri yaitu Gunaprya Dharmapatni yang juga disebut
Mahendradatta berasal dari Jawa Timur putri dari Raja Makutawangsawardhana
keturunan Mpu Sendok, dengan Raja Udayana Warmadewa pada Icaka 910 sampai
dengan 933 atau tahun 988 sampai dengan 1011 M di Bali berkembang banyak sekte
atau aliran yang saling bersaing dan berselisih sehingga membuat situasi
masyarakat saat itu tidak kondusif. Situasi ini membuat raja sangat resah
sehingga beliau mendatangkan Brahmana dari Jawa yang terkenal dengan sebutan
Panca Pandita atau Panca Tirtha yaitu Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, Mpu
Kuturan dan Mpu Bharadah. Panca Pandita ini diajak untuk mencari jalan keluar
atas permasalahan tersebut.
Suatu hari digelar sebuah pertemuan
besar atau pesamuan agung di Bataanyar yang diikuti oleh seluruh sekte yang
berkembang saat itu yang dibagi menjadi tiga kelompok besar, dibawah pimpinan
dan koordinasi Mpu Kuturan. Dari pesamuan
agung tersebut dihasilkan sebuah piagam yang disebut dengan Piagam Samuantiga yang isinya penyatuan
semua aliran ke dalam satu paham yang disebut dengan paham Tri Murti yang implementasinya di masyarakat adalah membangun kahyangan tiga di setiap desa pakraman
dan setiap keluarga membangun sanggah
atau merajan dengan pelinggih utama rong tiga.
Atas dasar tersebut akhirnya semua
aliran atau sekte melebur menjadi satu menjadi agama Hindu Bali Siwa Budha
berdasarkan atas paham Tri Murti. Dari sanalah kemudian berdiri kahyangan tiga
di seluruh Bali, dan disetiap rumah tangga membuat pelinggih yang disebut
dengan sanggah atau merajan, sebagai tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
dengan segala manifestasi-Nya berdasarkan konsep Tri Murti, serta untuk memuja
leluhur. Jadi kahyangan tiga dan merajan mencerminkan berbagai macam aliran yang
pernah berkembang di masyarakat Bali. Merajan adalah sebuah kesatuan sekte yang
ada (Soebandi, 2008).
Berbicara mengenai silsilah keturunan
Pasek Gaduh yang bermula dari pernikahan Mpu Gni Jaya dengan Bhatari dewi Manik
Geni yang memiliki tujuh (7) orang putra yaitu Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu
Wiradnyana, Mpu Witha Dharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka dan Mpu Dangka. Pasek Gaduh adalah sebuah nama dari
keturunan Mpu Dangka yang merupakan
putra bungsu dari Brahmana Pandita (Mpu
Gni Jaya) dengan Bhatari Dewi Manik Geni. Beliau bertempat tinggal di
Kerajaan Daha, Jawa Timur, lalu kawin dengan putrinya Mpu Sumedang. Dari
perkawinan itu, beliau berputra seorang laki-laki yang sesudah pudgala bergelar
Mpu Wiradangkya. Kemudian Mpu Wiradangkya kawin dengan Ni Dewi Sukerthi,
menurunkan tiga orang putra laki-perempuan. Yang sulung bernama Sang Wira Dangka, yang kedua perempuan
bernama Ni Ayu Dangki, dan yang
bungsu perempuan bernama Ni Ayu Dangka.
Mereka tinggal di Kerajaan Daha, Jawa Timur. Selanjutnya Sang Wira Dangka kawin
dengan Ni Ayu Kamareka lalu pindah ke Bali dan akhirnya menurunkan tiga orang
putra masing-masing bernama De Pasek
Lurah Gaduh di Banjar Paminggir, Desa Gelgel, Klungkung, De Pasek Lurah Ngukuhin di Banjar
Pengukuh Peraupan, Desa Peguyangan, Badung, dan De Pasek Lurah Kadangkan di Banjar Kawan, Desa Selisihan Klungkung.
Adapun De Pasek Lurah Gaduh di Banjar Peminggir, Desa Gelgel menurunkan lima
anak laki-laki. Yang sulung bernama Pasek Gaduh di Banjar Peminggir, Desa
Gelgel, Klungkung. Yang kedua Pasek Gaduh di Banjar Watugiling, Desa Dukuh,
Karangasem. Yang ketiga Pasek Gaduh di Banjar Pucangan, Desa Kayubihi, Bangli.
Yang keempat Pasek Gaduh di Banjar Tengah, Desa Belahbatuh Gianyar, dan yang
bungsu Pasek Gaduh di Desa Abang, Karangasem (Soebandi, 2003:329).
Merajan Dadia Pasek Gaduh yang ada di
Desa Lelateng, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana ini merupakan sanggah pucuk yaitu sanggah yang
dipindah ke desa lain. Karena jumlah keluarga (KK) yang ada di sanggah pokok (sanggah kawitan) yang
berada di Banjar Paminggir, Desa Gelgel, Klungkung sudah terlalu banyak. Adapun
jumlah KK yang menyungsung merajan Dadia Pasek Gaduh yang ada di Desa Lelateng
ini pada tahun 2012 adalah 25 KK.
Mengenai sejarah dan proses pendirian
merajan Dadia Pasek Gaduh yang ada di Desa Lelateng ini tidak diketahui secara
pasti. Para keluarga penyungsung merajan dadia, mengaku bahwa merajan ini sudah
ada dan sudah dibangun di Desa Lelateng ini semenjak mereka lahir. Dan sampai
saat ini, belum ada pembugaran atau perbaikan. Yang menjadi pemangku dadia
dipilih langsung oleh para keluarga penyungsung merajan dan dibantu oleh
beberapa orang sadeg terutama pada pada saat piodalan. Para keluraga
penyungsung merajan Dadia Pasek Gaduh di Lelateng ini memiliki kebiasaan
bahwasanya setelah upacara piodalan yaitu setiap Umanis Anggara Kasih
Prangbakat, mereka melakukan sangkep
(musyawarah) untuk mempersiapkan perbaikan atau pembugaran merajan.
2.1.3 Struktur Merajan Dadia Pasek Gaduh di Desa
Lelateng Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana
2.1.3.1 Tembok Penyengker
Kita
ketahui bahwa struktur tempat suci biasanya berdasarkan konsep Tri Mandala
yaitu Utama Mandala, Madya Mandala, dan Nista Mandala. Adapun
struktur merajan Dadia Pasek Gaduh di Desa Lelateng Kecamatan Negara,
Kabupaten Jembrana ini terbagi menjadi 2 bagian yaitu Jabaan dan Jeroan. Hal
ini didasari oleh konsep alam atas dan alam bawah atau akasa dan pertiwi
(purusa dan pradana).
Sebelum memasuki merajan, kita akan
menemui Tembok Penyengker. Ditinjau
dari namanya tembok yaitu dinding
yang terbuat dari bahan-bahan alam. Sedangkan penyengker artinya batas. Batas yang dimaksud disini tiada lain
adalah membatasi alam suci dengan yang tidak suci. Disamping sebagai pembatas,
tembok penyengker juga mempunyai fungsi, sebagai pembagi wilayah tempat suci
yaitu :
a. Jaba Pisan/Nista Mandala
b. Jaba Tengah.Madya Mandala
c. Jeroan/Utama Mandala
Pembagian
wilayah ini berdasarkan konsep Tri Loka yaitu Bhur Loka, Bwah Loka dan Swah
Loka. Ada juga konsep eka bhuwana, yaitu penunggalan alam atas dan alam bawah (PHDI,
2005:7).
2.1.3.2 Candi Bentar
Sebelum memasuki jeroan, pada merajan dadia Pasek Gaduh Desa Lelateng
Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana ini, kita akan menemui suatu bangunan yang
bernama Candi Bentar. Menurut Ida
Pedanda Putra Kamenuh (Alm) menyebutkan “Candi Bentar” adalah merupakan
bangunan peninggalan kerajaan Majapahit. Mula-mula candi bentar, adalah
merupakan bangunan biasa, namun karena pergeseran nilai maka terjadilah
perubahan bentuk dan fungsi. Candi bentar itu tiada lain Paduraksa yang
dibelah. Hal ini didasari oleh adanya hurup Ardacandra pada kedua bangunan itu.
Menurut lontar Tatwaning Aksara diketemukan penjelasan bahwa “Arda candra,
brahma jatinya, windu, Wisnu jatinya, Nada, Iswara jatinya”. Jadi Candi bentar
itu merupakan simbolis positif dan negatif yang dalam aksara masuk dalam aksara
Rwa Bhineda “Ang, Ah”. Dengan adanya
pertemuan ini, timbullah suatu ciptaan (PHDI, 2005:8).
Di depan Candi Bentar sebelah kanan
terdapat linggih pamedalan merajan
yang letaknya didepan gapura/candi bentar merajan sebelah kanan yang juga
ditulis identitas Dadia Pasek Gaduh.
Linggihnya sederhana, tidak memiliki ruang diberikan wastra putih. Berikut
fotonya.
(foto
pelinggih depan gapura) (foto
identitas Dadia Pasek Gaduh)
2.2 Pelinggih-Pelinggih Yang Ada di Merajan
Dadia Pasek Gaduh di Desa Lelateng, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana
2.2.1 Sanggah Kamulan / Rong Tiga
Merupakan
Sthana Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri
Atma (Atma, Ciwatma dan Paramatma) sebagai asal mula adanya makhluk kehidupan
khususnya manusia di dunia ini. Sthana Ida Hyang Widhi dalam manifestasinya
sebagai Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva) sebagai Jiwatman (rokh) Bhuana
Agung. Sebagai Sthana, Hyang Tri Purusa (Siwa, Sadasiwa, Parasiwa) sebagai Guru
tiga (Guru Purwam, Guru Madyam dan Guru Rupam) juga sebagai linggih roh suci
Leluhur yang telah mencapai Dewa Pitara.
Sanggah Kemulan berfungsi
sebagai tempat pemujaan, untuk dipuja oleh keturunannya, guna memohon
perlindungan, bimbingan dan waranugrahanya. Juga sebagai tempat ngaturan
piuning waktu upacara Manusa Yadnya,
serta Pitra Yadnya khususnya.
Kemudian pada waktu akan bepergian jauh, lebih-lebih akan menetap di suatu
daerah atau tempat tertentu. Kata sanggah kamulan, berasal dari 2 kata yaitu sanggah dan kamulan. Kata sanggah
adalah perubahan kata sanggar yang
artinya tempat keagamaan, sedangkan kata kamulan
berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu dari kata mula yang artinya akar, dasar, permulaan. Awalan ka dan akhiran an
menunjukkan tempat. Jadi Sanggah Kamulan
itu berarti tempat pemujaan untuk menghormati tempat permulaan manusia/umat itu
ada.
Landasan Konsepsional dari Sanggah
Kamulan ini adalah dengan adanya Pitra Yadnya yaitu memukur atau upacara Atma
Wedana yang tujuannya adalah mengantar rokh mencapai alam dewata. Kalau pada
Upacara Ngaben rokh itu masih disebut Pitra atau Pitara, setelah upacara
“memukur” rokh itu telah berganti nama yaitu disebut “Dewa Pitara” yang artinya
Pitara yang telah mencapai Alam Dewa. Pada Lontar Ligia menyebutkan bahwa Sang Dewa Pitara melayang menuju alam
acintya. Sedangkan pada Lontar Purwa Bumi
Kemulan menyebutkan bahwa disana Atma manunggal dengan Dewa Hyang Leluhur.
Bangunan ini
berupa palinggih dengan atap, dengan rong yang berjumlah tiga, ada juga yang
menggunakan tiang (saka) namun ada juga dengan palinggih kemulan jajar, tanpa
tiang. Jika diruntun dengan konsep Tri Angga, maka atap dari rong tiga adalah
utamaning angga, sedangkan tiang adalah madyanya dan bataran palinggih itu
sendiri adalah nistaning angganya. Menurut kayu yang digunakan untuk membuat
palinggih adalah kayu cendana, kayu patih penengen, kayu cempaka kuning,
majagau, taru pala, kayu sasih, kayu sabho, kayu bhujangga, kayubuni sari, kayu
jampinis, kayu bayur, kayu gentawas, kayu cemara, kayu naga sari, dan jika
untuk atapnya, menggunakan ilalang dan juga duk (Anom, 2002:14).
Pada sanggah kamulan ruang sebelah
kanan adalah linggih Dewa Brahma, ruang sebelah kiri adalah linggih Dewa Wisnu
dan ditengah adalah linggih Dewa Siva. Pada ruang tengah biasanya diisi buah
kelapa yang masih bertampuk dan bertangkai serta kulitnya tiada bercacat
disebut “tahulan”. Tahulan ini
dianggap sebagai simbol jiwa, tampuk sebagai lambing Siwadwara dan tangkai
sebagai simbol rambut. Sedangkan ruang kanan dan kiri sebagai simbol mata
(Soeka, 1993:9).
Dasar hukum pendirian Sanggah Kamulan
terdapat dalam lontar Sivagama (Lontar Sivagama, lembar 328) merupakan pustaka
suci bagian Smrti dari seke Siva yang menyatakan bahwa setiap keluarga yang
menempati karang perumahan tersendiri wajib membangun sanggah kamulan. Dalam
lontar Gong Wesi, Usana Dewa, Tattwa Kepatian dan Purwa Bumi Kamulan adalah
Sanghyang Triatma, yaitu Paratma yang diidentikkan sebagai ayah (Purusa), Sang
Sivatma yang diidentikkan dengan ibu (Pradana) dan Sang Atma yang diidentikkan
sebagai diri sendiri (roh individu). Yang hakekatnya Sang Hyang Triatma itu
tidak lain dari pada Brahma atau Hyang Tunggal / Hyang Tuduh sebagai Pencipta.
Dalam lontar Purwa Bumi Kamulan menyatakan bahwa yang berstana di sanggah
kemulan adalah Dewa Pitara. Dan dalam Tattwa Kepatian, Sang Hyang Atma (roh)
seelah mengalami proses upacara akan bersthana di Sanggah Kamulan sesuai dengan
kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang belum suci, hanya baru mendapat
tirta pengentas pendem/upacara sementara (ngurug) (Wikarman, 1998:6-9).
Siva adalah Tuhan dalam dimensi imanen
(sekala). Sadasiva adalah Tuhan dalam dimensi sekala-niskala (Ardanareswara)
sedangkan Paramasiva adalah Tuhan dalam dimensi niskala (transcendental). Siva
dalam wujud 3 tersebut dalam Sivagama digelari sebagai Bhatara Guru, karena
beliau (Siva) menjadi “Dang Guru ing Iswara”. Konon gelar bhatara Guru
dihaturkan oleh murid beliau terpandai yakni Dewa Surya. Setelah Dewa Surya
dianugrahi gelar Siva Raditya oelh Siva sendiri sebagai Dang Guru (Wiana,
1997:81).
Oleh karena Siva beraspek tiga,
sebagai Tri Purusa, maka guru pun ada 3 aspek yaitu Guru Purwam, Guru Madyam
dan Guru Rupam. Guru Purwam (dimensi niskala), Guru Madyam (sekala-niskala) dan
Guru Rupam (dimensi sekala/imanen). Yang dipuja/yang bersthana pada sanggah
kamulan pada hakekatnya adalah Tuhan/Hyang Widhi baik sebagai Hyang Tri Atma,
yang sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) yang Dewanya adalah
Brahma, Wisnu dan Iswara yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal
adalah Siva, Sadasiva, Parama Siva, aspek Tuhan dalam bentuk vertical (Tri
Purusa /Guru Tiga/Bhatara Guru) (Wikarman, 1998:12). Berdasarkan aspek Jnana
Kanda ngunggahan Dewa Pitara pada sanggah kamulan adalah mengandung maksud
mempersatukan dewa pitara (roh leluhur yang sudah mati) kepada sumbernya (Hyang
Kamulan). Bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Sivatma dan Paratma.
Hal ini merupakan realisasi dari tujuan akhir Agama Hindu yakni mencapai moksa.
Maksud dari pada pembangunan pelinggih
Rong tiga dalam lingkungan keluarga tiada lain agar kita selalu ingat dan
memuja kebesaran Sang Hyang Widhi dalam kaitannya dengan hutang yang disebut
dengan Tri Rnam. Yang dimaksud dengan Tri Rnam yaitu Tiga Hutang. Tiga Hutang
ini diantaranya :
1. Kepada Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai
pencipta yang telah memberi kesehatan dan keselamatan dengan segala kebutuhan
hidup kita.
2. Hutang kita kepada leluhur, terutama ibu
dan bapak yang telah membesarkan kita hingga menjadi dewasa.
3. Hutang kita kepada para Rsi yang telah
berjasa mengajarkan kepada kita mengenai agama, kebudayaan, dan lain-lain.
Demikian
maksud dari pembuatan pelinggih Rong Tiga dalam lingkungan keluarga sebagai
anggota masyarakat terkecil agar kita selalu ingat kepada Tri Rnam itu, yang
merupakan Yajna dalam kehidupan sehari-hari (Soeka dalam Gunawan, 2012:20).
Biasanya Sanggah Kamulan ini berbusana
Sarwa Putih dan Payung Putih. Adapun banten/upakaranya pada waktu piodalan
terdiri dari suci, pras, penyeneng, rayunan, prangkatan, canang raka dan canang
sari. Dan mantra pemujaannya adalah
Om dewi dewi tri dewanam
Tri murti tri langgatmanam
Tri purusa suddha nityam
Sarwa klesa winasanam
Om guru dewa guru rupam
Guru madya guru purwam
Guru pantara dewam
Guru dewa sudha nityam
Om brahma wisnu iswara dewah
Jiwatmanam tri lokanam
Sarwa jagat pratistanam
Suddha klesa winasanam
Sarwa roga winurcitam
Sarwa wighna winasanam
Wighna dosa winasanam
Om sri guru paduka bhyo namah.
(Tim Penyusun, 2003:47)
2.2.2 Gedong Kawitan
Pelinggih
Gedong Kawitan ini adalah pengayatan kepada kawitan Ratu Pasek. Sebagai
penghormatan kepada Mpu Gnijaya yang merupakan Leluhur dari warga Pasek.
Biasanya pelinggih Gedong Kawitan ini berbusana Sarwa Putih-Kuning. Adapun
banten/upakaranya pada waktu piodalan hampir sama seperti yang dihaturkan di
sanggah kamulan yaitu terdiri dari suci, pras, canang raka dan canang sari. Dan
mantra pemujaan untuk di pelinggih gedong kawitan (Ratu Pasek) adalah sebagai
berikut.
Om Siwa Rsi
maha Tirtham,
Panca rsi panca tirtham
Sapta Rsi catur Yogam
Lingga Rsi mahalinggam
Om Ang Gong
Gnijaya namah swaha
Om Ang
Gnijaya jagat patya namah
Om Ung
Manik Jayas ca, sumerus ca, sa Ghanas ca
De Kuturan Baradah ca ya namu namah
swaha
Om Om Panca
Rsi Sapta Rsi paduka guru bhyo namah swaha.
(Wijayananda, 2003:27)
2.2.3 Catu
Mujung/Sanggar Maprucut
Pelinggih ini adalah
penghayatan/linggih/stana dari Bhatara Agni Manajaya/ Bhatara Limas Cari. Ciri
khas bangunan ini yaitu pada ujung atap bagian atasnya diprucut, seperti
segitiga sama kaki. Dibeberapa tempat, tempat pemujaan ini, disebut sebagai
tempat pemujaan Gunung Agung, namun menurut Lontar
Kusumadewa, Bhatara Agni Manajaya kedudukannya
berada di Pura Uluwatu. Ditinjau dari segi kebahasaannya, Catu mujung terdiri
dari 2 kata, yaitu catu dan mujung. Catu itu berarti alat penggunaan
beras, sedangkan kata mujung, itu
merupakan Bahasa Bali yang artinya lebih dari meres. Jadi secara filsafatnya Catu Mujung artinya suatu sarana untuk
dapat para umat lebih meningkatkan rasa ketakwaannya pada Hyang Widhi. Upakara
atau banten yang dihaturkan pada waktu piodalan adalah ajuman, canang raka,
penyeneng dan canang sari. Pada pelinggih ini, biasanya busana yang dipasang
adalah berwarna Putih dan Payung Putih (PHDI, 2005:16-17).
Mantram
pada pelinggih ini adalah sebagai berikut:
Om
Ang Geng Gnijaya ya namah
Om
Ang Dewa Dewi maha siddhi
Sarwa
karya siddha tuwi
Siddha
ya dirghayu namah swaha
(Suhardana,
2006:290).
2.2.4 Catu Meres
Pelinggih ini adalah penghayatan /linggih/stana
dari Limas Catu/Bhatara Mahadewa di Gunung Batukaru. Dibeberapa tempat, disebut
tempat pemujaan dari Dewi Danuh (Gunung Batur). Ada juga yang menyebutkan bahwa
pelinggih ini merupakan sthana dari Dewi Sri dengan Bhiseka Sri Sedana yaitu
sakti (kekuatan) dari dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia
(Gunawan, 2012:23).
Ditinjau dari namanya Catu Meres; catu itu berarti alat penggunaan beras, meres berarti seimbang/dalam keadaan penuh. Arti filsafatnya adalah
simbolis keseimbangan lahir dan bathin. Ditinjau daripada Bhatara yang
melinggih, yaitu Dewa Mahadewa. Beliau dalam kiblat Panca Dewata, menguasai
kiblat barat, senjata Nagapasa, aksara sucinya TA dan warna kuning. Dengan demikian, beliau adalah manifestasi
Hyang Widhi yang menguasai arah bagian Barat. Adapun upacara/banten yang
dihaturkan pada waktu piodalan adalah ajuman, canang raka dan canang sari. Busana pelinggih ini adalah biasanya Sarwa
Kuning dan Tedung Kuning (PHDI, 2005:18-19).
Mantra untuk
pelinggih Catu Meres adalah sebagai berikut :
Om Ang
Brahma pagniya namah
Om Ung Wisnu
antaratma paibho sajnani namah
Om Mang
Iswara paratma Siwa mona ya namah
Om Ang
Pradana Purusa sang yoga ya
Wisnu Dewa
ya
Bhoktra
jagatnatha Dewa Dewa ya dini
Sang yoga ya
Paramasiwa ya (Suhardana, 2006:276).
Kemudian karena yang bersthana pada
pelinggih ini adalah Mahadewa dan ada juga yang menyebutkan sebagai sthana dari
Dewi Sri Sedana maka mantram pemujaannya adalah sebagai berikut :
(Mahadewa
Stawa)
Om Mahadewa pascima desanca
Teja pita maha rupham
Amrtha pita sampurnam
Sarwa jagat prathistanam
Om Om Padmasana ya namah
Upti Mang Ung, Ang namah
Om Om dewa prathista ya namah
Sthiti Ang Ung Mang namah
Tumurun....Tang Mahadewa pita
warna ya namah swaha.
(Sri Sedana Stawa)
Om Brahma
Wisnu Iswara Rudra
Rudra dewa jawe nama
Rudra Sangkara bupatiyam
Dewa dewi namo namah
Karam sada
Siwa dewam
Jagatam
sarwa pujanam
Upanam
sadanam mretham
Suci dewa
Sri Sedanam
Kawatam nugraham mretham
Kania wati Siwa rupam
Dando upadrawa sampurnam
Kretha bhuwanam sada samretham
(Tim
Penyusun, 2003: 46,53)
Karena itu tempat pemujaan keluarga
seperti Merajan Gede dengan Pelinggih Gedong Pertiwi umumnya dilengkapi dengan
dua bentuk pelinggih yang disebut Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung. Dua
pelinggih ini umumnya dibangun di sebelah kanan Pelinggih Gedong Pertiwi
berjejer menghadap ke barat. Pelinggih Gedong Pertiwi adalah tempat memuja
leluhur yang telah mencapai Dewa Pitara. Dalam Lontar Siwagama dinyatakan bahwa
kalau keluarga itu sudah berkembang menjadi lebih dari sepuluh pekarangan
tempat tinggal, maka untuk menyatukan keluarga tersebut memiliki Merajan Gede
dengan pelinggih utamanya Gedong Pertiwi. Ini artinya Gedong Pertiwi itu
sebagai Atma Pratista, sedangkan dua Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung
sebagai Dewa Pratista.
Bentuk Pelinggih Limas Catu dan Limas
Mujung itu seperti Meru Tumpang Satu, hanya atapnya berbeda-besa. Pelinggih
Limas Catu bentuk atapnya ditutup dengan ''paso'' yang dihias indah berukir
sampai ke ujungnya sehingga tidak sama dengan paso yang digunakan untuk
keperluan dalam rumah tangga. Sedangkan Limas Mujung atapnya dari serat ijuk
dibuat lancip mengerucut ke atas seperti berkuncir. Pelinggih Gedong dan dua
Pelinggih Limas tersebut berbeda jenis padagingan-nya saat upacara
sakralisasinya. Padagingan Gedong menggunakan padagingan Atma Pratista,
sedangkan padagingan Limas Catu dan Limas Mujung menggunakan padagingan Dewa
Pratista. Sistem pemujaan tersebut amat sesuai dengan apa yang diajarkan dalam
Manawa Dharmasastra III.205 tersebut. Dengan sistem pelinggih utama dan ada
pelinggih yang disebut pelinggih ''jajar kemiri'' sebagai pelengkap suatu
tempat pemujaan maka tata cara pemujaan bertahap dapat dilakukan oleh umat
dalam segala tingkatannya.
Pemujaan bertahap itu adalah sistem
pemujaan yang disebut Apara Bhakti. Dalam Agni Purana ada dua cara bakti pada
Tuhan yaitu dengan Para Bhakti dan dengan Apara Bhakti. Para Bhakti adalah cara
pemujaan yang tertinggi hanya bakti kepada Tuhan. Bakti seperti itu hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang memiliki tingkat kerohanian yang tinggi seperti para
resi. Karena itu ajaran Hindu memberikan jalan kepada mereka yang masih dalam
tingkatan ekajati untuk melakukan bakti kepada Tuhan dengan cara yang disebut
Apara Bhakti. Pemujaan Tuhan dalam tingkatan Apara Bhakti ini umat melakukan
bakti bagaikan hubungan anak yang masih kecil kepada orangtuanya. Anak kecil
merengek minta berbagai keperluannya kepada orangtuanya bukan karena pamerih,
tetapi karena hubungan bakti dan kasih pada orangtua. Dalam Apara Bhakti umat
bisa saja memuja Tuhan dengan menyampaikan berbagai permohonan. Hal itu
bukanlah bakti yang rendah, sepanjang yang dimohon kepada Tuhan hal-hal yang
benar dan wajar. Sedangkan kalau sudah pada tingkat Para Bhakti pemuja Tuhan
hanyalah memuja kebesaran dan kemahakuasaan Tuhan.
Adanya Pelinggih Limas Catu dan Limas
Mujung di sebelah kanan Pelinggih Gedong Pertiwi itu sebagai media pemujaan
Tuhan dalam fungsinya sebagai pencipta kesejahteraan material dan spiritual.
Dua pelinggih tersebut disebut dengan berbagai istilah oleh umat Hindu di Bali.
Ada yang menyebutnya sebagai Pasimpangan Ida Batara di Gunung Lebah. Sedangkan
Limas Mujung Pasimpangan Ida Batara di Gunung Agung.
Pemujaan dengan sarana Pelinggih Limas
Catu dan Limas Mujung itu adalah untuk memuja Tuhan sebagai pencipta jiwa dan
raga atau Purusa dan Pradana. Manusia tercipta oleh Tuhan dari Purusa dan
Pradana. Bertemunya Purusa dan Pradana itulah yang menyebabkan adanya hidup
ini. Menurut ajaran Hindu memuja Tuhan itu bukan sekadar memuja. Memuja Tuhan
Yang Mahakuasa itu untuk dapat didayagunakan menguatkan kehidupan lahir batin.
Demikian juga pemujaan Tuhan dalam
fungsi-Nya sebagai pencipta Purusa dan Pradana dipuja untuk mengingatkan umat
manusia agar selalu membangun hidup yang seimbang. Dengan sistem pemujaan yang
demikian itu berarti ajaran Hindu tidak semata-mata mengajarkan tentang
kerohanian saja, tetapi mengajarkan kehidupan yang seimbang antara kehidupan
duniawi dan rohani. Penderitaan itu terjadi kalau kehidupan jasmani dan rohani
tidak seimbang.
2.2.5 Sekaulu
Gempel
Pelinggih ini merupakan
pengayatan/sthana dari Dewa Ayu Pesaren
Sari Saking Gunung Majapahit. Ditinjau dari namanya Sakaulu Gempel, artinya Sekaulu
berarti tiang panjang yang berjumlah 8 (delapan). Gempel berarti bersatu. Jadi Sekaulu
Gempel berarti bangunan suci yang ditopang oleh 8 tiang penyangga, satu
tiang-ke tiang yang lainnya merupakan satu kesatuan yang kukuh. Sekaulu
Gempel
juga disebut Asta Punarbawa. Secara harfiah Asta Punarbhawa berarti 8 penitisan
kembali. Yang melinggih pada Sekaulu
Gempel adalah Dewa Ayu Pesaren Sari.
Ditinjau dari unsur katanya yaitu: Pesaren – Sari. Pesaren kalau diuraikan pe +
sari + an awalan pe disini berarti tempat, sedangkan sari berarti bunga. Secara arti katanya Pesaren Sari itu berarti tempat pemujaan bunga-bunga. Bunga yang
dimaksud disini adalah para deha, truna-truni yang belum berumah tangga, yang
sedang menginjak masa perkembangannya. Dengan demikian melalui tempat pemujaan
ini diharapkan para kembangnya atau bunga-bunga yang memiliki pemerajan itu
mampu mengharumkan: pemerajan dan keluarga serta setelah berumah tangga imannya
kuat (gempel) dan bisa menurunkan keturunan dari masa ke masa (Sekaulu) yang
baik pula, lewat nunas waranugrahanya Dewa
Ayu Pesaren Sari.
Adapun upakara/banten yang dihaturkan
waktu piodalan adalah ajuman, canang raka dan canang sari. Memakai busana Sarwa
Putih dan Tedung Putih.
2.2.6 Taksu
Biasanya Pelinggih Taksu dibagun di sebelah
kanan/disamping Palinggih Kamulan Rong Tiga, namun dalam Merajan Dadia Pasek
Gaduh Desa Lelateng, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana pelinggih taksu
dibangun disebelah kanan pelinggih Sekaulu
Gempel.
Bangunan
Taksu ini merupakan pengayatan /palinggih/
stana dari Bhagawan Penyarikan/ Ratu Ngurah Penyarikan/Dewa Indra. Kata taksu
mempunyai padanan dengan kata caksu.
Caksu artinya mata. Mata dalam pancaindra itu adalah indra penglihatan. Dengan
demikian fungsi taksu adalah sebagai pengawas dan penentu siapa dan dimana
tempat/linggih/stana yang akan turun/datang pada waktu menurunkan Bhatara
Kabeh. Kalau dikaitkan dengan pemerintahan taksu
itu adalah Setwilda yaitu sebagai
tangan kanannya Bupati. Menurut Ida Padanda Putra Kamenuh (alm) menyebutkan
Taksu mempunyai fungsi mengatur jalannya upacara keagamaan. Taksu juga
kadang-kadang disebut pecalang yang
khusus menerima, mengatur dan menempatkan para dewa yang dianggap sebagai tamu
(undangan) yang turut menyaksikan jalannya upacara/upakara piodalan.
Palinggih ini dibangun dengan atap dan
rong satu. Dengan empat tiang disetiap sudutnya. Kayu yang digunakan juga sama
seperti diatas, dan posisinya berada di sebelah kanan kemulan. Menghadap kearah
selatan, dan disanalah tempat stana Sang kala Raja yang memberikan sebuah
kewibawaan. Taksu berarti daya magic/sakti. Sakti/wisesa/energi adalah simbil
dari “bala” atau kekuatan (ajaran Tantrayana). Palinggih taksu berfungsi untuk
memohon “kesidhian”/keberhasilan untuk semua jenis profesi seperti seniman,
pedagang, petani, pemimpin masyarakat, dsb (Wikarman,1998:2)
Upakara/banten yang dihaturkan dalam
pelinggih taksu adalah ajuman dan
canang sari. Busananya kain hitam tanpa tedung (PHDI, 2005:14-15). Mantramnya
adalah
Om Ang Ah Mahadewi jagatpati
Ya Namo namah swaha
Om Ung Prajapati ya namah
Om Mang Mataya namah
Om
Tang Prapita ya namah
Om
Ing Prapita ya namah
Om
Mang Mataya namah
Om
Ing Paramataya namah. (Suhardana, 2006:329)
2.2.7 Piasan / Balai Paruman
Fungsi dari bangunan piasan ini adalah
sebagai genah paruman, pesamuhan Para Dewa. Ditinjau dari segi kebahasaannya,
kata piasan berasal dari kata pa + iasan.
Kata iasan berarti sanyasin. Awalan pa menunjukkan tempat. Iasan (sanyasin) adalah orang-orang
suci, Dewa, Bhatara, Hyang, dsb. Jadi piasan
berarti tempat pertemuan/musyawarah para Dewa, Bhatara; tempat linggih bagi
orang suci, termasuk Ida Sang Mraga Sulinggih/Ida Pranda; Tempat bale berhias
untuk pada dewa, Bhatara sebelum katur bhaktine
majeng ring Dewa lan Bhatara (amukti
sarining bebanten). Upakara/bantennya adalah saji putih kuning perangkatan
putih kuning dengan itik gulung, tapakan pelinggih, tegasan/rantasan, pesucian
dengan perlengkapannya dan toya anyar (PHDI, 2005:20). Bhusana yang biasa
digunakan untuk menghias balai piasan biasanya terbuat dari kain Prada. Adapun
mantranya adalah sebagai berikut.
Om
Om Dewa Pratistha ya namah
Artinya:
Ya, Hyang Widhi, hamba sujud pada
Hyang Widhi hadirnya para dewa, bhatara dan bhatari.
2.2.8 Balai Banten
Balai banten ini merupakan balai yang disediakan khusus untuk menempatkan
upakara/banten pada saat piodalan. Balai ini juga dihias juga sedemikian rupa
sama seperti balai paruman.
2.2.9 Gedong Simpen
Suatu
merajan yang memiliki halaman yang luas, bisa dibangun ruangan untuk menyimpan
barang-barang milik keluarga dadia yang diperlukan untuk upacara piodalan,
ngenteg linggih maupun upacara yang lain. Barang-barang yang disimpan di
ruangan ini antara lain: perabotan-perabotan seperti wastra pelinggih-pelinggih
beserta tedungnya.
2.2.10 Jun
Jun merupakan tempat yang biasanya digunakan untuk tempat tirta pada setiap
persembahyangan. Ini merupakan pengaruh sekta Vaisnawa (Visnu) yang terdapat
dalam merajan.
2.2.11 Jro Gede
Pada umumnya Pelinggih Jro Gede
terletek di depan gapura dari sanggah/ merajan. Di Bali Jro Gede yang merupakan
kristalisasi sekta Ganaptya atau disebut dengan Dewa Ganesha yang merupakan
tempat berstananya Dewa Gana. Jro Gede berfungsi sebagai penjaga karang rumah
atau sebagai pelindung terhadap makhluk-makhluk yang berusaha untuk mengganggu
kita. Selain itu pakaian saput dari Jro Gede biasanya hitam putih itu
menandakan keseimbangan yang ada di alam ini. (Gunawan, 2012:19). Namun ada
juga yang memakai wastra putih kuning. Adapun banten/upakara yang dihaturkan
saat piodalan adalah ajuman, canang tipat dan canang sari.
Mantranya adalah sebagai berikut.
Om
Gana-parama twam-guhyam,
Gana-tattwa-parayanah,
Gana-pranata-labhanam,
Sukha Gana namo’stu te.
Om
Asuci-sarwa-pawitram,
Sarwa-karya
suci-mukti,
Bhukti gana
mahottama,
Dewa-sukha
paripurnam
Om Tesu-karti maha-gana,
Mataras te sukha-karyam,
Etana sarwa apunyat,
Suddhha Dewa paripurnam.
Om
Tesu-karti maha-trepti,
Mataras te
Bhatarakah,
Etasam
sarwa-dewanam,
Treptayuyam
bhawantu te.
2.2.13 Surya
Pelinggih
Surya sebuah bangunan untuk memuja Sang Hyang Surya Raditya sebagai saksi segala kegiatan manusia
khususnya ritual yadnya. Dalam Lontar
Siwagama, gelar surya Raditya
adalah gelar dari Dewa Surya atas anugrah dari Dang Guru (Dewa Siwa) karena bhakti dan kepandaian beliau. Hyang
Surya diberikan anugrah juga sebagai Upa
Saksi segala kegiatan manusia dan pemberi cahaya, pemusnah segala
kegelapan. (Wiana dalam Wikarman, 1998:12). Pendirian pelinggih Surya adanya
pengaruh sekte Sora (Surya). (Gunawan, 2012: 21-22). Adapun upakara yang
dihaturkan di pelinggih surya saat piodalan adalah Pras, Daksina, suci sorohan,
canang dan sodahan. Dengan adanya
Sanggar Surya dengan segala kelengkapannya itu umat merasa yakin bahwa segala
yadnya yang dilakukan telah disaksikan oleh Hyang Widhi. Dengan sarana tersebut
umat pada umumnya akan merasa semakin dengan Hyang Widhi. Rasa dekat pada Hyang
Widhi salah satu hal yang dapat berfungsi untuk meningkatkan kwalitas moral dan
daya tahan mental dalam menghadapi tantangan dan godaan hidup. Kwalitas moral
dan daya tahan mental tersebut akan meningkatkan kwalitas kebahagiaan individu
dan keharmonisan dalam hidup bersama dalam masyarakat. (Wiana, 2001:108) Bhusana
yang digunakan untuk pelinggih Surya adalah Wastra Putih-Kuning dan Tedung
Putih. Adapun mantra untuk di pelinggih surya adalah sebagai berikut.
Om
Adhityasya paramjyoti,
Rakta teja
namostute
Sweta
pangkaja madhyastha,
Bhaskara ya
namostute
Om Aditya garbha pawana,
Aditya-dewa raja-twam,
Aditya-twam-gatir-asi,
Aditya caksur ewa ca.
Om Aditya
jata-wedasah,
Aditya
janopa Suryah,
Surya-rasmir
Hrsi-kesa,
Surya-sattwam
maha-wiryam
Om, Hrang,
Hring sah parama Siwaditya ya namah.
2.2.14 Penunggun Karang / Lebuh
Fungsi dari pelinggih ini adalah
tempat untuk memuja yang memiliki pekarangan yang ditempat tinggali dalam
tataran niskala. Secara kepercayaan masyarakat Hindu, yang berstana di
pelinggih Penunggun Karang/Lebuh
adalah Hyang Ibu Pertiwi (Dewi Sri)
juga Ratu Nyoman Sakti Pegadangan,
raja dari segala bhuta, dalam
mitologi Hindu beliau tiada lain adalah Ganapati (Dewa Ganesha).Busana yang
digunakan biasanya Sarwa Putih dan Tedung Putih. Upakara yang dihaturkan adalah
ajuman/soda. Pada pelinggih ini yang bersthana adalah Dewi Sri, maka mant ramnya
adalah Sri Stawa sebagai berikut.
Om Sri-dewi maha waktram,
Catur-warna
catur-bhujam,
Pradnya-wiryam
saro-jneyah,
Cinta-manir-uru-smertham.
Om Sri Tandhuli Mahadewi,
Sri-mati komala sobhitah,
Dadasi-me maha-bhogam,
Sarwa drawya hiam-labham
Om Sri-Wrihi
makuta jiwam,
Twam sarwa
bhuwanandhari,
Dadasi-me
sukha nityam,
Jiwitam
dhatu-kancanam
Om Dhana-rajni-twam-dewi,
Pradnya tanduli samjnikah,
Mani-ratnasana nityam,
Sarwa ratna gunanwita.
Om, Sri-dewi
ya namah swaha.
2.2 Konsep Penyatuan Siva
Siddhanta Dalam Merajan Dadia Pasek Gaduh di Desa Lelateng, Kecamatan Negara,
Kabupaten Jembrana
Seperti yang sudah dijelaskan diatas,
dalam merajan dadia Pasek Gaduh ini merupakan sanggah pucuk terdiri dari beberapa pelinggih diantaranya yaitu
pelinggih/sanggah kamulan/rong tiga, gedong kawitan, catu mujung/sanggah
maprucut, catu meres, sekaulu gempel, taksu, pelinggih surya, jro gde dan
penunggun karang/lebuh. Pada pelinggih rong tiga yang bersthana adalah
manifestasi Tuhan dalam wujud sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur (Brahma,
Visnu, Siva) yang sering disebut Tri Murti. Dewa Brahma berstana diruang kanan,
Dewa Wisnu di ruang kiri dan di tengah bersthana Dewa Siva (Nurkancana dan
Wikarma dalam Gunawan, 2012:19). Dewa Siva distanakan ditengah-tengah hal ini
menunjukkan bahwa Dewa Sivalah yang tertinggi sesuai dengan paham Siva
Siddhanta.
Pada pelinggih Catu Mujung yang
bersthana adalah Dewa Agni, ini menunjukkan adanya pengaruh dari Sekta Sora
yang identik juga dengan pemujaan yang bersthana pada pelinggih Surya.
Sedangkan yang bersthana pada pelinggih Catu Meres yaitu Devi Sri merupakan
simbol kemakmuran, sakti dari Deva Visnu menunjukkan adanya pengaruh Sekta
Vaisnawa. Terkait dengan pengaruh sekte, ada kemiripan fungsi Pelinggih Taksu
dengan Ista Devata dari sekta Sakta di India, sekte yang memuja aspek feminim
Tuhan (Sakti/Kekuatan). Dari aspek yang dipuja pada Pelinggih Penunggun Karang/Lebuh dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh Sekte Ganapatya karena adanya pemujaan kepada Ratu Nyoman Sakti Pegadangan dan pengaruh sekte Waisnawa karena
adanya pemujaan kepada Hyang Ibu Pertiwi
(Dewi Sri) sebagai sakti dari Dewa Wisnu (Gunawan, 2012:22). Dan yang terakhir
yang bersthana di Jro Gde adalah Dewa
Ganesha yang merupakan kristalisasi dari Sekta Ganapatya.
Dengan
dibangunnya pelinggih-pelinggih tersebut dalam suatu merajan, sudah menandakan
atau mencirikan penyatuan atau kristalisasi semua sekte-sekte yang ada di Bali.
Sesuai dengan adat tradisi di Bali selalu ada upacara yadnya (Panca Yadnya) dan
semua sekte sudah menyatu didalamnya yang ditandai dengan dibuatnya banten.
Terlebih lagi sesuai dengan kepercayaan adat dan tradisi di Bali proses
pembangunan suatu merajan tidak terlepas dari suatu upacara yang bertujuan
untuk menyucikan prahyangan semoga Ida Bhatara berkenan untuk berstana di
pelinggih-pelinggih tersebut. Demikianlah penyatuan/kristalisasi sekte-sekte
yang ada di dalam suatu merajan.
III. PENUTUP
3.1 Simpulan
Pembangunan
suatu merajan/pelinggih untuk memuja leluhur berdasarkan adanya konsep Tri Rnam
dan Catur Guru. Merajan atau sanggah dalam sebuah
keluarga Hindu di Bali adalah sebuah tempat suci, yang terstruktur berdasarkan
konsep Tri Angga, Tri Mandala, dan juga Tri Hita Karana. Dalam pendirian
merajan harus memperhatikan Dewasa Ayu dan letak atau pemilihan tempat juga
menggunakan pedoman Asta Kosala-Kosali dan Asta Bumi. Pasek Gaduh merupakan
nama dari salah satu keturunan Mpu Dangka yang merupakan putra bungsu dari Mpu
Gnijaya dengan Bhatari Dewi Manik Geni. Merajan Dadia Pasek Gaduh di Desa
Lelateng, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana ini merupakan sanggah pucuk dari
sanggah pokok (sanggah
kawitan) yang berada di Banjar Paminggir, Desa Gelgel, Klungkung.
Pelinggih-pelinggih
yang ada di merajan Dadia Pasek Gaduh ini diantaranya: pelinggih/sanggah
kamulan/rong tiga, gedong kawitan, catu mujung/sanggah maprucut, catu meres,
sekaulu gempel, taksu, pelinggih surya, jro gde dan penunggun karang/lebuh.
Yang bersthana di sanggah kamulan adalah manifestasi Tuhan sebagai Brahma,Visnu
dan Siva (Tri Murti). Dibangunnya Gedong Kawitan merupakan penghormatan
terhadap leluhur Pasek yaitu Mpu Gnijaya. Catu Mujung yang bersthana adalah
Dewa Agni, ini menunjukkan adanya pengaruh dari Sekta Sora yang identik juga
dengan pemujaan yang bersthana pada pelinggih Surya. Catu Meres sthana Devi Sri
merupakan simbol kemakmuran, pengaruh Sekta Vaisnawa. Sekaulu Gempel juga
dipengaruhi oleh sekte Vaisnawa. Terkait dengan pengaruh sekte, ada kemiripan
fungsi Pelinggih Taksu dengan Ista Devata dari sekta Sakta di India, sekte yang
memuja aspek feminim Tuhan (Sakti/Kekuatan). Pelinggih Penunggun Karang/Lebuh pengaruh Sekte Ganapatya dan sekte
Waisnawa. Di Jro Gde adalah Dewa Ganesha
yang merupakan kristalisasi dari Sekta Ganapatya.
DAFTAR PUSTAKA
Anom, IB. 2002. Tentang Membangun Merajan. Denpasar: CV.
Kayumas Agung.
Gunawan, Pasek I
Ketut. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva
Siddhanta II. Denpasar: IHDN.
Soebandi, Ketut.
2003. Babad Pasek (Maha Gotra Pasek Sanak
Sapta Rsi). Denpasar : Pustaka Manikgeni.
Soebandi, Ketut.
1981. Pura Kawitan/Padharman dan
Penyungsung Jagat. Denpasar: CV. Kayumas Agung.
Soebandi, Ketut.
2008. Riwayat Merajan di Bali.
Denpasar: CV. Kayumas Agung.
Soeka, Gde.
1993. Tri Murti Tattwa. Denpasar: CV
Kayumas.
Suhardana, K.M.
Drs. 2006. Dasar-Dasar Kepemangkuan.
Surabaya : Paramita.
Tim Penyusun.
2003. Materi Penataran Pemangku dan
Tukang Banten. Singaraja: Pemerintah Kabupaten Buleleng, Bagian
Perekonomian dan Sosial.
Tonjaya, I
Nym.Gd.Bandesa K. 1992. Lintasan Asta
Kosali. Denpasar: Penerbit dan Toko Buku RIA.
Wiana, I Ketut.
1989. Palinggih di Pamerajan.
Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Wiana, I Ketut.
2001. Makna Upacara Yajna Dalam Agama
Hindu. Surabaya: Paramita.
Wijayananda, Jaya. 2003. Agem-Ageman Kepemangkuan. Surabaya :
Paramita.
Wikarman,
Singgin I Nyoman. 1998. Sanggah Kamulan,
Fungsi dan Pengertiannya. Surabaya: Paramita.
----------------,
2005. Jajaran Pelinggih Merajan atau
Sanggah. Singaraja : PHDI Kecamatan Buleleng.
Para Sadeg
|
Para
Keluarga Penyungsung Merajan Dadia Pasek Gaduh, Lelateng-Negara
|
Pemangku Dadia
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yg baik,,adalah dia yg memberikan kritik dan saran yg sifatnx membangun guna kesempurnaan bloger,,,Thanks...